Catatan Popular

Selasa, 19 Februari 2013

KITAB ILMU IHYA ULUMUDDIN :BERLEBIH KURANGNYA MANUSIA TENTANG AKALNYA (SIRI 16)


KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN

Sambungan bab 7.... SIRI 16

Berlebih Kurangnya Manusia Tentang Akalnya


PENJELASAN : Berlebih Kurangnya Manusia Tentang Akalnya.


Sesungguhnya berbedalah manusia tentang berlebih kurang akalnya. Dan tak ada artinya bekerja menyalin perkataan orang-orang yang hasilnya sedikit sekali. Akan tetapi, yang lebih utama dan yang penting, ialah bersegera menegaskan kebenaran.

 Kebenaran yang tegas padanya ialah dikatakan, bahwa berlebih-kurangnya akal itu menempuh pada empat bahagian, selain bahagian yang kedua. Yaitu ilmu dlaruri tentang jaiznya barang yang jaiz (1) dan mustahilnya barang yang mustahil. (2)

1.Jaiz = Sesuatu Yang Boleh Jadi Ada , Boleh jadi Tiada
2. Mustahil = Sesuatu yang tak diterima akal , terjadinya dan adanya

Orang yang mengetahui bahwa dua adalah lebih banyak dari satu maka dia mengetahui juga mustahil adanya satu tubuh itu pada dua tempat dan adanya satu benda itu qadim dan hadits.

Begitu juga bandingan-bandingan yang lain dan seluruh apa yang dapat diketahui sebagai pengetahuan yang diyakini tanpa ragu-ragu-

Adapun yang tiga bahagian lagi, maka berlakulah berlebih kurang-nya akal padanya.

Dan bahagian yang keempat yaitu, : kerasnya kekuatan mencegah hawa nafsu. Maka tidaklah tersembunyi, berlebih kurangnya manusia padanya. Bahkan tidaklah tersembunyi berlebih - kurangnya keadaan seseorang menghadapi hawa nafsunya. Sekali, berlebih-kurangnya ini ada karena berlebih-kurangnya hawa nafsu. Sebab orang yang berakal itu kadang-kadang sanggup meninggalkan sebahagian hawa nafsunya dan tidak sanggup terhadap sebahagian yang lain. Tetapi bukan sehingga itu saja. Seorang pemuda kadang-kadang lemah dia meninggalkan zina. Dan ketika bertambah umurnya dan sempuma akalnya, maka sanggup dia meninggalkan zina itu

Ingin ria (sifat ingin memperlihatkan amal perbuatan kepada orang) dan ingin menjadi kepala, bertambah kuat dengan bertambah umur. Tidak bertambah lemah. Sebabnya, mungkin karena berlebih kurangnya ilmu yang memperkenalkan faedah hawa nafsu ingin ria dan menjadi kepala itu.

Karena itulah, seorang dokter sanggup mencegah diri dari sebahagian makanan yang mendatangkan melarat. Dan orang lain yang sama kedudukan akalnya,dengan dokter itu, tidak sanggup mena-hannya, apabila ia bukan dokter. Meskipun ia berkeyakinan secara umum, bahwa makanan itu mendatangkan melarat.

Akan tetapi, apabila pengetahuan dokter itu lebih sempurna, maka takutnyapun lebih keras. Maka adalah takut itu tentara bagi akal dan alatnya untuk mencegah dan menghancurkan hawa nafsu.

Demikian jugalah seorang alim itu lebih sanggup meninggalkan perbuatan ma'siat dari seorang bodoh. Karena kekuatan ilmu pengetahuannya dengan melaratnya perbuatan ma'siat itu. Yang saya maksudkan ialah orang berilmu yang sebenar-benarnya, bukan orang-orang yang bersyurban besar yang pandai bermain sandiwara.

Kalau berlebih-kurang itu dari segi hawa nafsu, niscaya tidak kembali kepada berlebih'kurangnya akal. Dan kalau dari segi ilmu, maka yang semacam ini, dari ilmu itu kita nam akan juga akal Karena ilmu pengetahuan itu menguatkan gharizah akal. Maka adalah berlebih kurang itu menurut nama yang diberikan. Dan kadang-kadang berlebih-kurang itu semata-mata pada gharizah akal, maka apahila gharizah akal itu kuat, maka sudah pasti pencegahannya terhadap hawa nafsu adalah lebih keras.

Adapun bahagian yang ketiga yaitu ilmu pengalaman, maka berlebih-kurang manusia padanya itu tidak dapat dibantah. Karena manusia itu berlebih kurang dengan banyaknya yang betul yang dikerjakannya dan tentang cepatnya mengetahui sesuatu, adakalanya karena berlebih-kurang tentang gharizah dan adakalanya menge-nai pengalaman kerja.

Adapun yang pertama tadi yakni gharizah, maka berlebih-kurang-nya, tak ada jalan untuk membantahnya. Karena akal itu adalah seumpama nur yang terbit pada jiwa dan terangnya akanmuncul. Titik pertama dari terbitnya nur tadi ialah ketika umur tamyiz (ketika anak itu sudah dapat membedakan antara untung dan rugi). Kemudian nur itu senantiasalah bertumbuh dan bertambah dengan pelan-pelan yang tidak kentara. Sehingga sempurnalah dia ketika umur sudah mendekati empat puluh tahun.

Nur tadi adalah seumpama cahaya subuh. Mula-mula sangat tersembunyi, sukar diketahui. Kemudian dari sedikit ke sedikit bertambah, sehingga sempurnalah dengan terbit bundaran matahari.

Berlebih-kurangnya nur mata hati adalah seperti berlebih-kurang-nya sinar mata kepala. Perbedaan itu dapat diketahui antara orang kero dan orang yang berpandangan tajam. Bahkan sunnatullah (kata orang kebanyakan - kemauan alam) berlaku pada sekalian makhlukNya, dengan beransur-ansur (tidak sekaligus) pada penga-daan. Hatta gharizah syahwat pun tidak timbul pada anak-anak ketika baligh sekaligus dan dengan tiba-tiba. Tetapi tumbuh sedikit demi sedikit, secara beransur-ansur.

Begitu pulalah segala kekuatan dan sifat. Orang yang membantah berlebih-kurangnya manusia pada gharizah ini, adalah seolah-olah dia sendiri telah terlepas dari ikatan akal.
Barangsiapa menyangka bahwa akal Nabi saw. adalah seperti akal seseorang dari orang hitam dan orang Arab bodoh, maka orang itu lebih jahat dirinya dari siapa-pun dari orang-orang hitam itu.

Bagaimanakah dapat memungkiri berlebih - kurangnya gharizah akal itu? Kalau tidaklah berlebih-kurang, maka tidaklah manusia itu berbeda-beda pada pemahaman ilmu pengetahuan. Dan tidaklah manusia itu terbagi-bagi kepada orang bodoh yang tidak dapat memahami sesuatu selain sesudah payah guru pengajarinya. Dan kepada orang pintar yang dapat memahami dengan sedikit tunjuk dan isyarat saja. Dan kepada orang sempurna (kamil) yang timbul dari dirinya hakikat segala sesuatu tanpa diajarkan, seperti firman Allah Ta'ala :

يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ

(Yakaadi' zaituhaa yudlii-u walau lam tamsashu naarun, nuurun 'alaa nuur).

Ertinya :"Hampir minyaknya meiaancarkan cahaya (sendirinya), biarpun tidak disinggung api. Cahaya berlapis cahaya ".( An-Nur, ayat 35).

Yang demikian itu adalah seperti nabi-nabi as. Karena jelas bagi mereka dalam bathinnya hal-hal yang sulit tanpa belajar dan mendengar yang dinamakan "ilham".

Hal yang seperti demikian, dijelaskan oleh Nabi saw. dengan sabdanya :

إن روح القدس نفث في روعي أحبب من أحببت فإنك مفارقه وعش ما شئت فإنك ميت واعمل ما شئت فإنك مجزي به

(Inna ruuhal qudusi nafatsa fii rau'ii ahbib man ahbabta fainnaka mufaariquhu, wa 'isy- maa syi'ta fainnaka mayyitun wa'mal maa syi'ta fainnaka majziyyun bih).

Ertinya :"Bahwa ruh suci itu mengilhami dalam hatiku : Sayangilah siapa yang engkau sayangi, sesungguhnya engkau akan berpisah dengan dia! Hiduplah bagaimana yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan mati! Berbuatlah apa yang engkau kehendaki, sesungguhnya engkau akan dibalasi dengan amal perbuatan itu "

Cara ini dari ajaran malaikat kepada nabi-nabi as. itu, berlainan dengan wahyu yang jelas. Yaitu mendengar suara dengan pancaindera dari telinga dan melihat malaikat dengan pancaindera dari mata.

Karena itulah diterangkan dari hal ini, dengan pengilhaman ke dalam hati. Dan tingkatan wahyu itu banyak, Membicarakannya tidak layak dalam ilmu muamalah. Karena dia itu sebahagian dari ilmu mukasyafah.

Janganlah disangka bahwa dengan mengenai tingkatan-tingkatan wahyu itu, membawa kita kepada derajat wahyu, Karena tidak jauh perbedaannya dengan seorang dokter yang mengajari orang sakit, tingkatan-tingkatan kesehatan dan seorang 'alim yang mengajari orang fasiq, tingkatan-tingkatan keadilan, meskipun dia sendiri kosong daripadanya.

Maka ilmu itu satu hal dan adanya yang diketahui itu satu hal pula. Maka tidaklah tiap orang yang mengetahui tentang kenabian dan kewalian, lalu dia itu nabi dan wali. Dan tidak pula setiap orang yang mengenai taqwa, dan wara' sampai kepada yang sekecil-kecilnya, lalu dia itu seorang yang taqwa.

Dan terbaginya manusia itu kepada orang yang menyadari dari dirinya sendiri dan mengerti, orang yang tidak mengerti melainkan dengan disadarkan dan diajarkan dan orang yang tak ada gunanya diajarkan dan juga disadarkan, adalah seperti terbaginya tanah : ada yang terkumpul padanya air, lalu kuat. Maka dapat memancarkan beberapa mata air. Ada yang memerlukan kepada penggalian supaya keluar air ke parit-parit. Dan ada pula yang tidak berguna sama sekali digali, yaitu tanah kering yang tidak mengandung air. Dan yang demikian itu, karena berbeda zat tanah mengenai sifat-sifatnya.

Maka seperti itu pulalah perbedaan jiwa dalam gharizah akal.

Berlebih - kurangnya akal menurut yang dinukilkan dari agama, dibuktikan oleh riwayat bahwa Abdullah bin Salam ra. bertanya kepada Nabi saw. dalam suatu pembicaraan yang panjang. Di mana pada akhirnya Nabi saw. menyifatkan kebesaran 'Arasy dan para malaikat bertanya kepada Tuhan : "Hai Tuhan kami'. Adakah Engkau menjadikan sesuatu yang lebih besar dari 'Arasy?".

Maka menjawab Tuhan : "Ada, yaitu akal!".

Bertanya malaikat lagi: "Sampai di mana batas kebesarannya?".

Menjawab Tuhan : "Tidak dapat dihinggakan dengan suatu ilmu pengetahuan. Adakah bagimu pengetahuan tentang bilangan pasir?".

Menjawab malaikat itu : "Tidak".

Maka berfirman Allah Ta'ala : قال الله عز وجل فإني خلقت العقل أصنافا شتى كعدد الرمل فمن الناس من أعطى حبة ومنهم من أعطى حبتين ومنهم من أعطى الثلاث والأربع ومنهم من أعطى فرقا ومنهم من أعطى وسقا ومنهم من أعطى أكثر من ذلك

Sesungguhnya Aku menjadikan akal itu bermacam-macam, seperti bilangan pasir. Sebahagian manusia ada yang diberikan sebiji. Sebahagian ada yang diberikan dua biji, ada yang tiga biji dan empat biji. Diantara mereka ada yang diberikan secupak, ada yang segantang dan ada pula diantara mereka yang diberikan lebih banyak dari itu".

Jikalau anda bertanya, mengapa beberapa golongan dari kaum shufi mencela akal dan apa yang dipahami oleh akal?.

Mengenai dengan celaan itu, ketahuilah bahwa sebabnya, ialah karena manusia membawa nama akal dan apa yang dipahami oleh akal itu, kepada pertengkaran dan perdebatan tentang soal-soal yang bertentangan dan main mutlak-mutlakan. Yaitu membuat ilmu kalam.

Maka kaum shufi itu tidak sanggup menetapkan dengan dalil-dalil dari mereka sendiri bahwa anda telah bersalah memberi nama itu. Karena cara yang demikian itu tidak terhapus begitu saja dari hati kaum shufi sesudah demikian berkembang pada mulut orang banyak dan melekat pada hati. Lalu kaum shufi itu mencela akal dan apa yang dipahami oleh akal. Yaitu akal yang dinamakan dengan demikian pada mereka.

Adapun nur mata hati yang tersembunyi yang dengan nur itu dikenal Allah Ta'ala dan kebenaran rasul-rasulNya, maka bagaimanakah tergambar mencelanya? Sedangkan Allah Ta'ala memberi pujian kepadanya? Kalau dicela, maka apalagi sesudah itu yang dapat dipuji?.

Kalau yang dipuji itu agama, maka dengan apa diketahui kebenaran agama itu? Kalau diketahui dengan akal yang dicela, yang tak dapat dipercayai itu, maka adalah agama itu tercela pula. Dan janganlah terpengaruh dengan orang yang mengatakan bahwa agama itu diketahui dengan 'ainul-yaqin dan nurul-iman, tidak dengan akal.

Sesungguhnya kami maksudkan dengan akal itu, ialah apa yang dimaksudkan dengan 'ainul-yaqin dan nurul-iman tadi. Yaitu sifat bathiniah yang membedakan manusia dari hewan. Sehingga manusia itu dapat mengetahui hakikat segala sesuatu dengan sifat bathiniah tersebut.

Kebanyakan kesalahan itu berkembang dari kebodohan orang-orang yang mencari kebenaran dari kata-kata saja. Maka tersalahlah mereka dalam kata-kata itu, karena kesalahan istilah manusia pada kata-kata itu.

Sekedar ini mencukupilah mengenai penjelasan akal itu! Wallaahu a'lam.

Allah Yang Maha Tahu!.

Telah sempurnalah KITAB ILMU dengan pujian dan nikmat Allah Ta'ala.

Rahmat Allah kepada penghulu kita Muhammad dan kepada tiap-tiap hambaNya yang pilihan dari penduduk bumi dan langit, di mana akan disambung dengan KITAB QAWA'IDIL-'AQAID insya Allah Ta'ala.

 والحمد لله وحده أولا وآخرا

 Segala pujian untuk Allah Yang Maha Esa pada awalnya dan pada akhimya!.





Tiada ulasan: