Catatan Popular

Rabu, 18 Mei 2011

8 PRINSIP TAREKAT NAQSHBANDIYYAH


'Abdul Khaliq al-Ghujdawani mengemukakan butir-butir renungan ini yang kini dianggap sebagai prinsip Thariqat Naqshbandi Sufi: 

1.      Bernapas Secara Sadar ("Hosh dar dam")

Hosh berarti "pikir". Dar berarti "dalam". Dam berarti "napas". Artinya, menurut Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), bahwa :
"pencari/pejalan/murid yang bijak harus melindungi napasnya terhadap kealpaan/kesembronoan, menarik dan menghembuskan, dengan itu selalu menjaga kalbunya berada dalam Hadhirat Allah; dan dia harus menghidup kan napasnya dengan pengabdian dan penghambaan dan mempersembahkan pengabdian itu kepada Tuhannya penuh dengan kehidupan / kegairahan, karena setiap tarikan dan hembusan napas dengan demikian (Hadhirat) itu adalah hidup dan menyambung dengan Hadhirat Ilahi. Setiap tarikan dan hembusan napas dengan kealpaan/kecerobohan adalah mati, terputus hubungan dengan Hadhirat Ilahi."
Ubaidullah al-Ahrar (q) mengatakan, "Missi paling penting dalam Thariqat ini adalah untuk melindungi napasnya, dan dia yang tak dapat menjaga napasnya, baginya akan dikatakan, ‘dia telah kehilangan dirinya.'"
Shah Naqshband (q) mengatakan, "Thariqat ini dibangun atas dasar napas. Sehingga adalah suatu keharusan bagi semuanya untuk menjaga napasnya pada waktu menarik dan menghem buskan dan selanjutnya, untuk menjaga napasnya dalam interval antara menarik dan menghembuskan napas."
Shaikh Abul Janab Najmuddin al-Kubra mengatakan dalam bukunya, Fawatih al-Jamal, "Dhikr mengalir dalam diri setiap makhluq hidup dengan keharusan napasnya – meskipun tanpa niat – sebagi suatu tanpa ketundukan, yang adalah bagian dari penciptaannya. Melalui napasnya, bunyi huruf "Ha" dari asmaul husna Allah dibuat dalam setiap penghembusan dan penarikan dan itu adalah tanda dari Essensi Tak-Nampak sedang mengungkapkan penekanan Ke-Unik-an Allah. Jadi sangatlah penting untuk selalu “hadir” dengan napas itu, agar supaya menyadari (merasakan) Essensi dari Al Khaliqu."
Nama 'Allah' yang melingkupi sembilanpuluh sembilan asma ul-husna terdiri dari empat huruf : Alif, Lam, Lam dan Hah (ALLAH). Pengikut Sufi mengatakan bahwa Dzat Allah Azza Wa Jalla yang gaib sempurna dinyatakan dengan huruf terakhir, "Ha" itu. Huruf ini mewakili Dia Yang Maha gaib Sempurna (Ghayb al-Huwiyya al-Mutlaqa lillah 'azza wa jall). Lam pertama adalah untuk identifikasi (tacrif) dan Lam kedua adalah untuk penekanan (mubalagha).
Memelihara napasmu dari ketidak-pedulian akan menuntunmu kepada Hadhirat Nya secara utuh, dan Hadhirat Utuh akan menuntun engkau kepada Pandangan (Vision) utuh, dan Pandangan (Vision) utuh akan menuntun engkau kepada Manifestasi Utuh sembilanpuluh sembilan asma ul husna Allah. Allah akan menuntun engkau kepada Manifestasi sembilanpuluh sembilan Asma Nya dan keseluruhan Asma Nya yang lain, karena dikatakan bahwa, "Asma Allah adalah sebanyak napas umat manusia."
Hendaknya diketahui oleh semua bahwa menyelamatkan napas dari ketak-pedulian adalah suatu proses yang sukar bagi seorang pencari.. Sehingga mereka harus melakukan hal itu dengan mencari ampunan (istighfar) karena mencari ampunan akan membersihkan dan mensucikan diri kita dan mempersiapkan si pencari untuk Manifestasi Sesungguhnya Allah yang memang berada dimana-mana. 

2.      Perhatikan Langkahmu ("Nazar bar qadam")

Itu artinya bahwa sang pencari sewaktu berjalan hendaknya pandangan matanya hanya tertuju kepada kakinya saja. Kemanapun kakinya hendak dia tempatkan, pandangan matanya hendaknya berada disitu pula. Dia tidak diperkenankan melemparkan pandangannya kesana kemari, untuk melihat kekiri atau kekanan atau kedepannya, karena pemandangan yang tak perlu akan menutupi kalbunya. Kebanyakan tabir pada kalbu diciptakan oleh gambar(an) yang ditransmisikan dari mata kepada pikiran selama menjalani kehidupan sehari-hari. Hal-hal ini mungkin (boleh jadi) mengganggu (menggoncangkan) kalbumu dengan turbulensi (gambaran dari gerak air sewaktu ombak mendampar karang), karena berbagai macam keinginan yang (telah) dicetak di dalam pikiran kita (oleh berbagai gambar(an) itu). Bayangan-bayangan tersebut adalah seperti tabir yang menutupi kalbu. Mereka menghadang Cahaya Hadhirat Ilahiah. Itulah sebabnya para wali Sufi tidak membolehkan para pengikutnya, yang telah membersihkan kalbu mereka melalui Dhikr berkesinambungan, untuk melihat selain kepada kaki mereka. Kalbu mereka sudah seperti kaca cermin, memantulkan dan menyerap gambar (image) secara mudah. Gambar ini akan menyimpangkan mereka dan membawa berbagai kekotoran (ketak-murnian) kedalam kalbu mereka. Maka para pencari diperintahkan untuk merendahkan pandangannya agar supaya tidak diserbu oleh anak panah syaithan.
Merendahkan pandangan juga merupakan tanda kerendahan hati; orang yang bangga dan sombong tidak pernah melihat kaki mereka. Itu juga suatu indikasi bahwa seseorang sedang mengikuti jejak (yang dicontohkan) Nabi (s.a.w.),  yang jika berjalan tidak pernah melihat ke kiri atau ke kanan, tetapi selalu melihat ke kakinya, bergerak dengan tegas dan mantap menuju arah tujuannya. Itu juga sebuah tanda  dari sebuah ketinggian maqam bila seorang pencari tidak melihat kemana-mana kecuali hanya kepada Tuhannya. Seperti seorang yang ingin sampai ke tujuannya dengan cepat, demikian juga seorang pencari Hadhirat Allah bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau ke kirinya, tidak melihat kepada keinginan duniawi, tetapi hanya melihat kepada Hadhirat Ilahiah.
Imam ar-Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) mengatakan dalam suratnya ke 295 dari Maktubat nya:
"Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan. Perjalanan mendaki (mi’raj) ke maqam yang lebih tinggi mula-mula dengan Pandangan, diikuti Langkah. Apabila Langkah mencapai level Ketinggian dari Pandangan, maka Pandangan akan naik lagi ke tingkat berikutnya, atas itu Langkah juga mengikuti secara bergilir. Maka Pandangan akan diangkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan Langkah akan mengikutinya secara bergilir. Dan begitu seterusnya sampai Pandangan mencapai tingkat Kesempurnaan ke arah itulah Langkah akan ditarik (oleh Pandangan). Kita katakan, 'Bila Langkah mengikuti Pandangan, sang murid telah mencapai tingkat Kesiapan dalam mendekati Langkah Nabi (s.a.w.). Maka Langkah Nabi (s.a.w.) itu disebut juga sebagai Awal atau Sejatinya semua langkah lainnya.'"
Shah Naqshband (q) mengatakan, "Jika kita (hanya) melihat kesalahan shahabat kita, kita akan ditinggalkan tanpa teman, karena tak seorangpun sempurna." 

3.      Perjalanan Pulang ("safar dar watan")

Itu artinya perjalanan menuju kampung halaman. Itu artinya sang pencari berjalan dari dunia ciptaan menuju kepada dunia Sang Pencipta. Diceritakan bahwa Nabi (s.a.w.) mengatakan, "Saya akan mengunjungi Tuhan ku dari satu maqam ke maqam yang lebih baik dan dari satu stasiun ke stasiun yang lebih tinggi." Dikatakan bahwa sang pencari harus berjalan dari Kenginan untuk hal terlarang kepada Keinginan untuk Hadhirat Ilahi.
Thariqat Naqshbandi membagi perjalanan itu menjadi dua kategori. Pertama adalah perjalanan eksternal dan kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan eksternal adalah berjalan dari satu tempat ke tempat lain mencari seorang pembimbing yang sempurna untuk membawa dan mengarahkan engkau ke sasaran yang engkau tuju. Ini akan memungkinkan engkau untuk menapak ke kategori kedua, perjalanan internal. Para pencari, sekali mendapatkan pembimbing sempurna (mursid), dilarang untuk melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal terdapat banyak kesukaran yang tak akan sanggup ditanggung oleh pemula tanpa jatuh kepada tindakan terlarang (haram), karena mereka memang masih lemah dalam ibadahnya.
Kategori kedua adalah perjalanan internal. Perjalanan internal memerlukan para pencari meninggalkan akhlaq buruk mereka dan meningkat ke akhlaq yang lebih tinggi, mencampakkan semua keinginan dunia dari kalbunya. Dia akan diangkat dari keadaan tidak bersih ke keadaan bersih atau murni. Pada saat itu dia tidak lagi memerlukan perjalanan internal lainnya. Dia telah mensucikan kalbunya, membuatnya jernih seperti air, transparan seperti kristal, mengkilap seperti cermin, memperlihatkan kebenaran dari semua hal yang esensi dari kehidupannya sehari-hari, tanpa memerlukan gerakan eksternal dari sisinya. Dalam kalbunya akan muncul semua hal yang diperlukan untuk kehidupannya dan untuk kehidupan mereka yang berada di sekelilingnya. 

4.      Kesendirian dalam Keramaian ("khalwat dar anjuman")

"Khalwat" berarti menyendiri. Itu artinya secara tampak luar bersama dengan manusia di sekelilingnya sementara secara batin selalu bersama Allah. Terdapat juga dua kategori “khalwat”. Pertama adalah penyendirian eksternal dan kedua adalah penyendirian internal.
Penyendirian eksternal memerlukan para pencari unutk menyendiri dalam suatu tempat yang tiada orang lainnya. Tinggal disitu sendirian, dia konsentrasi dan meditasi pada Dhikrullah, mengingat Allah, agar supaya mencapai keadaan dimana Teritori Kebenaran Allah menjadi nyata (menjelma). Apabila engkau merantai indera eksternal, indera internal mu akan bebas untuk mencapai Teritori Kebenaran Langit (Surgawi). Ini akan membawamu ke kategori kedua : kesendirian internal.
Kesendirin internal berarti menyendiri diantara keramaian orang. Disitu kalbu pencari hendaknya hadir dengan Tuhannya dan absen dari  dunia ciptaan sambil secara fisik berada di antara mereka. Dikatakan, "Sang pencari akan begitu terkait mendalam dengan Dhikr sunyi (sir) dalam kalbunya, meskipun dia masuk ke kerumunan orang, dia tidak akan mendengar suara mereka. Keadaan Dhikr nya telah menguasainya. Kenyataan (manifestasi) dari Hadhirat Ilahi menariknya dan membuatnya tidak sadar kepada semuanya kecuali kepada Tuhannya. Ini adalah posisi tertinggi suatu khalwat, dan dianggap khalwat yang benar, sebagaimana disebut dalam al Qur'an: "Orang-orang yang tak dapat dialihkan perhatiannya dari mengingat Allah oleh bisnis maupun keuntungan " [24:37]. Inilah cara Tharekat Naqshbandi.
Khalwat utama seorang shaykh Tharekat Naqshbandi adalah kesendirian internal. Mereka bersama Allah dan sekaligus bersama umatnya. Sebagaimana dikatakan Nabi (s.a.w.), "Saya memiliki dua sisi : satu muka menghadap Al Khaliq muka lainnya menghadap ciptaan (makhluq)." Shah Naqshband menekankan kebaikan berjamaah, bermajelis (berkumpul) ketika dia mengatakan: Tariqatuna as-suhbat wa-l-khairu fil-jamciyyat ("Tharekat kita adalah persahabatan (kebersamaan), dan Kebaikan berada dalam Kebersamaan ").
Dikatakan bahwa seorang beriman yang bergaul dengan orang dan mengangkat (memikul) kesukaran mereka lebih baik dari seorang beriman yang menyendiri dari orang. Terhadap hal yang peka ini Imam Rabbani mengatakan,
"Hendaknya diketahui bahwa sang pencari pada awalnya mungkin menggunakan khalwat external untuk mengisolasi dirinya dari orang, beribadah dan konsentrasi kepada Allah, Azza wa Jalla, sampai dia mencapai tahap yang lebih tinggi. Pada waktu itu dia akan dianjurkan oleh shaikh-nya, dalam kata-kata Sayyid al-Kharraz, Kesempurnaan bukan pada peragaan kekuatan karomah, tetapi kesempurnaan adalah duduk bersama orang (banyak), menjual dan membeli, menikah dan mempunyai anak; namun tak pernah meninggalkan kehadiran Allah bahkan sekejabpun.'" 

5.      Dhikr Utama (Essensi) ("yad kard")

Arti 'Yad' adalah Dhikr. Arti 'kard' adalah essensi Dhikr. Sang pencari hendaknya melakukan Dhikr dengan penolakan (negasi) dan penerimaan (affirmasi) pada lidahnya sampai dia mencapai keadaan meditasi (kontemplasi) kalbu (muraqaba). Keadaan itu akan dicapai dengan setiap hari menyebut penolakan (negasi) : LA ILAHA dan penerimaan (affirmasi) ILLALLAH pada lidah, antara 5,000 dan 10,000 kali, membuang dari kalbunya segala elemen yang akan mengotori dan membuatnya berkarat. Dhikr ini mempoles kalbu dan membawa sang pencari ke dalam keadaan Kenyataan (Manifestasi). Dia harus melakukan dhikr harian itu, baik dengan kalbu atau dengan lidah, mengulang ALLAH, yang mewakili (meliputi) semua asma dan sifat Nya, atau dengan negasi dan affirmasi melalui penyebutan LA ILAHA ILLALLAH.
Dhikr harian ini akan membawa sang pencari kedalam kehadiran sempurna dari Huwa Allahu Ahad.
Dhikr dengan negasi dan affirmasi, dalam tatacara Shaykh Naqshbandi, menghendaki bahwa sang pencari menutup matanya, menutup mulutnya, menggigit giginya, melekatkan lidahnya pada langit-langit mulutnya, dan menahan napasnya. Dia harus membaca dhikr itu melalui kalbu, dengan negasi dan affirmasi, memulai dengan kata LA ("Tidak"). Dia mengangkat "Tidak" ini dari bawah pusarnya naik ke otaknya. Sampai di otak kata "Tidak" mengeluarkan kata ILAHA ("Tuhan"), bergerak dari otak ke bahu kiri, dan menabrak kalbu (jantung)nya dengan ILLALLAH ("kecuali Allah "). Apabila kata itu menabrak kalbu, energi dan panasnya memancar keseluruh bagian tubuh. Sang pencari yang telah menolak semua yang ada di dunia ini dengan kalimat LA ILAHA, dan menyatakan menerima kalimat ILLALLAH, artinya berada dalam keadaan bahwa semua yang exist (ada) hilang lenyap dalam Hadhirat Allah.
Sang pencari mengulang ini dengan setiap napas, menghirup dan meniup, selalu membuatnya mencapai kalbu, sesuai dengan jumlah angka yang di-instruksikan oleh shaikh-nya. Sang pencari secar berangsur akan mencapai keadaan dimana dalam satu napas dia dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH duapuluh tiga kali. Seorang shaikh mursid dapat mengulang LA ILAHA ILLALLAH tak terhitung banyaknya dalam setiap kali napas. Arti dari praktek ini adalah bahwa sasaran satu-satunya hanya ALLAH dan tidak ada sasaran lain lagi bagi kita. Dengan melihat Hadhirat Allah sebagai satu-satunya Kenyataan (Existensi), akan memasukkan kedalam kalbu murid itu cinta Nabi (s.a.w.) dan pada saat itu dia mengatakan, MUHAMMADUN RASULULLAH yang adalah jantung dari Hadhirat Allah. 

6.      Kembali ("baz gasht")

Ini adalah keadaan dimana sang pencari, yang melakukan Dhikr dengan negasi dan affirmasi, sampai kepada pengertian ungkapan Nabi (s.a.w.), ilahi anta maqsudi wa ridaka matlubi ("Ya Allah, Engkaulah yang kami Maksud dan Ridha Mu adalah dambaanku.") Pembacaan ungkapan ini akan menambah kesadaran sang pencari  tentang Ke-Esa-an Allah, sampai dia mencapai keadaan di mana keberadaan semua ciptaan (makhluq) lenyap dari pandangan matanya. Semua yang dilihatnya, kemanapun dia memandang, adalah Allahu Shamadu. Murid Naqshbandi membaca dhikr macam ini agar supaya menyuling dari kalbunya rahasia Al Ahad, dan untuk membuka diri mereka kepada Kenyataan Hadhirat Allahu Shamadu. Para pemula tidak berwenang  meninggalkan dhikr ini bila dia tidak mendapatkan kekuatan itu muncul dalam kalbunya. Dia harus tetap membaca dhikr ini mengikuti (meniru) Shaykh-nya, karena Nabi (s.a.w.) telah mengatakan, "Barang siapa meniru suatu golongan orang akan menjadi bagian dari golongan itu." Dan barang siapa meniru gurunya akan suatu hari mendapatkan rahasia itu terbuka untuk kalbunya.
Arti dari "baz gasht" adalah kembali kepada Allah Azza wa Jalla dengan menunjukkan kepasrahan diri sempurna dan tunduk kepada Kemauan Nya, dan kerendahan diri sempurna dengan menyampaikan semua pepujian kepada Nya. Itulah alasan Nabi (s.a.w.) menyebutkan dalam doanya, ma dzakarnaka  aqqa dzikrika ya Madzkar ("Kami tidak Mengingat Engkau sebagaimana seharusnya Engkau Diingat, Ya Allah"). Sang pencari tidak dapat datang kepada hadhirat Allah dalam dzikrnya, dan tidak dapat mengungkapkan Rahasia dan Sifat Allah dalam dzikrnya, bila dia tidak melaksanakan dzikrnya itu dengan Dukungan Allah dan dengan Allah Mengingat dirinya. Sebagaimana dikatakan Bayazid: "Ketika aku mencapai Dia aku melihat bahwa ingatan Dia (kepadaku) mendahului ingatan saya kepada Nya." Sang pencari tidak dapat melakukan dzikr oleh sendirinya. Dia harus mengetahui bahwa Allah adalah justru yang sedang melakukan Dzikr melalui diri hamba Nya itu. 

7.      Perhatian ("nigah dasht")

"Nigah" berarti pandangan (visi). Itu artinya sang pencari hendaknya mengendalikan qalbunya dan melindunginya dengan cara mencegah masuknya pikiran buruk. Kecenderungan buruk akan menghalangi qalbu dari penyatuan diri dengan Hadhirat Allah. Diakui dalam Naqshbandiyya bahwa bagi seorang pencari dapat melindungi qalbunya dari kecenderungan buruk selama lima menit saja adalah sebuah hasil yang besar. Untuk ini saja dia sudah akan diakui sebagai seorang sufi sejati. Sufisme adalah sebuah kekuatan untuk melindungi qalbu dari pemikiran buruk dan menjaganya dari kecenderungan rendah. Barang siapa berhasil dengan dua sasaran ini akan mengerti qalbunya, dan barang siapa mengerti qalbunya akan mengenali Tuhannya. Nabi s.a.w. mengatakan, "Barang siapa mengenal dirinya sendiri, mengenal Tuhannya."
Seorang shaikh Sufi mengatakan, "Karena saya melindungi qalbu ku untuk sepuluh malam, qalbuku melindungiku untuk duapuluh tahun."
Abu Bakr al-Qattani mengatakan, "Aku adalah penjaga pintu qalbuku selama 40 tahun, dan aku tak pernah membukanya untuk siapapun kecuali Allah, Azza wa Jalla, sampai qalbuku tidak lagi mengenali siapapun kecuali Allah Azza wa Jalla."
Abul Hassan al-Kharqani mengatakan, "Telah 40 tahun Allah melihat ke dalam qalbu saya dan mendapati bahwa tak seorangpun berada disana kecuali Diri Nya Sendiri. Dan memang tidak ada ruang dalam qalbu saya untuk selain Allah." 

8.      Memori ("yada dasht")

Artinya pembaca Dzikr melindungi qalbunya dengan negasi dan affirmasi dalam setiap hembusan napas tanpa meninggalkan Hadhirat Allah Azza wa Jalla. Hendaknya sang pencari agar mempertahankan qalbunya supaya selalu berada dalam Hadhirat Allah. Ini akan membuatnya menyadari dan merasakan Cahaya Esensi dari Allah (anwar adh-dhat al-Ahadiyya). Dia kemudian membuang tiga dari empat bentuk pikiran : pikiran egoistik, pikiran jahat, dan pikiran malaikatis, sambil mempertahankan dan membenarkan hanya bentuk pikiran ke-empat, yaitu : pikiran kebenaran atau haqqani. Hal ini akan membimbing sang pencari menuju keadaan tertinggi dari kesempurnaan dengan membuang semua khayalannya dan hanya merengkuh Kebenaran yang adalah Ke-Esa-an Allah, 'Azza wa Jalla. 

'Abdul Khaliq al-Ghujdawani mempunyai empat orang khalifah. Yang pertama adalah Shaikh Ahmad as-Siddiq, berasal dari Bukhara. Yang kedua adalah Kabir al-Awliya ("Terbesar diantara Wali "), Shaikh Arif Awliya al-Kabir (q). Berasal dari Bukhara, dia adalah ulama terkemuka dalam Ilmu external dan internal. Khalifah yang ketiga adalah Shaikh Sulaiman al-Kirmani (q). Khalifah keempat adalah cArif ar-Riwakri (q). Kepada khalifah keempat inilah Abdul Khaliq (q) mewariskan Rahasia Mata Rantai Emas (Naqshbandi) sebelum dia meninggal pada 12  Rabi'ul-Awwal 575 H.

Tiada ulasan: