Catatan Popular

Isnin, 23 Mei 2016

HIKAM AL HADDAD 3 : HIKMAT ILAHI PADA PENCIPTAAAN HAL-HAL YANG BERLAWANAN



Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah,

Oleh  Al-Imam Abdullah Al-Hadad.r.a {Pengasas Tarekat Haddadiyah}

Adakalanya seseorang yang lemah bashirah1-nya memandang kepada alam ini lalu melihat berbagai hal yang saling berlawanan. Seperti adanya cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kejahatan, perbaikan dan perusakan, manfaat dan mudarat, dan lain sebagainya. Mungkin ia membisikkan dalam hatinya atau menggambarkan dalam angan-angannya bahwa seandainya dalam alam ini hanya ada cahaya, kebaikan, perbaikan, dan manfaat saja, niscaya akan lebih utama dan lebih baik. Mungkin pula akan timbul protes atau sanggahan dari orang itu terhadap Allah Swt.

karena telah menciptakan sifat-sifat dan keadaan yang berlawanan dengan itu semua. Ia mengira bahwa ke-wujud2-an hal-hal itu semuanya tak ada artinya dan penciptaannya pun tidak ada hikmahnya. Itu hanya menunjukkan kejahilan, kebodohan, dan kelengahan dari orang yang berangan-angan tersebut. Sebab, Allah Swt. (bagi-Nya segala puji) adalah yang paling bijak di antara para bijak bestari. Dialah Tuhan yang memiliki ilmu yang mutlak, tak terbatas, yang melingkungi segala sesuatu dari segenap arahnya. Dialah yang paling kuasa di antara semua yang kuasa, paling pengasih di antara semua pengasih. Dalam suatu atsar 3 disebutkan bahwa Allah Swt. berfirman:


Sesungguhnya Akulah Allah, tiada tuhan melainkan Aku. Telah Kuciptakan kebaikan dan kejahatan dan Kuciptakan masing-masing ahlinya bagi keduanya. Berbahagialah ia yang Kuciptakan untuk menjadi ahli kebaikan dan Kumunculkan kebaikan dari sisinya. Celakalah ia yang Kuciptakan untuk menjadi ahli kejahatan dan Kumunculkan kejahatan dari dalam dirinya. Kemudian, celakalah bagi siapa yang berkata, "mengapa, bagaimana". (Atsar ini dikutip dengan maknanya.)


Oleh sebab itu, orang yang mengatakan, "mengapa, bagaimana, dan seandainya", pada saat ia melihat hal-hal yang tidak ia ketahui alasannya dan tidak ia capai makna hikmahnya yang terkandung di dalamnya, dapat dinyatakan sebagai seorang yang menyanggah kebijaksanaan Allah dan melawan-Nya dalam tadbir4-Nya. Ketahuilah bahwa kewujudan alam ini yang disertai dengan adanya berbagai hal di dalamnya, yang saling berlawanan dan berlainan, adalah kewujudan yang paling sempuma dan paling baik.

Tiada sesuatu yang mencerminkan kebijakan dan mendatangkan kebaikan lebih besar daripadanya apabila dikaitkan dengan tujuan penciptaan alam dan sasaran yang hendak dicapai dengannya. Camkanlah hal ini.
Tak dapat dimungkiri bahwa alam ini dalam kewujudannya berada pada salah satu di antara empat keadaan:
1. Tetap seperti keadaannya sekarang, yakni dengan segala keberlawanan atau kontradiksi yang maujud kini.
2. Yang ada di dalamnya hanyalah kebaikan murni dan kemanfaatan semata-mata.
3. Yang ada di dalamnya hanyalah kejahatan dan kemudaratan semata-mata.
4. Tidak terwujudnya alam ini sama sekali.

Hanya empat keadaan ini saja, tidak ada kelimanya yang dapat dibayangkan dalam pikiran. Adapun seandainya alam ini dalam keadaan 'adam (tidak ada sama sekali, non existence), maka tidak akan dapat disebut sebagai sesuatu, tidak ada hakikat pada dirinya, dan oleh sebab itu tidak ada artinya sama sekali. Adapun seandainya yang ada di alam ini hanya kebaikan murni semata-mata, niscaya ia akan lumpuh disebabkan hikmah-hikmah dan maslahat segala sesuatunya akan menjadi batal dengan sendirinya. Alam seperti itu hanya berupa setengah kewujudan, dan dengan demikian takkan tercapai tujuannya yang memang dikehendaki dan diciptakan untuknya.

Adapun seandainya yang ada dalam alam ini hanyalah kejahatan dan kemudaratan semata-mata, niscaya ia tak ada gunanya dan tidak perlu ada.

Dari hasil pembahasan di atas dapat diketahui bahwa kondisi yang dapat disaksikan di alam sekarang adalah yang paling baik, paling sempuma, paling utama, dan paling patut. Dari uraian kami itu pula dapat dipahami makna persoalan yang disebutkan oleh Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali.rhm pada bagian tentang Tauhid dalam kitab Ulum Al-Din yang disimpulkannya dengan ungkapan:


"Tidak mungkin terwujud yang lebih indah (atau lebih sempurna) daripada yang telah terwujud."

Ucapan Imam Al-Ghazali.rhm itu mengandung kebenaran, dapat diterima baik, dan tak ada keberatan padanya. Meskipun demikian, tampaknya beliau (rahimahullah) agak berlebih-lebihan dalam penganalisisan dan penyimpulan masalah tersebut, sedangkan ruang untuk bahasannya terlalu sempit, sehingga susunan kalimatnya kurang mampu menjangkau makna sebenamya yang hendak dituju. Sebagai akibatnya, timbul kemusykilan dan ketidakjelasan. Adapun yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali memang benar, begitu pula maksud yang dikehendakinya amat mulia, meski juga pelik. Seperti itu pula yang dapat dikatakan mengenai masalah-masalah pelik lainnya. Jika seorang 'alim yang 'arif hendak menyampaikan pemahamannya kepada siapa yang bukan ahlinya, masalah tersebut akan bertambah tidak jelas dan musykil, dan jadilah si 'alim sasaran kecaman orang-orang yang tidak termasuk ahli dalam ilmu tersebut atau kurang mantap pijakan keilmuannya.

Ketahuilah pula bahwa dalam kewujudan alam ini, seperti apa adanya, terkandung berbagai petunjuk mengenai nama-nama Allah (al-asma' al-husna) dan sifat-sifat-Nya yang pengetahuan tentang itu semua tidak akan sempuma kecuali dengan keberadaan alam seperti keadaannya kini. Cahaya, sebagai contoh, tidak mungkin dikenali dengan selayaknya kecuali dengan sesuatu yang berlawanan dengannya, yakni kegelapan. Kebaikan, tidak mungkin dikenali kecuali dengan lawannya, yakni kejahatan. Demikian pula tentang perbaikan dan perusakan, manfaat dan mudarat, sehat dan sakit, dan segala sesuatu lainnya yang saling berlawanan dan berlainan.

Perhatikan baik-baik uraian kami dalam pasal ini. Sebab, ia termasuk di antara hikmah yang tinggi dan hakikat nan lembut, yang untuk menjelaskannya secara sempurna membutuhkan ucapan yang banyak dan uraian yang panjang. Sungguh Allah mengetahui yang benar dan menunjuki jalan yang lurus.

Tiada ulasan: