Pertanyaan Ketiga: Apakah Ruh Orang-Orang yang Masih Hidup Dapat Bertemu dengan Arwah Orang-Orang Mati?
BUKTI-BUKTI YANG menjawab pertanyaan ini, berikut dalil-dalilnya sangatlah banyak sehingga hanya Allah taala yang dapat menghitung semuanya. Perasaan dan kenyataan menjadi saksi yang paling adil mengenai masalah ini. Jadi, ruh orang-orang yang masih hidup memang dapat bertemu dengan arwah orang-orang yang sudah meninggal dunia, sebagaimana ruh orang-orang yang masih hidup dapat pula bertemu dengan arwah orang-orang yang masih hidup. Allah swt. berfirman,
“Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (mewafatkan) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Abu Abdillah bin Mandah berkata: Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim menuturkan kepada kami, Abdullah bin Hasan al-Harani menuturkan kepada kami, “Kakekku Ahmad bin Abu Syu’aib menuturkan kepadaku, Musa bin A’yan menuturkan kepada kami, dari Mutharrif, dari Ja’far bin Abul Mughirah, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai ayat tersebut di atas, dia berkata, ‘Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ruh orang-orang yang masih hidup dan arwah orang-orang yang sudah mati dapat bertemu dalam mimpi, lalu mereka saling bertanya. Akan tetapi, Allah menahan ruh orang-orang yang sudah mati dan Dia melepaskan ruh-ruh orang-orang yang masih hidup ke tubuh mereka.’’
Ibnu Abi Hatim berkata dalam tafsirnya: Abdullah bin Sulaiman menuturkan kepada kami, Husein menuturkan kepada kami, ‘Amir menuturkan kepada kami, Asbath menuturkan kepada kami, dari as-Sa’di mengenai firman Allah, “Dan jiwa yang belum mati di dalam tidurnya.” (QS. az-Zumar [39]: 42)
Dia berkata, “Allah mewafatkan jiwa dalam tidurnya, lalu ruh orang yang masih hidup bertemu dengan ruh orang yang sudah mati, sehingga mereka dapat saling mengingatkan dan saling mengenal. Setelah itu, ruh orang yang masih hidup kembali ke dalam jasadnya di dunia sampai kelak ajalnya tiba. Sementara ruh orang yang sudah mati juga ingin untuk kembali ke tubuhnya, tetapi ia ditahan.”
Ini adalah salah satu di antara dua pendapat mengenai ayat tersebut di atas, yaitu bahwa ruh yang dipegang (ditahan) adalah ruh orang yang wafat dalam wafat kematian (wafat al-maut). Sementara ruh yang dilepaskan adalah ruh orang yang wafat dalam wafat tidur (wafat an-naum).
Pengertian berdasarkan pernyataan ini, yaitu bahwa Allah swt. mewafatkan jiwa orang yang sudah mati, lalu dia memegangnya (menahannya) dengan tidak melepaskannya ke dalam tubuhnya sebelum Hari Kiamat. Dan Allah swt. mewafatkan jiwa orang yang sedang tidur, kemudian Dia melepaskannya ke tubuhnya sampai tiba ajalnya. Ketika ajalnya tiba, barulah Allah swt. akan mewafatkannya dengan wafat yang lain (yaitu wafat kematian/wafat al-maut).
Pendapat kedua mengenai ayat di atas, yaitu ruh yang dipegang (ditahan) dan ruh yang dilepaskan dalam ayat tersebut, keduanya merupakan ruh yang mengalami wafat tidur (wafat an-naum). Akan tetapi, bagi ruh yang telah menggenapi ajalnya, maka Allah memegangnya (menahannya) di sisi-Nya dan tidak mengembalikannya ke jasadnya.
Sedangkan ruh yang belum menggenapi ajalnya, Dia kembalikan ruh itu ke tubuhnya untuk menggenapi ajal tersebut.
Syaikhul Islam memilih pendapat ini dan mengatakan bahwa hal ini telah ditunjukkan oleh dalil dari al-Quran dan sunah. Allah swt, telah menyebutkan dipegangnya (ditahannya) ruh yang tiba kematiannya di antara jiwa-jiwa manusia yang Dia wafatkan dalam wafat tidur (wafat an-naum). Adapun ruh yang Dia wafatkan di saat kematiannya, Dia tidak menyebutkan bahwa ruh itu dipegang (ditahan) ataupun dilepaskan. Alih-alih, ruh seperti itu merupakan ruh jenis yang ketiga.”
Yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama karena Allah swt. telah memberi tahu adanya dua jenis wafat, yaitu: 1.Wafat besar (wafat kubra); yaitu wafat kematian (wafat al-maut) dan 2.Wafat kecil (wafat shughra); yaitu wafat tidur (wafat an-naum).
Arwah terbagi menjadi dua golongan:
1. Golongan ruh yang dimatikan. Allah memegang (menahan) ruh-ruh ini di sisi-Nya, yaitu ruh-ruh yang Dia wafatkan dengan wafat kematian (wafat al-maut).
2. Golongan ruh yang masih memiliki sisa ajal. Allah mengembalikan ruh jenis ini ke tubuhnya sampai dia menggenapi ajalnya.
Allah swt. telah menjadikan tindakan-Nya memegang (menahan) dan melepaskan sebagai dua ketetapan hukum bagi kedua jenis wafat yang telah disebutkan tadi. Yang satu dipegang (ditahan) dan yang satu dilepaskan.
Allah swt. juga memberi tahu bahwa ruh yang belum mati adalah ruh yang Dia wafatkan dalam tidurnya. Kalau memang benar bahwa Allah swt. membagi wafat tidur (wafat an-naum) menjadi dua, wafat kematian (wafat maut) dan wafat tidur (wafat naum), tentu saja Dia tidak akan menggunakan kalimat “Dan jiwa yang belum mati” karena ketika jiwa seseorang direnggut, maka itulah kematiannya. Namun Allah swt. menyatakan bahwa jiwa yang seperti itu “Belum mati”; jadi bagaimana mungkin dia menyatakan setelah kalimat tadi, “Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya?”
Bagi orang yang mendukung pendapat ini hendaklah menyatakan bahwa firman Allah swt., “Dia tahanlah jiwa yang telah Dia tetapkan kematiannya,” terjadi setelah Dia mewafatkan jiwa yang bersangkutan dengan wafat tidur (wafat an-naum). Jadi, Allah swt. mula-mula mewafatkan jiwa dengan wafat tidur (wafat an-naum), lalu Dia menetapkan kematian pada jiwa yang bersangkutan itu setelah itu (ketika ajalnya tiba—Penj.).
Jadi, penjelasan atas ayat ini menunjukkan bahwa ayat ini memang merangkum dua jenis jiwa, dikarenakan Allah swt. menyebutkan adanya dua jenis wafat, wafat tidur (wafat naum) dan wafat kematian (wafat maut). Allah swt. juga menyatakan tentang dipegangnya (ditahannya) jiwa-jiwa yang diwafatkan dan dilepaskannya jiwa-jiwa yang lain (yang belum tiba ajalnya—Penj.). Telah diketahui pula bahwa Allah swt. memegang (menahan) setiap jiwa yang mati (nafs mayyit), baik yang mati dalam tidur maupun yang “mati” dalam jaga. Dan Dia melepaskan jiwa yang belum mati. Jadi, pernyataan Allah “Allah mewafatkan jiwa ketika matinya” maksudnya yaitu jiwa yang mati dalam jaga dan jiwa yang mati dalam tidur.
Dalil lain yang menunjukkan adanya pertemuan antara arwah orang-orang yang masih hidup dengan arwah orang-orang yang sudah mati, yaitu adanya kenyataan bahwa orang hidup dapat melihat orang yang sudah mati dalam mimpi. Kemudian, orang hidup itu bertanya tentang berbagai berita kepada si orang yang sudah mati. Lalu, si orang mati itu mengabari si orang hidup mengenai berbagai hal yang tidak diketahui oleh orang hidup. Kabar berita yang disampaikan oleh orang yang sudah mati itu dapat mengenai hal-hal yang sudah berlalu dan dapat pula mengenai hal-hal yang akan datang. Orang yang sudah mati dapat mengabari orang hidup tentang suatu harta yang dia pendam di suatu tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun selain dia. Mungkin pula orang yang sudah mati mengabarkan tentang utang yang belum dilunasinya, lengkap dengan berbagai bukti dan saksi.
Bukti yang lebih kuat dari itu, yaitu ketika orang yang sudah mati mengabari orang yang masih hidup tentang perbuatan yang ia lakukan yang tidak pernah diketahui oleh siapa pun. Bahkan ada orang mati yang mengabarkan kepada orang yang masih hidup bahwa si orang hidup itu kelak akan mendatangi si orang mati pada waktu sekian dan sekian. Lalu ternyata apa yang dikatakan si orang mati itu benar-benar terjadi. Orang mati juga mungkin saja mengabari orang hidup tentang berbagai hal yang si orang hidup tahu pasti bahwa tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali dirinya.
Kami telah menyampaikan kisah Sha’b bin Jatstsamah berikut perkataannya kepada ‘Auf bin Malik. Kami juga telah menyampaikan kisah Tsabit bin Qais bin Syammas berikut pemberitahuan yang dia sampaikan kepada orang yang melihat perisai miliknya dan utang yang ditanggungnya.
Ada pula kisah Shadaqah bin Sulaiman al-Ja’fari dan pemberitahuan ayahnya tentang apa yang dia lakukan sepeninggalnya. Ada pula kisah Syabib bin Syaibah dan ucapan ibunya kepadanya setelah kematiannya, “Jazakallahu khairan” serta talkin si ibu dengan ucapan La ilaha illallah. Ada pula kisah Fadhl bin Muwaffiq dengan ayahnya serta pemberitahuan kepadanya tentang pengetahuannya atas kunjungannya.,
Said bin Musayyab berkata, Abdullah bin Salam bertemu dengan Salman al-Farisi. Salah satu dari mereka berkata kepada yang lain, “Apabila engkau mati sebelum aku, temuilah aku dan kabari aku tentang apa yang engkau dapatkan dari Rabb-mu. Apabila aku yang mati sebelum engkau, aku akan menemuimu lalu kukabari engkau.”
Yang lain berkata, “Apakah orang-orang yang sudah mati dapat bertemu dengan orang-orang yang masih hidup?”
Dia menjawab, “Ya. Arwah mereka ada di dalam surga dan dapat bepergian ke mana pun sekehendaknya.”
Said lalu berkata, “Si Fulan akhirnya meninggal dunia. Dia pun menemui temannya dalam tidurnya, lalu dia berkata kepada temannya, ‘Bertawakallah dan bergembiralah. Aku tidak pernah melihat sesuatu apa pun sehebat tawakal.”
Abbas bin Abdul Muththalib berkata: Aku sangat ingin melihat Umar dalam mimpi karena sudah hampir setahun sejak aku terakhir melihatnya. Maka kulihat dia dalam mimpiku sedang mengusap keringat di dahinya seraya berkata, “Inilah masa kosongku. Sungguh tempatku nyaris berguncang kalau bukan karena aku bertemu dengan dia yang penuh kasih dan sayang.”
Ketika Syuraih bin “Abid ats-Tsumali mengalami sakratulmaut, Ghudhaif bin Harits mendatanginya lalu berkata, “Wahai Abul Hajjaj, jika engkau sanggup untuk mendatangi kami setelah engkau mati untuk mengabarkan tentang apa yang kau lihat, lakukanlah itu.”
Ia berkata, “Kata-kata seperti itu diterima di kalangan ahli fikih.”
Perawi melanjutkan, “Setelah itu, sekian lama waktu berlalu tanpa Ghudhaif melihat Syuraih, sampai akhirnya Ghudhaif melihat Syuraih dalam mimpinya. Ghudhaif bertanya kepada Syuraih, ‘Bukankah engkau sudah meninggal dunia?’
Syuraih menjawab, ‘Benar.’
Ghudhaif bertanya lagi, ‘Bagaimana kabarmu?’
Syuraih menjawab, ‘Rabb kami telah menghapuskan dosa-dosa kami dan tidak ada yang Dia binasakan di antara kami, kecuali hanya ahradh.’
Ghudhaif bertanya lagi, ‘Apakah ahradh itu?’
Syuraih menjawab, ‘Orang-orang yang ditunjuk jari dengan kejahatan.’”
‘Abdullah bin Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Aku melihat ayahku dalam tidurku setelah dia meninggal dunia, seakan-akan dia berada dalam sebuah taman. Dia lalu menyerahkan beberapa butir buah apel kepadaku yang kutakwil sebagai anak. Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Amal perbuatan apakah yang engkau dapati sebagai amal perbuatan yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Istighfar, wahai anakku.’”
Maslamah bin Abdul Malik melihat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz setelah Umar meninggal dunia. Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, laita syi’ri, dalam keadaan yang seperti apakah engkau setelah kematianmu?” ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjawab, “Wahai Maslamah, ini adalah masa kosongku. Demi Allah, aku tidak pernah beristirahat merasa nyaman, kecuali di saat ini.” Dia bertanya lagi, “Di manakah engkau wahai amirulmukminin?” Umar menjawab, “Bersama para Pemimpin Hidayah (aimmatul huda) di Surga ‘Adn.”
Shalih al-Barrad berkata, “Aku melihat Zurarah bin Aufa setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, ‘Rahimakallah (semoga Allah merahmatimu),?” apakah yang ditanyakan kepadamu, lalu apa jawabanmu?’ Akan tetapi, dia berpaling dariku, aku pun bertanya lagi kepadanya, ‘Apakah yang Allah lakukan terhadap dirimu?’ Dia menjawab, ‘Aku dimuliakan dengan kemurahan dan kemuliaan-Nya.’ Aku berkata, ‘Apakah Abul Ala menambah saudara Mutharrif?’ Dia menjawab, ‘Itu di derajat-derajat yang tinggi (ad-darajat al-‘uld).’ Aku bertanya lagi, ‘Amal perbuatan apakah yang paling utama yang kalian miliki?’ Dia menjawab, ‘Tawakal dan pendek angan-angan.’”
Malik bin Dinar berkata, “Aku melihat Muslim bin Yasar setelah dia meninggal dunia. Aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi dia tidak membalas salamku. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak membalas salamku?’ Dia menjawab, ‘Aku ini orang mati, jadi bagaimana aku dapat menjawab salammu?’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang engkau jumpai setelah kematian?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah kujumpai berbagai petaka dan guncangan besar yang hebat.’ Aku bertanya sekali lagi padanya, ‘Lalu apa setelah itu?’ Dia menjawab, ‘Apakah yang engkau lihat itu dari yang Maha Pemurah? Dia menerima segala kebaikan kami, mengampuni segala keburukan dan menanggung segala akibat.’”
Dia (perawi) berkata, “Lalu Malik bin Dinar terguncang sehingga dia jatuh pingsan. Setelah itu, dia sakit sampai hatinya terasa sempit dan dia pun meninggal dunia.”
Suhail saudara Hazm berkata, “Aku pernah melihat Malik bin Dinar setelah kematiannya. Aku berkata, ‘Wahai Abu Yahya, laita syi’ri apakah yang engkau bawa menghadap Allah?’ Dia menjawab, ‘Aku membawa dosa-dosa yang banyak yang kemudian dosa-dosa itu dihapus dariku oleh sangka baikku kepada Allah azza wa jalla.’’’
Ketika Raja’ bin Haywah meninggal dunia, seorang perempuan ahli ibadah melihatnya. Perempuan itu bertanya, ‘“Wahai Abul Miqdam, ke mana engkau akan pergi?” Raja’ menjawab, ‘“Kepada kebaikan. Akan tetapi, kami dikejutkan dengan sesuatu setelah kalian yang kami kira kiamat telah terjadi.” Perempuan itu bertanya, “Apakah yang menyebabkan hal itu?” Raja’ menjawab, “Jarrah dan para sahabatnya memasuki surga dengan berbagai bawaan berat mereka, sampai mereka berdesakkan di pintu surga.”
Jamil bin Murrah berkata, “Muwaffiq al-Ijli saudara dan sekaligus sahabat bagiku. Pada suatu hari, aku berkata kepadanya, ‘Siapa pun di antara kita yang meninggal lebih dulu, maka hendaklah dia mendatangi Siapa dari kita yang masih hidup untuk memberitahunya tentang ke mana dia.’ Beberapa waktu kemudian Muwarriq meninggal dunia. Istriku lalu bermimpi melihatnya seakan-akan dia mendatangi kami seperti dulu dia datang (di saat masih hidup). Dia lalu mengetuk pintu seperti dulu dia biasa mengetuk pintu (di saat masih hidup). Istriku berkata, ‘Aku lalu bangun dan kubukakan pintu untuknya seperti dulu aku biasa membukakan pintu untuknya. Kemudian kukatakan kepadanya, ‘Masuklah wahai Abul Mu’tamir sampai saudaramu datang.’ Dia menyahut, ‘Bagaimana mungkin aku dapat masuk sementara aku telah merasakan kematian? Sesungguhnya, aku datang untuk memberi tahu Jamil tentang apa yang Allah lakukan terhadapku. Jadi beri tahulah dia bahwa Allah telah menempatkan aku bersama golongan yang dekat dengan Allah (al-muqarrabun).’”
Ketika Muhammad bin Sirin meninggal dunia, salah seorang sahabatnya dirundung kesedihan yang parah, sampai suatu ketika sahabatnya itu melihatnya di dalam mimpi dengan penampilan yang bagus. Si sahabat pun berkata, “Wahai saudaraku, sungguh telah kulihat engkau dalam keadaan yang menyenangkanku. Bagaimanakah keadaan Hasan?” Muhammad bin Sirin menjawab, “Dia ditinggikan di atasku tujuh puluh derajat.” Si sahabat itu bertanya lagi, “Bagaimana bisa begitu, padahal kami semua melihat bahwa engkau lebih baik dibandingkan Hasan itu?” Muhammad bin Sirin menjawab, “Itu terjadi disebabkan kesedihannya yang panjang.”
Ibnu ‘Uyainah berkata, “Aku pernah melihat Sufyan ats-Tsauri dalam mimpi. Aku berkata kepadanya, ‘Berwasiatlah engkau kepadaku.’ Dia menjawab, ‘Kurangilah mengenal manusia!’”
‘Ammar bin Saif berkata, “Aku melihat Hasan bin Shalih dalam tidurku, lalu aku berkata kepadanya, ‘Sungguh aku berharap untuk berjumpa denganmu. Jadi apakah yang terjadi padamu untuk kau kabarkan kepada kami tentang kejadian itu?’ Hasan menjawab, ‘Bergembiralah karena sesungguhnya aku tidak melihat ada sesuatu apa pun yang melebihi sangka baik kepada Allah.’”
Ketika seorang ahli ibadah bernama Dhaigham meninggal dunia, seorang sahabatnya melihatnya di dalam mimpi. Dhaigham berkata, “Mengapa engkau tidak berdoa untukku?” Si sahabat itu pun menyampaikan suatu alasan. Dhaigham berkata lagi, “Seandainya saja engkau berdoa untukku, maka engkau telah menguntungkan dirimu.”
Setelah Rabi’ah meninggal dunia, salah seorang sahabat perempuan melihatnya di dalam mimpi dengan Rabi’ah mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra tebal (istabraq) dan kerudung yang terbuat darj sutra halus (sundus). Padahal ketika dikubur Rabi’ah dikafani dengan kain yang terbuat dari bulu dan kerudung yang terbuat dari wol. Si sahabat itu pun bertanya kepada Rabi’ah, “Apa yang terjadi dengan jubah yang kukafani engkau dengannya dan juga kerudung wol itu?” Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, semua itu telah ditanggalkan dariku laly digantikan untukku dengan apa yang engkau lihat sedang kukenakan ini. Kafanku telah dilipat lalu disegel padanya. Kemudian ia diangkat ke golongan yang ditinggikan (‘illiyyin) agar sempurna bagiku pahalanya di Hari Kiamat.” Si sahabat berkata lagi, “Apakah demi semua ini engkau dulu beramal ketika hidup di dunia?” Rabi’ah menjawab, “Tidaklah semua ini ketika kulihat selain bagian dari kemurahan Allah bagi para wali-Nya!”
Sahabat bertanya lagi, “Lantas bagaimana kabar “Abdah binti Abu Kilab?” Rabi’ah menjawab, “Jauh sekali, jauh sekali. Demi Allah dia mendahului kami ke derajat-derajat yang tinggi (ad-darajat al-’ula)!” Sahabatnya pun menukas, “Bagaimana bisa seperti itu? Padahal menurut orang banyak engkau jauh lebih ahli ibadah dibandingkan dia?” Rabi’ah menjawab, “Semua itu karena dia tidak pernah peduli dengan keadaannya di dunia di pagi ataupun di sore hari.”
Sahabatnya bertanya lagi, “Lantas apa yang terjadi pada Abu Malik?” Yang dia maksud adalah Dhaigham. Rabi’ah menjawab, “Allah tabaraka wa ta’ala memberinya rezeki kapan pun sekehendak-Nya.” Sahabatnya bertanya lagi, “Bagaimana kabar Bisyr bin Manshur?” Rabi’ah menjawab, “Sungguh beruntung, sungguh beruntung! Demi Allah dia diberi jauh lebih tinggi dari semua yang diharapkannya!” Si sahabat berkata lagi, “Kalau begitu, perintahkanlah aku untuk melakukan sesuatu yang dengan itu aku dapat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” Rabi’ah berkata, “Hendaklah engkau banyak berzikir mengingat Allah, niscaya engkau pasti akan membuat orang lain iri kepadamu di dalam kuburmu.”
Ketika seorang ahli ibadah yang bernama ‘Abdul ‘Aziz bin Sulaiman meninggal dunia, seorang sahabat melihatnya dengan mengenakan pakaian berwarna hijau. Sementara di kepalanya bertengger mahkota yang terbuat dari mutiara. Si sahabat itu lalu bertanya kepada ‘Abdul ‘Aziz, “Bagaimana keadaanmu setelah meninggalkan kami? Bagaimana kau dapati rasa kematian itu? Bagaimana engkau melihat segala urusan di sini?” ‘Abdul ‘Aziz menjawab, “Mengenai rasa kematian, janganlah engkau bertanya lagi soal beratnya petaka dan nestapanya. Hanya saja rahmat Allah telah menutup segala aib kami dan tidaklah kita bertemu, kecuali karena anugerah-Nya.”
Shalih bin Basyir berkata, “Setelah Atha’ as-Salimi meninggal dunia, aku melihatnya dalam mimpiku. Aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muhammad, bukankah engkau termasuk orang-orang yang sudah mati?’ Atha’ menjawab, ‘Benar!’ Aku bertanya lagi, ‘Ke dalam keadaan seperti apakah engkau dibawa setelah kematianmu?’ Atha’ menjawab, ‘Demi Allah aku dibawa kepada kebaikan yang sangat banyak dan kepada Rabb yang Maha Pengampun lagi Maha Berterima Kasih.’ Aku bertanya lagi, ‘Demi Allah engkau adalah orang yang merasakan kesedihan yang panjang di dunia!’ Atha’ tersenyum mendengar itu, lalu berkata, ‘Demi Allah, Dia telah memberi aku pengganti dari semua itu dengan ketenangan yang sangat panjang dan kesenangan yang kekal!’ Aku bertanya lagi kepadanya, ‘Di derajat yang manakah engkau sekarang berada?’ Atha’ menjawab, ‘Aku bersama mereka, orang-orang yang diberi nikmat dari kalangan para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada dan orang-orang saleh. Sungguh mereka adalah sebaik-baik teman.’”
Setelah ‘Ashim al-Jahdari meninggal dunia, salah seorang keluarganya melihatnya dalam mimpi. Orang itu bertanya, “Bukankah engkau sudah meninggal?” ‘Ashim menjawab, “Benar!” Orang itu bertanya lagi, “Demi Allah, aku berada di salah satu taman surga. Aku bersama beberapa orang sahabatku. Kami berkumpul di setiap malam Jumat dan pagi harinya menemui Bakar bin Abdullah al-Muzani, lalu kami mendengar berita-berita tentang kalian.” Orang itu bertanya lagi, “Apakah itu dengan jasad kalian ataukah ruh-ruh kalian?” Ashim menjawab, “Sangat tidak mungkin jasad kami! Jasad-jasad telah hancur. Sesungguhnya yang saling bertemu adalah ruh-ruh.”
Suatu ketika Fudhail bin ‘Iyadh muncul dalam mimpi. Dia berkata, “Aku tidak melihat hamba memiliki kebaikan apa pun dibandingkan Rabb-nya.”
Murrah al-Hamdani selalu rajin bersujud sampai-sampai tanah merusak dahinya. Ketika dia meninggal dunia, salah seorang keluarganya melihatnya di dalam mimpi dengan dahi Murrah berkilat seperti bintang terang (kaukab durriy). Orang itu pun bertanya kepada Murrah, “Apakah bekas yang kulihat di wajahmu itu?” Murrah menjawab, “Tempat sujudku yang rusak oleh tanah ini telah ditutupi cahaya.”
Orang itu bertanya lagi, “Seperti apakah tempatmu di akhirat?” Murrah menjawab, “Tempat terbaik. Sebuah tempat tinggal yang penghuninya tidak akan pernah berpindah darinya dan mereka tidak akan pernah mati.” Abu Ya’qub al-Qari’ berkata, “Aku pernah bermimpi melihat seorang lelaki kurus tinggi dan orang-orang mengikutinya. Aku pun ber. tanya, ‘Siapakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Uwais al-Qarani!’ Aku pun mengikutinya lalu aku berkata kepada Uwais, ‘Berwasiatlah engkay kepadaku, semoga Allah merahmatimu.’ Tetapi mendadak wajah Uwais berubah masam kepadaku. Aku pun berkata lagi kepadanya, ‘Wahai Orang yang dalam bimbingan, bimbinglah aku, semoga Allah merahmatimu.’ Uwais pun menghadapkan tubuhnya kepadaku lalu berkata, ‘Kejarlah rahmat Allah dari mahabah kepada-Nya. Hindarilah siksa-Nya dengan menjauhi maksiat pada-Nya. Janganlah pernah engkau berputus harapan kepada-Nya di tengah semua itu.’ Setelah itu Uwais berpaling lalu pergi meninggalkanku.”
Ibnus Sammak berkata, “Aku pernah melihat Mis’ar dalam mimpi., Aku berkata kepadanya, ‘Apakah amal perbuatan yang kau dapati sebagai yang paling afdal?’ Dia menjawab, ‘Majelis-majelis zikir!’”
‘Ajlah berkata, “Aku pernah melihat Salamah bin Kuhail dalam mimpi. Aku berkata kepadanya, ‘Amal perbuatan apakah yang kau dapat sebagai amal yang paling utama?’ Dia menjawab, ‘Bangun malam!’”
Abu Bakar bin Abu Maryam berkata, “Aku pernah melihat Wafa’ bin Bisyr dalam mimpi setelah dia meninggal. Aku berkata kepadanya, ‘Bagaimanakah keadaanmu wahai Wafa’?’ Dia menjawab, ‘Aku selamat setelah segala usaha keras.’ Aku bertanya lagi, ‘Amal perbuatan apakah yang kau dapat sebagai amal yang paling afdal?’ Dia menjawab, ‘Menangis karena takut kepada Allah “azza wa jalla.”
