Catatan Popular

Khamis, 17 Januari 2019

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH AL BUHTI KE 37 - Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya


Menurut Kalam Hikmah ke 37 : Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

"Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya"

Ada dua bagian yang ingin dipertegas dalam hikmah ini,
a) "Allah ada, dan tiada sesuatu besertaNya.
b) "Dia kini tetap sebagaimana adanya".

Bagian [a] merupakan kutipan Hadis Nabi sinergi dengan 2 Hadis lain yaitu:
    1" كان الله تبارك وتعالى قبل كل شيء "Allah ada sebelum segala sesuatu ada"
    2"كان الله ولم يكن شيء قبله" "Allah ada dan segala sesuatu tidak ada sebelum Allah ada"

Jadi jika mindset "Allah ada dan tiada sesuatu selainNya" telah terpatri di hati kita, berarti tak ada segala sesuatu sebelum Allah ada. Kemudian bagian [a] hikmah ini tak lain adalah perpanjangan makna QS (Ar-Ro'du):16 dan (Az-Zumar):62 "Allah menciptakan segala sesuatu".

Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah: "Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?". Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa". QS Ar-Ra’d :16

Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. QS Az-Zumar :62

Para pakar teologi Islam telah memberikan bukti ilmiah bahwa segala sesuatu selain Allah adalah baru dan pasti ada yang menciptakan. Sehingga bisa dipastikan bagian [a] hikmah ini adalah pengukuhan sekaligus penyegaran pokok-pokok akidah Islam yang telah kita ketahui bersama. Maka, rasanya tak perlu panjang lebar menjelaskan hal itu, karena Al-Buthi telah membukukan dalam karya lain berjudul كبرى اليقينيات. Sedang pada bagian [b] "Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya", merupakan preface/pembuka dari bagian [a]. Yaitu, sebagaimana sejak zaman dahulu tiada sesuatu yang menyertai Allah, maka begitu juga kini dan esok hari tidak ada sesuatu selainNya.

Bagaimana bisa sesuatu selain Allah dikatakan tidak ada, padahal kita menyaksikan dengan mata telanjang pada bumi, langit dan segala panorama? Maka sekali-kali kita jangan terjebak dalam pertanyaan dangkal semacam itu, sebab hal ini bagian kejahilan yang nyata dalam beragama. Namun menanggapi pertanyaan tersebut tidak boleh dengan menjahil-jahilkan orang yang bertanya, apalagi sampai mengkafir-kafirkan. No! Sebab yang diharapkan adalah terjalin kesepahaman yang integral tanpa bertujuan mengorang lain kan (othering) kelompok lain yang tidak sepaham. Bahwa langit dsb. bisa dikatakan ada bersama Allah, jika kepada balita yang untuk berdiri butuh memegang erat tangan ayahnya, anda berkata: "Anak tersebut berada dalam sifat berdiri yang sama dengan sifat berdiri ayahnya.", padahal masih membutuhkan pegangan erat sang ayah.

Demikian ini perlu direnungi ulang sebelum kita menarik suatu kesimpulan; "wujud alam semesta menyertai wujud Allah."  Begitulah alam semesta (baca: selain Allah), wujudnya tidak lepas dari otoritas Allah, yang ketika diwujudkan, kapan saja bisa dimusnahkan. Allah menganugerahi alam untuk wujud dan senantiasa bersama anugerah tersebut, sepanjang wujudnya. Jika anugerah ini hilang, hilanglah alam. Sifat butuh (dependen) pada anugerah inilah yang menyebabkan alam beserta isinya tidak bisa dibilang wujud sejajar dan menyertai Allah. Ini sesuai dengan apresiasi Rasulullah atas gubahan syair Labid, Penyair Muslim di periode awal Islam, Bahwa segala sesuatu selain Allah dianggap dan tidak ada. Hal ini bisa nyata ketika Allah melepas genggaman (tidak menahan) alam semesta sesuai QS. Al-Fathir: 41. Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jgn lenyap;" Jika Allah melepas, apakah keduanya tidak lenyap?

Kemudian adakah nilai-nilai tarbiyah yang ingin diselipkan oleh Al-Buthi dalam hikmah 37 ini? Ruh pendidikan yang ingin dihembuskan kepada setiap muslim adalah meletakkan sifat ketuhanan dalam ruang pribadi hanya milik Allah. Sehingga kita tidak berharap kebaikan apapun melainkan hanya kepada Allah, serta tidak khawatir pada bahaya apapun selain datangnya dari Allah. Nilai tarbiyah selanjutnya adalah agar kita tidak menjadikan semesta alam penghalang dan yang menyita kesibukan diri untuk intim bersamaNya.

Maka keesaan Allah tidak melebur ke dalam relung hati setiap muslim, kecuali bila ia memahami apa yang dinaksudkan Al-Buthi dalam hikmah ini. Bahwa tidak satupun yang menyertai Allah dalam wujud baik kini, kemarin atau esok hari. Kemudian ia mengamalkan nilai-nilai tarbiyah di hikmah ini. Tentu berbeda antara wujud menyertai Allah sebagai hal yang maustahil dengan wujud karena Allah yang sesuai dengan hakikat alam semesta. Demikian Hikmah 37, semoga makin memperkuat dinding keimanan dalam mentauhidkan Allah.


Tiada ulasan: