TERDAPAT 7 FASAL
FASAL 1 : MENGERJAKAN
AMALAN ZHAHIR DARI SHALAT
Seyogialah bagi orang yang mengerjakan shalat (mushalli),
apabila telah selesai dari wudhu, dari bersuci daripada najis pada badan,
tempat dan pakaian, dari menutupi aurat dari pusat sampai kepada lutut, bahwa
ia tegak berdiri menghadap qiblat dan merenggangkan diantara kedua tapak
kakinya, tidak dirapatkan keduanya. Cara yang demikian itu, termasuk diantara
yang menunjukkan kepada adanya pengertian dari seseorang. Dan: "Dilarang
oleh Nabi saw daripada "ash‑shafan" dan “as‑shafad" dalam
shalat. Ash‑Shafad: yaitu merapatkan kedua tapak kaki.
Di dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala: “Mereka
(orang‑orang yang berdosa itu) terikat bersama‑sama dengan rantai". S 14
Ibrahim ayat 49. Ash‑Shafan: yaitu mengangkatkan salah satu daripada dua kaki.
Di dalam AI‑Quran tersebut firman Allah Ta’ala: "Kuda-kuda yang jinak
tenang waktu berhenti dan amat kencang larinya”. S 38 Shaad ayat 31. Inilah
yang dijaga oleh orang yang mengerjakan shalat mengenai kedua kakinya ketika
berdiri. Dan dijaga mengenai kedua lututnya dan tulang belakangnya dengan
lurus. Dan mengenai kepalanya, kalau ia mau, maka dibiarkannya tegak lurus dan
kalau ia mau, maka ditundukkannya sedikit. Menundukkan kepala itu adalah lebih
mendekatkan kepada khusyu' dan lebih memincingkan kepada mata.
Dan hendaklah matanya tertuju kepada mushallanya (tempat
shalatnya), di mana ia mengerjakan shalat padanya. Jikalau ia tiada mempunyai
tikar mushalla, maka hendaklah, ia mendekati dinding atau menggariskan suatu
garis dihadapannya. Karena dengan demikian, memendekkan jaraknya penglihatan
dan mencegah daripada bersimpang‑siurnya pikiran. Dan hendaklah ia menahan
penglihatannya daripada melampaui tepi tikar mushalla dan batas garis. Dan
hendaklah berdiri tetap seperti itu sampai kepada ruku' tanpa berpaling ke mana‑mana.
Inilah adab berdiri !. Apabila telah berdiri lurus, menghadap qiblat dan
menundukkan kepala seperti yang tersebut itu, maka hendaklah ia membaca:
“Katakanlah ! Aku berlindung dengan Tuhan (Pemimpin) manusia", untuk
bermohon pada Tuhan penjagaan diri daripada setan”. Kemudian hendaklah ia
Qamat. Dan dalam ia mengharap akan kedatangan orang yang akan mengikutnya,
maka hendaklah ia adzan lebih dahulu. Kemudian, hendaklah ia niat, yaitu: niat
shalat Dhuhur umpamanya dan mengatakan dengan hatinya: "Aku menunaikan
fardlu Dhuhur karena Allah", untuk membedakan dengan katanya: "Aku
menunaikan shalat qodo, Dan dengan fardlu untuk membedakan daripada sunat. Dan
dengan Dzuhur, untuk membedakan daripada 'Ashar dan lainnya. Dan hendaklah
pengertian kata‑kata itu ada pada hatinya. Yaitu, itulah niat. Dan kata‑kata
itu adalah yang mengingatkan dan yang menjadi sebab untuk adanya niat itu. Dan
diusahakannya supaya yang demikian itu tetap sampai kepada akhir takbiratul‑ihram,
tidak hilang‑hilang.
Apabila telah ada pada hatinya yang demikian itu, maka
hendaklah ia mengangkat kedua tangannya sampai setentang/sejajar dengan kedua
bahunya setelah dilepaskan lebih dahulu kedua tangan itu, di mana setentang dengan
kedua tapak tangannya akan kedua bahunya dan dengan kedua ibu jarinya akan
kedua ujung bawah telinganya. Dan dengan kepala anak-anak jarinya akan tepi
atas kedua telinganya. Supaya adalah yang demikian itu menghimpunkan segala
maksud hadits‑hadits yang datang mengenai itu. Dan adalah orang yang
mengerjakan shalat itu menghadap dengan
kedua tapak tangannya dan dengan kedua ibu jarinya ke qiblat.
Dan membuka segala anak jarinya, tidak menggenggamkannya.
Dan tidak memaksakan pada anak‑anak jari itu dengan merenggangkan dan
menggenggamkan, tetapi membiarkannya menurut biasanya saja, karena dinukilkan
menurut atsar melepaskan dan menggenggamkan. Dan yang tersebut di atas tadi,
adalah dia diantara keduanya (diantara melepaskan dan menggenggamkan). Maka itulah
yang lebih utama. Apabila telah tetap kedua tangan pada tempatnya itu, maka
mulailah bertakbir serta melepaskan keduanya dan menghadirkan niat. Kemudian
meletakkan kedua tangan itu di atas pusar dan di bawah dada. Dan meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri karena memuliakan kanan, sehingga ia dipikul
oleh yang kiri. Telunjuk dan jari mati/jari tengah dari tangan kanan dilepaskan
di atas sepanjang lengan. Dan digenggam dengan ibu jari, kelingking dan jari
manis di atas pergelangan tangan kiri. Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa takbir itu serta mengangkatkan kedua
tangan, serta tetap keduanya dan serta melepaskan. Semuanya itu tak ada salah
padanya. Dan saya berpendapat dengan melepaskan kedua tangan itu, adalah lebih
layak. Takbir itu adalah kata‑kata untuk pengikatan ('aqad). Dan meletakkan
salah satu daripada kedua tangan di atas yang lain adalah dalam bentuk
pengikatan itu. Permulaan pengikatan itu ialah melepaskan kedua tangan ke
bawah dan kesudahannya meletakkan
kedua tangan (di atas pusar dan di bawah dada). Permulaan takbir itu alif dan penghabisannya ro. Maka
sepantasnyalah dipelihara penyesuaian diantara perbuatan dan pengikatan itu.
Dan mengangkatkan tangan itu adalah merupakan muqaddimah bagi permulaan ini. Kemudian, tidaklah seyogianya
mengangkatkan kedua tangan itu ke depan sebagai pengangkatan tangan ketika
takbir. Dan tidaklah menolakkan kedua tangan itu ke belakang kedua bahu dan
tidaklah menghempaskan kedua tangan itu ke kanan dan ke kiri, apabila telah
selesai daripada takbir. Dan melepaskan kedua tangan itu, dengan pelan‑pelan,
kemudian di mulai meletakkan yang kanan keatas yang kiri setelah dilepaskan
itu. Pada setengah riwayat, bahwa Nabi saw: "Adalah, apabila telah
bertakbir, Ialu melepaskan kedua tangannya. Dan apabila hendak membaca maka
diletakkannya tangan kanan ke atas tangan kiri”. Kalau riwayat ini shah
(benar), maka adalah ini lebih utama dari pada yang kami sebutkan itu. Adapun takbir, maka seyogialah ha pada
pengucapan Allah itu dibaris‑depankan, yaitu Allahu, dengan suara ringan, tanpa bersangatan. Dan
tidak masuk antara ha dan alif, yang menyerupakan u (yaitu suara
panjang), hal ini terbawa kalau dibacakan hu itu dengan suara keras. Dan tidak masuk antara ba ak ‑ ba – r
dan ra‑nya itu alif, seolah-olah
dibacakannya ak ‑ baa ‑ r (dengan panjang suara pada ba). Dan dimatikan baris
ra takbir itu, tidak dibaris‑depankan. Inilah cara, takbir dan hal‑hal yang menyertai takbir itu.
FASAL 2 : PEMBACAAN SHALAT
Kemudian, dimulainya dengan membaca "doa iftitah " (do'a pembukaan shalat). Dan baiklah
dibacakan setelah membacakan "Allahu akbar" itu: (Allaahu akbar
kabiiran wal hamdu, lillaahi katsiiraa, wa subhaanallaahi bukratan wa ashiila.
Wajahtu wajhia) ‑ sampai kepada ‑ wa ana minal muslimiin". Artinya: ”Allah
Maha Besar, segala pujian sebanyak‑banyaknya
bagi Allah. Maha Suci Allah pagi dan petang. Aku hadapkan wajahku " ‑ sampai seterusnya
kepada ‑ pembacaan, yang artinya: dan aku
adalah sebahagian daripada kaum muslimin. Kemudian, dibacakannya "Maha Suci Engkau wahai Tuhanku dan
dengan memuji Engkau dan bertambah‑tambahlah keagungan nama Engkau, maha
besarlah pujian kepada Engkau dan tiadalah yang disembah selain Engkau". Supaya
dengan pembacaan yang tersebut tadi, dapat menghimpunkan diantara yang berpisah‑pisah
dari apa yang datang pada beberapa hadits. Jikalau ia mengerjakan shalat di
belakang imam, hendaklah diringkaskannya, apabila imam itu tiada lama diam
sesudah bertakbir, dengan membaca di dalam diamnya itu. Kemudian, dibacakan: "Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang kena kutuk ".
Kemudian, dibacakan "surat AI‑Fatihah", dimulai
dengan ‑"Bismillaahir rahmaanir rahiim", dengan menyempurnakan
tasydid dan hurufnya. Dan diusahakan
benar‑benar membedakan diantara dlad (tebal)
dan dlad (tipis). Dan dibacakan "aamiin " pada akhir surat AI‑Fatihah
serta dipanjangkan pembacaan "Aamiin
". dan janganlah sekali‑kali disambung "Aamiin" dengan "wa
ladl dlaalliin". Dan dikeraskan pembacaan (jhr) pada shalat Shubuh, Maghrib dan'Isya', kecuali kalau ia pengikut imam (ma'mum). Dan dikeraskan
membaca: "Aamiin". Kemudian dibacakan surat atau sekedar tiga ayat
atau lebih daripada Alquran. Dan tidak disambung akhir surat yang dibaca itu
dengan takbir berpindah untuk ruku'. Tetapi dipisahkan diantara keduanya
sekedar pembacaan "Subhaanallaah". Dan dibacakan pada shalat Shubuh surat‑surat yang panjang dan pada
shalat Maghrib, surat‑surat yang
pendek dan pada Dhuhur, 'Ashar dan 'Isya' seperti surat: ”Wassamaa‑i dzaatil buruuj" dan
yang mendekati panjangnya. Dan pada shalat Shubuh
di dalam musafir, dibacakan: "Qul
yaa ayyuhal kaafiruun " dan "Qul
huwallahaahu ahad" Dan seperti
itu pula pada dua raka'at shalat sunat
Shubuh sunat thawaf dan sunat
tahiyyah masjid. Orang yang mengerjakan shalat tadi pada semua itu, terus
berdiri dan meletakkan kedua tangannya sebagaimana yang telah kami terangkan
pada permulaan shalat dahulu.
FASAL 3 : RUKU' DAN SEGALA
YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUKU
Kemudian ia ruku,' dan
dijaga pada ruku' itu beberapa perkara. Yaitu: bahwa ia bertakbir bagi ruku',
mengangkatkan kedua tangan serta takbir ruku' & memanjangkan takbir itu
sampai kepada ruku'. Meletakkan kedua tapak tangan atas dua lutut pada ruku' di
mana segala anak jarinya dilepaskan menghadap arah ke qiblat atas sepanjang
betis. Bahwa ia menegakkan kedua lututnya, tidak dilipatkan. Bahwa ia
memanjangkan punggungnya dengan lurus dan adalah lehernya dan kepalanya lurus
menyamai dengan punggungnya seperti sebilah papan. Tidaklah kepalanya lebih
rendah dan tidak lebih tinggi. Bahwa ia merenggangkan kedua sikunya daripada
kedua lembungnya. Dan bagi wanita merapatkan kedua sikunya kepada kedua
lembungnya. Dan dibacakan pada ruku' 3 kali (Subhaana rabbiyal 'adhiim)
Artinya: Maha Suci Tuhanku Yang Maha
Besar". Dan dilebihkan sampai 7 dan 10 adalah baik, jika ia bukan imam. Kemudian
ia bangkit daripada ruku' kepada berdiri kembali dan mengangkatkan kedua
tangannya, seraya membaca: (Sami'allaahu liman hamidah): "Didengar oleh Allah akan siapa yang memujiNya” Dan berkeadaan
tetaplah (berthumaninah) pada itidal itu,
seraya membaca. (Rabbanaa lakalhamdu mil‑us samaawaati wa mil‑ul ardli wa mil‑u
maa syi'‑ta min syai‑in ba'du)."Hai
Tuhan Kami ! Bagi Engkau segala pujian, memenuhi segala langit, memenuhi bumi
dan memenuhi apa yang Engkau kehendaki dari sesuatu sesudahnya". Dan
tidak melamakan berdiri i'tidal ini, selain pada shalat Tasbih, shalat Kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) dan
shalat Shubuh. Dan dibacakan qunut pada shalat Shubuh pada rakaat
kedua sebelum sujud, dengan kalimah‑kalimah do'a yang diperoleh dari
hadits-hadits.
FASAL 4 : SUJUD.
Kemudian ia turun kepada sujud dengan bertakbir. Maka
diletakkannya kedua lututnya di atas lantai. Dan diletakkannya dahinya,
hidungnya dan kedua tapak tangannya dengan terbuka. Ia bertakbir ketika turun
kepada sujud. Dan tidak mengangkatkan kedua tangan pada bukan ruku'. Dan
seyogialah, yang mula‑mula jatuh ke atas lantai itu, kedua lututnya. Dan
diletakkannya sesudah kedua lutut itu, kedua tangannya, kemudian mukanya. Dan
diletakkannya dahi dan hidungnya atas lantai dan direnggangkannya kedua
sikunya daripada kedua lembungnya. Dan wanita tidak berbuat demikian (artinya
tidak merenggangkan kedua sikunya daripada kedua lembungnya). Dan direnggangkan
diantara kedua kaki dan wanita tidak berbuat demikian. Dan pada sujud itu, bagi
laki‑laki berbuat "takhwiyah" di atas lantai dan bagi wanita tidak
berbuat "takhwiyah". Takhwiyah,
yaitu: mengangkatkan perut daripada kedua paha dan menjarangkan diantara kedua lutut. Dan diletakkan kedua tangan di
atas lantai setentang dengan kedua bahu dan tidak dijarangkan diantara anak‑anak
jari kedua tangan itu, tetapi dirapatkan. Dan dirapatkan ibu jari kepada kedua
tangan itu. Dan jika tidak dirapatkan pun, tiada mengapa. Dan tidak didudukkan
kedua lengan di atas, lantai seperti duduknya anjing, karena yang demikian itu
dilarang.
Dan dibacakan (Subhaana rabbiyal‑a’laa). 3 X Artinya:
"Maha Suci Tuhanku yang Maha
Tinggi” Kalau dilebihkan dari tiga
kali, adalah baik, kecuali ia imam. Kemudian, bangkit daripada sujud, Ialu
duduk dengan tenang (thuma'ninah) dan lurus. Ia mengangkat kepala dari sujud
dengan bertakbir dan duduk di atas kaki kiri serta menegakkan tapak kaki kanan
dan meletakkan kedua tangan di atas kedua paha. Dan segala anak jarinya,
terlepas (tidak tergenggam), tidak diberatkan merapatkannya dan tidak
merenggangkannya. Dan membaca: “Rabbighfirlii warhamnii warzuqnii wahdinii
wajburnii wa ‘aafinii wa’ – fu ‘annii” Artinya: "Hai Tuhanku. Ampunilah aku, kasihanilah aku, berikanlah aku
rezeki, berikanlah aku petunjuk, tutupkanlah kekuranganku, berikanlah aku kesehatan dan maafkanlah
aku!”. Dan tidak dilamakan duduk ini, kecuali pada sujud shalat sunat tasbih. Dan dikerjakan sujud kedua seperti yang tadi juga.
Dan duduk dengan lurus sebentar untuk istirahat pada tiap‑tiap raka'at, yang tidak duduk tasyahhud di
belakang raka'at itu. Kemudian setelah duduk sebentar tadi, maka bangun berdiri
dengan meletakkan tangan di atas lantai. Dan tidak mendahulukan salah satu
daripada kedua kakinya ketika bangun berdiri itu, serta memanjangkan takbir
sampai habis, diantara tengah‑tengah dari bangkitnya daripada duduk sampai
kepada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri, di mana "ha" dari
ucapannya "Allahu” adalah ketika
duduknya sudah lurus. Dan "kaff" dari “Akbar” ketika ia bertekan
dengan tangan untuk berdiri dan "ra" dari "akbar"
pada tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri. Dan dimulainya pada
tengah‑tengah bangkitnya kepada berdiri, sehingga jatuh takbir itu pada tengah‑tengah
perpindahannya. Dan tidak terlepas daripada takbir selain kedua tepi perpindahan itu (permulaan
perpindahan dan penghabisan perpindahan dari sujud kepada berdiri). Dan
cara yang demikian adalah lebih mendekati kepada meratakan pembacaan ibadah.
Dan dikerjakan rakaat kedua seperti
raka'at pertama dan diulangi pembacaan
"A’uudzu billaah”, seperti pada
permulaan shalat.
BFASAL 5 : BACAAN TASYAHHUD.
Kemudian membaca tasyahhud
pada raka’at kedua yaitu, tasyahhud pertama. Kemudian membaca selawat kepada Rasulullah saw
dan kepada keluarganya. Dan meletakkan tangan kanan ke atas paha kanan dan
menggenggamkan segala anak jari kanan selain dari telunjuk. Dan tiada mengapa
melepaskan ibu jari juga. Dan diisyaratkan dengan telunjuk kanan saja ketika
Mengucapkan "illallaah ". tidak
ketika mengucapkan “Laa ilaaha”. Duduk
ia pada tasyahhud ini di atas kaki kiri seperti duduk diantara dua sujud. Dan
pada tasyahhud akhir, disempurnakan
doa yang diterima dari Nabi sesudah
membaca selawat kepada Nabi saw. Sunat‑sunat pada tasyahhud akhir, adalah seperti
sunat‑sunat pada tasyahhud pertama. Hanya pada tasyahhud akhir itu, duduk ia di
atas punggung kiri, karena ia tidak
bangun lagi untuk berdiri tetapi terus tetap menyiapkan shalatnya. Dan
ditidurkannya kaki kirinya yang keluar dari bawah dan ditegakkannya kaki
kanannya serta diletakkan ujung ibu jari kakinya itu ke arah qiblat kalau tiada
sukar. Kemudian membaca "Assalaamualaikum
wa rahmatullaah" dan berpaling ke kanan, kira‑kira kelihatanlah pipi
kanannya dari belakang dari sebelah kanan. Dan berpaling ke kiri, begitu pula
dan membaca salam kedua. Diniatkan
keluar dari shalat dengan salam itu.
Dan diniatkan dengan salam itu memberi salam. kepada siapa yang ada di
kanannya, dari para malaikat dan kaum muslimin pada salam pertama. Dan diniatkan begitu pula pada salam kedua. Dibacakan salam itu dengan dimatikan huruf akhirnya dan tidak dibacakan dengan suara panjang. Begitulah sunnah Nabi saw. Inilah caranya shalat seorang diri. Ditinggikan suara
dengan segala takbir perpindahan (takbir
intiqalat), yaitu sekedar yang dapat didengar oleh dirinya. Pada shalat jamaah, imam itu meniatkan imamah (menjadi imam shalat) supaya
memperoleh kurnia Allah. Jikalau tidak diniatkannya, maka shalat orang ramai
yang di belakangnya syah, apabila
mereka itu meniatkan ikut imam (menjadi
ma'mum).
Dan mereka memperoleh pahala berjama'ah. Dan dibaca dengan
suara halus (sirr) doa iftitah dan taawwuz (A'uudzu
billaah) seperti orang yang bershalat seorang diri. Dan dibaca dengan suara keras (jahr) al‑fatihah dan surat pada
shalat Shubuh, dua raka'at pertama dari shalat 'Isya' dan Maghrib. Dan orang
yang bershalat seorang diri membacanya begitu juga. Dan dikeraskan membaca "A a m i n " pada shalat yang dijahrkan (shalat Shubuh,
'Isya'. dan Maghrib). Dan begitu pula ma'mum.
Dan disamakan oleh ma’mum membaca aaminnya,
bersama‑sama dengan aamin imam, tidak beriring‑iring. Dan berdiam diri imam
sebentar sesudah al‑fatihah, supaya
nafasnya normal kembali. Dan ma'mum dapat membaca al‑fatihah shalat yang dijahrkan (shalat jahriyah) pada ketika imam
berdiam diri itu, agar ma'mum dapat mendengar pembacaan imam. Pada shalat jahriyah, ma'mum tidak membaca
surat, kecuali apabila ia tiada mendengar suara imam. Imam membaca "Sami ',allaahu liman hamidah "
ketika mengangkatkan kepalanya daripada ruku'. Dan demikian juga ma'mum. Dan
imam tidak melebihkan dari tiga kali membaca tasbih ruku' dan tasbih
sujud. Dan tidak menambahkan bacaan pada tasyahhud pertama sesudah membaca "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa ali Muhammad "
Dan meringkaskan pada dua rakaat akhir atas
al‑fatihah saja, tidak memperpanjangkan, karena menyusahkan bagi para ma'mum.
Dan imam tidak menambahkan do'a pada tasyahhud akhir melebihi dari sekedar
tasyahhud dan selawat kepada Rasulullah saw. Dan meniatkan ketika salam, memberi
salam kepada orang banyak yang menjadi ma'mum dan kepada para malaikat. Dan
orang banyak pun meniatkan dengan salamnya, menjawab salam imam. Imam itu tetap pada tempat duduknya
sekejap, sehingga selesai orang ramai dari salam dan ia menghadap kepada mereka
itu dengan wajahnya. Yang lebih utama, imam itu tetap di situ dahulu, kalau di
belakang ma'mum laki‑laki ada ma'mum wanita, supaya kaum wanita itu pergi
sebelum bangun imam. Dan tidak seorangpun dari ma'mum bangun berdiri, sebelum
bangun berdiri imam. Imam itu pergi keluar dari sebelah mana yang disukainya,
dari sebelah kanan atau sebelah kiri. Dan menurut pendapatku, dari sebelah
kanan adalah lebih baik. Tidaklah imam itu menentukan do'a untuk dirinya saja
pada qunut Shubuh, tetapi hendaklah
ia membaca: "Allaahummah dinaa",
artinya: "Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami". (Tidak Allaahummah dinii yang artinya Ya allah
ya Tuhanku ! Tunjukilah aku ! ). Imam
itu membaca qunut dengan suara keras dan para makmum mengaminkan, dengan
mengangkatkan tangan setentang dada dan menyapukan muka ketika selesai dari doa
qunut. Demikian menurut hadits yang diriwayatkan tentang itu. Kalau tidak
karena hadits, maka secara qias (analogi), tangan itu tidaklah diangkatkan
seperti pada akhir tasyahhud.
FASAL 6 : LARANGAN‑LARANGAN DALAM SHALAT
Dilarang oleh Rasulullah saw "ash‑shafan" dan
"ash‑shafad" di dalam shalat dan sudah kami terangkan arti keduanya
dahulu. Dan dilarang dari “ Iq’a ” dari "sadl", dari "kaff” dari
"ikhtishar", dari “shalb” dari
"muwashalah", dari "shalat al‑haqin", dari
"haqib", dari "hadziq", dari "shalat orang
lapar", dari "shalat orang marah" dan dari "shalat orang
yang menutup muka". Adapun itqa ,
yaitu menurut ahli bahasa artinya: duduk
di atas kedua punggung, menegakkan kedua lutut dan meletakkan kedua tangan ke
atas lantai seperti duduk anjing. Dan
menurut ahli hadits ialah: duduk di atas kedua betis dan tiada yang di atas
lantai, selain dari ujung anak‑anak jari kedua kaki dan kedua lutut. Adapun sadl, yaitu menurut madzhab ahli hadits ialah
berselimut dengan kain dan memasukkan kedua tangan dari dalam, lalu ruku' dan
sujud, dalam keadaan yang demikian. Cara yang begini ialah cara Yahudi di dalam
sembahyangnya. Maka dilarang daripada menyerupakan dengan Yahudi. Baju kemeja
searti juga dengan kain itu, maka tidaklah wajar ruku' dan sujud, sedang kedua
tangan di dalam selimutan kemeja. Ada yang mengatakan arti sadl, ialah meletakkan tengahan
kain sarung di atas kepala dan melepaskan kedua pinggirnya, dari kanan dan
kiri tanpa meletakkannya ke atas dua bahu. Arti yang pertama tadi adalah lebih
mendekati kepada benar. Adapun kaff, yaitu
mengangkatkan kain dari muka atau dari belakang, apabila mau sujud. Kadang‑kadang
kaff itu pada rambut kepala. Dari
itu, janganlah dikerjakan shalat, di mana ia menyanggul rambutnya. Larangan
ini adalah terhadap laki‑laki. Pada hadits tersebut: "Disuruh aku supaya sujud dengan 7 anggota badan dan tidak aku
mengangkatkan rambut dan kain waktu sujud” . Ahmad bin Hambal ra memandang makruh berkain sarung di atas baju
kurung panjang di dalam shalat dan dipandangnya sebahagian dari kaff. Adapun ikhtishar ialah meletakkan kedua tangan pada pinggang. Adapun shalb, ialah meletakkan kedua tangan
pada pinggang, pada waktu berdiri dan merenggangkan antara kedua lengan pada
waktu berdiri itu. Adapun muwashalah (menyambung),
maka ada lima: Dua atas imam yaitu: imam itu tiada menyambung bacaannya dengan takbiratul‑ihram dan
tiada menyambung rukunya dengan bacaannya.
Dua atas mamum yaitu: ma'mum itu tiada menyambung takbir ratul‑ihramnya dengan takbiratul‑ihram imam dan tiada menyambung
salamnya dengan salam imam. Dan satu lagi
di atas keduanya, yaitu: tidak menyambung salam fardlu (salam pertama) dengan
salam kedua. Dan hendaklah dipisahkan diantara kedua salam itu. Adapun shalat al‑haqin, yaitu shalat orang yang
mau buang air kecil (mau kencing). Dan haqib,
yaitu shalat orang yang mau buang air besar (mau berak). Dan hadziq, yaitu orang yang mengerjakan
shalat di dalam alas kaki (muza) yang sempit. Semuanya itu adalah mencegah
daripada khusyu. Dan searti dengan yang di atas, ialah orang yang sedang lapar
dan susah.
Dipahami larangan shalat bagi orang yang sedang lapar,
dari sabda Nabi saw: "Apabila datang
makanan malam dan di qamatkan shalat,
maka mulailah dengan makanan malam!” Kecuali sempit waktu atau hatinya tenang. Pada
suatu hadits tersebut: "Janganlah
seorang kamu melakukan shalat, sedang pikirannya terganggu. Dan janganlah
bershalat seorang kamu, di mana dia sedang marah ". Berkata Al‑Hasan:
"Tiap‑tiap shalat yang tidak hadir hati padanya, maka shalat itu lebih
mendekati kepada siksaan". Pada suatu hadits tersebut: "7 perkara dalam shalat adalah dari
setan: keluar darah dari hidung, datang ngantuk, datang kesangsian hati
(waswas), menguap, menggaruk, berpaling muka dan bermain‑main dengan
sesuatu". Dan ditambah oleh setengah mereka: "Lupa dan ragu
". Berkata setengah salaf
"4 perkara di dalam shalat termasuk bahagian tiada disukai berpaling muka,
menyapu muka, meratakan batu tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada
jalan orang yang melalui dihadapan engkau". Dan juga dilarang didalam
shalat menjerejakkan/membunyikan anak‑anak jari atau memukulkan anak‑anak jari
supaya berbunyi atau menutup muka atau meletakkan salah satu daripada kedua
tapak tangan ke atas tapak tangan yang satu lagi dan memasukkan kedua tapak
tangan itu diantara kedua paha pada ruku'. Berkata setengah shahabat ra:
"Adalah kami berbuat demikian, maka dilarang kami daripadanya". Dan
dimakruhkan juga menghembus ke lantai ketika sujud untuk membersihkan lantai
itu. Dan dimakruhkan juga meratakan batu dengan tangan, karena segala perbuatan
tersebut tadi tidak diperlukan. Dan tidak diangkatkan salah satu dari kedua
tapak kaki, lalu diletakkan ke atas paha. Dan tidak bersandar ke dinding waktu
berdiri. Kalau bersandar sehingga jikalau dinding itu ditarik, niscaya ia
jatuh, maka pendapat yang lebih kuat batal (tidak syah) shalatnya. Wallaahu
allam ‑ Allah yang Maha Tahu.
FASAL 7 : MEMBEZAKAN FARDHU DAN SUNAT.
Sejumlah apa yang telah kami sebutkan itu, melengkapi
kepada fardlu, sunat, adab dan cara dari hal‑ihwal yang sewajarnya dipelihara
seluruhnya oleh seorang murid yang menuju jalan akhirat. Maka yang fardlu, berjumlah 12 perkara: niat, takbir, berdiri betul, al‑fatihah,
membungkuk pada ruku, sehingga kedua tapak tangannya sampai kepada kedua
lututnya, serta thumaninah, i'tidal dari ruku' di dalam keadaan berdiri betul,
sujud serta thumaninah dan tiada wajib meletakkan dua tangan, itidal dari sujud
dengan duduk betul, duduk untuk tasyahhud
akhir, membaca tasyahhud akhir, selawat kepada Nabi saw padanya dan salam
pertama. Adapun niat keluar dari shalat, maka tiada wajib. Selain dari yang
12 itu, tiada wajib, tetapi adalah sunat dan menjadi hai‑ah (cara) pada melakukan yang sunat itu dan pada melakukan
yang fardlu. Adapun sunat, maka yang termasuk bahagian perbuatan adalah 4: mengangkat kedua tangan pada takbiratul‑ihram, pada ketika turun
kepada ruku, pada ketika bangun kepada berdiri dan duduk untuk tasyahhud pertama. Adapun apa yang kami sebutkan,
mengenai cara membuka anak-anak jari dan batas mengangkatkannya, maka itu
adalah cara ( sunat hai‑ah) yang
mengikuti sunat di atas tadi. Mengenai tawarruk (duduk dengan punggung ke
lantai pada duduk tasyahhud akhir) dan iftirasy
(duduk di atas tumit kaki kiri pada duduk tasyahhud pertama dan lainnya)
adalah hai‑ah yang mengikuti bagi duduk itu.
Menundukkan kepala, dan meninggalkan berpaling
muka adalah hai‑ah bagi berdiri betul. Membaguskan bentuk dan duduk istirahat,
tidaklah terhitung sebahagian daripada pokok‑pokok sunat di dalam perbuatan
shalat. Karena dia adalah sebagai pembaikan bagi cara (hai‑ah) bangun dari sujud kepada, berdiri betul. Dan tidaklah
dimaksudkan untuk istirahat itu sendiri. Dari itu tidak kami asingkan
menerangkannya. Adapun yang sunat dari
bacaan‑bacaan (adz‑kar), maka yaitu: do'a
iftitah, kemudian membaca Auuzu
billah (ta'awwudz), kemudian membaca aamin,
maka itu adalah sunat Muakkadah (sunat
yang lebih dikuatkan dari sunat lainnya), kemudian membaca surat Alquran, kemudian
takbir‑takbir intiqalat (takbir yang
dibacakan waktu berpindah dari rukun ke rukun), kemudian dzikir (pembacaan tasbih) pada ruku',
sujud dan i'tidal dari keduanya, kemudian
tasyahhud pertama dan selawat padanya
kepada Nabi saw, kemudian doa pada penghabisan tasyahhud akhir, kemudian
salam kedua. Walaupun semuanya yang
di atas tadi, kami kumpulkan di dalam nama
sunat, tetapi mempunyai derajat yang berlebih‑kurang. Karena empat
daripadanya ditempel dengan sujud sahwi
(sujud karena lupa) kalau terlupa mengerjakannya. Adapun yang sunat dari perbuatan shalat, maka adalah satu.
Yaitu duduk pertama pada tasyahhud
pertama. Maka duduk pertama ini,
adalah membekaskan pada tata‑tertib susunan shalat pada penglihatan orang yang
melihatnya. Karena dengan duduk pertama itu, dikenal apakah shalat itu termasuk
4 raka'at atau tidak. Lain haInya dengan mengangkat dua tangan. Maka tidaklah
membekaskan pada perobahan susunan shalat. Dari itu, disebut sunat yang menjadi sebahagian dari
shalat (sunat ab‑'adl). Dan dikatakan, sunat ab‑'adl itu ditempel dengan sujud
sahwi apabila terlupa mengerjakannya. Adapun sunat bacaan‑bacaan (adz‑kaar) itu, maka seluruhnya tidak
berkehendak kepada sujud sahwi, selain 3:
qunut, tasyahhud pertama dan selawat kepada
Nabi saw, padanya. Lain halnya
dengan takbir intiqalat, dzikir pada
ruku', pada sujud dan pada i'tidal daripada keduanya. Karena ruku' dan
sujud di dalam bentuknya, sudah menyalahi daripada kebiasaan. Dari itu tercapai
maksud ibadah dengan ruku'dan sujud itu, walaupun berdiam diri daripada membaca
dzikir dan bertakbir intiqalat. Maka tidak adanya dzikir-dzikir itu, tidaklah
merobah bentuk ibadah. Adapun duduk bagi tasyahhud pertama, maka adalah
perbuatan biasa. Dan duduk ini tidak ditambahkan melainkan karena membaca
tasyahhud. Dari itu, meninggalkan duduk tasyahhud ini, terang benar
membekasnya. Adapun doa iftitah dan
membaca surat, maka meninggalkannya
tiadalah membawa pengaruh apa‑apa, di mana berdiri itu sudah terbentuk dengan
membacakan al‑fatihah. Dan sudah
dapat dibedakan dari berdiri biasa, dengan al‑fatihah itu. Begitu pula doa pada tasyahhud akhir dan qunut, adalah amat jauh daripada
ditempel dengan sujud. Tetapi disuruh melamakan Itidal pada shalat Shubuh
karena qunut itu.
Maka adalah melamakan Itidal tadi seperti melamakan duduk
istirahat. Karena duduk istirahat itu dengan melamakannya serta membaca
tasyahhud, menjadi duduk tasyahhud pertama. Maka tinggallah ini menjadi berdiri yang dilamakan, yang biasa, di
mana tak ada padanya dzikir wajib. Tentang melamakan berdiri itu adalah menjaga
dari bukan shalat Shubuh. Dan tentang kosongnya dari dzikir wajib, adalah
menjaga dari pokok berdiri didalam shalat. Kalau anda bertanya bahwa:
membedakan sunat daripada fardlu, adalah dapat dipahami. Karena hilangnya syah
shalat dengan hilangnya fardlu. Tidak dengan hilangnya sunat. Dan dihadapkan
kepada siksaan dengan tidak adanya fardlu, bukan dengan tidak adanya sunat.
Adapun membedakan sunat dari sunat dan semuanya disuruh atas jalan sunat dan
tak ada siksaan dengan meninggalkan segala yang sunat itu. Dan pahala itu ada
dengan mengerjakan semuanya. Maka apakah artinya itu?. Maka ketahuilah bahwa
berserikatnya fardlu dan sunat pada pahala, siksa dan disukai, tidaklah
menghilangkan adanya berlebih‑kurang pada keduanya. Marilah kami terangkan
kepada anda yang demikian itu dengan, contoh. Yaitu: bahwa manusia tidaklah
bernama manusia, yang ada, lagi sempurna, melainkan dengan pengertian bathin dan anggota zhahir. Pengertian bathin ialah: hidup dan roh. Dan zhahir ialah
segala anggota tubuhnya. Kemudian, sebagian daripada anggota tubuh itu,
adalah manusia menjadi tidak ada dengan tidak adanya seperti: hati, jantung,
otak dan semua anggota yang hilang hidup dengan hilangnya. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dengan
hilangnya, tetapi maksud hidup yang hilang Seperti: mata, tangan, kaki dan
lidah. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dan maksudnya, tetapi yang hilang
ialah kebagusan, seperti: dua alis mata, janggut, bulu mata dan kebagusan warna
kulit. Dan sebahagian lagi, tidaklah hilang sebab kecantikan dengan tidak
adanya, tetapi yang hilang ialah kesempurnaan kecantikan seperti: melengkung
dua alis mata, hitam bulu janggut dan bulu mata, bersesuaian bentuk anggota dan
bercampur merah dengan putih pada warna kulit. Maka ini semuanya adalah
bertingkat‑tingkat, yang berlebih‑kurang. Maka seperti itu pulalah ibadah mempunyai bentuk yang dibentuk
oleh Syara' dan kita berbuat ibadah dengan mengusahakan bentuk itu. Maka nyawa dan hidup bathinnya ialah: khusyu'
' niat, hadir hati dan ikitlas, sebagaimana
akan diterangkan nanti. Dan sekarang kami terangkan bahagian‑bahagian
zhahirnya. Maka ruku, sujud, berdiri dan
rukun‑rukun lainnya daripada shalat
adalah merupakan hati, kepala dan jantung. Karena tidak adalah wujud
shalat dengan tidak adanya yang tersebut tadi. Dan segala sunat yang telah kami
sebutkan, dari mengangkatkan kedua tangan, do'a iftitah dan tasyahhud pertama
daripada shalat adalah merupakan dua tangan, dua mata dan dua kaki. Dan tidaklah
hilang syahnya shalat dengan tidak adanya sunat‑sunat itu, sebagaimana tidak
hilangnya hidup dengan hilangnya anggota‑anggota tadi. Tetapi jadilah orang
dengan sebab hilangnya, memperoleh cacat, dicela dan tidak disukai. Maka
seperti itu pulalah orang yang menyingkatkan kepada yang sedikit dari yang
mencukupi daripada shalat, adalah seperti orang yang mempersembahkan kepada
Maharaja, seorang budak yang hidup tetapi tidak bertangan dan berkaki. Adapun hai‑ah, yaitu yang bertingkat di
belakang sunat.
Maka adalah
merupakan sesuatu yang membawa kepada kecantikan, seperti dua alis mata,
janggut, bulu mata dan kecantikan warna kulit. Adapun tugas dzikir pada sunat‑sunat
itu, adalah menyempurnakan kecantikan seperti: melengkungnya dua alis mata,
membulatnya janggut dan lainnya. Maka shalat pada ketika itu, adalah merupakan
pendekatan dan persembahan kehadirat Raja‑Diraja, seperti persembahan yang
dipersembahkan oleh orang yang mencari kedekatan diri, kepada sultan‑sultan. Persembahan itu dipersembahkan kepada
Allah 'Azza wa Jalla, kemudian dikembalikan kepada kita pada hari pertemuan akbar. Maka terserahlah kepada
kita, untuk membaguskan bentuknya atau menjelekkannya. Kalau kita baguskan,
maka adalah untuk kita sendiri dan kalau kita jelekkan, maka adalah di atas
kita sendiri. Dan tidaklah layak anda mengambil bahagian daripada mempelajari
fiqih, untuk membedakan diantara yang
fardlu dan yang sunat. Lalu tiada yang melekat pada paham anda tentang ciri‑ciri
sunat itu selain daripada boleh meninggalkannya, lalu anda tinggalkan.
Karena yang demikian itu, serupalah dengan kata dokter bahwa kerusakan mata
tidaklah melenyapkan adanya manusia. Tetapi kerusakan mata itu menolak
dibenarkan untuk diterima oleh sultan, apabila datang kepadanya membawa hadiah
yang akan dipersembahkan. Maka begitulah hendaknya dipahami tingkat‑tingkat
sunat, hai‑ah dan adab. Sehingga tiap‑tiap shalat yang tidak disempurnakan
ruku' dan sujudnya, menjadi musuh pertama kepada yang empunya shalat itu di
mana shalat mengatakan: "Disia‑siakan oleh Allah kiranya engkau,
sebagaimana engkau telah menyia‑nyiakan aku". Maka perhatikanlah benar‑benar,
segala hadits yang telah kami bentangkan mengenai kesempurnaan rukun‑rukun
shalat, supaya jelaslah bagimu keadaan yang sebenarnya
Tiada ulasan:
Catat Ulasan