Laits bin Sa’d berkata, diriwayatkan dari Musa bin Wardan bahwa dia melihat Abdullah bin Abu Habibah dalam mimpi setelah Abdullah meninggal dunia. Dia berkata, “Ditunjukkan kepadaku segala kebaikan dan keburukanku, lalu kulihat pada kebaikan-kebaikanku terdapat buah delima yang kutemukan lalu kumakan. Dan kulihat pada keburukan-keburukanku dua helai sutra yang ada di kopiahku.”
Sunaid bin Dawud berkata: Keponakanku yang bernama Juwairiyah bin Asma’ berkata kepadaku, “Ketika kami berada ‘Abbadan, datanglah seorang pemuda ahli ibadah asal Kufah kepada kami. Pemuda itu kemudian meninggal di sana, di tengah cuaca yang sangat panas. Aku lalu berkata, ‘Ayolah kita tunggu agar cuaca agak dingin.’ Kami pun menunda mengurus jenazah pemuda ahli ibadah itu, sampai akhirnya aku tertidur. Dalam tidurku itu, aku bermimpi mendapati diriku seperti berada di tengah perkuburan. Di situ kulihat sebuah kubah yang terbuat dari permata indah berkilauan. Ketika kulihat kubah itu, tiba-tiba kubah tersebut terbelah lalu muncullah darinya sosok perempuan jelita yang tidak pernah kulihat perempuan secantik itu sebelumnya. Perempuan itu mendekatiku lalu berkata, ‘Demi Allah, janganlah engkau tahan pemuda itu dari kami sampai zuhur.’ Sontak aku terbangun karena terkejut. Aku langsung membereskan urusan jenazah pemuda itu. Kugali lubang kuburan untuknya persis di tempat yang Kulihat terdapat kubah dalam mimpiku, lalu kumakamkan jenazah pemuda itu di situ.”
Abdul Malik bin ‘Attab al-Laitsi berkata: Aku melihat ‘Amir bin ‘Abd Qais dalam mimpiku. Aku lalu bertanya kepadanya, “Amal perbuatan apakah yang menurutmu paling utama?” Dia menjawab, “Segala amal perbuatan yang hanya diniatkan untuk mendapat keridhaan Allah “azza wa jalla.”
Yazid bin Harun berkata: Aku pernah melihat Abul Ala Ayyub bin Miskin dalam mimpiku. Aku bertanya kepadanya, “Apa yang dilakukan Rabb-mu kepadamu?” Dia menjawab, “Dia mengampuni aku.” Aku bertanya lagi, “Dengan apakah gerangan Dia mengampunimu?” Dia menjawab, “Dengan puasa dan shalat.” Aku bertanya lagi, “Apakah engkau melihat Manshur bin Zadan?” Dia menjawab, “Mustahil! Hanya dapat kulihat istananya dari kejauhan.”
Yazid bin Na’amah berkata: Ketika wabah taun melanda, seorang perempuan meninggal. Ayah perempuan itu, lalu bertemu dengan perempuan itu setelah putrinya meninggal. Si ayah berkata, ‘“Wahai putriku, beri tahulah aku tentang akhirat.” Perempuan itu menjawab, “Wahai ayahku, kami menghadapi sebuah perkara yang sangat agung. Kami dapat mengetahui, tetapi tidak dapat melakukan amal perbuatan. Sementara kalian dapat melakukan amal perbuatan tetapi tidak mengetahui. Demi Allah, sesungguhnya satu ucapan tasbih atau dua ucapan tasbih; satu rakaat atau dua rakaat shalat yang tercatat di lembaran amalku, semua itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya.”
Katsir bin Murrah berkata: Aku pernah bermimpi kulihat diriku seakan memasuki sebuah derajat tinggi di dalam surga. Aku lalu berkeliling di situ dan aku takjub karenanya. Tiba-tiba aku berada di tengah wanita-wanita masjid di salah satu sudut surga itu. Kudatangi mereka lalu kuucapkan salam kepada mereka. Aku lalu berkata, “Dengan apakah kalian semua dapat mencapai derajat ini?” Para wanita itu menjawab, “Dengan banyak sujud dan kusairat.’’
Muzahim Maula “Umar bin “Abdul Aziz berkata, dari Fathimah binti Abdul Malik yang merupakan istri dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dia berkata, “Pada suatu malam ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz terbangun dari tidurnya. Dia lalu berkata, ‘Sungguh aku telah mengalami mimpi yang menakjubkan.’ Fathimah bertanya, ‘Ju’iltu fidak (kujadikan diriku sebagai tebusanmu), beri tahu aku apakah itu?’ ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjawab, ‘Aku tidak akan memberi tahumu tentang mimpi itu sampai nanti pagi datang.”
Ketika fajar menyingsing, ‘Umar pun keluar lalu melaksanakan shalat kemudian kembali ke tempatnya. Fathimah berkata, “Aku kira dia akan berkhalwat, aku lalu berkata kepadanya, ‘Beri tahulah aku tentang mimpi yang engkau alami itu.’”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Kulihat seakan-akan diriku telah didorong ke sebuah padang tanah hijau yang sangat luas seolah-olah padang itu adalah permadani hijau. Di situ terdapat sebuah istana putih mengilap laksana perak. Lalu tiba-tiba dari istana itu keluar sesosok makhluk yang kemudian berseru lantang, “Di manakah Muhammad bin ‘Abdullah bin Abdul Muththalib? Di manakah Rasulullah?” Dan muncullah Rasulullah saw. lalu beliau memasuki istana itu.
Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah Abu Bakar Shiddiq? Di manakah Ibnu Abi Quhafah?” Dan muncullah Abu Bakar lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah Umar bin Khaththab?” Dan muncullah Umar bin Khaththab lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah ‘Utsman bin ‘Affan?” Dan muncullah ‘Utsman bin ‘Affan lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah ‘Ali bin Abi Thalib?” Dan muncullah “Ali bin Abi Thalib lalu dia memasuki istana itu. Kemudian muncul lagi sosok lain dari istana itu, lalu sosok itu berseru lantang, “Di manakah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz?”
Sampai di situ Umar bin Abdul Aziz berkata: Aku pun bangkit lalu aku memasuki istana itu. Aku lalu didorong kepada Rasulullah saw. dengan banyak orang di sekeliling beliau. Lalu aku bertanya kepada diriku sendiri, “Di manakah aku dapat duduk?” Aku pun duduk di samping ‘Umar bin Khathab, ayahku. Lalu kulihat Abu Bakar berada di sebelah kanan Rasulullah saw. Umar di sebelah kiri Rasulullah saw. Lalu kulihat lagi Rasulullah saw., ternyata di antara Rasulullah saw. dan Abu Bakar ada sesosok lelaki. Aku pun bertanya, “Siapakah lelaki yang berada di antara Rasulullah saw. dan Abu Bakar itu?” Terdengarlah jawaban, “Itu adalah “Isa bin Maryam. Lalu kudengar suara tanpa rupa yang terdapat tirai cahaya antara aku dengan suara itu, ia berkata, “Wahai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, berpeganglah pada apa yang engkau telah berada di atasnya dan bertetap hatilah engkau pada apa yang engkau telah berada di atasnya.”
“Umar melanjutkan, “Setelah itu, sepertinya aku telah diizinkan untuk keluar. Aku pun bangkit, lalu aku keluar dari istana itu: Lalu aku menoleh ke belakangku, ternyata di sana ada ‘Utsman bin ‘Affan. Dia juga keluar dari istana itu seraya berkata, ‘Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menolongku.’ Lalu Kulihat ‘Ali bin Abi Thalib juga keluar dari istana itu seraya berkata, ‘Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah mengampuniku.’”
Said bin Abu ‘Arubah berkata, dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Aku pernah bermimpi melihat Rasulullah saw. bersama Abu Bakar dan ‘Umar bin Khathab sedang duduk bersama beliau. Aku lalu mengucap salam kepada mereka. kemudian aku duduk. Ketika aku duduk, lalu datanglah ‘Ali dan Mu’awiyah. Mereka berdua dimasukkan ke dalam sebuah rumah lalu didoronglah pintu itu untuk mereka berdua dan aku melihat semua itu. Dalam waktu yang singkat, kulihat ‘Ali keluar dari rumah itu seraya berkata, ‘Telah ditetapkan untukku, demi Pemilik Ka’bah!’ Dan tidak lama Setelah itu kulihat Muawiyah juga keluar dari rumah tersebut mengikuti Ali seraya berkata, ‘Aku telah diampuni, demi Pemilik Ka’bah!’”
Hammad berkata, dari Abu Hasyim: Seseorang mendatangi ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Orang itu berkata, “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw. dalam tidurku. Beliau bersama Abu Bakar di sebelah kanan dan Umar di sebelah kiri. Kemudian datanglah dua orang lelaki yang saling berseteru, sementara engkau duduk di depan beliau. Lalu Rasulullah bersabda kepadamu, “Wahai ‘Umar, kalau engkau ingin berbuat, berbuatlah seperti yang dilakukan dua orang ini!” Yang beliau maksud adalah Abu Bakar dan ‘Umar.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pun meminta orang itu bersumpah. Dia berkata, “Demi Allah, apakah engkau benar-benar mengalami mimpi seperti itu?” Orang itu menjawab pertanyaan ‘Umar itu dengan bersumpah dan ‘Umar pun menangis.
‘Abdurrahman bin Ghanm berkata: Aku melihat Mu‘adz bin Jabal tiga hari setelah dia meninggal dunia dengan mengendarai kuda be. lang-belang. Di belakangnya ada beberapa orang berkulit putih dengan mengenakan pakaian hijau yang juga mengendarai kuda belang. Mu‘adz berada di depan mereka seraya berkata,
“Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin [36]: 26-27)
Kemudian Mu‘adz menoleh ke kanan dan kirinya sembari berucap: Wahai Ibnu Rawahah, wahai Ibnu Mazh‘un!
“Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.’ Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.” (QS. az-Zumar [39]: 74)
Lalu dia menyalamiku dan mengucapkan salam kepadaku. Qabishah bin ‘Uqbah berkata: Aku melihat Sufyan ats-Tsauri dalam tidurku setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, “Apakah gerangan yang dilakukan Allah terhadapmu?” Dia menjawab dengan syair berikut ini:
Kulihat Rabb-ku dengan mataku, Dia berkata “Selamat dengan ridha-Ku untukmu Ibnu Sa’id Kau berdiri shalat ketika malam gelap datang Dengan Rata sedih serta kalbu pendamba Jadilah pilihlah olehmu istana yang kau mau Sambangi kuu karena Aku tak jauh darimu!”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata: Aku pernah bermimpi melihat Sufyan ats-Tsauri setelah dia meninggal dunia. Dia terbang di surga dari satu pokok kurma ke pohon lainnya. Lalu dari satu pohon ke pokok kurma seraya berkata,
“Untuk yang serupa ini hendaklah beramal orang-orang yang beramal.” (QS. ash-Saffat [37]: 61)
Lalu dia ditanya, “Dengan apakah engkau dimasukkan ke dalam surga?” Dia menjawab, “Dengan wara’, dengan wara.’? Ditanyakan lagi kepadanya, “Bagaimana kabar Ali bin Ashim?” Dia menjawab, “Kami tidak melihatnya, kecuali laksana bintang!”’ Syu’bah bin Hajjaj dan Mis’ar bin Kidam adalah dua orang hafiz yang keduanya juga sangat terhormat. Abu Ahmad al-Yazidi berkata: Kulihat mereka berdua setelah mereka berdua meninggal dunia. Aku berkata, ““Wahai Abu Bistham, apakah yang Allah lakukan terhadapmu?” Dia menjawab, “Waffaqakallah,” untuk menghapal apa yang
kukatakan:
Tuhanku memberi aku sebuah qubah di surga Dengan seribu pintu terbuat dari perak permata Ar-Rahman berkata kepadaku, Dia yang Mengetahui segala pengetahuan yang tak terhingga Nikmatlah dekat-Ku Rarena Aku ridha padamu Dan pada hamba-Ku Mis’ar berdiri di malam hart Menziarahiku akan menjadi kemuliaan bagi Mis’ar ‘Kan kusibakkan wajah muliaku agar dia melihat Indah yang kulakukan pada mereka yang beribadah Dan tak pernah Mungkar di masa yang telah talu.”
Ahmad bin Muhammad al-Kindi berkata: Aku pernah melihat Ahmad bin Hambal dalam mimpiku. Aku lalu berkata kepadanya “Wahai Abu ‘Abdillah apakah yang Allah lakukan padamu?” Dia men. jawab, “Allah mengampuniku. Lalu Allah berkata kepadaku, ‘Wahai Ahmad, engkau telah dipukul enam puluh kali cambukan demi Aku? Kujawab, ‘Ya, wahai Rabb!’ Allah berkata lagi kepadaku, ‘Ini wajah-Ku telah kumubahkan bagimu, maka lihatlah!’”
Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Hajjaj berkata: Seseorang asal Tharasus menuturkan kepadaku, dia berkata, “Aku telah berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar Dia memperlihatkan kepadaku para penghuni kubur agar aku dapat bertanya kepada mereka tentang Ahmad bin Hambal, apakah yang Allah lakukan padanya. Sampai akhirnya setelah sepuluh tahun berlalu aku melihat dalam mimpi seakan-akan para penghuni kubur berdiri di atas kuburan mereka, lalu mereka berbicara kepadaku. Mereka berkata, ‘Hai kau, berapa lamakah engkau berdoa memohon kepada Allah agar kami diperlihatkan kepadamu? Lalu engkau bertanya kami tentang seseorang yang sejak dia berpisah dengan kalian para malaikat terus saja menghiburnya di bawah pohon Thuba.’”
Abu Muhammad “Abdul Haqq, ‘“Kata-kata yang berasal dari penghuni kubur ini sebenarnya merupakan bentuk informasi mengenai ketinggian derajat Ahmad bin Hambal, keluhuran tempatnya dan keagungan kedudukannya sehingga mereka tidak mampu untuk menjelaskan tentang keadaannya yang sesungguhnya serta mengenai tempat yang dia ada di dalamnya dan apa yang semakna dengannya.”’
Abu Ja’far as-Saqa sahabat Bisyr bin Harits berkata, “Aku melihat Bisyr al-Hafi dan Ma‘ruf al-Karkhi datang. Aku lalu bertanya, ‘Dari manakah kalian?’ Mereka berdua menjawab, ‘Dari surga Firdaus. Kami mengunjungi Musa Kalimullah as.’”
‘Ashim al-Jazari berkata: Aku melihat dalam tidur seakan-akan aku bertemu dengan Bisyr bin Harits. Aku lalu berkata kepadanya, “Dari manakah engkau wahai Abu Nashr?” Dia menjawab, “Dari ‘illiyydan.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kabar Ahmad bin Hambal?” Dia menjawab, “Kutinggalkan dia bersama Abdul Wahhab al-Warraq di hadapan Allah ‘azza wa jalla ketika mereka berdua sedang makan minum.” Aku berkata kepadanya, “Lantas bagaimana dengan engkau?” Dia menjawab,
“Allah mengetahui sedikitnya kesukaanku pada makanan sehingga Dia memubahkan aku untuk melihat kepada-Nya.”
Abu Ja’far as-Saqqa berkata: Aku melihat Bisyr bin Harits dalam tidur setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Nashr, apakah yang dilakukan Allah padamu?” Dia menjawab, “Dia berlaku lembut padaku dan merahmatiku.” Dia berkata kepadaku, “Wahai Bisyr, apabila engkau bersujud di dunia kepada-Ku di atas bara api, hal itu belum dapat menebus kesyukuran atas apa yang Aku telah memenuhi hati pada hamba-Ku darimu.” Dia memubahkan bagiku setengah surga, lalu aku berkeliling di dalamnya sekehendakku. Dia menjanjikan kepadaku bahwa Dia akan mengampuni siapa saja yang mengiring jenazahku.
Aku lalu bertanya lagi, “Bagaimanakah kabar Abu Nashr at-Tammar?”’
Dia menjawab, “Dia unggul melebihi orang-orang dengan kesabarannya atas cobaan dan kefakiran yang dialaminya.”
“Abdul Haqq berkata: Tampaknya yang dimaksud oleh Bisyr dengan ucapan ’setengah surga‘ adalah setengah kenikmatan surga karena kenikmatan surga memang dapat dibagi menjadi dua; setengah kenikmatan rohani dan setengah kenikmatan jasmani. Mula-mula mereka (para ahli surga) menikmati kenikmatan rohani. Apabila kemudian ruh-ruh dikembalikan ke dalam jasad, ditambahkanlah untuk mereka kenikmatan jasmani itu dengan kenikmatan rohani.
Ulama lain berkata, “Kenikmatan surga tersusun dari ilmu dan amal; bagian manusia dari amalnya lebih sempurna daripada bagiannya dari pada ilmu. Wallahu a’lam.”
Seorang saleh berkata, “Aku melihat Abu Bakar Syibli dalam mimpi, seakan-akan dia sedang duduk di majelis Rusafah di tempat yang biasa menjadi tempatnya duduk (semasa hidupnya). Dia mengenakan pakaian indah, lalu aku bangkit mendekatinya, kuucapkan salam kepadanya dan aku duduk di hadapannya. Aku berkata kepadanya, “Siapakah sahabatmu yang paling dekat denganmu?” Dia menjawab, “Mereka adalah yang paling rajin berzikir mengingat Allah, paling menegakkan hak Allah dan paling cepat mengejar keridhaan Allah.”
Abu Abdurrahman as-Sahili berkata: Aku melihat Maisarah bin Sulaim dalam mimpi setelah dia meninggal dunia. Aku berkata kepadanya, “Ketiadaan dirimu begitu lama.” Dia menyahut, “Perjalanan ini amatlah panjang.” Aku bertanya kepadanya, “Apakah yang engkau hadapi dalam perjalanan itu?” Dia menjawab, “Aku diberi keringanan karena kami dulu suka memberi fatwa berupa rukhsah.” Aku bertanya lagi, “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Dia menjawab “Tindakan mengikuti atsar dan bersahabat dengan orang-orang baik akan menyelamatkan dari neraka serta mendekatkan kepada al-Jabbar.
Abu Ja’far adh-Dharir berkata: Aku melihat “Isa bin Zadzan dalam mimpi setelah dia meninggal dunia. Aku bertanya, “Apakah yang dila. kukan Allah terhadapmu?” Dia menjawab dengan syair berikut ini:
Apabila Rau lihat para bidadari kekal di sekelilingku Dengan cawan-cawan pada mereka untuk minum Mereka bersenandung dengan seluruh al-Kitab Mereka berjalan dengan pakaian panjang terulur
Salah seorang sahabat Juraij berkata, “Aku melihat diriku dalam mimpi seakan-akan aku mendatangi perkuburan yang ada di Mekkah, Kulihat pada semua kuburan di situ terdapat kemah-kemah. Di antaranya ada satu kuburan dengan beberapa kemah di atasnya, dengan fusthath dan sidrah (pohon bidara). Aku pun mendatangi kuburan itu, lalu aku masuk seraya mengucapkan salam. Ternyata di situ terdapat Muslim bin Khalid az-Zanji. Kuucapkan salam kepadanya lalu aku berkata, “Wahai Abu Khalid, mengapa semua kuburan di sini memiliki kemah, sementara hanya kuburanmu yang memiliki kemah, fusthath, serta sidrah?” Dia menjawab, “Sesungguhnya aku banyak berpuasa.” Aku bertanya lagi, “Di manakah kuburan Ibnu Juraij? Tunjukkan kepadaku. Sungguh dulu aku biasa duduk-duduk bersamanya dan aku senang untuk mengucapkan salam kepadanya.” Dia lalu berkata seraya telunjuk tangannya dia putar-putar, “Mustahil! Di manakah kuburan Juraij? Catatannya diangkat ke ‘illiyyiin.”
Hammad bin Salamah bermimpi melihat salah seorang sahabatnya, lalu dia bertanya kepada sahabatnya itu, “Apakah yang Allah lakukan terhadapmu?” Si sahabat menjawab, “Allah berkata kepadaku, ‘Telah Panjang nestapamu di dunia, maka hari ini kupanjangkan bagimu istirahatmu sebagai istirahat bagi orang-orang yang lelah.’”
Demikianlah masalah ini amatlah panjang untuk dibahas. Apabila Anda tidak mau memercayai semua ini dengan Anda berkata bahwa semua ini hanya mimpi-mimpi yang sama sekali tidak maksum dari kesalahan, maka cobalah Anda berpikir tentang mereka yang melihat sahabat, kerabat, atau karib mereka dalam mimpi. Kemudian, orang-orang yang dilihat dalam mimpi itu mengabari mereka yang mengalami mimpi tersebut tentang berbagai hal yang tidak diketahui, kecuali hanya oleh mereka. Hal ini seperti mengabarkan kepada orang yang bersangkutan tentang harta yang dipendam atau lainnya; atau mengingatkan orang yang mengalami mimpi tentang sesuatu yang belum terjadi; atau menyampaikan berita gembira dengan sesuatu yang kelak akan terwujud. Lalu ternyata sesuatu itu benar-benar terwujud persis seperti yang dikatakan dalam mimpi; atau orang yang dilihat dalam mimpi itu mengabari orang yang bermimpi mengenai kematian salah seorang anggota keluarganya atau kejadian lain yang kemudian terjadi persis seperti yang dikatakan dalam mimpi.
Kejadian-kejadian seperti ini amat sering terjadi, sehingga sebenarnya berapa banyaknya kejadian seperti itu hanyalah Allah swt. yang mengetahuinya. Sementara manusia hanya ikut serta dalam semua kejadian itu. Sungguh kami dan orang-orang lain telah melihat banyak keajaiban dari semua kejadian itu.
Batallah orang yang menyatakan bahwa semua mimpi itu sebenarnya merupakan tumpukan pengetahuan dan kepercayaan yang tertimbun di dalam diri manusia hingga muncul pada diri orang yang mengalaminya di saat dirinya terputus dari berbagai kesibukan fisik karena tidur. Pendapat seperti ini jelas batil dan mustahil karena jiwa manusia tidak pernah dapat mengetahui berbagai hal yang disampaikan oleh orang-orang yang sudah mati. Hal tersebut juga tidak pernah tebersit dalam diri mereka dan tidak ada tanda-tanda apa pun padanya.
Kami tidak pernah menyangkal bahwa mungkin saja yang terjadi adalah memang seperti itu; bahwa mimpi terjadi akibat bisikan jiwa dan bayangan kepercayaan orang yang mengalaminya. Bahkan banyak dari orang-orang yang mengalami mimpi sebenarnya tidak mengalami apa-apa selain hanya mendapatkan bayangan dari kepercayaan mereka sendiri, baik bayangan yang selaras dengan kepercayaan itu maupun yang tidak selaras dengan itu karena mimpi memang terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Mimpi yang berasal dari Allah swt.,
2. Mimpi yang berasal dari setan, dan
3. Mimpi yang berasal dari bersitan jiwa.
Selain itu, mimpi yang benar (ar-ru’ya ash-shahihah) juga terbagi menjadi beberapa macam sebagai berikut.
1. Mimpi yang merupakan ilham yang Allah masukkan ke dalam hati hamba-Nya. Mimpi seperti ini sebenarnya merupakan firman Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam tidur si hamba. Contohnya adalah seperti yang dialami oleh “Ubadah bin Shamit dan lainnya.
2. Mimpi yang berisi tamsil perumpamaan” yang ditujukan kepada orang yang mengalaminya.
3. Mimpi berupa perjumpaan orang yang mengalaminya dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal dunia, baik dari kalangan keluarga, kerabat, sahabatnya, maupun orang-orang selain itu seperti yang sudah kami paparkan di atas.
4, Mimpi yang berupa naiknya ruh orang yang mengalaminya ke hadirat Allah swt., lalu orang tersebut berbicara dengan-Nya.
5. Mimpi yang berupa masuknya ruh orang yang bersangkutan ke dalam surga lalu dia menyaksikan surga dan lainnya.
Jadi, perjumpaan ruh-ruh orang yang masih hidup dengan ruh orang-orang yang sudah meninggal dunia merupakan salah satu jenis mimpi yang benar (ar-ru’ya ash-shahihah), yang menurut semua orang mimpi seperti itu termasuk di antara hal-hal yang dapat diindra (al-mahsusat).
Di sinilah titik perselisihan yang muncul di tengah masyarakat. Ada orang menyatakan bahwa semua pengetahuan terpendam di dalam jiwa manusia. Aktivitas jiwa manusia dengan alam indrawi (‘alam al-hiss)-lah yang menghalangi jiwa untuk dapat menelaah semua pengetahuan itu. Ketika jiwa “bersendirian” di saat tidur, ia pun akan melihat sebagian dari berbagai pengetahuan itu sesuai dengan kesiapannya. Itulah sebabnya ketika jiwa “bersendirian” saat terjadinya kematian, ia menjadi sempurna dalam mengetahui berbagai pengetahuan itu.
Pendapat seperti ini mengandung kebenaran juga kesalahan, sehingga tidak boleh ditolak semuanya tetapi juga tidak boleh diterima semuanya. Kesendirian jiwa yang dapat membuatnya melihat berbagai ilmu dan pengetahuan memang tidak dapat terjadi tanpa kesendirian. Akan tetapi, kalaupun jiwa bersendiri secara total, ia tetap tidak akan dapat mencapai ilmu Allah yang telah mengutus rasul-Nya, sebagaimana jiwa yang mengalami itu juga tidak akan mampu mencapai berbagai hal rinci yang disampaikan oleh para rasul di masa silam oleh bangsa-bangsa yang telah lalu.
Jiwa yang mengalami hal itu juga tidak bisa menjelaskan tentang hal-hal rinci yang terjadi di akhirat, tanda-tanda kiamat, serta rincian perintah, larangan, nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, perbuatan Allah dan berbagai hal lain yang tidak dapat diketahui, kecuali hanya melalui wahyu. Hanya saja, kondisi jiwa yang bersendiri (berkhalwat) memang dapat membantu jiwa untuk mengetahui berbagai hal tersebut, sebagaimana kondisi seperti itu juga dapat membuat jiwa lebih mudah, lebih dekat, dan lebih banyak dapat menggali berbagai pengetahuan itu dari sumbernya, sehingga ia mendapatkan lebih banyak dari yang didapatkan oleh jiwa yang tenggelam dalam kesibukan badaniah.
Ada pula yang menyatakan bahwa orang yang bermimpi memiliki berbagai ilmu pengetahuan yang Allah ciptakan di dalam jiwanya secara langsung tanpa melalui sebab apa pun.
Pendapat seperti ini adalah pendapat orang-orang yang menafikan sebab, hikmah, dan daya. Ini adalah pendapat orang yang menyelisihikan syariat, akal, dan fitrah.
Ada pula yang menyatakan bahwa mimpi sebenarnya adalah himpunan perumpamaan tamsil yang Allah ciptakan bagi hamba-Nya sesuai dengan kesiapan si hamba yang bersangkutan, yang terasuki oleh Malaikat Ru’ya (malaikat mimpi). Terkadang ia berupa perumpamaan tamsil yang dibuat dan terkadang ia berupa sesuatu yang sama dengan apa yang dilihat oleh orang yang mengalami mimpi yang bersangkutan, untuk kemudian apa yang dilihatnya itu ternyata persis sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Pendapat terakhir ini lebih dekat dengan kebenaran daripada dua pendapat sebelumnya. Akan tetapi, mimpi tidak hanya terjadi karena itu. Alih-alih, mimpi memiliki berbagai sebab lain seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Seperti perjumpaan antar ruh, saling tukar berita antar ruh, tindakan malaikat menyampaikan sesuatu ke diri manusia atau berupa penglihatan ruh terhadap berbagai hal secara langsung tanpa perantara apa pun.
Dalam kitab an-Nafs wa ar-Rah, Abu ‘Abdullah bin Mandah menyampaikan sebuah hadis dari Muhammad bin Humaid, ‘Abdurrahman bin Maghra ad-Dausi menuturkan kepada kami, Azhar ibn ‘Abdullah al-Azdi menuturkan kepada kami, dari Muhammad bin ‘Ijlan, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ayahnya, dia berkata: Suatu ketika ‘Umar bin Khathab bertemu dengan ‘Ali bin Abi Thalib. ‘Umar ra. lalu berkata kepada “Ali ra., “Wahai Abu Hasan, mungkin saja engkau ada dan kami tak ada; atau kami ada dan engkau tak ada. Ada tiga perkara yang kutanyakan kepadamu tentang itu. Apakah engkau memiliki pengetahuan tentang itu?” ‘Ali bin Abi Thalib menjawab, “Apakah itu?” ‘Umar berkata, “Seseorang yang mencintai seseorang tanpa orang itu melihat kebaikan apa pun padanya dan seseorang yang membenci seseorang tanpa orang itu melihat keburukan apa pun padanya.” ‘Ali lalu berkata, “Ya, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ruh-ruh itu adalah seperti pasukan yang dikerahkan yang saling bertemu di angkasa, lalu mereka mencium aroma. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.
Umar berkata, “Itu satu!”. Kemudian Umar ra. berkata, “Seseorang yang menuturkan sesuatu ketika dia melupakan apa yang dituturkannya itu; tetapi ketika dia melupakan apa yang dituturkannya itu justru saat itulah dia mengingatnya.”
‘Ali ra. menyahut, “Ya. Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidaklah di dalam semua hati itu terdapat satu hati, kecuali ia memiliki awan penghalang seperti awan penghalang rembulan ketika rembulan bersinar. Ketika rembulan terhalang awan itu, rembulan pun menjadi gelap dan ketika awan penghalang itu menghilang, rembulan pun menjadi terang. Ketika hati berbicara, tiba-tiba awan penghalang datang sehingga ia menjadi lupa. Dan ketika awan penghalang itu menghilang, ia pun ingat.’”
‘Umar ra. lalu berkata, “Itu dua.”
‘Umar ra. lalu berkata, “Seseorang mengalami mimpi. Di antaranya ada yang benar dan di antaranya ada yang dusta.”
‘Ali ra. menyahut: Ya. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun hamba yang tidur dengan tidur yang lama, kecuali dia dinaikkan ruhnya ke arsy. Orang yang tidak terbangun di bawah arsy, maka itulah mimpi yang benar; dan orang yang terbangun di bawah arsy, maka itulah mimpi yang dusta.”
‘Umar ra. berkata, “Ada tiga yang kuminta, segala puji bagi Allah yang telah membuatku berhasil mendapatkannya sebelum mati.”
Ibnu Lahi’ah telah meriwayatkan dari ‘Utsman bin Nu’aim ar-Ru‘aini, dari Abu ‘Utsman al-Ashbahi, dari Abu Darda’, dia berkata.: Apabila seseorang tidur, ruhnya akan dinaikkan hingga mendatangi arsy. Apabila ia suci, ia akan diizinkan untuk bersujud. Namun, apabila ia junub, ia tidak diizinkan untuk bersujud.
Ja’far bin ‘Aun meriwayatkan, dari Ibrahim al-Hajari, dari Abu] Ahwash, dari ‘Abdullah bin Mas’ud bahwa dia berkata, “Sesungguhnya ruh-ruh adalah pasukan yang dikerahkan yang saling berjumpa dan dapat mencium seperti menciumnya kawanan kuda. Lalu siapa pun yang saling mengenal di antara mereka, mereka akan bersatu; dan siapa pun yang saling mengingkari di antara mereka, mereka akan berselisih.”
Semua orang, baik yang dulu maupun yang sekarang telah mengetahui semua ini dan menyaksikan kebenarannya. Jamil bin Ma’mar al-Udzri bersyair:
Siangku terus bergolak ketika bertemu Ruh Aku dan ruhnya saat malam dalam tidur
Apabila dikatakan bahwa orang yang sedang tidur dapat melihat serta berbicara dan berbincang dengan orang lain yang masih hidup; yang mungkin saja jarak antara mereka berdua sangat jauh atau orang yang dilihat dalam keadaan terjaga, tanpa ruhnya berpisah dari tubuhnya. Jadi, bagaimana mungkin ruh mereka berdua dapat bertemu?
Tanggapan atas pernyataan itu adalah bahwa mungkin saja mimpi itu terjadi sebagai perumpamaan yang dibuat oleh Malaikat Mimpi bagi orang yang sedang tidur atau mungkin pula itu merupakan bersitan jiwa orang yang mengalami mimpi yang muncul dalam tidurnya, seperti yang dikatakan oleh Habib bin ‘Aus dalam syair berikut ini:
Berhati-hatilah pada Kepalsuan datang padamu Dari bersitan jiwamu yang sedang masyqul
Terkadang dua ruh begitu cocok sebagaimana hubungan satu ruh begitu kuat dengan ruh lainnya. Hal ini membuat masing-masing dari kedua ruh itu dapat saling merasakan perasaan mereka antara satu sama lain. Sementara ruh yang bersangkutan tidak dapat merasakan apa yang terjadi pada ruh, selain sahabatnya itu disebabkan begitu dekatnya hubungan antara dia dengan sahabatnya. Berkenaan dengan hal ini, manusia telah menyaksikan berbagai keajaiban.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa ruh orang-orang yang masih hidup dapat saling bertemu dalam tidur, sebagaimana halnya ruh-ruh orang-orang yang masih hidup dapat bertemu dengan ruh-ruh orang-orang yang sudah mati.
Sebagian ulama salaf berkata bahwa sebenarnya ruh-ruh manusia bertemu di angkasa untuk kemudian mereka saling mengenal atau saling mengingkari. Setelah itu, Malaikat Mimpi mendatangi ruh-ruh tersebut dengan segala kebaikan atau keburukan yang dipertemukan dengan ruh-ruh itu.
Ulama salaf ini menyatakan bahwa Allah telah memberi kuasa untuk menyampaikan mimpi yang benar kepada satu malaikat yang Dia ajari dan ilhami pengetahuan tentang setiap jiwa secara pasti lengkap dengan namanya, kehidupan agamanya, kehidupan dunianya, tabiatnya dan pengetahuannya, tanpa ada sedikit pun yang tidak jelas padanya dan tidak pula ada kekeliruan di dalamnya.
Caranya adalah dengan datang kepada malaikat itu sebuah naskah (nuskhah) yang berasal dari Ilmu Kegaiban Allah (‘ilm ghaib Allah) dari Ummul Kitab yang pasti akan mengenai si individu yang bersangkutan, baik itu berupa kebaikan maupun keburukan dalam urusan agama dan dunianya. Akan tetapi, dalam penyampaiannya dibuat berbagai perumpamaan dan bentuk-bentuk (simbol-simbol) sesuai dengan kebiasaannya.
Terkadang sang malaikat menyampaikan kabar gembira kepada si individu yang bersangkutan dengan suatu kebaikan yang sudah atau akan terjadi. Terkadang pula sang malaikat memperingatkan individu tersebut atas suatu kemaksiatan yang sudah dia lakukan atau baru dia niatkan. Sang malaikat juga mengingatkan si individu atas suatu hal buruk yang sebab terjadinya telah muncul, agar si individu dapat menghadapi sebab tersebut dengan sebab lain yang akan menangkal keburukan itu. Dan berbagai macam hikmah dan kemaslahatan yang Allah letakkan semua itu ke dalam mimpi yang bersangkutan sebagai nikmat, rahmat, kebaikan, peringatan, dan pemberitahuan dari-Nya. Allah menjadikan salah satu jalannya adalah melalui perjumpaan ruh-ruh yang saling mengingat dan saling mengenal.
Berapa banyak orang yang tobat, kebaikan, kezuhudan, dan perhatiannya kepada akhirat muncul gara-gara mimpi yang dia alami atau sesuatu yang diperlihatkan kepadanya. Berapa banyak orang yang menjadi kaya, menemukan harta karun, mengetahui barang terpendan melalui mimpi.
Dalam Kitab al-Mujalasah karya Abu Bakar Ahmad bin Marwan al-Maliki, dari Ibnu Qutaibah, dari Abu Hatim, dari Ashma’i, dari Mu’tamar bin Sulaiman, dari seseorang yang menuturkan kepadanya dia berkata: Suatu ketika kami keluar dalam sebuah perjalanan. Saat itu kami bertiga. Salah seorang dari kami lalu tidur dan kami melihat, muncul seperti lentera dari hidung orang itu. Lentera itu kemudian memasuki sebuah gua di dekat orang itu, lalu lentera itu kembali dan kembali masuk ke dalam hidung orang itu. Setelah itu orang itu bangun dari tidurnya lalu mengusap wajahnya. Dia berkata, “Aku melihat sesuatu yang menakjubkan. Kulihat di gua ini ada anu anu…” Kami pun memasuki gua itu dan kami temukan harta di dalamnya.
Ada pula kisah Abdul Muththalib yang ditunjukkan letak sumur zamzam melalui sebuah mimpi dan dia juga menemukan harta terpendam yang ada di tempat itu.
Syahdan ‘Umair bin Wahb didatangi sesosok makhluk dalam mimpinya. Sosok itu lalu berkata, “Bangkitlah engkau ke tempat anu dan anu dari rumahmu. Lalu galilah tempat itu niscaya engkau akan menemukan harta milik ayahmu.” Rupanya, ayah ‘Umair telah memen. dam suatu harta di tempat itu sebelum kematiannya tanpa dia sempat berwasiat mengenai harta itu.
“Umair lalu bangun dari tidurnya dan kemudian menggali di tempat yang diperintahkan kepadanya itu. Ternyata di tempat itu dia menemukan uang sepuluh ribu dirham dan banyak kepingan emas. Semua itu dia gunakan untuk melunasi utang-utangnya sehingga membaiklah kehidupannya bersama keluarganya.
Semua kejadian itu terjadi tidak lama setelah ‘Umair masuk Islam. Salah seorang anak perempuannya yang masih kecil berkata, “Wahai ayahku, Tuhan kita yang menunjukkan kita untuk mengikuti agama-Nya tentu lebih baik daripada Hubal dan “Uzza! Karena kalau Dia tidak seperti itu, Dia pasti tidak akan mewariskan semua harta itu kepadamu. Padahal engkau menyembah-Nya baru beberapa hari saja!”
‘Ali bin Abi Thalib al-Qairuwani al-Abir menyatakan bahwa tidaklah peristiwa yang dialami oleh ‘Umair dan keberhasilannya mengeluarkan harta terpendam melalui petunjuk mimpi itu lebih menakjubkan daripada sebuah peristiwa yang telah dialaminya dan disaksikannya sendiri terjadi di kota tempatnya tinggal; yaitu kejadian yang dialami oleh Abu Muhammad Abdullah al-Baghanisyi. Abu Muhammad adalah seorang lelaki yang masyhur dengan mimpinya bertemu dengan orang-orang yang sudah mati yang ditanyai olehnya mengenai berbagai perkara gaib untuk kemudian dia tuturkan semua jtu kepada keluarga dan karib-kerabatnya sehingga hal itu membuatnya terkenal, disebabkan saking banyaknya apa yang dituturkannya itu.
Suatu ketika, seseorang mendatanginya dan mengadukan kepadanya ihwal karibnya yang meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat apa-apa, padahal diketahui bahwa si karib itu memiliki harta yang tidak diketahui tempatnya. Pada malam harinya, Abu Muhammad berdoa kepada Allah swt. Ketika tidur, Abu Muhammad pun bermimpi bertemu orang yang telah meninggal dunia itu, lalu dia bertanya kepada si orang mati itu tentang masalah yang diadukan kepadanya. Orang mati itu pun menjelaskan semuanya.
Di antara kejadian unik yang dialaminya adalah ketika seorang perempuan tua yang sangat salihah meninggal dunia, sementara ada uang tujuh dinar milik temannya yang dititipkan kepadanya. Si pemilik uang itu pun mendatangi Abu Muhammad guna mengadukan apa yang dialaminya. Dia menyampaikan namanya kepada Abu Muhammad berikut nama perempuan salihah sahabatnya yang sudah mati itu.
Keesokan harinya, perempuan itu kembali menemui Abu Muhammad. Dan Abu Muhammad pun berkata kepadanya, “Sahabat perempuanmu itu berpesan agar engkau kembali ke rumahnya lalu membongkar atapnya. Di situ ada tujuh kayu yang di dalam kayu ketujuh engkau akan menemukan uangmu tersimpan dalam buntalan kain wol.” Perempuan itu pun melakukan apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad dan dia benar-benar menemukan uangnya persis di tempat yang dikatakan oleh Abu Muhammad.
Dia (al-Qairuwani) menuturkan:
Seseorang pernah menyampaikan kepadaku dan aku tidak mengira bahwa dia tengah berbohong, dia berkata: Seorang perempuan mempekerjakanku untuk membongkar sebuah rumah miliknya dengan upah tertentu. Ketika aku hendak melaksanakan pekerjaan itu, aku pun menemui perempuan itu yang ternyata sedang bersama beberapa orang lainnya. Aku berkata kepada perempuan itu, “Ada apa denganmu? Perempuan itu menjawab, “Demi Allah, sebenarnya aku tidak perlu membongkar rumah ini. Tetapi ayahku baru saja meninggal sementara dia memiliki harta yang sangat banyak. Namun, anehnya kami tidak mengetahui sebagian besar dari hartanya itu. Oleh sebab itu, aku menduga bahwa pasti harta almarhum dipendam di sini, sehingga aku pun ingin membongkar rumah ini agar siapa tahu dapat kutemukan harta milik almarhum ayahku itu.”
Tanpa diduga, salah seorang yang hadir di situ berkata kepada perempuan itu, “Sungguh engkau telah melewatkan sesuatu yang jauh lebih gampang dilakukan daripada membongkar rumah ini!”
“Apakah itu?” tukas perempuan itu.
Orang itu berkata, “Ada seseorang bernama Fulan. Datanglah eng. kau kepadanya, lalu mintalah kepadanya agar memimpikan masalahmu itu malam ini. Siapa tahu dia dapat bermimpi bertemu ayahmu, lalu menunjukkan tempat hartanya tanpa engkau harus berpayah-payah membongkar rumah ini.”
Perempuan itu pun mendatangi si Fulan yang ditunjukkan oleh karibnya itu. Beberapa saat kemudian dia kembali dan mengatakan bahwa dia sudah menyampaikan semuanya kepada si Fulan itu termasuk namanya dan nama mendiang ayahnya.
Keesokan paginya, aku berangkat ke rumah perempuan tempatku bekerja itu pagi-pagi sekali. Rupanya, perempuan yang mempekerjakanku baru saja kembali dari si Fulan yang didatanginya sehari sebelumnya.
Perempuan itu berkata, “Si Fulan berkata kepadaku bahwa dia bermimpi bertemu ayahku. Ayahku lalu berkata kepadanya bahwa harta miliknya dia pendam di bawah gerbang rumah.”
Aku pun langsung menggali tanah di bawah gerbang rumah perempuan itu, sampai akhirnya aku menemukan sebuah celah di dalam tanah tersebut. Ternyata harta milik ayah perempuan itu memang tersimpan di dalamnya.
Bukan main takjubnya kami semua pada saat itu. Akan tetapi. rupanya perempuan itu masih merasa bahwa harta yang aku temukan itu jauh lebih sedikit dibandingkan harta milik ayahnya. Dia berkata, “Harta milik ayahku jauh lebih banyak dari itu! Baiklah aku akan kembali menemui si Fulan.”’
Perempuan itu pun pergi menemui si Fulan. Dia menyampaikan apa yang baru dialaminya kepada si Fulan itu dan meminta agar dia dapat kembali menemui si Fulan untuk mendapatkan keterangan.
Keesokan harinya, perempuan itu kembali mendatangi si Fulan. Si Fulan itu berkata kepadanya: Ayahmu berkata kepadamu, “Galilah di bawah wadah segi empat yang dijadikan sebagai tempat menyimpan minyak.”
Beberapa saat kemudian, aku membongkar tempat yang ditunjukkan itu dan ternyata di situ memang terdapat wadah besar segi empat berisi minyak. Aku geser wadah besar itu, lalu kugali tanah di situ dan ternyata memang benar kutemukan banyak harta terpendam di tempat itu.
Rupanya, perempuan yang mempekerjakanku tidak puas sampai di situ. Ketamakannya terhadap harta membuatnya kembali menemui si Fulan. Dia pun kembali mendatangi si Fulan, tetapi beberapa saat kemudian dia kembali dengan wajah masam. Dia berkata, “Si Fulan mengatakan kepadaku bahwa dia telah bermimpi lagi bertemu ayahku dan mengatakan bahwa aku sudah mengambil harta yang memang menjadi bagianku. Adapun hartanya yang lain telah dikuasai oleh Ifrit untuk nanti disampaikan kepada orang lain yang berhak memilikinya.”
Cerita-cerita semacam ini amat banyak jumlahnya. Sebagaimana banyak pula orang-orang yang berhasil mendapatkan kesembuhan setelah mereka diberi petunjuk mengenai obat penyakit yang mereka derita yang semua itu mereka ketahui lewat mimpi.
Beberapa orang telah berbicara kepada penulis yang sebenarnya mereka tidak terlalu menyukai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa mereka bermimpi bertemu dengan Ibnu Taimiyah, setelah dia meninggal dunia. Bahkan, ketika kemudian mereka bertanya kepada Ibnu Taimiyah mengenai berbagai masalah agama, Ibnu Taimiyah mampu memberikan jawaban yang tepat.
Kesimpulannya, masalah yang sedang kita bahas ini adalah sesuatu yang tidak mungkin disangkal kecuali hanya oleh orang-orang dungu yang tidak tahu apa-apa tentang ruh dan segala keadaannya. Wabillahi-t-taufiq.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan