Catatan Popular

Ahad, 15 Mei 2016

TAFSIR SUFI IBN ARABI : SURAH AL FATIHAH

Tafsir ini disadur dari beberapa kitab tafsir irfani atau tafsir sufi.

Khususnya kitab tafsir Abdul Razzaq Kasyani yang biasanya dikenal dengan tafsir Ibn Arabi.

Sebagaimana dimaklumi bahwa surah alfatihah disebut dengan surah al-fatihah yaitu pembukaan, dan Bismillahirrahmanirrahim adalah pembukanya, dan pembukanya pembuka adalah Bismillah. Realitas alam ini muncul dengan perantara asma Ilahi. Maksudnya asma Ilahi merupakan sebab munculnya alam. 

Dalam Bismillahirrahmanirrahim, ada 3 asma Tuhan, yaitu Allah yang disebut ismul jami' (yaitu Nama yang meliputi seluruh nama2; surah al-isra;110), Arrahman, sifat umum yg meliputi dunia dan akhirat, Arrahim sifat khusus yang dikhususkan pada akhirat. Karena itu segala realitas alam ini muncul dengan Bismillahirrahmanirrahim atau tiga asma Ilahi tersebut, yaitu Allah dan kemudian terinci dengan Arrahman dan ArrahimBismillah (bi ismi Allah), Jadi ada 'ba' ada 'ism' dan ada 'Allah swt'. Kenapa tdk langsung (bi Allah = Billah) tapi memakai perantara 'ism' ? Karena untuk membedakan sumpah (billah) dan selain sumpah (bismillah).

Pada bismillah ada asma Zat yaitu Allah swt, dan segala sesuatu berasal dari asma Zat tersebut, karena itu, manusia mesti mengawali sesuatu dengan bismillahirrahamanirrahim agar segala yg dilakukan memiliki pondasi Ilahiyah. Yaitu kesadaran bahwa sebuah perbuatan itu akan memiliki awal dan akhir jika didahului dengan bismillahirrahmanirrahim. Oleh karena itu, selain manusia, asma-asma Tuhan yang lain juga bertawasshul pada asma Allah swt; misalnya dalam do'a bismillahi-syafi, bismillahi-kafi, dan seterusnya. Karena itu ism Allah adalah maqam martabah uluhiyah yang meliputi seluruh kesempurnaan, seluruh entitas, suluruh asma-asma dan sifat-sifat Ilahiyah lainnya. Maka seluruh realitas alam adalah bentuk-bentuk dari ism Allah dan manifestasi-manifestasinya.
Bismillah yaitu bi ism Allah, seharusnya diantara huruf ' ba' dan 'sin' disitu ada alif, namun pada ayat tersebut tidak ada 'alif', jadi seharusnya tulisannya bi ismi Allah, bukan bismi Allah. Sebagaimana dalam surah al-alaq 'bi ismi rabbik', dalam surah al-alaq huruf alifnya tetap terjaga. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa huruf  'ba' adalah badal (pengganti) dari 'alif'. Pengganti disini maksudnya bahwa 'ba' digerakkan oleh 'alif', karena itu 'alif' seharusnya tidak ditengah karena 'alif' sebagai penggerak atau kuasa Ilahiyah, Jadi 'alif' mesti di depan (awal). karena itu 'Bismillah' maknanya adalah 'dengan' nama Allah. Maksudnya 'ba' disini bermakna perantara dari 'alif' dimana 'alif' sebagai hakekat pemberi eksistensi. Jadi 'alif' adalah pemberi zat realitas eksistensi, dan 'ba' pemberi sifat sehingga dibawah huruf 'ba' ada titik. Titik disini adalah segala entitas-entitas alam. Berdasarkan hal ini, Maka 'ba' meliputi tiga hal; bentuk, titik, dan gerak. Maksudnya bentuk 'ba' adalah alam malakutiyah, titiknya adalah alam jabarut, dan gerak adalah alam syahadah (materi). Alhamdulillahi rabbil 'alamin; (segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.) Kapan pujian itu berlaku ? Misalnya saya memuji si fulan, ketika ada sesuatu perbuatan yang baik dan indah keluar dari dirinya. Karena itu, pujian dilekatkan pada suatu perbuatan yang baik dan indah. 

Dalam 'al-hamdulillah', huruf 'alif dan 'lam' pada 'al', bisa bermakna 'ahd dan bisa juga bermakna 'istighraq'. Jika 'al' pada 'al-hamdulillah' bermakna 'aHd maka bermakna bahwa yang paling layak memuji Allah swt adalah hanya para makshumin dan para waliyullah. Jika bermakna 'istighraq' maka segala bentuk pujian dan apapun objek yang dipuji pasti kembali kepada Allah swt. 'al' pada makna kedua (istighraq) sejalan dengan beberapa ayat Qur'an, misalnya pada surah al-isra;44 (tidak ada sesuatu apapun terkecuali bertasbih dan memuji kepada Allah swt) karena itu jika ada sesuatu maka sesuatu tersebut mesti bertasbih dan memuji kepada Allah swt, tasbih dan pujiannya tentu sesuai dengan kadar eksistensinya. Kenapa demikian, karena segala sesuatu secara ontologi sadar bahwa Allah swt menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya ciptaan sebagaimana dalam surah assajdah;7. Oleh karenanya setelah basmalah; bahwa tiga asma pada basmalah menunjukkan bahwa segala sesuatu mewujud dengan ketiga asma tersebut maka segala pujian tentu hanya kepada Allah swt, dan karenanya pula Allah swt adalah rabbul 'alamin karena meliputi segala realitas alam semesta. Maksudnya bahwa Allah swt tidak hanya menciptakan segala realitas alam dengan basmalah, tapi menguasai dan memeliharanya, dimana menguasai dan memelihara ini adalah karekteristik dari 'Rabb' karena itu Rabbul 'alaminArrahmanirrahim; dua sifat Arrahman dan Arrahim terulang dalam surah alfatihah yaitu setelah Bismillah dan kedua setelah al-'alamin. Sebagian penafsir menjelaskan bahwa pengulangan ini bukan berarti menunjukkan ada makna yg beda antara yang pertama (setelah bismillah) dan yang kedua (setelah 'alamin). Karena itu pengulangan ini berfungsi sebagai ta'kid (penegasan) saja. 

Sebagian penafsir ada yang menjelaskan rahasia antara yang pertama dan yang kedua. 1) sebagian mengatakan, pengulangan ini berfungsi agar manusia senantiasa ikut mengulang-mengulang dalam qalbunya yaitu menjadikan dua asma tersebut sebagai zikirnya sehingga dirinya akan diliputi hidayah umum (Arrahman) dan hidayah khusus (Arrahim). 

Karena dengan pengulangan (zikir) tersebut akan memberikan efek eksistensi didalam diri. Coba perhatikan anak bayi, melalui pengulangan akhirnya ia pun bisa melafazkan kata-kata. 2) Arrahman dan Arrahim yang pertama dibawah naungan langsung asma Allah swt. Kemudian Arrahman dan Arrahim yang kedua dibawah naungan Rabbil 'alamin setelah alhamdu.

Karena itu Arrahman dan Arrahim yang pertama berkaitan dengan penciptaan dan yang kedua setelah penciptaan, maksudnya setelah kita memuji Tuhan (mensyukuri Tuhan) barulah kemudian kita mendapatkan Arrahman atau Arrahim. Karena itu Nabi Adam as, setelah beliau bersin beliau mengucapkan alhamdulillah, kemudian langsung di jawab oleh Allah swt 'semoga Allah merahmatimu wahai Adam' (rahimakallah ya adam). Malikiyaumiddin ; Pemilik hari akhir. Kata maliki pada ayat tersebut dibaca dalam beberapa bentuk, ada yg baca maaliki (dengan alif) sehingga maknanya; Allah swt dengan Rahman dan Rahimnya pemilik hari kiamat dimana pada saat itu tak ada lagi makhluk yg mengaku sebagai pemilik. Kemudian ada juga yg baca maliki (tanpa alif) sehingga maknanya Allah swt dengan Rahman dan Rahimnya pemilik dan penguasa pada hari kiamat dimana pada hari itu, pemilik dan penguasa hanya milik-Nya. Jika demikian, pertanyaannya adalah atas dasar apa pemilik dan penguasa dikhususkan pada hari kiamat ? Bukankah Dia pemilik segalanya dan pemilik segala sesuatu ? Lalu kenapa hanya hari akhir ? Alasannya karena akhirat adalah alam hakekat, alam dimana hijab-hijab telah tersingkap (yauma tublassarair ; hari dimana semua rahasia-rahasia tersingkap), karena itu diayat lain Allah swt berfirman; limanil mulkul yaum (siapakah pemilik hari (kiamat) ini ? Kemudian Allah swt sendiri menjawab 'lillahil wahidil qahhar (hanya milik Allah-lah Yang Maha Esa Lagi Maha Perkasa) karena tidak ada seorang pun yg mengaku sebagai pemilik pada hari kiamat.
Namun hal ini berbeda pada alam dunia, alam dunia adalah alam iktibari, alam simbolik. Maksudnya dijelaskan dengan perantara, misalnya bahasa atau simbol lainnya. Oleh karena itu, Meskipun secara ontologi (takwini) dunia dan segala sesuatu milik Allah swt, namun secara tasyri'I (ikhtiyar) manusia bisa saja mengaku memiliki sesuatu didunia ini sebagaimana yg kita saksikan pada namrud dan fir'aun. 

Namun diakhirat kelak, mereka akan sadar bahwa apa yg mereka yakini sebagai pemilik sesuatu di alam didunia semuanya hanya semu belaka. Disana mereka akan sadar bahwa pemilik hakiki hanya Allah swt.

akan pemilik hakiki hanya Allah swt. Iyyaka na'budu. Dalam bahasa arab, semestinya kata kerja lebih dahulu dari pada subjek. Karena itu secara kaidah semestinya na'budu iyyaka. Namun jika dibalik, berarti ada makna pengkhususan, maka maknanya; hanya kepadaMulah kami menyembah. Maksud dari ayat ini, setelah kita sadar (dengan kesadaran suluki) bahwa pemilik hakiki (maliki yaumiddin) hanya Allah swt, baik secara zat, sifat, dan perbuatan, maka pada saat itu tentu manusia menyaksikan bahwa hanya kepada-Nyalah manusia menyembah. Karena Dia lah pemilik hakiki. Setelah manusia sadar bahwa baik zat, sifat, dan perbuatan adalah milik Allah swt, berarti dirinya sadar bahwa dirinya bergantung secara totalitas kepada Allah swt. Maka pada saat itu pula manusia akan mengatakan bahwa hanya Engkau lah yg layak disembah, bukan karena yang lain.

Wa iyyaka nasta'in. Dengan adanya kesadaran suluki tersebut, bahwa Dia lah hakekat pemilik dan oleh karenanya manusia bergantung secara totalitas kepada Allah swt sehingga manusia menyadari bahwa Dia lah yang layak disembah, maka hanya kepada-Nyalah manusia meminta pertolongan. Maksudnya, dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari, manusia tentu berhadapan dengan sesuatu diluar dirinya, pada saat itu manusia mungkin saja terpengaruh dengan kenikmatan-kenikmatan dan kelezatan materi sehingga kesadaran suluki yg manusia dapatkan kembali pudar, maka hanya kepada-Nyalah manusia meminta pertolongan agar kesadaran suluki tersebut senantiasa hadir, sehingga manusia senantiasa hadir pada Ilahi, baik dalam kesendiriannya maupun bersama makhluk.

Ihdinasshirathalmustaqim; sebelum menjelaskan, kami ingin mengutip penjelasan Allamah Thabataba'I mengenai hidayah. Menurut beliau, hidayah itu ada dua, hidayah internal (dalam diri) dan hidayah eksternal (diluar diri). Hidayah internal adalah hal-hal yg bersifat fitrawi; yaitu akal dan qalbu. Sedangkan hidayah eksternal yaitu Qur'an dan para Makshumin. Dua hidayah tersebut mesti terkoneksi, Maksudnya, jika fitrah (hidayah internal) manusia dicederai dengan ketertarikan pada material maka akan menyebabkan dirinya tidak bisa mendapatkan hidayah eksternal. Karena fitrah adalah jembatan menuju eksternal. Sebaliknya, jika fitrah manusia terjaga (suci) maka dirinya mudah terkoneksi dengan hidayah eksternal. Berdasarkan hal ini, kesesatan itu ada dua, ada internal (fitrah yang telah terikat pada materi) dan eksternal (setan dan bala tentaranya).

Jika fitrah manusia mati maka dirinya sangat mudah menerima keburukan-keburukan eksternal. [Tunjukkanlah kami ke jalan yg lurus, yaitu jalan orang2 yg telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yg dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yg sesat] ayat Ihdinasshirathalmustaqim setelah iyyakana'budu wa iyyakanasta'in. Pertanyaannya mengapa ayat ihdinasshiratal mustaqim setelah ayat iyyakana'budu wa iyyakanasta'in. Padahal kita bisa menyembah Allah swt setelah kita mendapatkan hidayah dari-Nya. Dalam kata lain, penyembahan mesti diawali sebelumnya dengan hidayah. Oleh karena itu, jika ihdinasshirathalmustaqim setelah ayat iyyakana'budu wa iyyakanastain maka hidayah yg dimaksud disini adalah hidayah yg terus menerus hidup di dalam fitrah manusia. Karena jika fitrah ini mati maka tak ada jalan menuju hidayah realitas eksternal. Inilah rahasia mengapa Qur'an mengatakan zalikal kitabu la rayba fihi Hudan lilmuttaqin. Qur'an itu petunjuk bagi org yang bertaqwa, karena syarat ketaqwaan mesti memiliki fitrah yang sehat. Jika fitrahnya tdk sehat maka dia tdk memiliki ketaqwaan dan jika tidak memiliki ketaqwaan maka jalan menuju Qur'an itu tertutup. Karena, jika dengan fitrah yg kotor mencoba memaknai Qur'an, maka alih-alih ia mendapatkan hidayah, yang ia dapatkan justru kesesatan. Lihat bagaimana marksisme menafsirkan Qur'an. Qul huwallahu ahad memaknai 'ahad' dengan masyarakat komunal.
Tunjukkanlah (hidayahilah) kami jalan yg lurus. 

Dari ayat lain dapat dipahami bahwa ada jalan lain selain jalan shirathal mustaqim yaitu jalan syaitan. Misalnya pada surah yasin;60-61. Dijelaskan 'janganlah menyembah syaitan' . . . 'Sembahlah Aku, sesungguhnya ini jalan yg lurus (shirathal mustaqim)'. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa 'menyembah' bermakna sebuah jalan. Dan karena menyembah itu bisa pada Allah dan juga bisa pada syaithan, maka jalan pun ada dua, ada jalan lurus yaitu menyembah Allah swt dan ada jalan sesat yaitu menyembah syaithan. Namun sebenarnya pembagian pada dua jalan ini hanya iktibari (tidak hakiki) karena yg ada hanya shirathal mustaqim. Karena itu dalam ayat itu dijelaskan bahwa sesungguhnya syaitan adalah musuhmu yg nyata. Namun karena manusia tertipu oleh syaitan, maka manusia tdk menganggapnya sebagai musuh, bahkan syaitan nampak dalam bentuk sosok yang dekat dengan diri kita (seperti teman, sahabat, dst). Oleh karena itu, jika manusia mengetahui hakekat syaitan bahwa syaithan adalah musuh yg nyata bagi manusia maka tak mungkin manusia menyembahnya. Karena tidak mungkin manusia menyembah musuhnya. Oleh karena itu, secara hakiki yang ada hanya ada shirathal mustaqim.

Dari sini dapat dipahami bahwa shirathal mustaqim adalah jalan Allah swt. Karena itu Shirathal mustaqim adalah jalan Allah swt. Maksud dari jalan Allah swt adalah tauhid. Jadi jalan lurus ini bisa juga diartikan dengan jalan yang satu (maksudnya hanya ada satu jalan) yaitu jalan tauhid. Jadi makna ayat 'ihdinasshirathal mustaqim' yaitu tetapkanlah kami atas hidayah dan teguhkanlah kami dengan istiqamah (mustaqim disini berasal dari kata istiqamah) pada jalan yang satu. Kemudian jalan yg satu ini dijelaskan pada ayat selanjutnya 'shirathallazina an'amta alaihim' yaitu jalan yang diberikan nikmat atas mereka, yaitu para anbiya,syuhada, shiddiqin, dan para auliya. Mereka semua diberikan nikmat khusus rahimiyah yaitu makrifat, mahabbah, dan hidayah dikarenakan tauhid hakiki yang mereka miliki.

Ghairil maghdhubi alaihim (bukan jalan mereka yg dimurkai) wa la dhallin (bukan pula jln mereka yg sesat). Dari beberapa hadits yang dinukil, maksud dari ghairil maghdhubi alaihim adalah orang-orang yang hanya melihat aspek lahiriyah. Dan maksud dari wa la dhallin adalah orang-orang yang hanya melihat aspek batin. Maksud dari orang-orang yang pertama yaitu mereka yang mencukupkan dirinya pada jalan lahiriyah semata namun mereka terhijabi pada jalan nikmat rahimiyah dan pada nikmat qalbu. Sedangkan maksud dari orang-orang yang kedua adalah mereka yang hanya berjalan pada batin tanpa aspek lahiriyah yaitu mereka yg lalai dari lahiriyah.

Tiada ulasan: