FASAL 1 Tentang shalat sunnat (Shalat nawaafil).
Ketahuilah, bahwa selain dari shalat-shalat fardlu,
terbagi kepada 3 bahagian, yaitu: sunat, mustahab dan tathawwu’. Yang kami
maksudkan dengan sunnat, ialah yang dinukilkan daripada Rasulullah saw bahwa
beliau rajin mengerjakannya, seperti shalat sunat rawatib di belakang shalat
fardlu, shalat Dluha, witir, tahajjud dan lainnya, karena sunat, adalah ibarat jalan yang selalu ditempuh. Yang kami
maksudkan dengan mustahab, ialah yang datang hadits menerangkan keutamaannya
dan tidak dinukilkan bahwa Nabi saw rajin mengerjakannya. Seperti apa yang akan
kami nukilkan tentang shalat siang dan malam dalam seminggu dan seperti shalat
ketika keluar dari rumah dan masuk ke dalam rumah dan lain-lain sebagainya.
Yang kami maksudkan dengan tathawwu’, ialah yang lain dari itu, yang tak datang
pada atsar. Hanya hamba berbuat tathawwu’ (amalan sunat dan bakti), karena
ingin bermunajah dengan Allah Ta’ala, dengan shalat yang diterangkan agama
keutamaannya secara mutlak. Seolah-olah ia berderma, karena tidak disunatkan
shalat itu secara khusus, tetapi disunatkan mengerjakan shalat secara mutlak. Tathawwu’,
adalah ibarat daripada berderma (ber-tabarru’!). Shalat yang tiga macam tadi dinamakan shalat
nawaafil, dari segi bahwa, kata-kata “an-nafl”, ialah: tambah. Karena
jumlahnya, menambahkan kepada shalat fardlu. Kata-kata: nafilah; sunat
(sunnah), mustahab dan tathawwu’ kami maksudkan memberikan, istilah kepadanya,
ialah untuk memperkenalkan maksud-maksud tersebut tadi dan tak ada salahnya
orang yang merobah istilah itu. Maka tak ada artinya perbedaan kata-kata,
setelah dipahami maksudnya. Masing-masing bahagian tadi, berlebih kurang
derajat kelebihannya, sepanjang yang datang dari hadits dan atsar, yang
menerangkan kelebihannya dan menurut tingkat kerajinan. Nabi saw mengerjakannya
dan menurut syahnya dan terkenalnya hadits-hadits yang meriwayatkannya. Dari
itu dikatakan: shalat sunat yang dikerjakan dengan berjama’ah, adalah lebih
utama dari shalat sunat yang dikerjakan sendirian. Dan yang lebih utama dari
shalat sunat yang dikerjakan dengan berjama’ah, ialah: shalat hari raya,
kemudian shalat gerhana bulan atau matahari, kemudian shalat minta hujan
(shalat istisqa’). Dan yang lebih utama dari shalat yang dikerjakan sendirian,
ialah: shalat witir, kemudian dua raka’at fajar (sebelum shalat Shubuh),
kemudian sunat-sunat rawatib sesudah yang dua ini, menurut tingkat
kelebih-kurangannya. Ketahuilah, bahwa shalat nawaafil, mengingat kepada
hubungannya, terbagi kepada: yang berhubungan kepada sebab, seperti shalat
gerhana dan shalat minta hujan dan yang berhubungan dengan waktu. Dan yang
berhubungan dengan waktu, terbagi kepada: yang berulang-ulang dengan
berulang-ulangnya siang dan malam atau dengan berulang-ulangnya minggu atau
dengan berulang-ulangnya tahun. Maka jumlahnya 4 bahagian:
FASAL 2 Yang
berulang-ulang dengan berulang-ulangnya siang dan malam. Iaitu:
Delapan,
Lima, iaitu: shalat
sunat rawatib dari 5 shalat fardlu.
Dan tiga, yang
lain, iaitu: shalat Dhuha, shalat yang dikerjakan di antara Maghrib dan ‘Isya’ & Tahajjud.
Pertama:
sunat rawatib Shubuh, iaitu dua raka’at.
Bersabda Nabi Muhammad saw: “Dua raka’at fajar adalah
lebih baik daripada dunia dan isinya”. Masuk waktunya dengan terbit fajar
shadiq. Yaitu yang melayang tidak memanjang. Mengetahuinya dengan memandangnya,
adalah sukar pada mulanya. Kecuali orang yang mempelajari tempat kedudukan
bulan atau mengetahui persamaan terbitnya dengan bintang-bintang yang kelihatan
dengan mata. Lalu diambil dalil dengan bintang-bintang itu, atas terbitnya
fajar. Dapat dikenal fajar itu dengan bulan, pada dua malam dari tiap-tiap
bulan. Karena bulan terbit bersama fajar pada malam 26 dan terbit cahaya fajar
serta terbenam bulan pada malam 12 dari tiap-tiap bulan. Ini adalah menurut
kebiasaan dan terjadi padanya berlebih kurang pada sebahagian buruj. Untuk
menerangkannya memerlukan kepada waktu panjang. Mempelajari tempat kedudukan
(munazil) bulan, adalah termasuk yang penting bagi murid, sehingga ia
mengetahui batasan waktu pada malam hari dan Shubuh. Dan hilanglah waktu dua
raka’at fajar, dengan hilangnya waktu fardlu Shubuh. Yaitu terbitnya matahari.
Tetapi sunat mengerjakannya, adalah sebelum mengerjakan fardlu. Kalau masuk ke
masjid dan telah diqamatkan, bahwa hendaklah dikerjakan shalat fardlu, karena
sabda Nabi saw: “Apabila telah ditegakkan shalat (diqamatkan), maka tak ada
shalat selain dari fardlu”. Kemudian, apabila telah selesai dari shalat fardlu,
maka bangunlah mengerjakan dua raka’at fajar itu. Dan yang shahih (pendapat
yang lebih benar) keduanya masih di dalam waktunya (adaa’), selama dikerjakan
sebelum terbit matahari. Karena keduanya, mengikuti fardlu tentang waktunya.
Dan terbit diantara keduanya yaitu mendahulukan yang sunat dan mengemudiankan
yang fardlu, adalah sunat apabila tidak menjumpai shalat jama’ah. Apabila
menjumpai shalat jama’ah, maka terbaliklah tertib dan tinggallah dua raka’at
fajar itu masih di dalam waktu (dengan mengerjakannya sesudah berjama’ah itu).
Disunatkan dua raka’at fajar dikerjakan di rumah dengan diringankan. Kemudian
masuk ke masjid dan mengerjakan dua raka’at tahiyat masjid. Kemudian duduk dan
tidak mengerjakan shalat, sampai kepada mengerjakan shalat fardlu. Diantara
waktu shalat Shubuh sampai terbit matahari, disunatkan berdzikir, berfikir dan
menyingkatkan dengan mengerjakan saja dua raka’at fajar dan fardlu Shubuh.
Kedua:
sunat rawatib Dhuhur,
iaitu 6 raka’at. Dua raka’at
sesudah Dhuhur, dan dia juga sunat muakkadah (sunat dikuatkan) dan 4 rakaa’at
sebelumnya, yaitu sunat juga, walaupun yang 4 raka’at ini, kurang derajatnya
dari dua raka’at yang kemudian shalat Dhuhur. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra
daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat 4
raka’at sesudah tergelincir matahari, dengan membaguskan bacaan, ruku’ dan
sujudnya, niscaya bershalatlah sertanya 70.000 malaikat, yang meminnta ampun
kepadanya malam”. Adalah Nabi saw tidak meninggalkan shalat 4 raka’at sesudah
tergelincir matahari, yang dipanjangkannya, seraya bersabda: “Bahwa segala
pintu langit terbuka pada saat itu, maka aku menyukai bahwa diangkatkan
amalanku padanya”. Hadits ini diriwayatkan Abu Ayyub Al-Anshari dan dia sendiri
saja yang meriwayatkannya. Dan juga ditunjukkan kepada yang tersebut tadi, oleh
apa yang diriwayatkan Ummu Habibah - isteri Nabi saw- bahwa Nabi saw bersabda:
“Siapa yang mengerjakan shalat tiap-tiap hari 12 raka’at, di luar shalat
fardlu, niscaya dibangun baginya sebuah rumah dalam sorga, yaitu: 2 raka’at
sebelum fajar, 4 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 raka’at sesudahnya, 2 raka’at
sebelum ‘Ashar dan 2 raka’at sesudah Maghrib”. Berkata Ibnu Umar ra: “Saya
hafal dari Rasulullah saw, pada tiap-tiap hari 10 raka’at, lalu disebutkannya
apa yang disebutkan Ummu Habibah ra, kecuali 2 raka’at fajar. Maka mengenai
ini, berkata Ibnu Umar ra: “Itulah saat yang tidak dikerjakan Rasulullah saw di
muka saja. Tetapi diceriterakan kepada saya oleh saudara perempuan saya Hafshah
ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat 2 raka’at di rumahnya, kemudian beliau
keluar. Dan beliau bersabda dalam haditsnya: 2 raka’at sebelum Dhuhur dan 2
raka’at sesudah ‘Isya’. Maka jadilah 2 raka’at sebelum Dhuhur lebih muakkadah
dari 4 raka’at itu. Dan masuk waktunya, dengan tergelincir matahari.
Tergelincir matahari (zawal), dapat dikenal dengan bertambahnya bayang-bayang
sesuatu yang ditegakkan, condong arah ke Timur, karena bayang-bayang sesuatu
ketika terbit matahari menuju arah ke Barat dengan memanjang. Kian matahari
meninggi, kian bayang-bayang itu berkurang panjangnya dan beralih dari pihak
Barat, sampai matahari itu meninggi ke puncaknya, yaitu lingkaran setengah
hari. Maka yang demikian itu penghabisan kurangnya bayang-bayang. Apabila
matahari sudah tergelincir dari penghabisan ketinggiannya, lalu bayang-bayang
kian bertambah.
Tatkala bertambahnya bayang-bayang tengah hari
sudah kelihatan, maka masuklah waktu Dhuhur. Dan diketahui dengan sebenarnya,
bahwa zawal pada ilmu Allah Ta’ala telah terjadi sebelumnya. Tetapi kewajiban
hukum tidaklah terikat selain dengan yang tampak pada pancaindra. Kadar sisa
dari bayang-bayang tengah hari, yang akan bertambah itu, adalah panjang pada
musim dingin dan pendek pada musim panas. Dan sepanjang-panjangnya, ialah
sampainya matahari pada awal lingkaran bintang al-jad-yi (anak kambing) dan sependek-pendeknya, ialah sampainya
matahari pada awal lingkaran bintang assarthan
(ketam). Dan ini dapat diketahui dengan tapak kaki dan timbangan. Jalan yang
dekat untuk membuktikan nya bagi orang yang mau menjaganya baik-baik, ialah
memperhatikan kutub Utara di malam hari dan meletakkan papan 4 persegi dengan
meratakan di atas tanah, dimana salah satu pinggirnya dari pihak kutub,
sehingga kalau diumpamakan jatuh sebutir batu dari kutub ke bumi, kemudian
diumpamakan suatu garis dari tempat jatuh batu itu ke pinggir seterusnya dari
papan, niscaya tegaklah suatu garis atas pinggir itu, diatas dua sudut yang
lurus. Artinya: garis itu tiada miring ke salah satu dari dua pinggir tadi.
Kemudian, ditegakkan suatu tiang ke atas papan dengan lurus, pada tempat yang
bertanda X, yaitu: yang setentang dengan kutub. Maka terjadilah bayang-bayang
di atas papan pada awal siang, miring ke arah barat, jurusan garis A. Kemudian
bayang-bayang itu terus miring, sampai melimpit ke atas garis B, dimana kalau
ujung dari tiang itu dipegang, maka sampailah ia lurus ke tempat jatuh batu
itu. Dan setentang dengan pinggir bahagian Timur dan bahagian Barat, tanpa
miring kepada salah satu daripada keduanya. Apabila tiada miring lagi ke pihak
Barat, maka adalah matahari pada keadaan yang tertinggi sekali. Dan apabila
bayang-bayang miring dari garis yang diatas papan itu ke arah Timur, maka
nyatalah telah gelincir matahari. Dan ini dapat diketahui kebenarannya dengan
pancaindra, pada waktu yang dekat dari permulaan gelincir pada ilmu Allah
Ta’ala. kemudian diketahui atas ujung bayang-bayang ketika berpalingnya dari
tanda. Apabila bayang-bayang dari tanda itu telah menjadi sepanjang tiang, maka
masuklah waktu ‘Ashar. Sekedar ini, tak mengapalah mengetahuinya mengenai
pengetahuan tentang bayang-bayang. Inilah gambarnya!.
Ketiga: sunat rawatib “Ashar,
yaitu 4 raka’at sebelum ‘Ashar. Diriwayatkan Abu Hurairah
ra daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Dirahmati Allah akan hamba yang
mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum ‘Ashar”. Mengerjakan yang demikian, dengan
mengharap agar termasuk dalam do’a Nabi saw, adalah disunatkan sebagai sunat
muakkadah. Dan do’a Nabi saw, -tidak meragukan lagi- adalah diterima Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dan kerajinan Nabi saw mengerjakan sunat sebelum ‘Ashar,
tidaklah seperti kerajinannya mengerjakan 2 raka’at sebelum Dhuhur.
Keempat: sunat rawatib Maghrib,
yaitu 2 raka’at sesudah fardlu Maghrib, yang tak ada
perselisihan riwayat tentang 2 raka’at itu. Mengenai 2 raka’at sebelum fardlu
Maghrib, antara adzan dan qamat, secara cepat saja, maka telah dinukilkan dari
segolongan shahabat seperti Ubai bin Ka’b, Ubaddah bin Ash-Shamit, Abi Dzar,
Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Berkata Ubaddah atau orang lain: “Adalah muadzin
apabila telah mengerjakan adzan untuk shalat Maghrib, lalu bersegeralah para
shahabat Rasulullah saw ke dekat tiang, untuk mengerjakan 2 raka’at shalat”.
Berkata setengah mereka: “Adalah kami mengerjakan 2 raka’at shalat sebelum
Maghrib, sehingga masuklah orang yang masuk ke dalam masjid, lalu
menyangka kami telah mengerjakan shalat.
Lalu orang yang masuk itu bertanya: “Sudahkah tuan-tuan mengerjakan shalat
fardlu Maghrib?”. Hal itu termasuk dalam umumnya sabda Nabi saw: ”Diantara
tiap-tiap dua adzan, ada shalat bagi siapa yang mau mengerjakannya”. Imam Ahmad
bin Hanbal mengerjakan shalat 2 raka’at itu, lalu beliau dilecehkan oleh orang
banyak, maka beliau tinggalkan. Beliau ditanyakan tentang itu, lalu menjawab:
“Aku tiada melihat orang banyak mengerjakannya, dari itu aku tinggalkan”.
Kemudian beliau menyambung: “Kalau seseorang mengerjakan kedua raka’at itu di
rumahnya atau di tempat yang tidak dilihat orang banyak, maka adalah baik”.
Waktu Maghrib itu masuk dengan terbenam matahari dari pandangan mata, pada
daerah yang rata tanahnya, yang tiada dikelilingi oleh bukit-bukit. Kalau
dikelilingi oleh bukit-bukit pada arah matahari terbenam, maka terletaklah
waktu Maghrib itu, kepada tampaknya kedatangan hitam di sebelah Timur. Bersabda
Nabi saw: “Apabila datanglah malam dari sini dan pergilah siang dari sini, maka
berbuka puasalah orang yang berpuasa”. Lebih disunatkan, menyegerakan shalat
Maghrib khususnya. Kalau dilambatkan dan dikerjakan sebelum terbenam syafaq-merah, maka Maghrib itu jatuh
dalam waktunya (‘adaa), akan tetapi makruh. Pada suatu malam, Umar ra terlambat
mengerjakan Maghrib, sampai terbit sebuah bintang, lalu beliau memerdekakan
seorang budak. Dan Ibnu Umar terlambat mengerjakan Maghrib, sampai terbit dua
bintang, lalu ia memerdekakan dua orang budak.
Kelima: sunat rawatib ‘Isya’,
4 raka’at sesudah shalat fardlu ‘Isya’. Berkata ‘Aisyah:
“Adalah Rasulullah saw mengerjakan shalat 4 raka’at sesudah ‘Isya’, kemudian ia
tidur”. Dipilih oleh setengah ulama dari kumpulan hadits-hadits, bahwa bilangan
shalat rawatib, ialah 17 raka’at, seperti bilangan raka’at shalat fardlu.
Yaitu: 2 raka’at sebelum Shubuh, 4 raka’at sebelum Dhuhur dan 2 rak’at
sesudahnya, 4 raka’at sebelum ‘Ashar, 2 raka’at sesudah Maghrib dan 3 raka’at
sesudah ‘Isya’. Yaitu shalat Witir. Manakala telah dikenal hadits-haddits yang
menerangkan apa yang tersebut tadi, maka tak adalah artinya untuk diterkakan.
Nabi saw telah bersabda: “Shalat adalah sebaik-baik tempat. Siapa yang mau,
perbanyakkanlah dan siapa yang mau, sedikitkanlah!”. Jadi, pilihan tiap-tiap
murid, dari shalat-shalat ini adalah menurut kegemarannya pada kebajikan. Dan
telah terang pada apa yang telah kami sebutkan, bahwa setengahnya adalah lebih
kuat sunatnya daripada yang lain. Meninggalkan yang lebih muakkad itu adalah
lebih jauh daripada kebaikan. Apalagi, yang fardlu itu disempurnakan dengan
yang sunat. Siapa yang tidak memperbanyakkan sunat, mungkin fardlunya itu tidak
selamat, tanpa ada yang menempelkan dari kekurangan.
Keenam: Sunat Witir.
Berkata Anas bin Malik: “Adalah Rasulullah saw mengerjakan
shalat witir sesudah ‘Isya’ 3 raka’at. Beliau baca pada raka’at pertama
“Sabbihisma rabbikal-a’laa”, pada raka’at kedua “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”, dan
pada raka’at ketiga “Qul huwallaahu ahad”. Tersebut pada hadits bahwa Nabi saw
mengerjakan shalat 2 raka’at sesudah witir dengan duduk dan pada sebahagiannya
dengan duduk tarabbu’ (duduk dengan melipatkan kedua tapak kaki ke bawah dua
paha). Pada setengah hadits tersebut: “Apabila Nabi saw bermaksud masuk ke
tempat tidur, maka beliau merangkak kepadanya dan mengerjakan shalat di atas
tempat tidur itu 2 raka’at, sebelum tidur, dimana beliau membaca pada kedua
raka’at tadi “Idzaa zulzilatil-ardlu” dan surat “At-Takaatsur”. Pada riwayat
lain “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”. Dibolehkan witir itu becerai dan bersambung
dengan sekali salam atau dua kali salam. Rasulullah saw mengerjakan shalat
witir dengan seraka’at, dengan tiga, lima dan begitulah seterusnya dengan
ganjil sampai kepada sebelas raka’at. Riwayat mengenai 13 raka’at diragukan.
Dan pada suatu hadits syadz (sangat tipis untuk dipercayai), 17 raka’at. Segala
raka’at ini, yakni: apa yang telah kami sebutkan jumlahnya ganjil, adalah
shalat malam. Yaitu shalat Tahajjud. Shalat Tahajjud di malam hari, adalah
sunat muakkadah. Dan akan datang penjelasan kelebihannya pada “kitab wirid”.
Dan tentang keutamaannya, terdapat khilaf, (perbedaan pendapat). Ada yang
mengatakan, bahwa berwirid dengan seraka’at saja, adalah lebih utama. Karena
syahlah hadits bahwa Nabi saw membiasakan berwitir dengan seraka’at. Ada yang
mengatakan, disambung adalah lebih utama, untuk menghindarkan dari khilaf yang
meragukan. Lebih-lebih bagi imam. Karena mungkin ia diikuti orang, yang berpendapat,
seraka’at itu bukan shalat.
Kalau ia mengerjakan shalat dengan
disambung (disambung lebih dari seraka’at kepada tiga raka’at umpamanya), maka
semuanya itu diniatkan witir. Dan kalau disingkatkan seraka’at saja sesudah 2
raka’at sunat ‘Isya’ atau sesudah fardlu ‘Isya’, niscaya diniatkan witir dan
syah. Karena syarat witir ialah ganjil pada dirinya sendiri dan mengganjilkan
bagi shalat lain yang terdahulu sebelumnya. Dan itu telah mengganjilkan shalat
fardlu. Kalau dikerjakan witir sebelum shalat ‘Isya’, maka tidak syah. Artinya:
tidak memperoleh kelebihan witir, yang “lebih baik baginya, daripada unta
merah”, sebagaimana tersebut pada hadits. Kalau tidak demikian, maka seraka’at
tunggal, adalah syah untuk witir, pada sembarang waktu. Witir itu tidak syah
sebelum ‘Isya’, karena bertentangan dengan ijama’ semua orang tentang
pelaksanaan witir. Dan karena tidak didahului oleh suatu shalat yang membuatkan
dia menjadi ganjil raka’atnya (witir). Apabila bermaksud mengerjakan shalat
witir dengan 3 raka’at terpisah, maka mengenai niatnya pada dua raka’at, ada
penilikan. Yaitu kalau diniatkan dengan dua raka’at itu tahajjud atau sunat
‘Isya’, maka tidaklah itu menjadi witir. Kalau diniatkan witir, maka tidaklah
itu sendiri menjadi witir, tetapi yang menjadi witir, ialah yang sesudahnya.
