Catatan Popular

Isnin, 11 Januari 2016

KITAB RAHSIA SHALAT IHYA ULUMUDDIN : BAB 2 MENGENAI PENGUTAMAAN AMALAN ZHAHIR DARI SHALAT



TERDAPAT 7 FASAL

FASAL 1 : MENGERJAKAN AMALAN ZHAHIR DARI SHALAT

Seyogialah bagi orang yang mengerjakan shalat (mushalli), apabila telah selesai dari wudhu, dari bersuci daripada najis pada badan, tempat dan pakaian, dari menutupi aurat dari pusat sampai kepada lutut, bahwa ia tegak berdiri menghadap qiblat dan merenggangkan diantara kedua tapak kakinya, tidak dirapatkan keduanya. Cara yang demikian itu, termasuk diantara yang menunjukkan kepada adanya pengertian dari seseorang. Dan: "Dilarang oleh Nabi saw daripada "ash‑shafan" dan “as‑shafad" dalam shalat. Ash‑Shafad: yaitu merapatkan kedua tapak kaki.

Di dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala: “Mereka (orang‑orang yang berdosa itu) terikat bersama‑sama dengan rantai". S 14 Ibrahim ayat 49. Ash‑Shafan: yaitu mengangkatkan salah satu daripada dua kaki. Di dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala: "Kuda-kuda yang jinak tenang waktu berhenti dan amat kencang larinya”. S 38 Shaad ayat 31. Inilah yang dijaga oleh orang yang mengerjakan shalat mengenai kedua kakinya ketika berdiri. Dan dijaga mengenai kedua lututnya dan tulang belakangnya de­ngan lurus. Dan mengenai kepalanya, kalau ia mau, maka dibiar­kannya tegak lurus dan kalau ia mau, maka ditundukkannya sedikit. Menundukkan kepala itu adalah lebih mendekatkan kepada khusyu' dan lebih memincingkan kepada mata.

Dan hendaklah matanya tertuju kepada mushallanya (tempat sha­latnya), di mana ia mengerjakan shalat padanya. Jikalau ia tiada mempunyai tikar mushalla, maka hendaklah, ia mendekati dinding atau menggariskan suatu garis dihadapannya. Karena dengan demi­kian, memendekkan jaraknya penglihatan dan mencegah daripada bersimpang‑siurnya pikiran. Dan hendaklah ia menahan penglihatannya daripada melampaui tepi tikar mushalla dan batas garis. Dan hendaklah berdiri tetap seperti itu sampai kepada ruku' tanpa berpaling ke mana‑mana. Inilah adab berdiri !. Apabila telah berdiri lurus, menghadap qiblat dan menundukkan kepala seperti yang tersebut itu, maka hendaklah ia membaca: “Katakanlah ! Aku berlindung dengan Tuhan (Pemimpin) manusia", untuk bermohon pada Tuhan penjagaan diri daripada setan”. Kemudian hendaklah ia Qamat. Dan dalam ia mengharap akan ke­datangan orang yang akan mengikutnya, maka hendaklah ia adzan lebih dahulu. Kemudian, hendaklah ia niat, yaitu: niat shalat Dhuhur umpamanya dan mengatakan dengan hatinya: "Aku menunaikan fardlu Dhuhur karena Allah", untuk membedakan dengan katanya: "Aku menunaikan shalat qodo, Dan dengan fardlu untuk membedakan daripada sunat. Dan dengan Dzuhur, untuk membedakan daripada 'Ashar dan lainnya. Dan hendaklah pengertian kata‑kata itu ada pada hatinya. Yaitu, itulah niat. Dan kata‑kata itu adalah yang mengingatkan dan yang menjadi sebab untuk adanya niat itu. Dan diusahakannya supaya yang demikian itu tetap sampai kepada akhir takbiratul‑ihram, tidak hilang‑hilang.

Apabila telah ada pada hatinya yang demikian itu, maka hendaklah ia mengangkat kedua tangannya sampai setentang/sejajar dengan kedua bahunya setelah dilepaskan lebih dahulu kedua tangan itu, di mana setentang dengan kedua tapak tangannya akan kedua bahunya dan dengan kedua ibu jarinya akan kedua ujung bawah telinganya. Dan dengan kepala anak-­anak jarinya akan tepi atas kedua telinganya. Supaya adalah yang demikian itu menghimpunkan segala maksud hadits‑hadits yang datang mengenai itu. Dan adalah orang yang mengerjakan shalat  itu menghadap dengan kedua tapak tangannya dan dengan kedua ibu jarinya ke qiblat.

Dan membuka segala anak jarinya, tidak menggenggamkannya. Dan tidak memaksakan pada anak‑anak jari itu dengan merenggangkan dan menggenggamkan, tetapi membiar­kannya menurut biasanya saja, karena dinukilkan menurut atsar­ melepaskan dan menggenggamkan. Dan yang tersebut di atas tadi, adalah dia diantara keduanya (diantara melepaskan dan menggenggamkan). Maka itulah yang lebih utama. Apabila telah tetap kedua tangan pada tempatnya itu, maka mulai­lah bertakbir serta melepaskan keduanya dan menghadirkan niat. Kemudian meletakkan kedua tangan itu di atas pusar dan di bawah dada. Dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri karena memulia­kan kanan, sehingga ia dipikul oleh yang kiri. Telunjuk dan jari mati/jari tengah dari tangan kanan dilepaskan di atas sepanjang lengan. Dan digenggam dengan ibu jari, kelingking dan jari manis di atas pergelangan tangan kiri. Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa takbir itu serta mengang­katkan kedua tangan, serta tetap keduanya dan serta melepaskan. Semuanya itu tak ada salah padanya. Dan saya berpendapat dengan melepaskan kedua tangan itu, adalah lebih layak. Takbir  itu adalah kata‑kata untuk pengikatan ('aqad). Dan mele­takkan salah satu daripada kedua tangan di atas yang lain adalah dalam bentuk pengikatan itu. Permulaan pengikatan itu ialah mele­paskan kedua tangan ke bawah dan kesudahannya meletakkan kedua tangan (di atas pusar dan di bawah dada). Permulaan takbir itu alif dan penghabisannya ro. Maka sepantasnya­lah dipelihara penyesuaian diantara perbuatan dan pengikatan itu. Dan mengangkatkan tangan itu adalah merupakan muqaddimah bagi permulaan ini. Kemudian, tidaklah seyogianya mengangkatkan kedua tangan itu ke depan sebagai pengangkatan tangan ketika takbir. Dan tidaklah menolakkan kedua tangan itu ke belakang kedua bahu dan tidaklah menghempaskan kedua tangan itu ke kanan dan ke kiri, apabila ­telah selesai daripada takbir. Dan melepaskan kedua tangan itu, dengan pelan‑pelan, kemudian di mulai meletakkan yang kanan keatas yang kiri setelah dilepaskan itu. Pada setengah riwayat, bahwa Nabi saw: "Adalah, apabila telah bertakbir, Ialu melepaskan kedua tangannya. Dan apabila hendak membaca maka diletakkannya tangan kanan ke atas tangan kiri”. Kalau riwayat ini shah (benar), maka adalah ini lebih utama dari pada yang kami sebutkan itu. Adapun takbir, maka seyogialah ha pada pengucapan Allah itu dibaris‑depankan, yaitu Allahu, dengan suara ringan, tanpa bersa­ngatan. Dan tidak masuk antara ha  dan alif,  yang menyerupakan u (yaitu suara panjang), hal ini terbawa kalau dibacakan hu  itu de­ngan suara keras. Dan tidak masuk antara ba  ak ‑ ba – r  dan ra‑nya itu alif, seolah-­olah dibacakannya ak ‑ baa ‑ r (dengan panjang suara pada ba). Dan dimatikan baris ra takbir itu, tidak dibaris‑depankan. Inilah cara, takbir dan hal‑hal yang menyertai takbir itu.


FASAL 2 :  PEMBACAAN SHALAT

Kemudian, dimulainya dengan membaca "doa iftitah " (do'a pembukaan shalat). Dan baiklah dibacakan setelah membacakan "Allahu akbar" itu: (Allaahu akbar kabiiran wal hamdu, lillaahi katsiiraa, wa subhaanal­laahi bukratan wa ashiila. Wajahtu wajhia) ‑ sampai kepada ‑ wa ana minal muslimiin". Artinya: ”Allah Maha Besar, segala pujian sebanyak‑banyaknya bagi Allah. Maha Suci Allah pagi dan petang. Aku hadapkan wajah­ku " ‑ sampai seterusnya kepada ‑ pembacaan, yang artinya: dan aku adalah sebahagian daripada kaum muslimin. Kemudian, dibacakannya "Maha Suci Engkau wahai Tuhanku dan dengan memuji Engkau dan bertambah‑tambahlah keagungan nama Engkau, maha besarlah pujian kepada Engkau dan tiadalah yang disembah selain Engkau". Supaya dengan pembacaan yang tersebut tadi, dapat menghimpun­kan diantara yang berpisah‑pisah dari apa yang datang pada bebera­pa hadits. Jikalau ia mengerjakan shalat di belakang imam, hendaklah diring­kaskannya, apabila imam itu tiada lama diam sesudah bertakbir, dengan membaca di dalam diamnya itu. Kemudian, dibacakan: "Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang kena kutuk ".

Kemudian, dibacakan "surat AI‑Fatihah", dimulai dengan ‑"Bismil­laahir rahmaanir rahiim", dengan menyempurnakan tasydid dan hu­rufnya. Dan diusahakan benar‑benar membedakan diantara dlad (tebal) dan dlad (tipis). Dan dibacakan "aamiin " pada akhir surat AI‑Fatihah serta dipanjangkan pembacaan "Aamiin ". dan janganlah sekali‑kali disambung "Aamiin" dengan "wa ladl dlaalliin". Dan dikeraskan pembacaan (jhr) pada shalat Shubuh, Maghrib dan'Isya', kecuali kalau ia pengikut imam (ma'mum). Dan dikeraskan membaca: "Aamiin". Kemudian dibacakan surat atau sekedar tiga ayat atau lebih daripada Alquran. Dan tidak disambung akhir surat yang dibaca itu dengan takbir berpindah untuk ruku'. Tetapi dipisahkan diantara keduanya sekedar pemba­caan "Subhaanallaah". Dan dibacakan pada shalat Shubuh surat‑surat yang panjang dan pada shalat Maghrib, surat‑surat yang pendek dan pada Dhuhur, 'Ashar dan 'Isya' seperti surat: ”Wassamaa‑i dzaatil buruuj" dan yang mendekati panjangnya. Dan pada shalat Shubuh di dalam musafir, dibacakan: "Qul yaa ayyuhal kaafiruun " dan "Qul huwallahaahu ahad"  Dan seperti itu pula pada dua raka'at shalat sunat Shubuh sunat thawaf dan sunat tahiyyah masjid. Orang yang mengerjakan shalat tadi pada semua itu, terus berdiri dan meletakkan kedua tangannya sebagaimana yang telah kami terangkan pada permulaan shalat dahulu.


FASAL 3  : RUKU' DAN SEGALA YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUKU

Kemudian ia ruku,' dan dijaga pada ruku' itu beberapa perkara. Yaitu: bahwa ia bertakbir bagi ruku', mengangkatkan kedua tangan serta takbir ruku' & memanjangkan takbir itu sampai kepada ruku'. Meletakkan kedua tapak tangan atas dua lutut pada ruku' di mana segala anak jarinya dilepaskan menghadap arah ke qiblat atas sepan­jang betis. Bahwa ia menegakkan kedua lututnya, tidak dilipatkan. Bahwa ia memanjangkan punggungnya dengan lurus dan adalah lehernya dan kepalanya lurus menyamai dengan punggungnya seperti sebilah papan. Tidaklah kepalanya lebih rendah dan tidak lebih tinggi. Bahwa ia merenggangkan kedua sikunya daripada kedua lembungnya. Dan bagi wanita merapatkan kedua sikunya kepada kedua lembungnya. Dan dibacakan pada ruku' 3 kali (Subhaana rabbiyal 'adhiim) Artinya: Maha Suci Tuhanku Yang Maha Besar". Dan dilebihkan sampai 7 dan 10 adalah baik, jika ia bukan imam. Kemudian ia bangkit daripada ruku' kepada berdiri kembali dan mengangkatkan kedua tangannya, seraya membaca: (Sami'allaahu liman hamidah): "Didengar oleh Allah akan siapa yang memujiNya” Dan berkeadaan tetaplah (berthumaninah) pada itidal itu, seraya membaca. (Rabbanaa lakalhamdu mil‑us samaawaati wa mil‑ul ardli wa mil‑u maa syi'‑ta min syai‑in ba'du)."Hai Tuhan Kami ! Bagi Engkau segala pujian, memenuhi segala langit, memenuhi bumi dan memenuhi apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu sesudahnya". Dan tidak melamakan berdiri i'tidal ini, selain pada shalat Tasbih, shalat Kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) dan shalat Shu­buh. Dan dibacakan qunut pada shalat Shubuh pada rakaat kedua sebelum sujud, dengan kalimah‑kalimah do'a yang diperoleh dari hadits-­hadits.


FASAL 4 : SUJUD.

Kemudian ia turun kepada sujud dengan bertakbir. Maka diletak­kannya kedua lututnya di atas lantai. Dan diletakkannya dahinya, hidungnya dan kedua tapak tangannya dengan terbuka. Ia bertak­bir ketika turun kepada sujud. Dan tidak mengangkatkan kedua tangan pada bukan ruku'. Dan seyogialah, yang mula‑mula jatuh ke atas lantai itu, kedua lututnya. Dan diletakkannya sesudah kedua lutut itu, kedua ta­ngannya, kemudian mukanya. Dan diletakkannya dahi dan hidung­nya atas lantai dan direnggangkannya kedua sikunya daripada kedua lembungnya. Dan wanita tidak berbuat demikian (artinya tidak merenggangkan kedua sikunya daripada kedua lembungnya). Dan direnggangkan diantara kedua kaki dan wanita tidak berbuat demikian. Dan pada sujud itu, bagi laki‑laki berbuat "takhwiyah" di atas lantai dan bagi wanita tidak berbuat "takhwiyah". Takhwiyah, yaitu: mengangkatkan perut daripada kedua paha dan menjarangkan diantara kedua lutut. Dan diletakkan kedua tangan di atas lantai setentang dengan kedua bahu dan tidak dijarangkan diantara anak‑anak jari kedua tangan itu, tetapi dirapatkan. Dan dirapatkan ibu jari kepada kedua tangan itu. Dan jika tidak dirapatkan pun, tiada mengapa. Dan tidak didudukkan kedua lengan di atas, lantai seperti duduk­nya anjing, karena yang demikian itu dilarang.

Dan dibacakan (Subhaana rabbiyal‑a’laa). 3 X Artinya: "Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi”  Kalau dilebihkan dari tiga kali, adalah baik, kecuali ia imam. Kemudian, bangkit daripada sujud, Ialu duduk dengan tenang (thuma'ninah) dan lurus. Ia mengangkat kepala dari sujud dengan bertakbir dan duduk di atas kaki kiri serta menegakkan tapak kaki kanan dan meletakkan kedua tangan di atas kedua paha. Dan segala anak jarinya, terlepas (tidak tergenggam), tidak diberatkan mera­patkannya dan tidak merenggangkannya. Dan membaca: “Rabbighfirlii warhamnii warzuqnii wahdinii wajburnii wa ‘aafinii wa’ – fu ‘annii” Artinya: "Hai Tuhanku. Ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah aku rezeki, berikanlah aku petunjuk, tutupkanlah kekuranganku, berikanlah aku kesehatan dan maafkanlah aku!”. Dan tidak dilamakan duduk ini, kecuali pada sujud shalat sunat tasbih. Dan dikerjakan sujud kedua seperti yang tadi juga.

Dan duduk dengan lurus sebentar untuk istirahat pada tiap‑tiap raka'at, yang tidak duduk tasyahhud di belakang raka'at itu. Kemudian setelah duduk sebentar tadi, maka bangun berdiri dengan meletakkan tangan di atas lantai. Dan tidak mendahulukan salah satu daripada kedua kakinya ketika bangun berdiri itu, serta memanjangkan takbir sampai habis, diantara tengah‑tengah dari bangkitnya daripada duduk sampai kepada tengah‑tengah bang­kitnya kepada berdiri, di mana "ha" dari ucapannya "Allahu” adalah ketika duduknya sudah lurus. Dan "kaff" dari “Akbar”  ketika ia bertekan dengan tangan untuk berdiri dan "ra" dari "akbar"  pada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri. Dan di­mulainya pada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri, sehingga jatuh takbir itu pada tengah‑tengah perpindahannya. Dan tidak terlepas daripada takbir selain kedua tepi perpindahan itu (permu­laan perpindahan dan penghabisan  perpindahan dari sujud  kepada berdiri). Dan cara yang demikian adalah lebih mendekati kepada meratakan pembacaan ibadah. Dan dikerjakan rakaat kedua seperti raka'at pertama dan diulangi  pembacaan "A’uudzu billaah”, seperti pada permulaan shalat.



BFASAL 5 : BACAAN TASYAHHUD.

Kemudian membaca tasyahhud pada raka’at kedua yaitu, tasyah­hud pertama. Kemudian membaca selawat kepada Rasulullah saw dan kepada keluarganya. Dan meletakkan tangan kanan ke atas paha kanan dan menggenggamkan segala anak jari kanan selain dari telunjuk. Dan tiada mengapa melepaskan ibu jari juga. Dan diisyaratkan dengan telunjuk kanan saja ketika Mengucapkan "illallaah ". tidak ketika mengucapkan “Laa ilaaha”. Duduk ia pada tasyahhud ini di atas kaki kiri seperti duduk dian­tara dua sujud. Dan pada tasyahhud akhir, disempurnakan doa yang diterima dari Nabi sesudah membaca selawat kepada Nabi saw. Sunat‑sunat  pada tasyahhud akhir, adalah seperti sunat‑sunat pada tasyahhud pertama. Hanya pada tasyahhud akhir itu, duduk ia di atas punggung kiri, karena ia tidak bangun lagi untuk berdiri tetapi terus tetap menyiapkan shalatnya. Dan ditidurkannya kaki kirinya yang keluar dari bawah dan dite­gakkannya kaki kanannya serta diletakkan ujung ibu jari kakinya itu ke arah qiblat kalau tiada sukar. Kemudian membaca "Assalaa­mualaikum wa rahmatullaah" dan berpaling ke kanan, kira‑kira keli­hatanlah pipi kanannya dari belakang dari sebelah kanan. Dan ber­paling ke kiri, begitu pula dan membaca salam kedua. Diniatkan keluar dari shalat dengan salam itu. Dan diniatkan de­ngan salam itu memberi salam. kepada siapa yang ada di kanannya, dari para malaikat dan kaum muslimin pada salam pertama. Dan diniatkan begitu pula pada salam kedua. Dibacakan salam itu dengan dimatikan huruf akhirnya dan tidak dibacakan dengan suara panjang. Begitulah sunnah Nabi saw. Inilah caranya shalat seorang diri. Ditinggikan suara dengan segala takbir perpindahan (takbir intiqalat), yaitu sekedar yang dapat didengar oleh dirinya. Pada shalat jamaah, imam itu meniatkan imamah (menjadi imam shalat) supaya memperoleh kurnia Allah. Jikalau tidak diniatkan­nya, maka shalat orang ramai yang di belakangnya syah, apabila mereka itu meniatkan ikut imam (menjadi ma'mum).

Dan mereka memperoleh pahala berjama'ah. Dan dibaca dengan suara halus (sirr) doa iftitah dan taawwuz (A'uudzu billaah) seperti orang yang bershalat seorang diri. Dan dibaca dengan suara keras (jahr) al‑fatihah dan surat pada shalat Shubuh, dua raka'at pertama dari shalat 'Isya' dan Maghrib. Dan orang yang bershalat seorang diri membacanya begitu juga. Dan dikeraskan membaca "A a m i n " pada shalat yang dijahrkan (shalat Shubuh, 'Isya'. dan Maghrib). Dan begitu pula ma'mum. Dan disamakan oleh ma’mum membaca aaminnya, bersama‑sama dengan aamin imam, tidak beriring‑iring. Dan berdiam diri imam sebentar sesudah al‑fatihah, supaya nafasnya normal kembali. Dan ma'mum dapat membaca al‑fatihah shalat yang dijahrkan  (shalat jahriyah) pada ketika imam berdiam diri itu, agar ma'mum dapat mendengar pembacaan imam. Pada shalat jahriyah, ma'mum tidak membaca surat, kecuali apabila ia tiada mendengar suara imam. Imam membaca "Sami ',allaahu liman hamidah " ketika mengang­katkan kepalanya daripada ruku'. Dan demikian juga ma'mum. Dan imam tidak melebihkan dari tiga kali membaca tasbih ruku' dan tasbih sujud. Dan tidak menambahkan bacaan pada tasyahhud pertama sesudah membaca "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa ali Muhammad " Dan meringkaskan pada dua rakaat akhir atas al‑fatihah saja, tidak memperpanjangkan, karena menyusahkan bagi para ma'mum. Dan imam tidak menambahkan do'a pada tasyahhud akhir mele­bihi dari sekedar tasyahhud dan selawat kepada Rasulullah saw. Dan meniatkan ketika salam, memberi salam kepada orang banyak yang menjadi ma'mum dan kepada para malaikat. Dan orang banyak pun meniatkan dengan salamnya, menjawab salam  imam. Imam itu tetap pada tempat duduknya sekejap, sehingga selesai orang ramai dari salam dan ia menghadap kepada mereka itu de­ngan wajahnya. Yang lebih utama, imam itu tetap di situ dahulu, kalau di belakang ma'mum laki‑laki ada ma'mum wanita, supaya kaum wanita itu pergi sebelum bangun imam. Dan tidak seorangpun dari ma'mum bangun berdiri, sebelum bangun berdiri imam. Imam itu pergi keluar dari sebelah mana yang disukainya, dari sebelah kanan atau sebelah kiri. Dan menurut pendapatku, dari sebelah kanan adalah lebih baik. Tidaklah imam itu menentukan do'a untuk dirinya saja pada qunut Shubuh, tetapi hendaklah ia membaca: "Allaahummah dinaa", artinya: "Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami". (Tidak Allaahummah dinii yang artinya Ya allah ya Tuhanku ! Tunjukilah aku ! ). Imam itu membaca qunut dengan suara keras dan para makmum mengaminkan, dengan mengangkatkan tangan setentang dada dan menyapukan muka ketika selesai dari doa qunut. Demikian menurut hadits yang diriwayatkan tentang itu. Kalau tidak karena hadits, maka secara qias (analogi), tangan itu tidaklah diangkatkan seperti pada akhir tasyahhud.


FASAL 6 : LARANGAN‑LARANGAN DALAM SHALAT

Dilarang oleh Rasulullah saw "ash‑shafan" dan "ash‑shafad" di da­lam shalat dan sudah kami terangkan arti keduanya dahulu. Dan dilarang dari “ Iq’a ” dari "sadl", dari "kaff” dari "ikhtishar",  dari “shalb” dari "muwashalah", dari "shalat al‑haqin", dari "haqib", dari "hadziq", dari "shalat orang lapar", dari "shalat orang marah" dan dari "shalat orang yang menutup muka". Adapun itqa , yaitu menurut ahli bahasa  artinya: duduk di atas kedua punggung, menegakkan kedua lutut dan meletakkan kedua tangan ke atas lantai seperti duduk anjing. Dan menurut ahli hadits ­ialah: duduk di atas kedua betis dan tiada yang di atas lantai, selain dari ujung anak‑anak jari kedua kaki dan kedua lutut. Adapun sadl, yaitu menurut madzhab ahli hadits ialah berselimut dengan kain dan memasukkan kedua tangan dari dalam, lalu ruku' dan sujud, dalam keadaan yang demikian. Cara yang begini ialah cara Yahudi di dalam sembahyangnya. Maka dilarang daripada menyerupakan dengan Yahudi. Baju kemeja searti juga dengan kain itu, maka tidaklah wajar ruku' dan sujud, sedang kedua tangan di dalam selimutan kemeja. Ada yang mengatakan arti sadl, ialah meletakkan tengahan kain sarung di atas kepala dan melepaskan kedua pinggirnya, dari kanan dan kiri tanpa meletakkannya ke atas dua bahu. Arti yang pertama tadi adalah lebih mendekati kepada benar. Adapun kaff, yaitu mengangkatkan kain dari muka atau dari bela­kang, apabila mau sujud. Kadang‑kadang kaff itu pada rambut kepala. Dari itu, janganlah dikerjakan shalat, di mana ia menyang­gul rambutnya. Larangan ini adalah terhadap laki‑laki. Pada hadits tersebut: "Disuruh aku supaya sujud dengan 7 anggota badan dan tidak aku mengangkatkan rambut dan kain waktu sujud” . Ahmad bin Hambal ra  memandang makruh berkain sarung di atas baju kurung panjang di dalam shalat dan dipandangnya sebahagian dari kaff. Adapun ikhtishar ialah meletakkan kedua tangan pada pinggang. Adapun shalb, ialah meletakkan kedua tangan pada pinggang, pada waktu berdiri dan merenggangkan antara kedua lengan pada waktu berdiri itu. Adapun muwashalah (menyambung), maka ada lima: Dua atas imam  yaitu: imam itu tiada menyambung bacaannya dengan takbiratul‑ihram dan tiada menyambung rukunya dengan bacaan­nya. Dua atas mamum yaitu: ma'mum itu tiada menyambung takbir ratul‑ihramnya dengan takbiratul‑ihram imam dan tiada me­nyambung salamnya dengan salam imam. Dan satu lagi di atas keduanya, yaitu: tidak menyambung salam fardlu (salam pertama) dengan salam kedua. Dan hendaklah dipisahkan diantara kedua salam itu. Adapun shalat al‑haqin, yaitu shalat orang yang mau buang air kecil (mau kencing). Dan haqib, yaitu shalat orang yang mau buang air besar (mau berak). Dan hadziq, yaitu orang yang mengerjakan shalat di dalam alas kaki (muza) yang sempit. Semuanya itu adalah mencegah daripada khusyu. Dan searti dengan yang di atas, ialah orang yang sedang lapar dan susah.

Dipahami larangan shalat bagi orang yang sedang lapar, dari sabda Nabi saw: "Apabila datang makanan  malam dan di qamatkan shalat, maka mulailah dengan makanan malam!”  Kecuali sempit waktu atau hatinya tenang. Pada suatu hadits tersebut: "Janganlah seorang kamu melakukan shalat, sedang pikirannya terganggu. Dan janganlah bershalat seorang kamu, di mana dia sedang marah ". Berkata Al‑Hasan: "Tiap‑tiap shalat yang tidak hadir hati pada­nya, maka shalat itu lebih mendekati kepada siksaan". Pada suatu hadits tersebut: "7 perkara dalam shalat adalah dari setan: keluar darah dari hidung, datang ngantuk, datang ke­sangsian hati (waswas), menguap, menggaruk, berpaling muka dan bermain‑main dengan sesuatu". Dan ditambah oleh setengah mere­ka: "Lupa dan ragu ".  Berkata setengah salaf "4 perkara di dalam shalat termasuk bahagian tiada disukai berpaling muka, menyapu muka, merata­kan batu tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada jalan orang yang melalui dihadapan engkau". Dan juga dilarang didalam shalat menjerejakkan/membunyikan anak‑anak jari atau memukulkan anak‑anak jari supaya berbunyi atau menutup muka atau meletakkan salah satu daripada kedua tapak tangan ke atas tapak tangan yang satu lagi dan memasukkan kedua tapak tangan itu diantara kedua paha pada ruku'. Berkata setengah shahabat ra: "Adalah kami berbuat demikian, maka dilarang kami daripadanya". Dan dimakruhkan juga menghembus ke lantai ketika sujud untuk membersihkan lantai itu. Dan dimakruhkan juga meratakan batu dengan tangan, karena segala perbuatan tersebut tadi tidak diper­lukan. Dan tidak diangkatkan salah satu dari kedua tapak kaki, lalu dile­takkan ke atas paha. Dan tidak bersandar ke dinding waktu berdiri. Kalau bersandar sehingga jikalau dinding itu ditarik, niscaya ia jatuh, maka pendapat yang lebih kuat batal (tidak syah) shalatnya. Wallaahu allam ‑ Allah yang Maha Tahu.


FASAL 7 : MEMBEZAKAN FARDHU DAN SUNAT.

Sejumlah apa yang telah kami sebutkan itu, melengkapi kepada fardlu, sunat, adab dan cara dari hal‑ihwal yang sewajarnya dipe­lihara seluruhnya oleh seorang murid yang menuju jalan akhirat. Maka yang fardlu, berjumlah 12 perkara: niat, takbir, berdiri betul, al‑fatihah, membungkuk pada ruku, sehingga kedua tapak tangannya sampai kepada kedua lututnya, serta thumaninah, i'tidal dari ruku' di dalam keadaan berdiri betul, sujud serta thumaninah dan tiada wajib meletakkan dua tangan, itidal dari sujud dengan duduk betul,  duduk untuk tasyahhud akhir, membaca tasyahhud akhir, selawat kepada Nabi saw padanya dan salam pertama. Adapun niat keluar dari shalat, maka tiada wajib. Selain dari yang 12 itu, tiada wajib, tetapi adalah sunat dan menjadi hai‑ah (cara) pada melakukan yang sunat  itu dan pada melakukan yang fardlu. Adapun sunat, maka yang termasuk bahagian perbuatan adalah 4: mengangkat kedua tangan pada takbiratul‑ihram, pada ketika turun kepada ruku, pada ketika bangun kepada berdiri dan duduk untuk tasyahhud pertama. Adapun apa yang kami sebutkan, mengenai cara membuka anak-­anak jari dan batas mengangkatkannya, maka itu adalah cara ( sunat hai‑ah) yang mengikuti sunat di atas tadi.  Mengenai tawarruk (duduk dengan punggung ke lantai pada duduk tasyahhud akhir) dan iftirasy (duduk di atas tumit kaki kiri pada duduk tasyahhud pertama dan lainnya) adalah hai‑ah yang mengi­kuti bagi duduk itu. Menundukkan kepala, dan meninggalkan berpaling muka adalah hai‑ah bagi berdiri betul. Membaguskan bentuk dan duduk istirahat, tidaklah terhitung sebahagian daripada pokok‑pokok sunat di da­lam perbuatan shalat. Karena dia adalah sebagai pembaikan bagi cara (hai‑ah) bangun dari sujud kepada, berdiri betul. Dan tidaklah dimaksudkan untuk istirahat itu sendiri. Dari itu tidak kami asing­kan menerangkannya. Adapun yang sunat dari bacaan‑bacaan (adz‑kar), maka yaitu: do'a iftitah, kemudian membaca Auuzu billah (ta'awwudz), ke­mudian membaca aamin, maka itu adalah sunat Muakkadah (sunat yang lebih dikuatkan dari sunat lainnya), kemudian membaca surat Alquran, kemudian takbir‑takbir intiqalat (takbir yang dibacakan waktu berpindah dari rukun ke rukun), kemudian dzikir (pemba­caan tasbih) pada ruku', sujud dan i'tidal dari keduanya, kemudian tasyahhud pertama dan selawat padanya kepada Nabi saw, kemudian doa pada penghabisan tasyahhud akhir, kemudian salam kedua. Walaupun semuanya yang di atas tadi, kami kumpulkan di dalam nama sunat, tetapi mempunyai derajat yang berlebih‑kurang. Kare­na empat daripadanya ditempel dengan sujud sahwi (sujud karena lupa) kalau terlupa mengerjakannya. Adapun yang sunat dari perbuatan shalat, maka adalah satu. Yaitu duduk pertama pada tasyahhud pertama. Maka duduk pertama ini, adalah membekaskan pada tata‑tertib susunan shalat pada pengli­hatan orang yang melihatnya. Karena dengan duduk pertama itu, dikenal apakah shalat itu termasuk 4 raka'at atau tidak. Lain haInya dengan mengangkat dua tangan. Maka tidaklah membekas­kan pada perobahan susunan shalat. Dari itu, disebut sunat yang menjadi sebahagian dari shalat (sunat ab‑'adl). Dan dikatakan, sunat ab‑'adl itu ditempel dengan sujud sahwi apabila terlupa mengerjakannya. Adapun sunat bacaan‑bacaan (adz‑kaar) itu, maka seluruhnya tidak berkehendak kepada sujud sahwi, selain 3: qunut, tasyahhud pertama dan selawat kepada Nabi saw, padanya. Lain halnya dengan takbir intiqalat, dzikir pada ruku', pada sujud dan pada i'tidal daripada keduanya. Karena ruku' dan sujud di dalam bentuknya, sudah menyalahi daripada kebiasaan. Dari itu tercapai maksud ibadah dengan ruku'dan sujud itu, walaupun berdiam diri daripada membaca dzikir dan bertakbir intiqalat. Maka tidak adanya dzikir-­dzikir itu, tidaklah merobah bentuk ibadah. Adapun duduk bagi tasyahhud pertama, maka adalah perbuatan biasa. Dan duduk ini tidak ditambahkan melainkan karena memba­ca tasyahhud. Dari itu, meninggalkan duduk tasyahhud ini, terang benar membekasnya. Adapun doa iftitah dan membaca surat, maka meninggalkannya tiadalah membawa pengaruh apa‑apa, di mana berdiri itu sudah terbentuk dengan membacakan al‑fatihah. Dan sudah dapat dibeda­kan dari berdiri biasa, dengan al‑fatihah itu. Begitu pula doa pada tasyahhud akhir dan qunut, adalah amat jauh daripada ditempel dengan sujud. Tetapi disuruh melamakan Itidal pada shalat Shubuh karena qunut itu.

Maka adalah melamakan Itidal tadi seperti melamakan duduk istirahat. Karena duduk istirahat itu dengan melamakannya serta membaca tasyahhud, menjadi duduk tasyahhud pertama. Maka tinggallah ini menjadi berdiri yang dilamakan, yang biasa, di mana tak ada padanya dzikir wajib. Tentang melamakan berdiri itu adalah menjaga dari bukan shalat Shubuh. Dan tentang kosongnya dari dzikir wajib, adalah menjaga dari pokok berdiri didalam shalat. Kalau anda bertanya bahwa: membedakan sunat daripada fardlu, adalah dapat dipahami. Karena hilangnya syah shalat dengan hi­langnya fardlu. Tidak dengan hilangnya sunat. Dan dihadapkan kepada siksaan dengan tidak adanya fardlu, bukan dengan tidak adanya sunat. Adapun membedakan sunat dari sunat dan semuanya disuruh atas jalan sunat dan tak ada siksaan dengan meninggalkan segala yang sunat itu. Dan pahala itu ada dengan mengerjakan se­muanya. Maka apakah artinya itu?. Maka ketahuilah bahwa berserikatnya fardlu dan sunat pada pahala, siksa dan disukai, tidaklah menghilangkan adanya berlebih‑kurang pada keduanya. Marilah kami terangkan kepada anda yang demiki­an itu dengan, contoh. Yaitu: bahwa manusia tidaklah bernama manusia, yang ada, lagi sempurna, melainkan dengan pengertian bathin dan anggota zhahir. Pengertian bathin ialah: hidup dan roh. Dan zhahir ialah segala anggota tubuhnya. Kemudian, sebagian daripada anggota tubuh itu, adalah manusia menjadi tidak ada dengan tidak adanya seperti: hati, jantung, otak dan semua anggota yang hilang hidup dengan hilangnya. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dengan hilangnya, tetapi maksud hidup yang hilang Seperti: mata, tangan, kaki dan lidah. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dan maksudnya, tetapi yang hilang ialah kebagusan, seperti: dua alis mata, janggut, bulu mata dan kebagusan warna kulit. Dan sebahagian lagi, tidaklah hilang sebab kecantikan dengan tidak adanya, tetapi yang hilang ialah kesempurnaan kecantikan seperti: melengkung dua alis mata, hitam bulu janggut dan bulu mata, bersesuaian bentuk anggota dan bercampur merah dengan putih pada warna kulit. Maka ini semua­nya adalah bertingkat‑tingkat, yang berlebih‑kurang. Maka seperti itu pulalah ibadah mempunyai bentuk yang dibentuk oleh Syara' dan kita berbuat ibadah dengan mengusahakan bentuk itu. Maka nyawa dan hidup bathinnya ialah: khusyu' ' niat, hadir hati dan ikitlas, sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan sekarang kami terangkan bahagian‑bahagian zhahirnya. Maka ruku, sujud, berdiri dan rukun‑rukun lainnya daripada shalat adalah merupakan hati, kepala dan jantung. Karena tidak adalah wujud shalat dengan tidak adanya yang tersebut tadi. Dan segala sunat yang telah kami sebutkan, dari mengangkatkan kedua tangan, do'a iftitah dan tasyahhud pertama daripada shalat adalah merupakan dua tangan, dua mata dan dua kaki. Dan tidak­lah hilang syahnya shalat dengan tidak adanya sunat‑sunat itu, sebagaimana tidak hilangnya hidup dengan hilangnya anggota‑ang­gota tadi. Tetapi jadilah orang dengan sebab hilangnya, mempero­leh cacat, dicela dan tidak disukai. Maka seperti itu pulalah orang yang menyingkatkan kepada yang sedikit dari yang mencukupi daripada shalat, adalah seperti orang yang mempersembahkan kepada Maharaja, seorang budak yang hidup tetapi tidak bertangan dan berkaki. Adapun hai‑ah, yaitu yang bertingkat di belakang sunat.

 Maka ada­lah merupakan sesuatu yang membawa kepada kecantikan, seperti dua alis mata, janggut, bulu mata dan kecantikan warna kulit. Adapun tugas dzikir pada sunat‑sunat itu, adalah menyempurnakan kecantikan seperti: melengkungnya dua alis mata, membulatnya janggut dan lainnya. Maka shalat pada ketika itu, adalah merupakan pendekatan dan persembahan kehadirat Raja‑Diraja, seperti persembahan yang dipersembahkan oleh orang yang mencari kedekatan diri, kepada sultan‑sultan. Persembahan itu dipersembahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla, kemudian dikembalikan kepada kita pada hari pertemuan akbar. Maka terserahlah kepada kita, untuk membaguskan bentuknya atau menjelekkannya. Kalau kita baguskan, maka adalah untuk kita sendiri dan kalau kita jelekkan, maka adalah di atas kita sendiri. Dan tidaklah layak anda mengambil bahagian daripada mempela­jari fiqih, untuk membedakan diantara yang fardlu dan yang sunat. Lalu tiada yang melekat pada paham anda tentang ciri‑ciri sunat itu selain daripada boleh  meninggalkannya, lalu anda tinggalkan. Karena yang demikian itu, serupalah dengan kata dokter bahwa kerusakan mata tidaklah melenyapkan adanya manusia. Tetapi kerusakan mata itu menolak dibenarkan untuk diterima oleh sultan, apabila datang kepadanya membawa hadiah yang akan dipersembahkan. Maka begitulah hendaknya dipahami tingkat‑tingkat sunat, hai‑ah dan adab. Sehingga tiap‑tiap shalat yang tidak disempurnakan ruku' dan sujudnya, menjadi musuh pertama kepada yang empunya shalat itu di mana shalat mengatakan: "Disia‑siakan oleh Allah kiranya engkau, sebagaimana engkau telah menyia‑nyiakan aku". Maka perhatikanlah benar‑benar, segala hadits yang telah kami bentangkan mengenai kesempurnaan rukun‑rukun shalat, supaya jelaslah bagimu keadaan yang sebenarnya

Tiada ulasan: