Catatan Popular

Selasa, 25 Februari 2025

Kitab Ar Ruh ibn qayyim al jauziyah : Pertanyaan Pertama

Pertanyaan Pertama: Apakah Orang-Orang Mati Mengetahui Ziarah dan Salam Orang-Orang Hidup Kepada Mereka ataukah Tidak?

Apakah Orang-Orang Mati Mengetahui Ziarah dan Salam Orang-Orang Hidup Kepada Mereka ataukah Tidak?

 

Ibnu ‘Abdul Barr berkata: Telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang melewati kuburan saudaranya yang dia kenal di dunia, lalu orang itu mengucapkan salam kepadanya, kecuali Allah mengembalikan ruh orang itu hingga dia dapat menjawab salam tersebut kepadanya.”

 

Inilah dalil yang menunjukkan bahwa orang mati memang mengetahui orang hidup itu secara pasti untuk kemudian dia menjawab salam.

 

Di dalam dua kitab Sahih diriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah saw. melalui beberapa jalur berbeda, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar mayat-mayat musuh yang terbunuh di Badar dimasukkan ke dalam sebuah liang. Setelah itu, Rasulullah saw. berdiri di dekat mayat-mayat itu lalu beliau memanggil mereka dengan menyebutkan nama-nama mereka, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan. Apakah kalian telah menemukan apa yang Tuhan kalian janjikan kepada kalian sebagai kebenaran? Sesungguhnya aku telah menemukan apa yang Tuhanku janjikan kepadaku sebagai kebenaran” Kala itu, Umar ra. bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan orang-orang yang sudah menjadi bangkai?”

 

Rasulullah saw. menjawab, “Demi Dzat yang telah mengutusku dengan kebenaran, tidaklah kalian lebih mendengar apa yang kukatakan daripada mereka. Hanya saja mereka tidak mampu menjawab.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah saw., “Bahwa mayat dapat mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya ketika mereka pulang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Rasulullah saw. telah menetapkan syariat bagi umat beliau. Jika mereka mengucapkan salam kepada para ahli kubur, hendaklah mereka mengucapkan salam kepada para penghuni kubur itu seperti salam kepada orang yang mereka ajak bicara. Jadi, hendaklah seorang pengucap salam berkata, “Assalamu‘alaikum dara qaumin mu-minin” (Keselamatan atas kalian wahai penghuni hunian orang-orang mukmin).

 

Bentuk ucapan seperti itu merupakan bentuk ucapan yang hanya ditujukan kepada pihak yang dapat mendengar dan berpikir. Kalau tidak seperti itu, pastilah ucapan ini sama seperti ucapan kepada sesuatu yang tidak ada atau kepada benda mati.

 

Ulama salaf telah sepakat tentang hal ini. Berbagai atsar’ dari mereka telah diriwayatkan secara mutawatir, menyebutkan bahwa mayat mengetahui ziarah orang hidup dan bergembira karenanya.

 

Abu Bakar “Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Abud Dunya menyatakan dalam Kitab al-Qubar pada bab “Ma‘rifat al-Mauta bi-Ziyarat al-Ahya” (Pengetahuan Orang-Orang Mati akan Ziarah Orang-Orang Hidup):

 

Muhammad bin ‘Aun menuturkan kepada kami, Yahya bin Yaman menuturkan kepada kami, dari Abdullah bin Sim‘an, dari Zaid bin Aslam, dari Aisyah ra., dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah ada seseorang yang menziarahi kuburan saudaranya lalu dia duduk di sisinya, kecuali dia merasa senang dengannya dan menjawab (salamnya) sampai dia berdiri.”

 

Muhammad bin Qudamah al-Jauhari menuturkan kepada kami, Mu‘an bin ‘Isa al-Qazzaz menuturkan kepada kami, Hisyam bin Sad mengabarkan kepada kami, Zaid bin Aslam menuturkan kepada kami, dari Abi Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seseorang lewat kuburan saudaranya dan dia mengenalnya, kemudian mengucapkan salam kepadanya, maka dia akan membalas salam tersebut dan mengetahuinya. Dan jika seseorang itu lewat kuburan orang yang tidak dikenalnya, kemudian mengucapkan salam, maka dia akan menjawab salam tersebut.” (HR. al-Baihaqi)

 

Muhammad bin Husein menuturkan kepada kami, Yahya bin Bistham al-Ashfar menuturkan kepadaku, Misma’ menuturkan kepadaku, salah seorang kerabat Ashim al-Jahdari menuturkan kepadaku, dia berkata, “Aku telah melihat Ashim al-Jahdari dalam tidurku dua tahun setelah kematiannya. Aku berkata, ‘Bukankah engkau sudah mati?’ Dia menjawab, ‘Benar!’ Aku berkata, ‘Lantas di manakah engkau?’ Dia menjawab, ‘Demi Allah, aku berada di sebuah taman di antara taman-taman surga. Aku bersama beberapa orang di antara sahabat-sahabatku. Kami berkumpul setiap malam Jumat dan paginya kepada Bakr bin Abdullah al-Muzani, lalu kami menelaah kabar kalian.’”

 

Dia (perawi) berkata, “Aku lalu bertanya, ‘Apakah yang berkumpul itu jasad-jasad kalian ataukah ruh-ruh kalian?’ Dia menjawab, ‘sangat mustahil jasad kami yang berkumpul. Semua tubuh telah hancur, yang saling bertemu adalah ruh.’”

 

Dia (perawi) berkata, “Aku lalu bertanya, ‘Apakah kalian mengetahui kunjungan ziarah kami kepada kalian?’ Dia menjawab, ‘Ya. Kami mengetahui kunjungan itu di malam (Jumat) dan sepanjang hari Jumat (pagi hingga petang), dan juga di hari Sabtu sampai terbitnya matahari.’”

 

Dia (perawi) berkata, “Aku lalu bertanya, ‘Bagaimana mungkin bisa seperti itu tanpa ada di hari-hari lain?’ Dia menjawab, ‘Berkat keutamaan dan keagungan hari Jumat.”

 

Muhammad bin Husein menuturkan kepada kami, Bakr bin Muhammad menuturkan kepadaku, Jisr al-Qashshab menuturkan kepada kami, dia berkata, “Aku selalu bepergian di pagi hari bersama Muhammad bin Wasi di setiap Sabtu pagi, untuk mendatangi kuburan. Kami lalu berdiri di atas kuburan, kami ucapkan salam kepada para penghuninya, berdoa untuk mereka, kemudian kami pergi. Sampai suatu hari aku berkata kepadanya, ‘Bagaimana kalau aku melakukan ini pada hari Senin?’ Dia menjawab, ‘Telah sampai riwayat kepadaku yang mengatakan bahwa orang-orang mati mengetahui orang-orang yang menziarahi mereka pada hari Jumat, satu hari sebelumnya (yaitu hari Kamis) dan satu hari sesudahnya (yaitu hari Sabtu).’’

 

Muhammad menuturkan kepadaku, Abdul Aziz bin Aban menuturkan kepada kami, dia berkata, Sufyan ats-Tsauri menuturkan kepada kami, dia berkata: Telah sampai riwayat kepadaku dari Dhahak, bahwa dia berkata, ‘Barang siapa yang menziarahi kuburan pada hari Sabtu sebelum terbitnya matahari, si mayat mengetahui ziarah orang itu.”

 

Seseorang lalu bertanya kepadanya, “Bagaimana bisa begitu?”

 

Dia menjawab, “Disebabkan keistimewaan hari Jumat.”

 

Khalid bin Khidasy menuturkan kepada kami, Ja’far bin Sulaiman menuturkan kepada kami, dari Abu at-Tayyah, dia berkata, “Suatu saat Mutharrif bepergian di pagi hari. Ternyata itu adalah hari Jumat.” Aku mendengar Abu Tayyaj berkata, “Telah sampai kepada kami bahwa dia disinari dengan cambuknya, lalu di suatu malam dia berangkat hingga ketika ia tiba di pemakaman dia pun menggerakkan kepalanya dengan dia berada di atas kudanya. Dia melihat para penghuni kuburan, masing-masing penghuni kubur duduk di atas kuburnya. Lalu mereka berkata, ‘Ini Mutharrif datang pada Jumat ini.’ Aku bertanya, ‘Apakah kalian mengetahui hari Jumat?’ Mereka menjawab, ‘Ya! Dan kami mengetahui apa yang dikatakan oleh burung pada hari itu.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah yang mereka katakan?’ Mereka menjawab, ‘Salam, salam (selamat sejahtera)”

 

Muhammad bin Husein menuturkan kepadaku, Yahya bin Bukair menuturkan kepadaku, Fadh! bin Muwaffaq bin Khali Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan kepadaku, dia berkata, “Ketika ayahku meninggal, sungguh aku sangat berduka karenanya dengan duka yang mendalam. Aku pun mendatangi kuburannya setiap hari, sampai kemudian aku mulai jarang menziarahi makamnya. Lalu aku mendatangi kuburannya pada suatu hari. Ketika aku sedang duduk di sisi kuburannya, aku tak kuasa menahan kantuk sehingga aku pun tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi melihat seakan-akan kuburan ayahku telah terbuka. Saat itu, seolah-olah ayahku duduk di kuburannya dengan mengenakan kain kafannya, di dirinya tampak penampilan orang-orang mati. Sepertinya aku menangis ketika melihatnya. Dia berkata, ‘Wahai anakku, mengapa engkau terlambat mendatangiku?’ Aku menjawab, ‘Sungguhkah engkau mengetahui kedatanganku?’ Dia menjawab, “Tidak pernah sekalipun engkau datang, kecuali aku mengetahuinya! Dulu engkau mendatangiku sehingga aku gembira karenamu, sebagaimana orang-orang di sekitarku gembira karena doamu.’ Setelah kejadian itu aku pun menjadi sering mendatangi ayahku itu.”

 

Muhammad menuturkan kepadaku, Yahya bin Bistham menuturkan kepadaku, Utsman bin Saudah ath-Thufawi menuturkan kepadaku—ibunya itu berjuluk rahibah (rahib perempuan) karena ia merupakan seorang ahli ibadah—dia berkata, “Ketika ibuku sekarat, dia menengadahkan kepalanya ke langit, lalu berkata, ‘Wahai tabungan, simpananku yang menjadi sandaran dalam hidup dan matiku, janganlah Engkau telantarkan aku di saat mati dan janganlah Engkau terasingkan aku di kuburku.’

 

Ibuku lalu meninggal dunia dan kudatangi kuburnya di setiap Jumat. Aku berdoa untuknya dan memohonkan ampunan baginya serta para penghuni kubur. Pada suatu hari aku bermimpi melihat ibuku dalam tidur. Kukatakan padanya, ‘Wahai Ibu, bagaimana keadaanmu?’

 

Dia menjawab, ‘Wahai anakku, sungguh kematian merupakan petaka yang amat berat. Alhamdulillah, sungguh keadaanku di Alam Barzakh mendapat anugerah yang di dalamnya kami menebarkan wewangian serta beralaskan sutra sundus (sutra halus) dan istabrag (sutra tebal) sampai Hari Kebangkitan.’

 

Aku lalu berkata kepadanya, ‘Apakah engkau memerlukan sesuatu?’

 

‘Ya!’ jawabnya.

 

‘Apakah itu?’ tanyaku.

 

Dia menjawab, ‘Jangan pernah engkau tinggalkan kebiasaanmu mengunjungi kami dan berdoa untuk kami. Sesungguhnya aku benar-benar senang dengan kedatanganmu di hari Jumat ketika kau tinggalkan keluargamu. Kala itu dikatakan padaku, “Wahai rahibah (rahib perempuan), Ini anakmu datang! Maka aku pun senang dan semua orang mati di sekitarku juga senang dengan kedatanganmu itu.”

 

Muhammad menuturkan kepadaku, Muhammad bin Abdul “Aziz bin Sulaiman menuturkan kepadaku, Bisyr bin Manshur menuturkan kepada kami, dia berkata, “Ketika wabah Tan (penyakit menular, epidemi) melanda, ada seorang lelaki yang sering mendatangi pemakaman untuk mengikuti shalat jenazah. Ketika sore tiba, dia berdiri di gerbang makam lalu berkata, ‘Semoga Allah mendengar ketakutan kalian, merahmati keterasingan kalian, mengampuni kesalahan kalian dan menerima kebaikan-kebaikan kalian.’” Hanya itu saja kata-kata yang diucapkannya.

 

Dia melanjutkan, “Pada suatu malam aku pulang ke rumahku tanpa kudatangi makam itu dan tanpa berdoa seperti doa yang biasa kupanjatkan. Ketika aku tidur malam itu, ternyata aku didatangi banyak orang dalam mimpiku. Aku pun berkata, ‘Siapakah kalian dan apakah gerangan keperluan kalian?’ Orang-orang itu menjawab, ‘Kami adalah para penghuni kuburan.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah keperluan kalian?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kau telah membuat kami terbiasa dengan hadiahmu dan itu tidak kami dapatkan jika engkau langsung pulang ke keluargamu.’ Aku berkata lagi, ‘Apakah hadiah itu?’ Mereka menjawab, ‘Doa-doa yang engkau panjatkan untuk kami.’”

 

Dia melanjutkan, “Sungguh aku pun membiasakan kunjungan ke kuburan karena itu, dan setelah itu aku tidak pernah lagi meninggalkan kebiasaan itu.”

 

Muhammad menuturkan kepadaku, Ahmad bin Sahl menuturkan kepadaku, Risydin bin Sa’d menuturkan kepadaku, dari seseorang, dari Yazid bin Abu Habib, bahwa suatu ketika Sulaim bin “Umair melintas di dekat sebuah kuburan. Kebetulan, saat itu dia sedang sakit menahan buang air kecil. Salah seorang temannya berkata kepadanya, “Turunlah engkau ke salah satu kuburan itu lalu kencinglah di liangnya!”

 

Sulaim pun sontak menangis demi mendengar kata-kata itu, lalu dia berujar, “Subhanallah! Demi Allah sesungguhnya aku malu kepada orang-orang yang sudah mati sebagaimana aku malu kepada orang-orang yang masih hidup!”

 

Kalau memang orang-orang yang sudah mati tidak dapat menyadari semua itu, tentulah Sulaim tidak akan merasa malu seperti itu.

 

Yang lebih tegas lagi dari semua yang telah disebutkan di atas, adalah perihal orang yang sudah mati dapat mengetahui amal yang dilakukan oleh kerabat karib dan saudara-saudaranya yang masih hidup.

 

‘Abdullah bin Mubarak berkata, “Tsaur bin Yazid menuturkan kepadaku, dari Abu Ruhm, dari Abu Ayyub, dia berkata, ‘Berbagai amal perbuatan orang-orang hidup ditunjukkan kepada orang-orang yang sudah mati. Apabila mereka melihat amal perbuatan itu baik, mereka pun bergembira dan senang. Namun apabila mereka melihat amal perbuatan itu buruk, mereka pun berkata, ‘Ya Allah, singkirkanlah amal perbuatan itu.’

 

Ibnu Abud Dunya menuturkan, dari Ahmad bin Abu al-Hawari, dia berkata, Muhammad saudaraku berkata, “Suatu ketika Abbad bin -Abbad masuk menemui Ibrahim bin Shalih yang berada di Palestina. -Abbad lalu berkata kepada Ibrahim, ‘Nasihatilah aku.’ Ibrahim menyahut, ‘Nasihat seperti apa yang dapat kusampaikan kepadamu, ash-lahakallah? Telah sampai riwayat kepadaku bahwa amal perbuatan orang-orang yang masih hidup ditunjukkan kepada para kerabat mereka yang sudah meninggal. Jadi, telitilah amal perbuatanmu yang akan ditunjukkan kepada Rasulullah saw.’” Demi mendengar itu, Ibrahim pun menangis sampai air matanya membasahi jenggotnya.

 

Ibnu Abud Dunya berkata: Muhammad bin Husein menuturkan kepadaku, Khalid bin “Amr al-Umawi menuturkan kepadaku, Shadaqah bin Sulaiman al-Ja’fari berkata, “Dulu, aku memiliki sifat yang tidak baik. Ketika ayahku meninggal dunia, aku pun bertobat dan aku menyesali semua keburukanku. Akan tetapi, kemudian aku melakukan suatu kekeliruan, lalu aku bermimpi melihat ayahku dalam tidurku. Ayahku berkata, ‘Wahai anakku, betapa besarnya kegembiraanku padamu karena amal perbuatanmu ditunjukkan kepada kami dan ternyata amalmu menyerupai amal perbuatan orang-orang saleh! Akan tetapi, kali ini aku merasa sangat malu disebabkan perbuatanmu itu. Jadi, janganlah engkau mempermalukan aku di hadapan orang-orang yang sudah mati di sekitarku.’”

 

Setelah itu, kudengar dia berkata dalam doanya di waktu dini hari karena waktu itu dia menjadi tetanggaku di Kufah, “Aku memohon kepada-Mu tobat yang tidak ada kembali (ke keburukan) di dalamnya dan tidak pula kebinasaan; wahai Pembagus orang-orang saleh, wahai Pemberi petunjuk orang-orang sesat, wahai Dzat yang paling penyayang di antara semua penyayang.”

 

Di dalam masalah ini, terdapat begitu banyak atsar dari para sahabat Rasulullah saw. Ada seorang sahabat Anshar dari kalangan kerabat “Abdullah bin Rawahah ra. yang berkata dalam doanya, “Sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari amal perbuatan yang membuatku malu di hadapan “Abdullah bin Rawahah.” Orang itu berdoa seperti itu setelah “Abdullah bin Rawahah ra. gugur sebagai syahid.

 

Berkenaan dengan masalah ini, sebenarnya sudah cukup menjadi bukti’ ketika orang yang mengucapkan salam kepada orang-orang yang sudah meninggal di kuburan disebut dengan istilah “peziarah” (za’ir). Kalau memang para penghuni kuburan tidak dapat menyadari kedatangan orang hidup, tentu tidaklah tepat pengunjung kuburan disebut dengan istilah “peziarah” (za‘ir). Oleh sebab itu, apabila orang yang dikunjungi (mazur) tidak mengetahui kunjungan orang yang mengunjunginya, tidaklah tepat jika kejadian itu disebut menggunakan kata “mengunjungi” (zara—yazuru). Pemahaman seperti ini jelas dapat dimengerti menggunakan akal sehat bagi semua bangsa.

 

Begitu pula halnya dengan salam kepada para penghuni kubur. Salam yang diucapkan kepada orang yang tidak dapat merasakan dan tidak dapat mengetahui orang yang mengucapkan salam (musallim) adalah sesuatu hal yang mustahil.

 

Rasulullah saw. telah mengajarkan kepada umat beliau bahwa apabila mereka berziarah ke kuburan untuk mengucap,

 

“Salam bagi kalian penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin. Sesungguhnya, kami insyaallah akan bertemu kalian. Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan kalian, sebagaimana Dia merahmati orang-orang yang kemudian. Kami bermohon kepada Allah segala keafiatan bagi kami dan kalian.”

 

Salam seperti ini (dengan menggunakan kalimat seru) hanya dapat digunakan bagi orang yang ada di tempat, mendengar, dapat diajak bicara, berakal, dan dapat menjawab (walaupun si pengucap salam tidak mendengar jawabannya). Apabila seseorang melakukan shalat di dekat orang-orang yang sudah mati, mereka akan menyaksikan orang tersebut, serta mengetahui shalat yang dilakukannya, bahkan mereka merasa iri atas shalat tersebut.

 

Yazid bin Harun berkata: Sulaiman at-Taimi mengabari kami, dari Abu ‘Utsman an-Nahdi bahwa pada suatu hari Ibnu Minas pergi mengantarkan jenazah dengan mengenakan pakaian ringan, sampai langkahnya berakhir di sebuah kuburan.

 

Dia menuturkan, “Di situ, aku lalu melaksanakan shalat dua rakaat, lalu aku bersandar ke kuburan itu. Demi Allah, hatiku masih terjaga ketika aku mendengar suara dari dalam kuburan itu, ‘Menjauhlah engkau dariku, dan janganlah kau sakiti aku! Sesungguhnya, kalian merupakan orang-orang yang dapat berbuat amal, tetapi kalian tidak mengetahui. Sementara kami adalah orang-orang yang mengetahui, tetapi tidak dapat berbuat amal. Sungguh, seandainya aku dapat memiliki kesempatan untuk melakukan shalat dua rakaatmu itu, maka itu lebih aku sukai daripada anu dan anu.’ Rupanya, si mayat penghuni kuburan itu mengetahui orang yang bersandar di kuburnya dan mengetahui pula shalat yang dilakukannya.

 

Ibnu Abud Dunya berkata, Husein bin “Ali al-Ijli menuturkan kepadaku, Muhammad bin Shalat menuturkan kepada kami, Ismail bin “Iyasy menuturkan kepada kami, dari Tsabit bin Salim, Abu Qalabah menuturkan kepada kami, dia berkata, “Suatu Ketika, saat aku berjalan dari Syam menuju Basrah, aku singgah di sebuah tempat. Di situlah aku bersuci, lalu kulaksanakan shalat dua rakaat di malam hari. Kemudian, kuletakkan kepalaku di atas kuburan dan aku pun tertidur. Akan tetapi, tiba-tiba aku terkejut karena penghuni kuburan itu mengeluh kepadaku.

 

Dia berkata, “Engkau telah menyakiti aku sejak malam ini.” Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang dapat berbuat amal tetapi kalian tidak mengetahui, sementara kami adalah orang-orang yang mengetahui tetapi tidak sanggup berbuat amal.” Kemudian dia berkata lagi, “Dua rakaat yang engkau lakukan itu lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” Kemudian dia pun melanjutkan, “Semoga Allah melimpahkan balasan baik kepada para penghuni dunia. Sampaikan salam kami kepada mereka karena sesungguhnya doa mereka masuk kepada kami sebagai cahaya seperti gunung-gunung.”

 

Husein al-Ijli menuturkan kepadaku, Abdullah bin Namir menuturkan kepada kami, Malik bin Mighwal menuturkan kepada kami, dari Manshur, dari Zaid bin Wahb, dia berkata, “Suatu ketika aku keluar menuju kuburan, lalu aku pun duduk di sisi kuburan itu. Kemudian di kuburan itu datang lagi orang yang hendak meratakan tanah kuburan tersebut. Lalu dia menoleh kepadaku seraya duduk. Aku pun berkata kepada orang itu, ‘Kuburan siapakah ini?’

 

‘Saudaraku!’ jawabnya.

 

‘Saudaramu?’ tanyaku.

 

‘Saudaraku fillah!’ jawabnya, ‘Kulihat dia dalam mimpi sebagaimana lazimnya yang dilihat oleh orang yang sedang tidur. Lalu dia berseru, “Alhamdulillah, wahai Fulan segala puji bagi Allah Rabb alam semesta bahwa engkau masih hidup! Sungguh, ketika aku dapat mengucapkan kalimat ini maka itu lebih aku sukai daripada dunia dengan segala isinya.” Kemudian dia berkata, “Tidakkah engkau melihat ketika mereka menguburkanku, lalu ada si Fulan yang berdiri melaksanakan shalat dua rakaat? Sungguh jika aku sanggup untuk melaksanakan shalat dua rakaat itu, maka itu lebih aku sukai daripada dunia dan segala isinya!”

 

Abu Bakar at-Taimi menuturkan kepadaku, “Abdullah bin Shalih menuturkan kepada kami, Laits bin Sad menuturkan kepadaku, Humaid ath-Thawil menuturkan kepadaku, dari Mutharrif bin Abdullah al-Harasyi, dia berkata, “Suatu ketika kami pergi mendatangi Rabi’ di masa hidupnya, lalu kami berkata, “Kita akan masuk di hari Jumat untuk melaksanakan shalat Jumat. Sementara jalan yang kami lalui melewati pemakaman.”

 

Dia melanjutkan, “Kami pun masuk dan kulihat jenazah di sebuah kuburan. Melihat itu, aku berkata, ‘Alangkah baiknya apabila aku beroleh manfaat dari jenazah ini dengan melaksanakan shalat.’ Aku pun menyingkir ke sebuah sudut yang dekat dengan kuburan itu, kemudian aku melaksanakan shalat dua rakaat yang kupendekkan karena aku memang tidak ingin membaguskannya.

 

Setelah itu, aku merasa mengantuk sehingga aku pun tertidur. Dalam tidurku itu, aku bermimpi melihat penghuni kuburan itu berbicara kepadaku. Dia berkata, “Engkau melakukan shalat dua rakaat, tetapi tidak mau memanjangkannya!”

 

Aku pun menyahut, “Itu sudah terjadi.”

 

Penghuni kubur itu berkata, “Kalian merupakan orang-orang yang dapat melakukan amal perbuatan, sedangkan kami hanyalah orang-orang yang tidak bisa lagi melakukan amal perbuatan. Sungguh, seandainya aku dapat melakukan shalat seperti dua rakaat shalatmu itu, maka itu lebih aku cintai daripada dunia seisinya.”

 

Aku bertanya kepadanya, “Siapakah yang dikubur di pemakaman ini?” Dia menjawab, ‘“Mereka semua muslim dan mereka semua telah melakukan kebaikan.” Aku bertanya lagi, “Siapakah di sini yang paling afdal?” Dia pun menunjuk sebuah kuburan. Aku lalu berdoa dalam hati, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah orang itu kepadaku agar aku dapat berbicara dengannya.” Maka keluarlah seorang pemuda dari kuburan yang ditunjuk itu. Aku lalu berkata kepada pemuda itu, “Benarkah engkau adalah yang paling afdal di pekuburan ini?”

 

“Mereka yang berkata seperti itu,” jawabnya

 

“Dengan apa engkau dapat memiliki kedudukan seperti itu? Demi Allah, kulihat engkau belum tua. Tampaknya engkau mendapatkan keutamaan itu dengan panjangnya ibadah haji, umrah, jihad fi sabilillah dan banyaknya amal perbuatan.” Akan tetapi, pemuda itu berkata, “Aku telah banyak diuji dengan berbagai macam musibah dan aku diberi rezeki kesabaran menghadapinya. Sebab itulah, aku menjadi yang paling utama di pemakaman ini.’’

 

Berkenaan dengan berbagai riwayat yang telah disampaikan di atas, walaupun tidak ada satu pun yang secara mandiri dapat memastikan masalah yang sedang kita bahas ini, namun dengan banyaknya riwayat itu yang jumlahnya hanya Allah saja yang tahu semuanya menyampaikan satu pengertian yang sama. Sementara Rasulullah saw. telah bersabda, “Aku melihat mimpi-mimpi kalian menunjukkan satu hal yang sama pada sepuluh yang terakhir.”

 

Yang dimaksud dalam hadis ini yaitu “‘malam qadar’. Jadi, apabila mimpi-mimpi yang dialami oleh orang-orang mukmin menunjukkan satu hal yang sama, maka hal itu sama seperti ketika mereka meriwayatkan sesuatu secara serupa. Hal ini sama seperti ketika mereka bersikap sama untuk membaguskan atau memburukkan sesuatu. Segala sesuatu yang dilihat oleh orang-orang muslim sebagai suatu kebaikan, maka sesuatu itu pasti juga baik di sisi Allah dan segala sesuatu yang dilihat oleh orang-orang muslim sebagai keburukan, maka sesuatu itu pasti juga buruk di sisi Allah. Apalagi kami tidak menetapkan kepastian masalah ini hanya dengan mimpi belaka, melainkan dengan berbagai hujah yang telah kami sampaikan dan sebagainya.

 

Telah dinyatakan dalam kitab ash-Shahih bahwa orang mati meraSa senang dengan orang-orang yang mendampingi jenazahnya setelah dia dimakamkan.

 

Imam Muslim telah meriwayatkan dalam ash-Shahih sebuah hadis dari “Abdurrahman bin Syamasah al-Mahri, dia berkata, “Kami mendatangi “Amr bin ‘Ash ketika dia menjelang kematiannya. Dia pun menangis panjang lalu memalingkan wajahnya ke dinding. Hal itu mendorong anaknya untuk bertanya, ‘Apa yang membuatmu menangis wahai ayah? Bukankah Rasulullah saw. telah menyampaikan berita gembira kepadamu?’”

 

“Amr bin ‘Ash membalikkan wajahnya ke arah anaknya itu dan berkata, “Sesungguhnya bekal kita yang paling utama adalah syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya aku pernah berada di tiga golongan dan aku benar-benar telah melihat diriku tanpa ada seorang pun yang lebih membenci Rasulullah dibandingkan aku. Saat itu, tidak ada sesuatu pun yang lebih aku sukai selain untuk dapat membunuh beliau. Kalau saja aku mati dalam keadaan seperti itu, aku pasti termasuk penghuni neraka.”

 

“Amr melanjutkan, “Ketika Allah swt. menetapkan Islam dalam hatiku, aku pun mendatangi Rasulullah saw. lalu kukatakan kepada beliau, ‘Ulurkanlah tanganmu agar aku dapat membaiat kepadamu.’ Beliau pun mengulurkan tangan kanannya. Lalu ku genggamkan tanganku. Beliau berkata, ‘Ada apa denganmu wahai Amr?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin mengajukan sebuah syarat.’ Beliau bertanya, ‘Apakah syarat itu?’ Aku menjawab, ‘Aku ingin diberi pengampunan.’ Beliau berkata lagi, ‘Tidakkah engkau tahu bahwa Islam akan menghapuskan semua dosa yang sebelumnya, bahwa hijrah akan menghapus semua dosa yang sebelumnya dan bahwa haji akan menghapus semua dosa yang sebelumnya?’ Sejak saat itu, tidak ada seorang pun yang lebih aku cintai melebihi Rasulullah saw. dan tidak ada pula orang yang lebih mulia di mataku melebihi beliau. Sampai-sampai aku tidak pernah sanggup untuk menatap beliau demi memuliakannya. Kalau saja aku diminta untuk menjelaskan sifat-sifat beliau, aku tidak akan sanggup karena aku tidak pernah sanggup memandangnya. Kalau saja aku mati dalam keadaan seperti itu, aku berharap aku akan menjadi penghuni surga.”

 

“Amr melanjutkan, “Tetapi kemudian kami diberi kekuasaan atas banyak hal yang aku tidak tahu seperti apa keadaanku dalam semua itu. Maka apabila aku mati, jangan sampai ada seorang pun perempuan yang meratap dan jangan pula ada api. Apabila kalian menguburkan aku, timbunlah aku dengan tanah. Setelah itu, tetaplah kalian di sekitar kuburanku seperti lama waktu yang dibutuhkan untuk menyembelih binatang. Kemudian dagingnya dibagikan agar aku dapat merasa nyaman dengan kalian dan aku dapat melihat apa tanggapanku kepada para utusan Rabb-ku.”

 

Demikianlah riwayat ini juga menjadi dalil yang menunjukkan bahwa orang mati dapat merasakan senang dengan kedatangan orang-orang yang mengunjungi kuburnya. Telah disebutkan pula, banyak riwayat dari kalangan salaf bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Quran di kuburan mereka di saat pemakaman dilangsungkan.

 

*Abdul Haqq berkata, “Telah diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin -Umar memerintahkan agar di kuburannya dibacakan Surah al-Baqarah. Salah satu orang yang menyaksikan hal itu adalah Ala’ bin ‘Abdurrahman. Imam Ahmad semula menyangkal hal itu karena tidak ada atsar yang sampai kepadanya mengenai peristiwa itu, tetapi kemudian Imam Ahmad mencabut pendapatnya itu.”

 

Khallal menyatakan dalam al-Jami’ dalam Kitab al-Quran ‘inda al-Qubur (Membaca al-Quran di Kuburan), “Abbas bin Muhammad ad-Duri mengabari kami, Yahya bin Main menuturkan kepada kami, Mubasysyir al-Halabi menuturkan kepada kami, “Abdurrahman bin “Ala bin Lajlah menuturkan kepadaku, dari ayahnya, dia berkata, “Ayahku berkata, ‘Apabila aku mati, letakkanlah aku dalam lahad. Lalu ucapkanlah, Bismillah wa ‘ala sunnati rasulillah (Dengan nama Allah dan di atas sunah Rasulullah). Lalu, urukkanlah tanah di atas tubuhku seraya bacakanlah di sisi kepalaku ayat-ayat pembuka Surah al-Baqarah dan ayat-ayat penutupnya karena sesungguhnya aku telah mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar mengatakan itu.’”

 

‘Abbas ad-Duri berkata: Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hambal. Aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau hafal riwayat mengenai masalah bacaan al-Quran di kuburan?” Dia menjawab, “Tidak.” Aku bertanya kepada Yahya bin Ma‘in, dia pun menuturkan riwayat hadis-hadis ini kepadaku.

 

Khallal berkata: Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabariku, “Ali bin Musa al-Hadda—dia orang yang sangat jujur—menuturkan kepadaku, dia berkata, “Suatu ketika aku bersama Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari pada seorang jenazah. Ketika orang mati itu dikuburkan, seorang lelaki tunanetra duduk di sisi kuburannya merapalkan al-Quran. Ahmad berkata kepada lelaki itu, ‘Hai kau! Membaca al-Quran di kuburan itu bidah!”

 

Setelah kami keluar dari pekuburan itu, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hambal, “‘Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu mengenai Mubasysyir al-Halabi?”’

 

Ahmad bin Hambal menjawab, “Dia adalah tepercaya (tsiqah).”

 

Ibnu Qudamah bertanya lagi, “Apakah engkau menulis sesuatu darinya?”’

 

Ahmad bin Hambal menjawab, “Ya.”

 

Ibnu Qudamah berkata, ‘“Kalau begitu, Mubasysyir telah mengabariku, dari ~

‘Abdurrahman bin Ala bin Lajlaj, dari ayahnya bahwa dia mewasiatkan agar jika dia dikuburkan, hendaklah dibacakan di sisi kepalanya ayat-ayat pembuka dan penutup Surah al-Baqarah.” Dia juga berkata, “Aku juga telah mendengar Ibnu Umar mewasiatkan yang seperti itu.”” Demi mendengar itu, Ahmad pun berkata, “Kalau begitu kembalilah engkau dan katakanlah kepada lelaki itu untuk membacakan al-Quran di kuburan itu.”

 

Hasan bin Shabah az-Zafarani berkata, “Aku bertanya kepada Imam Syafi’i mengenai hukum membaca al-Quran di kuburan. Imam Syafi’i menjawab, ‘Itu tidak apa-apa.’”

 

Khallal menuturkan riwayat dari asy-Sya’bi, dia berkata, “Dulu orang-orang Anshar apabila ada seseorang yang meninggal dunia, mereka akan sering mendatangi kuburan orang itu untuk mereka bacakan al-Quran di kuburannya.”

 

Dia berkata: Abu Yahya an-Naqid mengabariku, dia berkata, “Aku mendengar Hasan bin al-Jarawi berkata, ‘Aku pernah lewat di kuburan seorang saudara perempuanku, lalu aku bacakan di kuburannya itu Surah Tabarak (al-Mulk) karena apa yang disebutkan padanya. Seseorang lalu mendatangiku dan berkata: Sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu dalam mimpiku. Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Abu “Ali karena aku mendapatkan manfaat dari apa yang dibacanya.”

 

Hasan bin Haitsam mengabariku, dia berkata, “Aku pernah mendengar Abu Bakar bin Athrusy bin Binti Abu Nashr at-Tammar berkata, ‘Ada seorang lelaki yang selalu mendatangi kuburan ibunya pada hari Jumat dan membacakan Surah Yasin. Pada suatu hari, dia datang ke kuburan ibunya lalu membaca Surah Yasin. Kemudian berdoa, ‘Ya Allah, jika Engkau memberi pahala bagi surah ini, jadikanlah pahala itu bagi penghuni pekuburan ini.’ Pada Jumat berikutnya, seorang perempuan datang dan bertanya kepada lelaki itu, ‘Apakah engkau si Fulan bin Fulanah?’ Lelaki itu menjawab, ‘Ya.’”

 

Perempuan itu berkata: Sesungguhnya anak perempuanku telah meninggal, lalu kulihat dia dalam mimpiku sedang duduk di pinggir kuburannya. Aku pun bertanya kepadanya, “Mengapa engkau duduk di situ?” Dia menjawab, “Sesungguhnya Fulan bin Fulanah biasa mendatangi kuburan ibunya dan membacakan Surah Yasin, lalu dia memohon pahala bacaan itu bagi semua penghuni pekuburan ini sehingga kami semua mendapatkan ketenangan karena itu, menerima pengampunan dan lain sebagainya.”

 

Dalam riwayat Nasa’i dan lainnya terdapat hadis,

 

Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani, dari Rasulullah saw., bahwa beliau saw. pernah bersabda, “Bacakanlah Yasin oleh kalian pada orang-orang yang mati di antara kalian.”

 

Sabda Rasulullah saw. ini mengandung kemungkinan pengertian bahwa yang beliau maksud yaitu perintah membaca Surah Yasin bagi orang yang sedang mengalami sakratulmaut. Dengan begitu, hadis-hadis ini serupa dengan sabda beliau yang berbunyi, “Talkinkanlah orang-orang yang mati di antara kalian dengan La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah).”

 

Akan tetapi, ada pula kemungkinan pengertian bahwa yang dimaksud yaitu membaca Surah Yasin di kuburan. Walaupun pengertian yang pertama tampaknya lebih tepat disebabkan beberapa alasan berikut ini:

 

Pertama: Hadis-hadis ini serupa dengan sabda Rasulullah saw., “Talkinkanlah orang-orang yang mati di antara kalian dengan ‘La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah)’.”

 

Kedua: Adanya manfaat Surah Yasin bagi orang yang sedang mengalami sakratulmaut, sebab di dalam surah ini terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid, akhirat, berita gembira berupa surga bagi ahli tauhid dan dorongan untuk menginginkan kematian seperti orang yang disebutkan dalam ayat,

 

“Dikatakan (kepadanya), ‘Masuklah ke surga.’ Ia_berkata, ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’ (QS. Yasin [36]: 26-27)

 

Dan ayat-ayat itu membuat ruh menjadi gembira sehingga dia akan menyukai perjumpaan dengan Allah sebagaimana Allah juga menyukai perjumpaan dengannya. Apalagi Surah Yasin merupakan surah yang disebut sebagai “Jantung al-Quran” (qalb al-qur’an), serta memiliki khasiat yang menakjubkan dalam bacaannya bagi orang yang sedang sekarat.

 

Abul Faraj bin al-Jauzi menuturkan, “Ketika kami bersama syekh kami Abul Waqt ‘Abdul Awwal yang sedang mengalami sakratulmaut, akhir dari apa yang dia alami bersama kami adalah dia memandang ke arah langit, tersenyum, lalu dia berucap: ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan.’ (QS. Yasin [36]: 26-27)

 

Kemudian dia pun wafat.”

 

Ketiga: Sudah menjadi amalan orang banyak serta menjadi kebiasaan mereka, baik dulu maupun sekarang, mereka selalu membacakan Surah Yasin untuk orang yang sedang sekarat.

 

Keempat: Apabila memang para sahabat Rasulullah saw. memahami sabda Rasulullah saw., “Bacakanlah Yasin oleh kalian pada orang-orang yang mati di antara kalian,” sebagai perintah agar mereka membaca Surah Yasin di kuburan, pastilah mereka tidak akan mengabaikan perintah Rasulullah saw. itu karena perintah itu merupakan perintah yang telah mereka ketahui dengan baik.

 

Kelima: Manfaat yang didapat oleh orang yang sekarat dari mendengar bacaan Surah Yasin serta hadirnya hati dan pikirannya saat surah itu dibacakan, agar semua itu menjadi akhir dari segala amalnya di dunia. Itulah yang menjadi maksud dari sabda Rasulullah itu. Sementara perbuatan membaca Surah Yasin di kuburan seseorang, tentu saja tidak akan melahirkan pahala bagi si penghuni kuburan karena pahala hanya akan didapat dengan membaca atau mendengar, yang keduanya merupakan bentuk amal perbuatan, padahal orang yang sudah mati sudah tidak dapat lagi melakukan amal perbuatan apa pun.

 

Pasal

 

Berkenaan dengan masalah ini, ada sebuah keterangan dari al-Hafizh Abu Muhammad Abdul Haqq al-Isybili. Dia berkata, “Telah dinyatakan bahwa orang-orang mati bertanya tentang orang-orang yang masih hidup serta mengetahui ucapan dan amal perbuatan mereka.”

 

Lalu dia berkata, “Abu ‘Umar bin ‘Abdul Barr menyebutkan sebuah hadis dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi saw., beliau bersabda, ‘Tidak ada seorang pun yang lewat di dekat kuburan saudara mukmin yang dikenalnya, lalu dia mengucapkan salam kepada saudaranya itu, kecuali dia (si orang mati itu) mengetahui hal itu dan menjawab salamnya.’”

 

Hadis-hadis ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dengan status maukuf. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila dia (si orang lewat) tidak mengenalnya (si mayat) dan mengucapkan salam kepadanya, maka dia (si mayat) akan menjawab salam kepadanya itu.”

 

Telah diriwayatkan pula sebuah hadis dari Aisyah ra. bahwa dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang mengunjungi kuburan saudaranya lalu duduk di sisinya, kecuali dia (si penghuni kubur) akan merasa senang dengan itu sampai dia berdiri.”

 

Al-Hafizh Abu Muhammad berhujah dalam masalah ini dengan riwayat yang berasal dari Abu Dawud yang termaktub dalam as-Sunan, yaitu hadis-hadis dari Abu Hurairah ra. Dia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang mengucapkan salam kepadaku, kecuali Allah swt. mengembalikan ruhku kepadaku hingga aku jawab salam itu kepadanya.”?

 

Sulaiman bin Nu’aim berkata, “Aku pernah bermimpi melihat Rasulullah saw. dalam tidurku. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, mereka itu orang-orang yang mendatangimu dan mengucapkan salam kepadamu. Apakah engkau mengetahui mereka?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Ya. Dan aku menjawab salam mereka.’ Rasulullah saw. mengajari para sahabat beliau untuk mengucapkan doa setiap kali mereka memasuki pekuburan, ‘As-salam ‘alaikum ahla ad-diyar” (Salam atas kalian wahai penghuni hunian) Hadis-hadis ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa orang mati mengetahui salam orang yang mengucapkan salam kepadanya, serta mengetahui doa orang hidup yang berdoa untuknya. Abu Muhammad berkata, Telah disebutkan sebuah riwayat dari Fadhl bin Muwaffaq, dia berkata, “Aku berkali-kali mendatangi kuburan ayahku dan aku sering melakukan hal itu. Pada suatu hari, aku melihat jenazah di sebuah kuburan yang akan dikuburkan di situ. Akan tetapi, aku terburu-buru untuk suatu keperluan sehingga tidak kudatangi jenazah itu. Pada malam harinya, aku melihat orang yang mati itu dalam mimpiku. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, mengapa tak kau datangi aku?’

 

Kujawab, ‘Wahai ayahku, apakah engkau benar-benar mengetahuiku jika aku datangi dirimu?’ Dia menjawab, ‘Ya, demi Allah, wahai anakku! Aku akan terus dapat melihatmu ketika engkau meniti jembatan itu sampai kau tiba di dekatku, duduk, lalu berdiri. Aku terus dapat melihatmu sampai engkau melintasi jembatan itu.’”

 

Ibnu Abud Dunya berkata: Ibrahim bin Sayyar al-Kufi menuturkan kepadaku, dia berkata, “Fadhl bin Muwaffiq menuturkan kepadaku…” Lalu dia menyampaikan kisah tersebut di atas.

 

Ada sebuah riwayat berstatus sahih dari “Amr bin Dinar bahwa dia berkata, “Tidak ada seorang mayat pun yang mati, kecuali dia mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya sepeninggalnya. Mereka memandikannya, mengafaninya, dan sebenarnya dia melihat mereka.” Ada pula sebuah riwayat berstatus sahih dari Mujahid bahwa dia berkata, “Sesungguhnya seseorang (yang sudah mati) akan merasa gembira di dalam kuburannya berkat kesalihan anaknya sepeninggalnya.”

 

Pasal

 

Dalil lain yang menunjukkan hal ini, yaitu suatu kebiasaan yang diamalkan oleh orang banyak di masa lalu sampai sekarang dalam bentuk tindakan talkin kepada mayat di liang kuburnya. Kalau memang si mayat tidak dapat mendengar talkin tersebut serta memperoleh manfaat darinya, tentulah tidak ada faedahnya tindakan talkin karena itu akan menjadi sebuah kesia-siaan.

 

Suatu ketika Imam Ahmad ditanya mengenai talkin dan ternyata beliau menyatakan talkin merupakan bagian dari sebuah kebaikan. Adapun hujah yang beliau pakai adalah amal yang dipraktikkan oleh kaum muslimin.

 

Mengenai masalah talkin ini, telah diriwayatkan sebuah hadis daif yang disampaikan oleh Thabrani dalam al-Mu’jam, yaitu hadis dari Abu ‘Umamah, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang dari kalian mati. Lalu kalian ditimbun jasadnya dengan tanah, hendaklah ada seorang dari kalian yang berdiri di dekat kepala kuburannya lalu berkata, ‘Wahai Fulan bin Fulanah!’ Sesungguhnya dia dapat mendengar, tetapi tidak dapat menyahut. Kemudian hendaklah orang itu berucap, ‘Wahai Fulan bin Fulanah!’ ucapan yang kedua. Maka si mayat itu akan bangkit duduk tegak. Kemudian hendaklah orang itu berucap lagi, ‘Wahai Fulan bin Fulanah!’ ucapan yang ketiga. Maka si mayat itu akan menyahut, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu!’ Akan tetapi, kalian tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian hendaklah orang itu berkata, ‘Ucapkanlah kalimat yang dengannya engkau keluar dari dunia ini: Syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Bahwa engkau rela Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi, al-Quran sebagai imam. Sesungguhnya Munkar dan Nakir akan mundur masing-masing dari mereka berdua itu lalu berkata, ‘Pergilah, apakah masih ada gunanya kita duduk di sisi orang ini sementara telah ditalkinkan kepadanya hujahnya? Sementara Allah akan menjadi pembelanya tanpa keduanya.’”

 

Demi mendengar itu. seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana apabila dia tidak diketahui nama ibunya?” Rasulullah saw. menjawab, “Hendaklah dia dinasabkan kepada ibunya, Hawa.”

 

Hadis-hadis ini, walaupun status kesahihannya tidak kuat, namun pada wilayah praktiknya terjadi di semua kota, di sepanjang masa, tanpa ada penyangkalan padanya, sudah cukup sebagai dalil untuk mengamalkannya.

 

Allah tentu tidak akan membiarkan adanya adat kebiasaan seperti ini pada suatu umat yang telah menyebar ke segala penjuru barat timur dunia. Umat tersebut merupakan umat yang paling sempurna akalnya serta paling melimpah pengetahuannya. Juga adat kebiasaan tersebut yang berupa bicara dengan orang yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat berpikir, umat ini juga menganggap semua itu baik tanpa pernah ada yang menyangkalnya. Bahkan di kalangan awal, umat ini mentradisikannya bagi generasi berikutnya. Generasi berikutnya dari mereka

mengikuti adat kebiasaan ini dari kalangan awal umat ini.

 

Jadi kemungkinannya hanyalah, bahwa orang yang diajak bicara (dalam talkin) itu memang dapat mendengar. Karena kalau tidak, berarti apa yang diucapkan itu sama saja seperti pembicaraan dengan tanah, kayu, batu atau sesuatu yang tidak ada. Hal seperti ini, jika dianggap baik oleh seseorang, maka orang-orang yang berakal sehat tentu akan menganggap itu sebagai sesuatu yang buruk.

 

Abu Dawud telah meriwayatkan dari as-Sunan dengan sanad yang dapat diterima (la ba‘sa bih), bahwa Rasulullah saw. suatu ketika menghadiri jenazah seseorang. Ketika jenazah itu dimakamkan, beliau bersabda, “Mohonkanlah oleh kalian ketetapan bagi saudara kalian ini karena sesungguhnya sekarang dia sedang ditanya.” Dalam sabda itu Rasulullah saw. mengabarkan bahwa si mayat sedang ditanya pada saat itu. Apabila si mayat sedang ditanya pada saat itu, maka pastilah dia dapat mendengar pula talkin yang dirapalkan kepadanya.

 

Ada sebuah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa mayat dapat mendengar suara terompah ketika para pengantarnya beranjak pulang.

 

‘Abdul Haqq menuturkan sebuah riwayat dari seorang saleh yang berkata, “Seorang saudaraku wafat, lalu kulihat dia dalam mimpiku. Aku berkata kepadanya, ‘Wahai saudaraku, bagaimana keadaanmu ketika engkau diletakkan di dalam kuburmu?’ Dia menjawab, ‘Aku didatangi sesosok makhluk dengan membawa kobaran api. Kalau saja bukan karena ada pendoa yang mendoakanku aku pasti binasa.’”

 

Syabib bin Syaibah berkata: Ibuku berwasiat kepadaku menjelang kematiannya. Dia berkata, “Wahai anakku, apabila engkau kubur jasadku, berdirilah engkau di sisi kuburanku lalu katakanlah, ‘Wahai Umm Syaibah katakanlah La ilaha illallah!’ Ketika aku menguburkan jenazah ibuku, aku pun berdiri di sisi kuburannya lalu berucap, ‘Wahai Umm Syaibah katakanlah: La ilaha illallah’!’ Kemudian aku pergi. Setelah malam tiba, aku bermimpi melihat ibuku dalam tidur. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hampir saja aku celaka kalau bukan karena engkau mengucapkan La ilaha illallah kepadaku. Sungguh engkau telah menjaga wasiatku kepadamu wahai anakku.’’

 

Ibnu Abid Dunya menuturkan sebuah riwayat dari Tumadhir binti Sahl, istri Ayyub bin ‘Uyainah, dia berkata: Aku pernah melihat Sufyan bin ‘Uyainah dalam tidurku. Dia berkata kepadaku, “Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada saudaraku Ayyub karena dia sering menziarahiku dan dia ada di sisiku hari ini.” Ayyub lalu berkata, “Ya, aku memang mendatangi kuburannya hari ini.” Maka dia (istri Ayyub) mendatangi kuburannya.

 

Ada sebuah riwayat sahih dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit, dari Syahr bin Hausyab, bahwa Sha’b bin Jatstsamah dan ‘Auf bin Malik, mereka berdua bersaudara. Sha’b berkata kepada ‘Auf, ‘‘Wahai saudaraku, siapa pun di antara kita yang meninggal dunia lebih dulu, maka hendaklah dia menampakkan dirinya dalam mimpi.”’ Dia berkata, “Apakah itu dapat terjadi?” Dia menjawab, “Ya.”

 

Beberapa waktu kemudian Sha’b pun meninggal dunia. ‘Auf lalu melihat saudaranya itu dalam mimpinya seperti yang lazim dilihat orang yang sedang tidur, seakan-akan saudaranya itu mendatanginya.

 

‘Auf berkata, “Wahai saudaraku!”

 

Sha’b menyahut, “Ya.”

 

‘Auf berkata, “Apakah yang dilakukan pada kalian?”’

 

Shab menjawab, “Kami semua diampuni setelah munculnya uban.”

 

Kulihat saudaraku itu ada noktah hitam di lehernya. Aku pun bertanya, “Wahai saudaraku, apakah itu?”

 

Dia (Sha’b) menjawab, “Ini akibat sepuluh dinar yang kupinjam dari si Fulan orang Yahudi. Ada uang sepuluh dinar di dalam wadah anak panahku, berikanlah oleh kalian uang itu kepadanya. Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa tidak ada kejadian apa pun yang terjadi di tengah keluargaku setelah kematianku, kecuali sampai kepadaku kabar tentang semua itu, sampai-sampai ketika kucing milik kami mati beberapa hari lalu. Ketahuilah bahwa putriku akan mati enam hari lagi, jadi berbuat baiklah kalian kepadanya.”

 

Pada pagi harinya, aku berkata bahwa mimpiku itu merupakan sebuah pertanda. Kudatangi keluarga Sha’b. Setibanya di sana mereka berkata, “Selamat datang wahai ‘Auf! Apakah seperti ini engkau perlakukan peninggalan saudaramu? Engkau tak pernah menyambangi kami setelah Sha’b meninggal.”

 

Aku pun mengemukakan alasan sebisaku seperti layaknya yang dilakukan orang-orang. Saat itu aku melihat wadah anak panah milik Sha’b. Kuturunkan wadah itu lalu kutumpahkan seluruh isinya dan ternyata kutemukan sebuah kantong yang berisi beberapa keping uang dinar. Uang-uang itu lalu kukirimkan kepada si Yahudi. Kepada orang Yahudi itu kukatakan, “Apakah engkau memiliki hak yang menjadi kewajiban Sha’b?”

 

Si Yahudi menjawab, “Semoga Allah merahmati Sha’b. Dia adalah salah satu sahabat Muhammad yang terbaik. Semua uang itu adalah miliknya.” Demi mendengar itu, aku pun berkata, “Tolong beri tahu aku mengapa begitu?” Si Yahudi berkata, “Ya. Aku memang pernah meminjamkan uang sepuluh dinar kepadanya. Akan tetapi, kurelakan semua itu kepadanya. Demi Allah, memang segitulah jumlahnya.” Aku berkata, “Ini satu wadah ini.”

 

Setelah itu, aku kembali menemui keluarga Sha‘b dan aku bertanya kepada mereka, “Apakah ada kejadian yang terjadi di tengah kalian setelah kematian Sha’b?” Mereka menjawab, “Ya. Terjadi di tengah kami kejadian anu. Terjadi di tengah kami kejadian anu.” Aku menukas, “Sebutkanlah semuanya.” Mereka berkata, “Baiklah. Ada seekor kucing kami yang mati beberapa hari lalu.” Aku pun bergumam, “Sudah dua pertanda.” Aku lalu berkata kepada keluarga Sha’b, “Di manakah anak perempuan saudaraku Sha’b?”

 

Mereka menjawab, “Sedang main!” Anak perempuan Sha’b itu lalu dibawa kepadaku. Kupegang anak itu dan ternyata badannya sedang demam. Aku lalu berkata kepada keluarga Sha’b, “Perlakukanlah dia dengan baik!” Enam hari Setelah itu anak perempuan tersebut meninggal dunia.

 

Semua itu dapat terjadi karena pemahaman mendalam yang dimiliki ‘Auf rahimahullah, yang merupakan generasi sahabat. Dia telah melaksanakan wasiat Sha’b bin Jatstsamah setelah kematian sahabatnya itu sehingga kemudian dia mengetahui kebenaran ucapan Sha’b tentang wadah anak panah yang dia sampaikan kepadanya; yaitu bahwa ada uang sepuluh dinar di dalam wadah anak panahnya. Dia bertanya kepada si Yahudi dan ternyata semua ucapannya cocok dengan apa yang disampaikan Sha‘b dalam mimpi “Auf. “Auf pun meyakini kebenaran semua itu sehingga kemudian dia memberikan uang dinar milik Sha‘b kepada si Yahudi.

 

Demikianlah pemahaman mendalam yang memang layak dimiliki oleh orang-orang yang memiliki pemahaman paling baik dan sekaligus paling berpengetahuan; yaitu para sahabat Rasulullah saw. Walaupun ada banyak orang-orang sekarang yang mengingkari riwayat tersebut dengan berkata, “Bagaimana mungkin “Auf diperbolehkan menyerahkan uang-uang dinar itu kepada si Yahudi berdasarkan sebuah mimpi.

 

padahal uang-uang itu adalah warisan milik anak-anak yatim dan para ahli waris yang “Auf tinggalkan?”

 

Ada sebuah riwayat lain yang menunjukkan kedalaman pemahaman yang Allah berikan secara khusus kepada orang-orang tertentu dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Riwayat itu adalah kisah Tsabit bin Qais bin Syammas. Riwayat ini dituturkan oleh Abu ‘Umar bin Abdul Barr dan para perawi lainnya.

 

Abu ‘Umar berkata, ‘Abdul Warits bin Sufyan mengabari kami, Qasim bin Ashbagh menuturkan kepada kami, Abu Zinbagh Rauh bin Said bin ‘Afir dan ‘Abdul ‘Aziz bin Faraj menuturkan kepada kami, Malik bin Anas mengabari kami Yahya al-Madini mengabari kami, dari Ibnu Syihab, dari Isma‘il bin Muhammad bin Tsabit al-Anshari, dari Tsabit bin Qais bin Syammas, bahwa Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Wahai Tsabit, tidakkah engkau rela untuk hidup terpuji, terbunuh sebagai syahid dan masuk surga?” Malik berkata, “Tsabit bin Qais tewas dalam Perang Yamamah sebagai syahid.”

 

Abu ‘Umar berkata, “Hisyam bin ‘Ammar meriwayatkan, dari Shadaqah bin Khalid, ‘Abdurrahman bin Yazid bin Jabir menuturkan Atha al-Khurasani menuturkan kepadaku, kepada kami, dia berkata, dia berkata, “Anak perempuan Tsabit bin Qais bin Syammas menuturkan kepadaku, dia berkata: Ketika turun ayat:

 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian sedangkan kalian tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat [49]: 2)

 

Ayahnya memasuki rumahnya lalu menutup pintunya. Rasulullah saw. rupanya merasa Kehilangan ayahnya sehingga kemudian beliau mengirim orang untuk menanyakan kabarnya, “Bagaimana kabarnya?” Tsabit lalu menjawab, “Aku seorang lelaki dengan suara lantang. Aku khawatir amalku menjadi sia-sia.” Rasulullah saw. bersabda, “Engkau tidak termasuk mereka itu. Alih-alih engkau justru akan hidup dengan baik dan mati dengan baik.”’ Lalu ketika turun ayat:

 

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)

 

Tsabit kembali menutup pintu rumahnya lalu menangis. Rasulullah saw. kembali merasa kehilangan sehingga beliau mengirim orang untuk mencarinya. Setelah bertemu Rasulullah saw., Tsabit berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai keindahan dan aku suka untuk memimpin kaumku.”

 

Rasulullah saw. menjawab, “Engkau tidak termasuk golongan mereka. Alih-alih engkau justru akan hidup dengan baik, mati dengan baik dan akan masuk surga.”

 

Anak perempuan Tsabit bin Qais berkata: Ketika Perang Yamamah berkobar, dia (Tsabit) berangkat bersama Khalid bin Walid untuk melawan Musailamah. Ketika mereka bertemu musuh, mereka pun bertempur. Saat itu Tsabit dan Salim Maula Abu Hudzaifah berkata, “Tidaklah seperti ini dulu kami berperang bersama Rasulullah!” Masing-masing mereka lalu menggali lubang. Lalu mereka menetap di situ untuk bertempur sampai akhirnya mereka berdua terbunuh. Pada saat itu Tsabit membawa perisai yang mahal harganya. Ketika seorang lelaki muslim lewat di dekatnya, perisai itu diambil oleh lelaki tersebut.

 

Pada malam harinya, ketika seorang lelaki muslim lain tidur, Tsabit bin Qais mendatangi lelaki itu di dalam mimpinya. Tsabit berkata kepada orang itu, “Aku akan mewasiatkan satu wasiat padamu. Jangan sampai engkau mengatakan bahwa ini sekadar mimpi sehingga engkau akan menyia-nyiakannya! Sesungguhnya ketika aku terbunuh kemarin, seorang lelaki muslim lewat di dekatku, lalu dia mengambil perisai milikku. Tempatnya yaitu di ujung pasukan. Di kemahnya ada kuda yang tingginya sedang. Dia telah menyembunyikan perisai itu di bawah sebuah periuk, yang di atas periuk itu diletakkan sebuah pelana. Jadi, engkau datangilah Khalid lalu perintahkan dia untuk mengirim orang guna mencari perisaiku lalu mengambilnya. Apabila engkau sampai di Madinah, temuilah Khalifah Rasulullah saw. yaitu Abu Bakar Shiddiq lalu katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku menanggung utang sekian sekian. Lalu si Fulan budak milikku menjadi orang merdeka dan juga si Fulan.’”

 

Keesokan paginya, lelaki muslim yang ditemui Tsabit dalam mimpi itu langsung menemui Khalid bin Walid ra. guna menyampaikan isi mimpinya. Khalid pun mengutus orang untuk mengambil perisai tersebut. Si lelaki muslim itu berbicara kepada Abu Bakar ra. mengenai mimpinya dan ternyata Abu Bakar ra. membolehkan wasiat Tsabit itu. Saat itu Abu Bakar ra. berkata, “Aku tidak pernah mengetahui ada seorang pun yang kubolehkan wasiatnya setelah kematiannya selain Tsabit bin Qais rahimahulléh.” Sampai di sinilah akhir riwayat yang disampaikan oleh Abu ‘Umar.

 

Demikianlah ternyata Khalid bin Walid ra. dan Abu Bakar ra. beserta sahabat lain ternyata bersepakat untuk melaksanakan isi mimpi itu serta memenuhi isi wasiat yang disampaikan dalam mimpi itu. Bahkan Khalid langsung menyita perisai milik Tsabit dari orang yang mengambilnya, berdasarkan informasi yang berasal dari mimpi itu. Tentu saja semua itu menunjukkan kedalaman pemahaman mereka.

 

Ketika Abu Hanifah. Ahmad, dan Malik menerima pernyataan pihak yang menggugat di antara sepasang suami istri, yang gugatan itu baik bagi si penggugat dan tidak baik bagi pasangannya, dengan adanya tanda-tanda kejujuran dari suami; tentulah hal ini (maksudnya, petunjuk mimpi Penj.) lebih dapat diterima.

 

Begitu pula halnya Abu Hanifah yang menerima pernyataan penggugat tembok dengan melihat posisi kayu penyangga dan ikatan kain peneduh pada tembok yang bersangkutan.

 

Allah swt. telah menetapkan hukuman had terhadap perempuan berdasarkan sumpah dari pihak suami dengan adanya tanda-tanda penyangkalan dari istri karena itu merupakan salah satu bukti yang paling jelas menunjukkan kejujuran suami. Yang lebih dapat diterima dari itu, yaitu hukuman mati yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang menjadi objek sumpah, dengan adanya sumpah dari beberapa orang penggugat, disertai kronologi yang jelas berupa bukti meski lemah dan tidak sempurna (lauts).

 

Allah swt. telah menetapkan diterimanya pernyataan para penggugat pada warisan salah seorang di antara mereka yang meninggal dunia. Apabila orang yang bersangkutan meninggal dalam perjalanan lalu dia berwasiat kepada dua orang lelaki non-muslim, lalu para ahlj waris melihat adanya sikap khianat dari kedua penerima wasiat itu. Sementara mereka berdua bersumpah atas nama Allah yang mereka memang berhak melakukan itu, sumpah mereka berdua lebih utama daripada sumpah para ahli waris. Masalah ini telah Allah swt. jelaskan di akhir Surah al-Maidah dan menjadi ayat al-Quran yang terakhir turun, sehingga tidak ada lagi ayat yang menasakhnya dan para sahabat pun mengamalkannya.

 

Semua ini menjadi dalil yang menunjukkan bahwa putusan hukum dapat ditetapkan pada harta berdasarkan bukti yang lemah dan tidak sempurna (lauts). Apabila nyawa seseorang saja dapat menjadi halal melalui hukuman mati berdasarkan bukti yang lemah dan tidak sempurna (lauts) dalam perkara sumpah dengan segala risiko bahayanya, penggunaan bukti yang lemah dan tidak sempurna (lauts)—yang berupa tanda-tanda yang tampak—untuk menetapkan putusan pada perkara harta tentu saja lebih utama dan lebih layak.

 

Dengan dasar yang sama inilah para pemimpin yang adil bertindak dalam menarik kembali barang-barang curian dari para pelaku pencurian, sampai-sampai banyak orang yang menyangkal hal ini tetap meminta bantuan kepada mereka apabila harta mereka dicuri.

 

Allah swt. telah menceritakan sosok saksi yang menyaksikan peristiwa yang terjadi pada diri Yusuf ash-Shiddiq as. dan istri al-‘Aziz; yaitu ketika al-‘Aziz menetapkan putusan hukum berdasarkan tanda-tanda yang menunjukkan kejujuran Yusuf dan kedustaan istrinya. Allah swt. tidak menyangkal hal ini, bahkan Dia juga menyampaikan cerita itu sebagai bentuk pengakuan padanya.

 

Rasulullah saw. telah menyampaikan sebuah cerita mengenai Nabi Sulaiman bin Daud as., ketika Sulaiman as. menetapkan putusan hukum terhadap dua orang perempuan yang mengaku sebagai pemilik seorang berdasarkan tanda-tanda yang tampak baginya. Kala itu.

 

Sulaiman as. berkata, “Berilah aku pisau agar dapat kubelah bayi ini.” Si perempuan tua itu berkata, “Aku rela itu dilakukan.” Sementara perempuan yang satu lagi berkata, “Jangan engkau lakukan itu. Anak tersebut merupakan anak perempuan itu!” Ternyata kemudian Sulaiman as. menetapkan bahwa anak bayi itu milik perempuan tersebut karena Sulaiman as. mengetahui adanya rasa sayang dan kasih yang bersemayam dalam diri perempuan sehingga dia merelakan bayi itu untuk dimiliki seterusnya asalkan si bayi dapat tetap hidup.

 

Putusan hukum yang ditetapkan oleh Sulaiman as. itu merupakan salah satu putusan hukum terbaik dan teradil yang pernah ada. Sementara syariat Islam mengukuhkan hal yang sama dan menyatakan kesahihannya. Bukankah penetapan hukum berdasarkan pendapat para ahli tanda nasab (al-qafah) dan penetapan nasab menggunakan itu tidak lain merupakan bentuk penggunaan tanda-tanda yang sebenarnya tidak terlalu jelas dengan segala kesamaran dan ketersembunyian tanda-tanda itu?

 

Jadi, berbagai tanda yang muncul dalam mimpi “Auf bin Malik dan kisah Tsabit bin Qais jelas termasuk satu di antara sekian banyak tanda-tanda yang disebutkan tadi. Alih-alih tanda (yang muncul dalam mimpi “Auf dan kisah Tsabit) itu justru lebih kuat jika dibandingkan dengan tanda-tanda berupa posisi kain peneduh di tembok. Kebaikan yang didapat penggugat dari objek gugatan dalam kasus yang melibatkan pasangan suami istri atau dua orang yang berseteru karena tanda ini (yang muncul dalam mimpi ‘Auf dan kisah Tsabit) begitu jelas dan tidak tersembunyi sama sekali. Dan lagi, fitrah dan akal sehat manusia telah menyaksikan kebenarannya. Wa billahi-taufiq.

 

Alhasil, terjawablah sudah pertanyaan si penanya. Apabila berbagai hal kecil yang terperinci seperti yang sudah dijelaskan tadi saja diketahui oleh orang yang sudah mati, tentu saja mereka lebih tahu mengenai kunjungan, ucapan salam dan doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang masih hidup untuk mereka.


Tiada ulasan: