Catatan Popular

Selasa, 5 Februari 2013

KITAB AL-KALIMAT KE-3 : IBADAH DAN KEFASIKAN

KARYA BADIUZZAMAN SAID NURSI DALAM KITABNYA “RISALAH NUR”

Ibadah Merupakan Kebahagiaan yang Paling Utama Sementara
Kefasikan Merupakan Kerugian Nyata.

Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertakwa.

Jika engkau ingin memahami bagaimana ibadah merupakan sebuah
perniagaan agung dan kebahagiaan terbesar, serta sikap fasik dan
bodoh merupakan kerugian dan kebinasaan yang nyata, perhatikan
cerita berikut ini:
Pada suatu hari dua orang prajurit menerima perintah untuk pergi
ke sebuah kota yang jauh. Keduanya berjalan bersama-sama sampai
akhirnya berpisah jalan. Di sana keduanya bertemu dengan seorang lelaki
yang berkata pada mereka:
“Jalan sebelah kanan ini, di samping tidak mengandung bahaya,
sembilan dari sepuluh para musafir yang melaluinya akan menemukan
kelapangan, ketenangan, dan keberuntungan. Adapun jalan sebelah kiri
di samping tidak bermanfaat, sembilan dari sepuluh para pelintasnya
mengalami kerugian besar.” Perlu diketahui bahwa kedua jalan tersebut
memiliki jarak yang sama. Yang membedakan hanya satu, yaitu pejalan
yang melalui sisi kiri—yang tidak mau terikat dengan peraturan dan
pemerintah—berjalan tanpa membawa tas barang dan senjata sehingga
secara lahiriah ia merasa ringan dan nyaman. Sebaliknya, pejalan yang
melalui sisi kanan yang terikat dengan posisi dirinya sebagai prajurit
harus membawa tas lengkap berisi perbendaharaan makanan seberat
4 kilo dan senjata negara seberat 2 kilo di mana dengan itu dapat
mengalahkan semua musuh.
Setelah kedua prajurit itu mendengar ucapan lelaki pemberi petunjuk
tadi, orang yang bahagia melewati jalan sebelah kanan. Ia berjalan
seraya memikul sejumlah beban, namun hatinya tenang dan jiwanya
bebas dari segala ketakutan. Adapun orang yang malang enggan menjadi
prajurit dan tidak mau terikat peraturan. Dia meniti jalan sebelah
kiri. Meski fisiknya bebas dari beban, namun kalbunya dibayang-bayangi
oleh rasa berutang budi dan jiwanya tersiksa oleh berbagai kecemasan
yang tak terhingga. Ia melintasi jalannya dengan terus mengemis
kepada setiap orang serta cemas terhadap segala hal, dan takut terhadap
semua kejadian. Ketika sampai di tempat tujuan ia pun mendapatkan
hukuman sebagai balasan atas sikapnya yang lari dan membangkang.
Adapun pejalan yang melintasi jalan sebelah kanan, yang patuh terhadap
aturan keprajuritan serta menjaga tas dan senjatanya, berjalan
dalam kondisi lapang dan jiwanya tenang tanpa harus mengharap budi
baik orang atau takut kepada siapa pun. Ketika sampai di kota tujuan, di
sana ia mendapatkan upah yang sesuai dengannya sebagai prajurit yang
telah menyelesaikan tugas dengan baik.
Wahai orang yang ceroboh dan liar, ketahuilah bahwa salah satu
dari kedua musafir di atas adalah mereka yang taat terhadap hukum Ilahi,
sementara yang lain ialah para pembangkang yang mengikuti hawa
nafsu. Sementara, jalan tersebut adalah jalan kehidupan yang berasal
dari alam arwah, kemudian melintasi kubur guna menuju kepada alam
akhirat.
Tas dan senjatanya berupa ibadah dan takwa. Betapa pun ibadah
tampak berat, namun sebenarnya ia berisi kelapangan yang tak terlukiskan.
Hal itu karena seorang abid dalam shalatnya mengucap lâ ilâha illallâh.
Artinya, tiada pencipta dan Pemberi Rezeki selain Allah. Manfaat
dan bahaya berada di tangan-Nya. Dia Mahabijak yang tidak berbuat
sia-sia. Di samping itu, Dia juga Maha Penyayang yang kasih sayang dan
kebaikan-Nya demikian berlimpah. Orang mukmin yakin dengan apa
yang ia ucapkan. Karena itu, dalam segala hal ia menemukan pintu yang
terbuka menuju perbendaharaan rahmat Ilahi sehingga ia ketuk pintu
tersebut dengan doa. Ia pun melihat segala sesuatu tunduk atas perintah-
Nya, sehingga ia bersimpuh di hadapan-Nya dengan sikap merendah.
Ia membentengi diri di hadapan semua musibah dengan sikap
tawakal sehingga imannya membuat dirinya merasa aman dan tenang.
Ya, sumber keberanian serta seluruh kebaikan hakiki adalah iman
dan pengabdian. Sebaliknya, sumber segala ketakutan serta seluruh
keburukan adalah kesesatan. Andaikan bola bumi menjadi bom yang dapat
meledak, barangkali ia tidak akan membuat takut sang abid yang
memiliki kalbu bersinar. Bahkan, bisa jadi ia melihatnya sebagai salah
satu kodrat Tuhan yang luar biasa sehingga ia merasa kagum dan senang.
Sebaliknya, seorang fasik yang memiliki kalbu mati, meski ia seorang
filsuf yang dianggap cerdas, apabila melihat meteor di angkasa
ia akan merasa takut dan cemas seraya bertanya-tanya, “Mungkinkah
bintang
ini tabrak ke bumi kita?” Ia terhempas dalam lembah ilusi.
(Amerika pernah
ketakutan dengan keberadaan meteor yang terlihat
di langit sehingga banyak penduduk yang meninggalkan tempat tinggal
mereka
di saat malam).
Ya, meski kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu tak terhingga,
namun modalnya nyaris tidak ada. Meski ia dihadapkan pada ujian
yang tak bertepi kemampuannya juga tidak berarti. Pasalnya, kadar
modal dan kemampuannya sejauh apa yang dapat ia gapai sementara
wilayah harapan, keinginan, penderitaan dan cobaannya sangat luas sejauh
mata memandang.
Karena itu, jiwa manusia yang lemah dan tak berdaya benar-benar
membutuhkan berbagai hakikat ibadah dan tawakal, serta tauhid dan
sikap pasrah. Keuntungan, kebahagiaan, dan nikmat yang didapat darinya
juga sangat besar. Siapa yang penglihatannya masih sehat pasti
bisa melihat dan menjangkaunya. Pasalnya, seperti diketahui bahwa
jalan yang tidak berbahaya tentu lebih dipilih daripada jalan yang berbahaya
meski kemungkinan manfaat yang ada padanya satu banding
sepuluh. Terlebih persoalan kita ini, yakni jalan ibadah, di samping tidak
berbahaya dan kemungkinan manfaatnya sembilan puluh persen,
ia juga memberikan kepada kita perbendaharaan kebahagiaan abadi.
Sebaliknya, jalan kefasikan dan kebodohan—seperti pengakuan si fasik
itu sendiri—di samping tidak memberi manfaat ia juga menjadi sebab
datangnya derita dan kebinasaan abadi disertai kerugian dan tidak adanya
kebaikan. Hal ini adalah sesuatu yang pasti berdasarkan kesaksian
kaum yang ahli di bidangnya di mana sampai pada tingkat mutawatir
dan ijma. Ia adalah sebuah keyakinan yang kuat sesuai dengan informasi
dari kalangan yang memiliki cita rasa dan mencapai tingkatan
kasyaf.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagaimana akhirat, kebahagiaan
dunia juga terletak pada ibadah dan menjadi prajurit Allah.
Karena itu, kita harus senantiasa mengucap alhamdulillah atas ketaatan
dan taufik yang Allah berikan. Kita wajib bersyukur kepada-Nya
karena kita menjadi muslim.

Tiada ulasan: