Catatan Popular

Rabu, 11 Mei 2016

Sambungan...Syekh Siti Jenar Menyatu dengan Dzat (Ajal) 9



“Apanya yang membuat kisanak pada kebingungan? Saya tidak pernah  membuat bingung orang lain apalagi menyusahkan orang.” Syekh Siti  Jenar menghentikan langkahnya, lalu menatap ke tiga rampok  tersebut. “Hanya kisanaklah yang ingin membuat susah dan  menyusahkan diri sendiri.”
“Apa maksud ucapan, Syekh?” ke tiga rampok hampir serempak  menepuk dahinya masing-masing. Kepala seakan-akan mau pecah  ketika mendengar setiap perkataan Syekh Siti Jenar.
“Saya manusia biasa seperti kisanak, bukan pemilik ilmu. Bukankah  kisanak sendiri dan ilmu itu ada pemiliknya? Itukah yang membuat  kisanak bingung?” tatap Syekh Siti Jenar, mengulang ucapannya.
“Itulah yang tidak kami pahami. Karena kami orang awam, tidak  tahu segala hal yang Syekh ucapkan.” Kebo Benowo berusaha  mencerna ucapan Syekh Siti Jenar. “Syekh tadi mengatakan, kalau  diri Syekh adalah manusia biasa seperti saya,”
“Ya,”
 “Bukankah Syekh memiliki ilmu yang hebat? Sedangkan kami tidak  bisa apa-apa?” ujar Kebo Benowo.
 “Saya tidak memiliki ilmu yang hebat. Kisanak mengaggap tidak  bisa apa-apa, itu merupakan pernyataan yang sangat keliru.” Syekh  Siti Jenar diam sejenak, matanya menatap satu persatu wajah orang  yang diajak bicaranya.
“Kenapa tidak mau mengakui kalau diri Syekh memiliki ilmu yang  hebat.” sela Kebo Benowo. Pikirannya semakin sumpek mendengar  setiap perkataan Syekh Siti Jenar yang bersebrangan dengan  realita yang dia pahami. “Malah pengakuan saya dianggap keliru,”
“Memang benar kisanak sangat keliru.” Syekh Siti Jenar, mendongak  ke atas langit, “Tataplah bintang gemintang yang ada di atas  kepala kisanak nun jauh di langit.”
“Apakah ada yang aneh dengan bintang-gemintang di langit?” tanya  Kebo Benowo. Belum menemukan celah terang atas segala perkataan  Syekh Siti Jenar, pikirannya semakin ngejelimet.
“Bukan ada yang aneh atau tidak. Perhatikanlah bintang-bintang?  Kenapa tidak jatuh ke bumi dan menimpa kepala kita? Pernahkah  terpikir dalam benak kisanak, siapa yang menahannya di langit?”  Syekh Siti Jenar kembali menatap ke tiga rampok tadi.
“Benar juga. Tidak tahu. Mukinkah kekuatan yang tidak nampak?”
“Kenapa kekuatannya tidak nampak? Siapa pula yang memiliki  kekuatan yang tidak nampak itu?” tanya Syekh Siti Jenar.
“Saya tidak mengerti Syekh? Jika memang ada kekuatan siapa  pemiliknya?”
“Dialah Allah. Allah itu penguasa semesta alam. Penggenggam  setiap jiwa makhluknya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Kita kembali  pada ucapan saya semula. Maksud saya itulah tadi.”
“O…ya.” Kebo Benowo mengangguk-anggukan kepala, rupanya mulai  ada titik terang di benaknya.
“Jika demikian saya mulai terbuka dengan apa yang Syekh Siti Jenar uraikan tadi. Namun yang masih  membingungkan, mengapa dianggap keliru jika saya mengatakan tidak  bisa apa-apa di banding kisanak.”
“Jika kisanak mengatakan tidak bisa apa-apa, tentu saja mati.  Hanya orang matilah yang tidak bisa apa-apa.” terang Syekh Siti  Jenar.
“Benar perkataan kisanak, Syekh.” Kebo Benowo mengagguk. “Namun  maksud tidak bisa apa-apa disini bahwa ilmu yang saya miliki jauh  dibawah kehebatan ilmu Syekh.”
“Ya,” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Itu bukan berarti bahwa saya  lebih hebat dari kisanak. Hanya kisanak belum menemukan ilmu yang  saya miliki.”
“Itulah yang saya inginkan dari Syekh. Beritahu saya cara  menemukan ilmu tadi.” ucap Kebo Benowo.
“Akan saya tunjukan. Ikutlah kisanak ke padepokan saya!” Syekh  Siti Jenar membalikan tubuhnya, kemudian melangkahkan kakinya  dengan tenang.
“Terimaksih, Syekh.” Kebo Benowo dan kedua temannya sangat senang  akan diberi ilmu hebat yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar. ***
Walisongo terus menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Sunan  Kalijaga berbeda cara dengan wali lainnya. Lebih menyukai berbaur  dengan rakyat kebanyakan, tanpa mengenakan pakaian serba putih seperti yang lainnya.
“Kanjeng Sunan Kalijaga, ternyata pendekatan budaya lebih bisa  diterima ketimbang hanya membawa pesan belaka.” ujar Sunan  Bonang.

Tiada ulasan: