Catatan Popular

Isnin, 18 Februari 2013

PAPARAN TASAWWUF DALAM AL QUR’AN : UMMUL KITAB DAN KITABUL MUBIN

Untuk mengenali struktur pesan dan format distribusi informasi dalam Al-Qur’an perlu dipaparkan konsep Ummul-Kitab dan Kitabul-Mubin. Al-Fatihah sering diistilahkan sebagai ummul-kitab (induk kitab) dan surah-surah lainnya disebut sebagai kitabul-mubin (kitab penjelas/ perinci). Konsep ini paralel dengan konsep keturunan (genealogi).

Anak-anak yang berbeda-beda karakternya diturunkan dari Ibu dan Ayah yang sama. Perempuan dan laki-laki yang sama melahirkan anak yang bervariasi. Ada yang sangat cerdas, ada yang kurang cerdas, ada yang pemalu, ada yang pemberang. Tidak ada campur tangan orang lain di sana. Kendatipun demikian, keberbedaan dari anak yang kita lahirkan selalu kita pandang sebagai bagian dari diri kita sendiri. Demikianlah yang disebut sebagai “anak-anak menjelaskan orang tuanya”. Anak-anak dikatakan oleh seorang sufi sebagai kitabul mubin dari orang tuanya. Boleh jadi orang tua secara lahiriah baik-baik saja, sabar, sopan santun, dan intelektual; tapi tiba-tiba anaknya amat berkebalikan. Sebenarnya sang anak membuka sesuatu yang terpendam dalam batin si orang tua. Sebuah kebaikan atau kejahatan yang tersembunyi dalam orang tuanya akan dibuka, dirinci, dan diurai. 

Watak yang dibawa anak adalah watak orang tuanya, lahir dan batin, nampak atau tersembunyi. Seorang anak lahir dengan membuka khazanah batin orang tuanya. Sang orang tua mungkin dapat habis-habisan menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya, apakah itu kelicikannya, ataukah rasa iri-dengkinya sehingga nampak sebagai orang hebat; bahkan mungkin diembel-embeli gelar kiai atau ulama. Namun sang anak akan berbicara seperti apa adanya. Bagi orang tua si anak adalah seorang utusan, sebuah pemberitaan, “Wahai orang tuaku, seperti inilah engkau adanya”. Karena itu di dalam dunia perjalanan olah-jiwa, aspek batinlah yang ditata, dibersihkan, ditransformasi: agar kelak anak kita tidak menguji kita (dengan keburukan terpendam yang diturunkan).

Jika Al-Fatihah dikatakan sebagai ummul-kitab, maka dalam hemat kami hal yang paling penting dalam Al-Fatihah adalah Shirath al-Mustaqiim: puncak dan tujuan doa. Tentu saja tujuh ayat Al-Fatihah semuanya penuh dengan rahasia. Namun puncaknya di kalimat Shirath al-Mustaqiim yang bukan kebetulan ada di dalam sang ummul-kitab. Berkaitan dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin, maka ihwal Shirath al-Mustaqiim akan diterangkan dengan sangat elaboratif oleh seluruh surat dalam Al-Qur’an (dari Al-Baqarah sampai An-Naas) sebagai kitabul-mubin Al-Fatihah.

Dalam Al-Fatihah sendiri mulai Alhamdulillah (1: 2) sampai wala-adh-dhallin (1: 7), menjelaskan bismillahirrahmanirrahim. Sebuah kitab yang diulang-ulang. Apakah arti bismillahirrahmanirrahim pun telah kita pahami ? Apakah betul artinya “dengan nama Allah”, apa arti nama (asma), siapakah “Allah,” kenapa ada Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Kenapa “Allah” tidak memilih nama lainnya semisal bismillahil ‘azizil hakim (dengan nama Allah yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana) ? Mengapa Allah memilih Ar-Rahman dan Ar-Rahim untuk muncul dalam ummul kitab, padahal masih banyak asma Allah Ta’ala yang lainnya ? Jika kita masih tidak paham dengan hal ini boleh kita lihat sisa Al-Fatihah (sebagai kitabul-mubin ayat pertama), maka akan nampak sejak alhamdulillah hingga wala-dh-dhallin menjelaskan apa itu “Ar-Rahman Ar-Rahim.” Jika masih tidak paham juga maka kita dapat meneruskan membaca dari Al-Baqarah sampai An-Naas.

Al-Qur’an merupakan satu kitab yang diulang-ulang, diperinci terus ke bawah. Dengan konsep ummul-kitab dan kitabul-mubin maka ayat-ayat dalam Al-Qur’an akan saling mengunci dan menjelaskan. Seluruh ayat komplementer bagi yang lainnya. Andai hilang satu ayat, bahkan satu huruf, maka hancurlah tata susunan Al-Qur’an.

Bila kita menengok kepada istilah Shirath al-Mustaqiim yang tertera dalam (QS Al-Fatihah [1] : 6) dan ingin mencoba mencari bagaimana ia dijelaskan oleh ayat-ayat lainnya maka cobalah periksa ayat-ayat yang berkenaan dengan “shirath” dan “ni’mat” (sehubungan dengan Shirath al-Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang diberi ni’mat). Dari QS Huud [11] : 56 sebelumnya kita telah mendapatkan bahwa Rabb ada di atas Shirath al-Mustaqiim. Selain itu juga ada ayat yang menjelaskan:

“Katakanlah: Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada Shirathim Mustaqiim, (yaitu) agama (=Diin) yang benar, millah Ibrahim yang hanif ...” (QS Al-An’am [6] : 161).

Dari ke dua ayat di atas mulai terlihat adanya relasi antara “Shirath al-Mustaqiim” dengan agama (ad-Diin) dan di mana Rabb berada. Berkaitan dengan ni’mat dan Shirath al-Mustaqiim maka perlu ditilik runtutan ayat berikut:

“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu (diyar)”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),

dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar (ajran ‘azhiman) dari sisi Kami,dan pasti kami tunjuki mereka kepada Shirath al-Mustaqiim,

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: para Nabi-Nabi, Shiddiqiin, Syuhada, dan Shalihiin. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya

Yang demikian itu karunia (fadl) dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.”
(QS An-Nisaa’ [4]: 66-70)

Ayat di atas menjelaskan tahapan-tahapan agar ditunjuki Allah Ta’ala kepada Shirath al-Mustaqiim. Bilamana seseorang hamba ingin bertaubat maka ia harus “membunuh dirinya” (mengalahkan hawa nafsunya) dan “keluar dari kampungnya” (mengalahkan syahwatnya). Jika sang hamba bergerak lebih jauh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tak pelak lagi tuhan akan memberikan karunia-Nya: disertakan/ didampingkan dengan orang-orang yang diberi ni’mat (orang-orang yang berada di Shirath al-Mustaqiim).

Mulai saat ini rasanya penting bagi kita untuk mendefinisikan ulang beberapa istilah umum yang selama ini kita pegang erat-erat, seperti, misalnya, istilah “nikmat” (ni’mat) ini. Jika kita ingin membicarakannya dalam konteks Al-Qur’an dan perjalanan menuju-Nya, sudah barang tentu tidak bisa dipersandingkan dengan istilah umum “nikmat” dan “kenikmatan” yang sekadar duniawiyah. Entah itu kenikmatan minum teh, rumah yang indah, jabatan yang baik, kenikmatan bekerja, pasangan yang cantik dan anak-anak yang cerdas, dan sebagainya. Al-Qur’an mengguratkan dengan tegas apa itu ni’mat yang sejati.

Rasulullah SAW, di depan para sahabat, di dalam satu riwayat, pernah menggaris di atas pasir. Dari garis tersebut ada cabang-cabang simpangan ke luar dari alur garis. Nabi SAW mengatakan bahwa garis tersebut adalah Shirath al-Mustaqiim; dan di luarnya ada syaithan yang menjaganya dan senantiasa menyimpangkan manusia agar terlempar darinya.


Dalam kisah penciptaan manusia ketika Allah Ta’ala memerintahkan segenap makhluk bersujud kepada Adam a.s. kemudian Iblis yang membangkang, terusir, dan terhukum berjanji:

“Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari shirathaka-al-mustaqim (jalan Engkau yang lurus),kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur”(QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17)

Kisah di atas menceritakan bagaimana gigihnya iblis menyimpangkan manusia dari Shirath al-Mustaqiim. Sang iblis akan melakukan manuver dari muka, belakang, kiri, dan kanan. Apakah maksudnya? Iblis akan menyimpangkan manusia dari muka dengan mempertakutinya akan masa depan, kekhawatiran apakah di masa yang akan datang akan tetap sejahtera dan terhormat atau tidak. Dari belakang, iblis akan membuat manusia menyesal akan kejadian dan pilihan-pilihan di masa lalu, bahkan merasa bahwa Tuhan yang Penyayang tak adil terhadap dirinya. Serangan dari sisi kanan dan kiri menggambarkan kesalahan manusia dalam menghadapi masa kini yang memprasangkai sesuatu pilihan sebagai kebaikan atau keburukan. Ketika ada seseorang yang tiba-tiba muak dan letih dengan kehidupan lantas terbetik ide bagaimana jika bertapa untuk menuju Tuhan; jalan-keluar yang seolah-olah tampak baik ini boleh-jadi merupakan bentuk serangan iblis dari sisi kanan.

Manusia harus bersih qalb-nya dari penyakit khawatir akan masa depan, menyesal dengan masa lalu, dan kesalahan menghadapi masa kini. Sudah menjadi tugas iblis untuk memberikan rasa waswas atau khawatir dalam dada anak manusia (QS An-Naas [114]: 5).


Kendatipun demikian, manusia harus menjadi putra sang waktu: mensyukuri apa yang ada di tangan kita hari ini, detik ini. Hal ini berkenaan dengan sikap ‘syukur’ yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS Al-A’raaf [7]: 16 – 17) berhubungan dengan Shirath al-Mustaqiim.


Tiada ulasan: