Catatan Popular

Rabu, 26 Februari 2025

Kitab Ar Ruh Ibn Qayyim Al Jauziyah : Pertanyaan Keempat

Pertanyaan Keempat: Apakah Ruh Dapat Mati Ataukah yang Mati Hanya Jasad?


ORANG-ORANG BERBEDA pendapat tentang masalah ini. Segolongan mereka menyatakan bahwa ruh dapat mati dan merasakan kematian karena ruh (ruh) adalah nafs (jiwa), padahal setiap jiwa pasti akan me. rasakan kematian (kullu nafsin dzaiqatu-l-maut).

 

Mereka mengatakan bahwa ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu apa pun juga yang kekal, selain hanya Allah swt. semata. Allah swt. berfirman,

 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. ar-Rahman [55]: 26-27)

 

Allah swt. berfirman,

 

“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88)

 

Mereka menyatakan bahwa apabila malaikat saja mati, jiwa manusia (an-nafs al-basyariyyah) tentu jauh lebih layak untuk mati.

 

Mereka menyatakan bahwa Allah swt. telah berfirman tentang para penghuni neraka, bahwa mereka berkata,

 

“Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali…” (QS. al-Gafir [40]: 11)

 

Jadi, kematian pertama yang dimaksud di sini adalah kematian yang dapat disaksikan, yaitu kematian yang menimpa badan, sementara kematian yang kedua adalah kematian yang menimpa ruh.

 

Sementara itu, sebagian kelompok lain menyatakan bahwa ruh tidak dapat mati karena ruh diciptakan untuk hidup kekal. Adapun yang merasakan kematian hanya badan. Mereka menyatakan bahwa terdapat banyak hadis-hadis yang menjadi dalil yang menunjukkan akan adanya kenikmatan dan azab yang dirasakan oleh ruh setelah ia terpisah dari badan, sampai nanti Allah swt. mengembalikannya ke badan masing-masing. Kalau memang ruh mengalami kematian, tentu dapat dipastikan bahwa ruh tidak akan merasakan kenikmatan atau siksa. Allah swt. berfirman,

 

“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusu! mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Ali Imran [3]: 169-170)

 

Ayat ini menunjukkan secara pasti bahwa ruh-ruh mereka (para syuhada) telah terpisah dari jasad mereka yang telah merasakan kematian.

 

Jadi, sebenarnya yang lebih tepat yaitu: Kematian yang dialami jiwa (nafs) terjadi ketika jiwa terpisah dari jasad dan keluar darinya. Jika yang dimaksud dengan “kematian” yang seperti ini, maka benar jika dikatakan bahwa jiwa merasakan (dza‘iqah) kematian. Namun apabila yang dimaksud dengan kematian merupakan “kemusnahan” yang membuatnya menjadi tidak ada secara mutlak (adam mahdh), jiwa tidak dapat mengalami kematian dalam pengertian seperti itu. Alih-alih, jiwa akan tetap kekal setelah ia diciptakan, baik untuk kemudian merasakan nikmat maupun azab, penjelasan mengenai hal tersebut akan disampaikan nanti, insyaallah. Inilah yang disampaikan oleh nas bahwa jiwa akan mengalami semua itu sampai nanti Allah mengembalikannya ke dalam jasad.

 

Ahmad bin Husein al-Kindi menggubah syair tentang perbedaan pendapat dalam masalah ini, sebagai berikut.

 

Orang-orang berselisih tak dapat seiya sekata Kecuali bahwa nestapa memang menimpa Ada yang bilang jiwa manusia tetap lestari Ada yang bilang jiwa dan badan bersama mati

 

Apabila ada yang bertanya: Ketika sangkakala kiamat ditiup, apa. kah ruh akan tetap hidup seperti sebelumnya ataukah dia mati dulu kemudian hidup lagi?

 

Jawabannya adalah: Allah swt. berfirman,

 

“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. az Zumar [39]: 68)

 

Allah swt. telah mengecualikan makhluk tertentu baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi dari tiupan sangkakala itu. Ada yang berpendapat bahwa mereka yang dikecualikan itu adalah para syuhada, seperti pendapat dari Abu Hurairah ra., Ibnu “Abbas ra. dan Sa‘id bin Jubair ra.

 

Ada pula yang berpendapat bahwa mereka yang dikecualikan dari tiupan sangkakala itu adalah malaikat-malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Malaikat Maut (Izrail). Ini adalah pendapat Mugatil dan lainnya.

 

Ada pula pendapat lain yang menyatakan bahwa yang dikecualikan dari tiupan sangkakala itu adalah para bidadari (hur‘in) yang menghuni surga dan para penghuni surga lainnya, serta juga para penghuni neraka, yaitu para penghuni dan para penjaganya. Ini adalah pendapat Abu Ishaq bin Syaqila dari kalangan sahabat kami.

 

Imam Ahmad telah menyatakan bahwa para bidadari (har‘in) dan anak-anak surga (wildan) tidak mati ketika sangkakala ditiup.

 

Allah swt. telah mengabarkan tentang para penghuni surga,

 

“Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya, kecuali mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka.” (QS. Ad-Dukhan [44]: 56)

 

Ayat ini menjadi bukti yang menunjukkan bahwa para penghuni surga tidak pernah mengalami kematian, kecuali hanya kematian yang pertama di dunia. Apabila mereka memang mengalami kematian kedua, berarti ada dua kematian.

 

Adapun berkenaan dengan ucapan para penghuni neraka, “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali…” (QS. al-Gafir [40]: 11)

 

Ayat ini ditafsirkan oleh ayat lain yang terdapat dalam Surah al-Baqarah; yaitu firman Allah swt.,

 

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (QS. Al-Baqarah [2]: 28)

 

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah manusia yang semula dalam keadaan “mati” dalam bentuk nutfah di dalam tulang rusuk ayah-ayah mereka dan kemudian di dalam rahim ibu-ibu mereka. Kemudian Allah menghidupkan mereka Setelah itu. Lalu Allah mematikan mereka Kemudian Allah menghidupkan mereka di Hari Kebangkitan. Di sepanjang rangkaian kejadian itu tidak ada satu pun kematian yang menimpa ruh mereka sebelum Hari Kiamat karena kalau tidak begitu, tentu akan ada tiga kematian.

 

Ruh-ruh manusia memang akan kehilangan kesadaran (sha’qa)” ketika sangkakala ditiup, tetapi kejadian itu tidak begitu saja membuat mereka mati. Dalam sebuah hadis sahih dikatakan, “Manusia akan kehilangan kesadaran pada Hari Kiamat. Aku akan menjadi manusia pertama yang siuman. Pada saat itu kulihat Musa tengah memegang pilar Arsy. Aku tidak tahu apakah dia siuman sebelum aku, ataukah dia melewati pingsannya pada peristiwa di Thur Sina.

 

Inilah bentuk hilangnya kesadaran yang terjadi pada Hari Kiamat ketika Allah swt. datang untuk memutuskan segala urusan dan bumi bersinar karena cahaya-Nya. Pada saat itu, semua makhluk mengalami hilang kesadaran, sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat,

 

“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan.” (QS. Thur [52]: 45)

 

Apabila memang yang dimaksud dengan “sha’q” dalam ayat ini adalah “mati”, berarti ada satu kematian lain yang mereka alami.

 

Berkenaan dengan hal ini sudah ada banyak ulama yang mengingatkan kita semua. Abu “Abdillah al-Qurthubi menyatakan bahwa pengertian eksplisit dari hadis-hadis tersebut adalah bahwa yang terjadi pada Hari Kiamat adalah hilangnya kesadaran dalam bentuk “pingsan” (ghasy), bukan hilangnya kesadaran karena kematian, yang semua itu terjadi pada saat sangkakala ditiup.

 

Syekh kami yang bernama Ahmad bin “Umar pernah menyatakan bahwa pengertian eksplisit hadis-hadis tersebut di atas menjadi dalil yang menunjukkan bahwa hilangnya kesadaran (sha’iqah) yang terjadi pada saat itu, sesungguhnya terjadi setelah tiupan sangkakala yang kedua, yaitu tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts). Sementara nas al-Quran jelas menunjukkan bahwa pengecualian itu terjadi setelah tiupan yang menghilangkan kesadaran semua manusia (nafkhah ash-shaq).

 

Berkenaan dengan pengertian ini, seorang ulama menyatakan bahwa ada kemungkinan Musa as. termasuk Nabi yang tidak mati. Akan tetapi, pendapat ini adalah pendapat yang batil.

 

Qadhi ‘Iyadh menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa yang dimaksud “hilang kesadaran” (sha’q) di sini adalah “keterkejutan” yang terjadi setelah kebangkitan manusia di saat langit dan bumi terbelah. Jadi, semua hadis-hadis dan ayat bersifat mandiri dan berdiri sendiri.

 

Akan tetapi, pendapat ini ditolak oleh Abul ‘Abbas al-Qurthubi yang menyatakan bahwa pendapat di atas dibantah oleh hadis-hadis sahih yang menyatakan bahwa ketika Rasulullah saw. keluar dari makam beliau, beliau melihat Musa sedang memegang pilar Arsy. Dia menyatakan bahwa hal itu terjadi ketika tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts) terjadi.

 

Abu ‘Abdillah menyatakan bahwa syekh kami Ahmad bin ‘Umar menjelaskan bahwa yang dapat menghilangkan kemuskilan dalam masalah ini—insya’allah—adalah bahwa “kematian” terjadi bukan dengan hilang musnahnya makhluk yang mengalaminya, tetapi hanya berupa “perpindahan” dari satu keadaan ke keadaan lainnya.

 

Salah satu dalil yang menunjukkan hal itu yaitu adanya fakta bahwa para syuhada “tetap hidup di sisi Rabb mereka” setelah mereka “terbunuh dan mati”. Bahkan mereka senantiasa dilimpahi rezeki dan penuh kegembiraan. Padahal, semua itu merupakan salah satu ciri bagi orang-orang yang hidup di dunia. Kalau hal seperti itu saja dapat terjadi pada diri para syuhada, tentu saja para nabi jauh lebih layak untuk mengalami hal tersebut. Sementara ada hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa bumi tidak pernah mau memakan (menghancurkan) jasad para nabi.

 

Selain itu, telah diketahui pula bahwa Rasulullah saw. berkumpul dengan semua nabi lain pada saat Isra’ di Baitul Maqdis, sebagaimana beliau juga berjumpa dengan beberapa nabi lain di langit, seperti Musa as. Rasulullah saw. juga mengabarkan bahwa tidak ada seorang muslim pun yang mengucapkan salam kepada beliau, kecuali Allah swt. seketika itu juga mengembalikan ruh beliau, sehingga beliau dapat menjawab salam itu. Dan masih banyak lagi dalil lain yang semuanya menghasilkan kepastian bahwa “kematian” yang dialami para nabi sebenarnya, berarti bahwa mereka “digaibkan” dari kita karena kita menjadi tidak dapat mengetahui di manakah mereka berada, walaupun sebelumnya, mereka benar-benar ada sebagai sosok manusia hidup. Kondisi seperti; ini sebenarnya sama seperti yang terjadi pada para malaikat yang mereka semua benar-benar “hidup” dan “ada” tetapi kita tidak dapat melihat para malaikat itu.

 

Apabila telah dapat dipastikan bahwa mereka semua hidup, ketika sangkakala ditiup, sebagai tiupan yang menghilangkan kesadaran se. mua manusia (nafkhah ash-sha’q), seketika itu juga hilanglah kesadaran semua makhluk yang ada di langit dan bumi, kecuali hanya mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk tidak mengalami hilang kesadaran,

 

Dari sini dapat diketahui bahwa yang dimaksud “hilang kesadaran” (sha’q) pada para nabi adalah “pingsan” (ghasyyah). Nanti ketika tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts) terjadi, semua makhluk yang sebelumnya “mati” akan kembali “hidup”, sementara para makhluk yang sebelumnya “pingsan” akan kembali “siuman”.

 

Itulah sebabnya Rasulullah saw. menyatakan dalam sebuah hadis sahih muttafaq ‘alaih, “Aku akan menjadi manusia pertama yang siuman.” Nabi kita itulah yang akan menjadi manusia pertama yang keluar dari kubur beliau sebelum semua manusia lain, kecuali Musa as. tetapi sampai di sini muncul keraguan apakah Musa as. dibangkitkan sebelum Rasulullah saw. dari kondisi hilangnya kesadaran beliau ataukah Musa as. memang tetap seperti itu dalam kondisi sadar yang dia alami sebelum terjadinya tiupan yang menyebabkan hilangnya kesadaran (nafkhah ash-sha’q) karena Musa telah mengalami hilang kesadaran pada peristiwa di Thur Sina. Dan itu menjadi sebuah keutamaan besar yang dimiliki Musa as. Walaupun tidaklah satu keutamaan yang dimiliki Musa as., itu tidak serta-merta mengungguli keutamaan mutlak yang dimiliki Rasulullah Muhammad saw. karena sesuatu yang bersifat parsial tidak langsung berlaku secara umum.

 

Abu ‘Abdillah al-Qurthubi menyatakan bahwa apabila isi hadis-hadis ini diartikan sebagai “hilangnya kesadaran” para makhluk di saat Hari Kiamat terjadi, tidak ada kemuskilan yang muncul. Akan tetapi, apabila isi hadis-hadis ini diartikan sebagai hilangnya kesadaran karena kematian (sha’qah al-maut) yang terjadi ketika sangkakala ditiup, yang dimaksud yaitu penjelasan tentang permulaan Hari Kiamat.

 

Artinya, ketika sangkakala ditiup sebagai tiupan pembangkitan (nafkhah al-ba’ts) Rasulullah adalah manusia pertama yang “mengangkat kepala”. Pada saat itu, Musa as. memegang salah satu pilar Arsy, tanpa Rasulullah saw. mengetahui apakah Musa as. lebih dulu siuman sebelum beliau, ataukah Musa as. melewati pingsannya di Thur Sina.

 

Menurut pendapat penulis, isi hadis-hadis tersebut di atas yang diartikan seperti ini (maksudnya, menurut pendapat Abu Abdillah al-Qurthubi) tidaklah tepat karena Rasulullah saw. ragu apakah Musa as. siuman sebelum beliau, ataukah Musa as. sama sekali tidak mengalami hilang kesadaran.

 

Dalam hadis-hadis itu dikatakan “Aku adalah manusia pertama yang siuman.” Sabda Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. termasuk manusia yang akan mengalami hilang kesadaran seperti manusia lainnya. Sementara keraguan beliau muncul menyangkut Musa as., yaitu apakah Musa as. mengalami hilang kesadaran lalu siuman sebelum beliau dari pingsannya, ataukah Musa as. sama sekali tidak mengalami hilang kesadaran.

 

Apabila yang dimaksud di sini adalah peristiwa hilangnya kesadaran yang pertama (ash-sha’qah al-ula), yaitu hilangnya kesadaran karena kematian (sha’qah maut), Rasulullah saw. memang telah memastikan kematiannya, lalu beliau ragu apakah Musa as. “mati” ataukah “tidak mati”. Tentu saja, pengertian seperti ini adalah pengertian yang batil ditinjau dari beberapa segi karena telah diketahui bahwa “hilang kesadaran” (sha’qah) yang disebutkan di sini adalah hilangnya kesadaran karena keterkejutan (sha’qah faza’), bukan hilangnya kesadaran karena kematian (sha’qah maut).

 

Jadi, ayat ini tidak menunjukkan bahwa ruh-ruh manusia semuanya mengalami kematian pada tiupan sangkakala pertama (an-nafkhah al-ula). Ya, ayat ini memang menunjukkan kematian yang dialami semua makhluk ketika terjadinya tiupan sangkakala pertama (an-nafkhah al-ula) dan juga semua yang belum merasakan kematian sebelumnya. Mereka semua akan merasakan kematian pada saat itu. Adapun bagi makhluk yang telah merasakan kematian atau makhluk yang belum ditetapkan kematian pada mereka, ayat ini tidak menunjukkan bahwa terjadi kematian yang kedua. Wallahu a’lam.

 

Apabila ada yang bertanya: Bagaimana pendapat kalian mengenai sabda Rasulullah saw. dalam hadis, “Manusia akan kehilangan kesadaran pada Hari Kiamat. Aku akan menjadi manusia pertama yang siuman. Pada saat itu kulihat Musa tengah memegang pilar arsy? (HR. al-Bukhari).

 

Jawaban atas pertanyaan itu yaitu: Tidak diragukan lagi bahwa lafal hadis-hadis tersebut memang seperti itu dan dari lafal itulah muncul kemuskilan. Akan tetapi, sebenarnya di dalam hadis-hadis itu telah masuk kalimat yang berasal dari hadis-hadis lain, sehingga terjadi tumpang tindih antara dua lafal yang memunculkan hadis-hadis ini. Kedua hadis-hadis itu berbunyi:

 

* Pertama: “Sesungguhnya manusia mengalami hilang kesadaran pada Hari Kiamat, lalu aku menjadi manusia pertama yang siuman.” (AR. al-Bukhari).

 

* Kedua: “Aku adalah manusia pertama yang bumi terbelah karenanya di Hari Kiamat.”

 

Dalam riwayat Tirmidzi dan lainnya, pada hadis-hadis Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Aku adalah pemimPin anak-anak Adam di Hari Kiamat. Tidak ada kesombongan akan itu. Di tanganku ada panji-panji pujian (liwa ‘al-hamd) dan tidak ada kesombongan akan itu. Tidak ada satu pun nabi pada hari itu, Adam dan lainnya, kecuali berada di bawah panji-panjiku. Aku adalah manusia pertama yang bumi terbelah karenanya. Tidak ada kesombongan akan itu.” (HR. Tirmidzi).

 

Tirmidzi menyatakan bahwa hadis-hadis ini sahih.

 

Perawi hadis-hadis ini memasukkannya ke hadis-hadis lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh syekh kami Abul Hajjaj.

 

Apabila ada yang bertanya: Lantas bagaimana sikap kalian terhadap sabda Rasulullah saw., “Aku tidak tahu apakah dia (Musa as.) siuman sebelumku ataukah dia termasuk yang dikecualikan oleh Allah ‘azza wa jalla’’?

 

Mereka yang dikecualikan oleh Allah, yaitu mereka yang dikecualikan dari hilangnya kesadaran karena tiupan sangkakala (sha’qah an-nafkhah) bukan dari hilangnya kesadaran karena terjadinya Hari Kiamat. Sebagaimana yang Allah swt. firmankan, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” (QS. az-Zumar [39]: 68)

 

Akan tetapi, tidak ada pengecualian pada hilangnya kesadaran semua makhluk pada saat Hari Kiamat terjadi.

 

Jawaban atas pertanyaan di atas yaitu: Hadis-hadis tersebut—wallahu a’lam—tidak pernah dihafal dan merupakan bentuk kekeliruan yang berasal dari sebagian perawi. Adapun yang dihafal adalah bunyi hadis-hadis seperti yang disampaikan oleh berbagai riwayat yang sahih; yaitu dalam bentuk kalimat,

 

“Aku tidak tahu apakah dia siuman sebelum aku, ataukah dia melewati pingsannya pada peristiwa di Thur Sina.”

 

Sebagian perawi mengira bahwa hilangnya kesadaran atau pingsan yang disebutkan dalam hadis-hadis ini adalah hilangnya kesadaran karena tiupan sangkakala (sha’qah an-nafkhah) dan Musa as. termasuk manusia yang dikecualikan dari kejadian itu. Tentu saja, pengertian seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan kandungan hadis-hadis ini sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya “siuman” yang terjadi pada saat itu adalah “siuman kebangkitan” (ifaqah al-ba’ts). Jadi bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda, “Aku tidak tahu apakah dia dibangkitkan sebelum aku” ataukah dia melewati pingsannya pada peristiwa di Thur Sina.” Hendaklah ini direnungkan.

 

Kondisi ini berbeda dengan kondisi hilang kesadaran yang diaJami semua makhluk pada Hari Kiamat, yaitu ketika Allah swt. datang bertajali kepada mereka semua untuk menetapkan putusan terhadap hamba-hamba-Nya. Pada saat itu, mereka semua mengalami hilang kesadaran. Sementara Musa as., kalau dia tidak mengalami hilang kesadaran bersama makhluk lainnya, dia sudah merasakan hilangnya kesadaran ketika Allah bertajali kepada sebuah gunung dan membuat gunung itu hancur. Hilangnya kesadaran Musa as. pada saat itu dianggap sebagai pengganti dari peristiwa hilangnya kesadaran semua makhluk ketika Allah bertajali pada Hari Kiamat. Silakan Anda merenungkan perkara yang agung ini.

 

Walaupun dalam jawaban ini hanya memuat penjelasan hadis-hadis tersebut di atas, akan tetapi tepat jika hal ini harus “digigit kuat-kuat menggunakan gigi geraham”. Wa lillahi-l-hamd wa-l-minnah wa bihi-t-taufiq.


Tiada ulasan: