Catatan Popular

Sabtu, 12 Oktober 2024

162 Masalah Sufistik (Masalah 11)

Syaikh Muhammad bin Ahmad Shal’an ra. bertanya;


“Tentang ucapan seorang: “Jiwa berkata kepada hati: ‘Ikutilah semua kebiasaanku sampai aku mengikutimu di dalam berbagai ibadah.'”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ucapan semacam itu adalah ucapan nafsu muthma’innah kepada hati yg bercahaya. Jika hati mau hadir bersama jiwanya di dalam berbagai kebiasaan yg semestinya, seperti ketika makan, minum dan sebagainya, maka jiwa akan sejajar di dalam segala kebiasaan dengan hati dan ia dapat bersikap lebih baik serta lebih utama.”

Adapun kehadiran jiwa bersama hati di dalam berbagai ibadah akan menambah semangat, serta di dalam lahir dan batin akan menyatu. Jika keduanya telah menyatu dalam segala tindak-tanduk seseorang, maka segala tindak-tanduknya akan menjadi lurus dan baik. Jika sebaliknya, maka segala tindak-tanduknya akan tercela.

162 Masalah Sufistik (Masalah 10)

 “Tentang ucapan Syaikh Abu Yazid al-Busthami ra.: ‘Sejauh-jauh orang dari Allah Ta’ala adalah seseorang yg paling banyak menggunakan nama Allah dalam pembicaraannya.”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Maksud dari ucapan Syaikh Abu Yazid ra. adalah jika seorang banyak menyebut nama Allah Ta’ala dalam pembicaraannya dengan maksud riya’.

Tentunya, banyak menyebut nama Allah Ta’ala dalam pembicaraannya tidak salah, sebab orang² shaleh selalu menyebut nama Allah Ta’ala dalam pembicaraannya. Namun jika niat orang itu untuk riya,’ maka niatnya itu yg dicela, karena niatnya tidak ikhlas.”

162 Masalah Sufistik (Masalah 9)

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:


“Bagaimanakah seseorang yg merenung di waktu malam dan di waktu² tertentu?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya berfikir atau merenung di waktu apapun merupakan modal yg paling besar untuk memperbaiki dan meluruskan hati seseorang, serta untuk menimbulkan niat yg baik dan kemauan yg besar untuk melakukan berbagai amal kebajikan.

Akan tetapi, bukan setiap pemikiran atau perenungan dapat menimbulkan perasaan semacam itu. Sebaliknya, adalah pemikiran atau perenungan tentang tanda² dan keajaiban kekuasaan Allah Ta’ala serta besarnya karunia-Nya bagi Wali²Nya, dan juga besarnya siksa-Nya bagi musuh²Nya, termasuk juga pemikiran tentang dunia dan kehancuran-Nya, serta besarnya kekacauannya dan keburukannya.

Adapun pemikiran tentang hawa nafsu dan kelezatannya yg menyebabkan seseorang dapat menghindari hawa nafsunya, maka pemikiran semacam itu termasuk pemikiran yg berguna bagi seseorang. Akan tetapi, jika pemikirannya mengarah kepada hal² untuk berbuat maksiat, maka pemikiran semacam itu termasuk pemikiran yg tidak berguna yg harus dijauhi oleh setiap muslim.”

162 Masalah Sufistik (Masalah 8)

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:


“Manakah yg lebih baik bagi seseorang dalam shalat. Memanjangkan berdirinya, ruku’nya, sujudnya, ataukah memendekkannya agar dapat memperbanyak bilangan raka’atnya dalam shalat sunnahnya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa Rasulullah Saw. memanjangkan berdirinya, ruku’nya dan sujudnya dalam shalat malamnya, dan Beliau tidak pernah menambah bilangan raka’atnya lebih dari sebelas atau tiga belas raka’at.

Para ulama berbeda pendapat tentang mana yg lebih utama, apakah memanjangkan berdiri, ruku’ dan sujud ataukah memendekkannya. Sebagian di antara mereka ada yg memilih pendapat yg kedua.

Akan tetapi, Imam al-Ghazali ra. dan kawan²nya memilih langkah yg dapat membuat seseorang lebih khusyuk dan lebih berkonsentrasi, dan itulah yg lebih utama. Namun hal itu bisa berubah tergantung perbedaan situasinya.”

162 Masalah Sufistik (Masalah 7)

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:


“Bagi seseorang yg memilih wirid bagi dirinya. Manakah yg lebih baik baginya, apakah banyak membaca al-Qur’an ataukah banyak mengucapkan kalimat tasbih atau tahlil?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwa tidak ada amalan yg lebih utama dari membaca al-Qur’an, asalkan membacanya dengan tartil dan merenungi kandungannya.

Akan tetapi, karena perasaan setiap orang suka bosan, maka sebaiknya ia berpindah² dalam wiridnya, sesekali ia membaca al-Qur’an, sesekali ia melakukan shalat, sesekali ia berdzikir serta sesekali ia merenungi kematiannya dan apa saja yg akan terjadi setelahnya.”

162 Masalah Sufistik (Masalah 6)

Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya;


Manakah yg lebih baik bagi seseorang. Apakah ia harus menyembunyikan amal² ibadahnya ataukah ia harus menampakkannya. Dan manakah yg lebih baik baginya, merasa takut lebih banyak ataukah berharap lebih banyak?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Perlu diketahui, bahwa jika seseorang menunjukkan amal² ibadahnya secara terang²an agar bisa ditiru atau di ikuti oleh orang lain, maka hal itu lebih baik baginya, asalkan tidak menyebabkan riya’ dalam dirinya. Sebaliknya, menyembunyikannya lebih baik baginya jika hatinya bisa menjadi riya,’ dan perbuatannya tidak diharapkan ditiru oleh orang lain. Jika ia merasa dirinya tidak akan riya’ dan tidak berharap perbuatannya ditiru oleh orang lain, maka menyembunyikannya lebih utama baginya.”

Sedangkan mengenai rasa takut dan rasa berharap, ketahuilah bahwa rasa takut lebih utama bagi seseorang yg kuat nafsunya dan kecondongannya cukup besar untuk berbuat maksiat, sampai setelah hatinya menjadi lurus.

Sebaliknya, rasa berharap lebih utama bagi seseorang yg saat kematiannya telah dekat, agar ia mati dalam keadaan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala. Adapun seseorang yg sehat jasadnya dan teguh agamanya, maka hendaknya ia menyamakan antara rasa takut dan rasa berharapnya. Sehingga keduanya menjadi seimbang, bagai keseimbangan dua sayap seekor burung. Dan hal itu lebih utama baginya.

162 Masalah Sufistik (Masalah 5)

 Syaikh Abdul Kabir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya:


“Bagaimanakah cara mengobati seseorang yg malas melakukan amal² kebajikan dan condong kepada hawa nafsu. Padahal ia cinta kepada kebajikan dan para pelakunya, serta ia benci kepada kejahatan begitu pula dengan para pelakunya?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya penyebabnya ada empat macam:

Pertama: Bodoh. Adapun cara menghilangkannya adalah dengan mempelajari ilmu yg bermanfaat.

Kedua: Lemah iman. Adapun cara memperkuatnya adalah dengan cara memperhatikan kejadian langit dan bumi, serta selalu melakukan amal² shaleh.

Ketiga: Banyak berangan². Adapun cara menghilangkannya adalah banyak mengingat kematian yg dapat mendatanginya secara tiba² pada setiap waktu.

Keempat: Sering mengkonsumsi makanan yg syubhat. Adapun cara menghindarinya adalah menjauhinya dan hanya mengkonsumsi yg halal.

Seseorang yg dapat mengobati dirinya dari keempat penyebab tersebut dengan cara melakukan terapinya masing², maka ia tidak akan bosan, apalagi enggan dari melakukan amal² kebajikan di setiap waktunya.

Dan ia tidak akan condong sedikitpun kepada hawa nafsu dan segala kelezatannya yg fana. Semua itu tidak dapat ia peroleh, kecuali setelah berjuang dengan sungguh² dan itulah sunnah Allah Ta’ala. Ketahuilah bahwa sunnah Allah Ta’ala tidak akan berubah sedikitpun.

Hendaknya setiap orang pada awal langkahnya, menjauhi segala yg dilarang oleh agama, menekan hawa nafsunya, dan juga senantiasa melakukan amal² kebajikan secara paksa, hingga Allah Ta’ala mengetahui kesungguhannya untuk membersihkan hatinya.

Jika hal itu telah dicapai oleh seseorang, maka di saat itu Allah Ta’ala akan memberinya kelezatan untuk beribadah dan sekaligus membenci hawa nafsunya. Yg sedemikian itu dapat terjadi adalah karena bantuan dan karunia Allah Ta’ala kepadanya. Hal itu seiring dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan orang² yg bersungguh² menempuh jalan Kami, maka akan Kami tunjukkan jalan Kami.”

Dalam ayat-Nya yg lain, Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah disempurnakan janji Tuhanmu yg baik untuk memberi kemenangan bagi Bani Israil, karena mereka bersabar.”

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah menjanjikan bagi orang² beriman di antara kalian dan beramal shaleh bahwa mereka akan diberi kedudukan di muka bumi.”

162 Masalah Sufistik (Masalah 4)

 Syaikh Abdul Kadir bin Abdillah Bahmid ra. bertanya: 

“Bagaimanakah hukumnya seseorang yg bergaul dengan orang² yg suka berbuat maksiat dan bagaimana pula hukumnya mengkonsumsi makanan dari orang² yg pekerjaannya tidak baik?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah bahwasanya seorang mukmin yg sangat perhatian kepada agamanya dan yg berharap memperoleh kebahagiaan di akhiratnya, hendaknya ia tidak bergaul kecuali dengan orang yg baik, yg taat, yg takut kepada Allah Ta’ala, serta kepada orang² yg meninggalkan segala perbuatan maksiat secara total atau yg bertaubat dengan sesungguhnya dari perbuatan maksiat.”

Adapun seseorang yg bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat karena darurat dan ia membenci perbuatan maksiat mereka, jikalau dapat ia berusaha mengajak mereka untuk bertaubat dan ia dapat menjaga agamanya dari pengaruh mereka, serta ia berharap untuk menasehati mereka ke jalan yg benar, maka hal itu tidak mengapa baginya.

Adapun jika seseorang bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat dan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, meskipun ia mampu melakukannya, hanya saja ia tidak melakukan perbuatan maksiat bersama mereka dan tidak pula menolong mereka dalam kemaksiatannya. Maka orang semacam ini tidak selamat dari dosa. Bahkan ada kemungkinan ia mendapat murka Allah Ta’ala, karena ia bergaul dengan mereka tidak karena darurat atau karena terpaksa.

Adapun seseorang yg bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat, atau bahkan ia memuji perbuatan mereka dan membantu mereka untuk berbuat maksiat, maka menurut pandangan Allah Ta’ala, ia lebih jahat dari mereka dan murka Allah Ta’ala akan lebih cepat menimpanya daripada mereka.

Pokoknya, seorang yg berakal, tidak akan bergaul erat dengan siapapun yg terang²an berani berbuat maksiat, tidak akan duduk dengan mereka, kecuali jika pertemuannya dengan mereka secara kebetulan, misalnya bertemu dengan mereka di tempat² berkumpulnya orang banyak, seperti di masjid² atau di pasar².

Seseorang dilarang bergaul erat dengan orang² yg suka berbuat maksiat, karena perbuatan itu dapat mematikan hatinya dan juga dapat melemahkan frekuensi ketaatannya, bahkan dapat menyeretnya ke dalam perbuatan maksiat pula. Dan orang yg telah mencoba melakukannya, maka ia akan mengetahui hasilnya.

Adapun mengkonsumsi makanan dari seseorang yg perbuatannya tidak baik, atau berbisnis dengannya, asalkan dengan cara yg benar atau mengetahui bahwa hartanya yg halal lebih banyak dari hartanya yg syubhat atau yg haram, maka menurut para ulama diperbolehkan mengkonsumsi makanannya dan juga berbisnis dengannya, namun menjaga diri dari perbuatan semacam itu lebih utama.

 

162 Masalah Sufistik (Masalah 3)

 Syaikh Abdurrahman bin Abdullah al-Khatib Baraja’ ra. pernah bertanya: 

“Apakah seorang wali quthub termasuk wali al-ghauts ataukah termasuk wali lainnya. Dan apakah yg dimaksud dengan wali al-autad dan wali al-abdal?”

aI-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya dalam masalah ini, ada beberapa kabar dari Baginda Rasulullah Saw. secara marfu’, dun beberapa atsar yg datangnya dari para wali Allah Ta’ala. Pada kesempatan ini, saya ingin menerangkan sebagian daripadanya:

Diriwayatkan oleh Syaikh al-Yafi’i di dalam Kitab ar-Raudhah dari Sahabat lbnu Mas’ud ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Allah menciptakan di bumi-Nya sebanyak tiga ratus orang wali yg hatinya seperti hati Nabi Adam as., dan sebanyak empat puluh orang wali yg hatinya seperti hati Nabi Musa as., dan sebanyak tujuh orang wali yg hatinya seperti hati Nabi Ibrahim as.

Dan lima orang wali yg hatinya seperti hati Malaikat Jibril as. dan tiga orang wali yg hatinya seperti hati Malaikat Mikail as. serta seorang wali yg hatinya seperti hati Malaikat Israfil as.

Jika seorang di antara mereka ada yg wafat, maka Allah akan menggantinya dengan tiga orang wali. Jika seorang di antara tiga wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan lima orang wali. Jika seorang di antara lima orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan tujuh orang wali.

Jika seorang di antara tujuh orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan empat puluh orang wali. Jika seorang di antara empat puluh orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan tiga ratus orang wali.

Jika seorang di antara tiga ratus orang wali ada yg wafat, maka Allah akan menggantikannya dengan orang ‘awam. Karena mereka itu, Allah Ta’ala menyelamatkan umat ini dari segala bencana.”

Selasa, 8 Oktober 2024

162 Masalah Sufistik (Masalah 2)

Masalah 02

 

Habib Abubakar bin Syeikh Asseggaf ra. bertanya:


“Bagaimanakah hukumnya keburukan yg dilakukan oleh seorang ‘arif billah?”

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab:

“Menurut istilah kaum sufi, seorang ‘arif billah adalah seseorang yg beriman kepada Allah Ta’ala dan ia benar² mengerti segala kewajiban serta larangan Allah Ta’ala, dan ia menjalankan segala kewajiban-Nya serta menjauhi larangan-Nya dengan baik.

Selain itu, ia gemar memperbanyak amalan² sunnah yg dapat semakin mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Semuanya itu ia lakukan demi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala, sehingga ia mendapat cahaya Allah Ta’ala dan sehingga apa saja yg misteri akan menjadi nyata, hingga ia akan mendapat petunjuk, furqan, dan ilmu dari Allah Ta’ala.

Selanjutnya, seorang ‘arif billah, meskipun ia telah mencapai tingkatan terdekat di sisi Allah Ta’ala, ada kemungkinan ia melakukan pelanggaran atau kekeliruan yg menyebabkan ia terkena sangsi dari Allah Ta’ala baik secara syari’at maupun secara akal. Sebab, tujuan seorang ‘arif billah ingin menjadi seorang wali Allah Ta’ala dan seorang wali akan terpelihara dari perbuatan dosa.

Disebutkan bahwa di antara para Nabi ada juga yg melakukan kesalahan, misalnya kesalahan yg telah dilakukan Nabi Adam as., ketika ia makan buah dari pohon yg dilarang, Nabi Daud as. ketika ia mempunyai keinginan yg salah, demikian pula ketika Nabi Sulaiman as. melakukan perbuatan yg salah. Akan tetapi semua yg mereka lakukan itu tidak sengaja.

Karena itu, para tokoh ulama berpendapat bahwa para Nabi terpelihara dari segala dosa yg besar maupun yg kecil. Adapun kalau ada kesalahan yg mereka lakukan, tidak lebih dari kekeliruan yg tidak disengaja atau karena faktor lupa.

Telah diketahui secara umum, bahwa segala perbuatan kebajikan yg dilakukan oleh para ‘arif billah akan diberi pahala yg berlipat ganda, demikian pula segala kesalahannya akan dinilai dosa secara berlipat ganda.

Ada kemungkinan dosa kecil yg mereka lakukan akan dinilai sebagai dosa besar, karena mereka telah berada di lingkungan terdekat dengan Allah Ta’ala, dimana lingkungan tersebut tidak boleh dinodai oleh dosa sekecil apapun. Hal ini sebagaimana yg disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

يٰنِسَآءَ النَّبِىِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ يُضٰعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا. وَمَنْ يَقْنُتْ مِنْكُنَّ لِلَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتَعْمَلْ صٰلِحًا نُّؤْتِهَآ أَجْرَهَا مَرَّتَيْنِ وَأَعْتَدْنَا لَهَا رِزْقًا كَرِيمًا

“Hai istri² Nabi, siapa² di antaramu yg mengerjakan perbuatan keji yg nyata, niscaya akan di lipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yg demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa di antara kamu sekalian (istri² Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yg saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yg mulia.” (QS. al-Ahzab (33): 30 31)

Disebutkan bahwa ‘arif billah al-Imam Ibnul Jala’ ra. pernah melihat seorang pemuda yg berwajah tampan, maka dikatakan kepadanya: “Pasti engkau akan segera mendapat sangsinya.” Maka Al-Qur’an yg telah dihafalkannya menjadi hilang dari ingatannya.

Disebutkan pula, bahwa ada seorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala pernah mempunyai perasaan ingin berbuat maksiat ketika ia sedang dalam shalatnya, maka Allah Ta’ala menjadikan hitam seluruh tubuhnya dan hal itu berlangsung cukup lama sampai setelah dimohonkan ampun oleh orang² shaleh lainnya.

Disebutkan juga bahwa Imam Junaid ra. pernah melihat seorang miskin yg sedang minta². Maka ia berkata dalam hatinya: “Andaikata orang ini bekerja dan ia tidak minta², pasti akan lebih baik baginya.” Maka ketika ia bangun untuk beribadah di malam hari, ia tidak akan mendapatkan kenikmatan dan kegunaannya untuk beribadah menjadi hilang dan ia pun tertidur pulas.

Dalam tidurnya ia melihat orang miskin tersebut mengulurkan sepotong daging kepadanya seraya berkata: “Makanlah daging ini, karena engkau telah menggunjing diriku.” Maka ia berkata: “Aku hanya berkata dalam hatiku.” Maka dikatakan kepadanya: “Seorang yg sepertimu tidak pantas melakukan hal seperti itu.”

Disebutkan juga bahwa ada seorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala mendapat sangsi dari Allah Ta’ala ketika ia mempunyai perasaan ingin makan sesuatu yg dihalalkan. Hal itu terjadi karena ia berlaku tidak sopan kepada Allah Ta’ala.

Disebutkan juga bahwa al-lmam asy-Syaikh Abu Thurab an-Nahsyabi ra. pernah mempunyai perasaan ingin makan roti dan telur, sehingga ia pergi ke pasar untuk mewujudkan keinginannya. Maka di saat itu ada seorang yg menarik baju al-lmam asy-Syaikh Nahsyabi ra. dan ia berkata: “Lelaki ini adalah teman para pencuri.”

Maka ia dipukuli oleh penduduk yg ada di pasar itu. Untungnya ada seorang yg mengenalnya, sehingga mereka dilerai. Setelah itu ia di antarkan ke rumahnya dan diberikan kepadanya roti serta telur yg ia inginkan.

Maka asy-Syaikh an-Nahsyabi ra. berkata kepada dirinya: “Makanlah roti dan telur yg menyebabkan aku dipukuli oleh orang banyak.”

Disebutkan juga bahwa ada seorang ‘arif billah yg ingin makan ikan, sehingga ia mengulurkan tangannya kepada seekor ikan yg telah terhidang di depannya, maka dengan izin Allah Ta’ala, tangan si ‘arif billah tersebut terkena duri ikan sampai terluka.

Disebutkan juga bahwa al-Imam asy-Syaikh Abul Ghaits ra. pernah mencium istrinya tanpa niat, sehingga ia turun dari kedudukannya di sisi Allah Ta’ala selama setahun. Dan kisah² tentang mereka masih banyak lagi. Andaikata kami menukilkan kisah² semacam itu, maka kami telah menyimpang dari maksud kami yg sebenarnya, yaitu ingin meringkas keterangan kami.

162 Masalah Sufistik (Masalah 1):

Masalah 01


Habib Abubakar bin Syeikh Asseggaf ra. bertanya:


“Bagaimanakah perasaan yg timbul dalam hati seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala. Apakah ia harus membuangnya jauh² dan hanya bersandar kepada perasaan Rabbani saja atau apa yg seharusnya ia kerjakan?

al-‘Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad ra. menjawab: “Seseorang yg telah sampai kepada Allah atau seseorang yg mengenal Allah dengan ilmu yg ia miliki, sebagaimana yg dimiliki pula oleh para ulama, memiliki berbagai tingkatan yg tidak terhitung banyaknya.

Seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala mempunyai dua keadaan:

Pertama, yg dikenal dengan nama al-Jam’u, dan

yg kedua adalah yg dikenal dengan nama al-Farqu.

al-Jam’u adalah tingkatan atau keadaan yg dicapai oleh seorang yg telah mengenal Allah secara terus menerus tanpa terputus sesaat pun di dalam keadaan yg sedemikian ini. la adalah seseorang yg akan terus-menerus fana’ dan tenggelam di alam ketuhanan secara keseluruhan secara terus-menerul tanpa terputus sesaat pun.

Sehingga ia tidak lagi mengenali dirinya maupun yg lain selain Allah Ta’ala. Tentang keadaan atau tingkatan seperti ini pernah diucapkan oleh seorang penyair: “Andaikata hatiku pernah mengingat selain-Mu karena kelalaianku, maka aku rela jika dihukum dengan kemurtadan.”

Penyair lain mengatakan: “Dahulu hatiku mencintai-Mu, akan tetapi tidak terus-menerus. Namun setelah aku mengenal-Mu lebih jauh, maka aku tidak dapat melupakan diri-Mu sedetikpun.”

Adanya perasaan kepada selain Allah Ta’ala bagi seseorang yg telah mengenal Allah Ta’ala dengan baik tidak mungkin akan terjadi. Karena perasaannya telah benar² menyatu dengan Dzat Allah Ta’ala, sehingga ia tidak dapat memalingkan perasaan tersebut sesaatpun daripada-Nya. Keadaan yg seperti ini pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

“Aku mempunyai waktu yg tidak cukup bagiku, kecuali hanya untuk Tuhanku.”

Perasaan semacam ini sulit didapat oleh seseorang. Akan tetapi jikalau perasaan ini telah hadir pada diri seseorang secara terus-menerus, maka ia akan melihat berbagai keajaiban dan kemisterian alam ghaib yg menakjubkan.

Perasaan semacam ini pernah dialami seorang tokoh sufi di Irak. Ia pernah tenggelam dalam perasaan seperti ini selama tujuh tahun dan selama itu ia tidak sadar. Kemudian ia sadar dalam waktu pendek, tetapi ia tenggelam kembali dalam perasaan ketuhanannya itu selama tujuh tahun lagi. Dan selama itu ia tidak pernah makan, minum, tidur maupun shalat, ia hanya berdiri di sebuah tempat dan matanya selalu memandang ke langit.

Disebutkan juga bahwa salah seorang tokoh sufi di Mesir pernah juga mengalami keadaan atau perasaan seperti itu. Ia berwudhu, kemudian ia berbaring dan ia berkata kepada pembantunya: “Jangan engkau membangunkan aku, sampai aku bangun sendiri.”

Maka, ia tidak sadarkan diri selama tujuh belas tahun. Dan selama itu pula ia tidak makan dan tidak minum. Kemudian ia bangun dan ia melakukan shalat dengan wudhu’nya yg dahulu. Perlu diketahui, para ‘arifin billah selalu merindukan untuk mendapatkan keadaan seperti itu.

Tetapi Allah Ta’ala jarang sekali memberikan perasaan semacam itu kepada hamba²Nya, karena Allah Ta’ala kasihan kepada mereka dan agar hambanya yg terdekat dapat mengerjakan segala kewajibannya kepada Allah Ta’ala, agar pahala mereka senantiasa bertambah serta agar tubuh mereka tidak rusak karenanya.

Sebab, jika perasaan ketuhanan telah mempengaruhi hati seseorang dan ia tenggelam dalam perasaan seperti itu, maka kekuatannya sebagai manusia tidak akan dapat menanggulanginya. Sebab, Gunung Tursina menjadi terbakar dan meletus ketika cahaya Allah Ta’ala tumbuh di puncaknya, maka bagaimana jika cahaya Allah Ta’ala itu telah bersemayam di hati seseorang.

Karena itu, tidak pantas jika kita percaya kepada sebagian orang yg telah disesatkan oleh setan yg mengaku bahwa mereka telah mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, sehingga mereka meninggalkan semua kewajiban agama, seperti puasa, shalat, serta mereka melakukan segala bujuk rayu hawa nafsunya dan larangan² Allah Ta’ala.

Andaikata mereka termasuk wali² Allah, tentunya mereka akan dipelihara oleh Allah dari segala perbuatan yg tidak baik. Dan secara logika, andaikata mereka benar² mengalami masa tenggelam di alam ketuhanan, tentunya mereka tidak akan terpengaruh oleh hal² selain Allah Ta’ala.

Kiranya kami cukupkan sampai disini keterangan kami tentang keadaan atau masa ketenggelaman seseorang di alam ketuhanan yg memfana’kan dirinya dari selain Allah Ta’ala.

 

Kini, mari kita bicarakan tentang keadaan al-Farqu, yaitu keadaan atau perasaan yg di alami oleh seseorang yg telah tenggelam di alam ketuhanan, tetapi tidak terus-menerus.

Seseorang yg telah mencapai tingkatan ini, maka Allah Ta’ala akan senantiasa memeliharanya dan memperhatikannya. Untuk selamanya, ia akan merasa selalu diawasi dan diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala, sehingga ia tidak berani berbuat sesuatu, kecuali yg telah diajarkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Yg menurut istilah kaum sufi, perasaan semacam itu disebut perasaan malaki atau ilham Rabbani.

Adapun perasaan setan, tidak akan timbul dan tidak akan berpengaruh sedikitpun kepada seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala. Sebab, setan yg terkutuk tidak akan dapat mendekati hati seorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala.

Karena Allah Ta’ala akan senantisa meneranginya dengan cahaya petunjuk-Nya. Mungkin setan dapat mempengaruhi seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala, tetapi orang itu akan diselamatkan oleh Allah Ta’ala dari gangguan setan. Hal ini sebagaimana yg disabdakan oleh Rasulullah Saw.:

“Aku mempunyai setan, tetapi Allah memenangkan aku daripadanya, sehingga aku selamat dari godaannya, sehingga ia tidak menyuruhku kecuali yg baik.”

Adapun perasaan nafsu tidak mungkin dapat mempengaruhi hati seseorang yg telah sampai kepada Allah Ta’ala, karena hatinya telah tunduk dan telah dekat kepada Allah Ta’ala. Bahkan nafsunya pun dapat ia kendalikan, sehingga ia taat kepada Tuhannya dan telah dimasukkan dalam golongan hamba²Nya yg pantas menghuni surga-Nya yg luasnya seluas langit dan bumi, yg disediakan hanya bagi orang² yg bertakwa.