Tetapi yang lebih kuat, bahwa diniatkan witir, sebagaimana diniatkan witir pada
3 raka’at yang bersambung. Tetapi witir itu, mempunyai dua pengertian. Pertama,
adalah dia itu witir pada dirinya sendiri. Dan kedua, bahwa ia ada, untuk
menjadikan witir dengan apa yang sesudahnya. Sehingga jumlah yang tiga itu
adalah witir (ganjil) dan dua raka’at itu adalah dalam jumlah yang tiga tadi.
Hanya kewitirannya itu, terletak atas raka’at yang tiga. Apabila bermaksud
membuat yang dua raka’at itu witir (ganjil) dengan raka’at yang ketiga, maka
hendaklah diniatkan yang dua raka’at itu witir dan raka’at ketiga adalah witir
dengan sendirinya dan mewitirkan pula lainnya. Sedang yang dua raka’at,
tidaklah mewitirkan yang lain dan tidaklah ia menjadi witir dengan sendirinya.
Tetapi kedua raka’at itu menjadi witir, disebabkan oleh yang lain.
Selayaknyalah witir itu menjadi penghabisan shalat malam, sehingga dia itu
dikerjakan sesudah shalat tahajjud. Dan akan diterangkan kelebihan witir dan
tahajud serta cara tertib diantara keduanya dalam Kitab Wirid nanti.
Ketujuh: shalat Dhuha.
Membiasakan shalat Dluha, adalah termasuk amal perbuatan
yang penting dan utama. Bilamana raka’at, yang terbanyak menurut riwayat yang
dinukilkan, adalah 8 raka’at. Diriwayatkan oleh Ummu Hani’ saudara perempuan
dari Saidina Ali bin Abi thalib ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 8
raka’at, di mana Nabi saw mengerjakannya dengan berlama-lama dan dengan
sebaik-baiknya. Dan tidaklah dinukilkan yang demikian lamanya itu pada shalat
yang lain. Dan ‘Aisyah menyebutkan, bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 4
raka’at dan menambahkannya sebanyak-banyaknya, sehingga tambahan itu tidak
terbatas. Artinya: adalah Nabi saw membiasakan 4 raka’at dan tidak kurang
daripadanya.
Kadang-kadang ditambahkannya dengan beberapa
tambahan. Dan diriwayatkan pada hadits yang tunggal perawinya (hadits mufrad),
bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 6 raka’at. Waktu shalat Dluha, menurut
riwayat yang diriwayatkan Ali ra bahwa Nabi saw mengerjakan shalat Dluha 6
raka’at pada dua waktu. Yaitu apabila telah terbit matahari dan sudah meninggi,
lalu beliau bangun dan bershalat dua raka’at. Yaitu: yang pertama bagi wirid
kedua, dari wirid-wirid siang, sebagaimana akan diterangkan. Dan apabila matahari
telah membentang dan berada pada seperempat langit dari sebelah Timur, lalu
beliau mengerjakan shalat 4 raka’at. Yang pertama tadi adalah ketika matahari
telah meninggi kira-kira setengah anak panah. Dan yang kedua, apabila telah
berlalu 1/4 siang, sebanding dengan shalat ‘Ashar (waktu sorenya). Maka
waktunya, bahwa masih tinggal dari siang, kira-kira 1/4nya. Dan Dhuhur adalah
pada pertengahan hari dan Dluha adalah pada pertengahan diantara terbit
matahari, sampai kepada gelincirnya, sebagaimana ‘Ashar adalah pada pertengahan
diantara gelincir matahari, sampai kepada terbenamnya. Inilah waktu-waktu yang
paling utama. Dan dari waktu meninggi matahari, sampai kepada sebelum
gelincirnya, adalah waktu bagi shalat Dluha umumnya.
Kedelapan: menghidupkan
shalat diantara Maghrib dan ‘Isya’.
Iaitu sunat muakkadah. Diantara
yang dinukilkan bilangan raka’atnya daripada perbuatan Nabi saw diantara
Maghrib dan ‘Isya’ itu, ialah 6 raka’at. Shalat ini mempunyai kelebihan besar.
Dan ada yang mengatakan bahwa shalat itulah yang dimaksudkan dengan firman
Allah ‘Azza wa Jalla: “Mereka meninggalkan tempat tidurnya, menyeru Tuhannya”.
S 32 As Sajdah ayat 16. Diriwayatkan daripada Nabi saw bahwa beliau bersabda:
“Siapa yang bershalat diantara Maghrib dan ‘Isya’, maka sesungguhnya shalat itu
sebahagian dari shalat orang-orang yang bertobat”. Bersabda Nabi saw: “Siapa
yang beri’tikaf antara Maghrib dan ‘Isya’, dalam masjid tempat berjama’ah, di
mana ia tidak berkata-kata, selain daripada bershalat atau membaca Al-Qur’an, niscaya
ia berhak pada Allah Ta’ala, untuk dibangun baginya 2 istana di dalam sorga.
Masing-masing istana itu sejauh perjalanan 100 tahun dan ditanamkan baginya
diantara kedua istana tadi tanam-tanaman. Kalau dikelilingi oleh penduduk bumi,
maka termuatlah mereka semuanya”. Dan akan datang penjelasan segala kelebihan
nya yang lain dalam Kitab Wirid nanti, Insya Allah Ta’ala!.
FASAL 3 : TENTANG SHALAT SUNNAT Yang berulang-ulang dengan
berulang-ulangnya minggu.
Iaitu shalat dalam segala siang dan malamnya dari seminggu, bagi tiap-tiap
hari dan tiap-tiap malam.
Maka kami mulai
dari segala hari itu, dengan hari ahad.
Hari Ahad:
Diriwayatkan Abu Hurairah ra daripada Nabi saw, bahwa
beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Ahad 4 raka’at di
mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya “Al-Fatihah” dan Aamanar-rasuul” 1X
(S. Al Baqarah 284-826) , niscaya dituliskan oleh Allah untuknya sebanyak
bilangan orang Nasrani, prianya dan wanitanya, akan kebajikan. Dan diberikan
oleh Allah Ta’ala kepadanya pahala nabi dan dituliskan baginya hajji dan
‘umrah. Dituliskan baginya tiap-tiap raka’at 1000 shalat. Dan diberikan Allah
kepadanya di dalam sorga, tiap-tiap huruf, satu kota dari kesturi yang harum
semerbak baunya”. Diriwayatkan daripada Ali bin Abi Thalib ra bahwa Nabi saw
bersabda: “Bertauhidlah kepada Allah Ta’ala dengan memperbanyakkan shalat pada
hari Ahad. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Esa, tiada sekutu bagi
Allah. Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Ahad, sesudah shalat Dhuhur, 4
raka’at setelah fardlu dan sunat, dimana ia membaca pada raka’at pertama, surat
Al-Fatihah dan surat As-Sajadah dan pada raka’at kedua, surat Al-Fatihah dan
surat Al-Mulk, kemudian ia bertasyahhud dam memberi salam. Kemudian ia bangun,
lalu bershalat 2 raka’at lagi, di mana ia membaca pada keduanya, surat
Al-Fatihah dan surat Al-Jumu’ah serta bermohon pada Allah Ta’ala akan hajatnya,
niscaya ia berhak atas Allah untuk disampaikan hajatnya”.
Hari Senin:
Diriwayatkan oleh Jabir daripada Rasulullah saw bahwa
beliau bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Senin ketika meninggi
hari, 2 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah
sekali, ayat Al-Kursy sekali, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzubirab-bil-falaq
dan Qul a’uudzu birab-binnas sekali. Apabila ia sudah memberi salam, lalu
beristighfar (meminta ampunan dosa pada Allah Ta’ala) 10 kali dan berselawat
kepada Nabi saw 10 kali, niscaya diampunkan Allah Ta’ala dosanya semuanya”.
Diriwayatkan oleh Annas bin Malik daripada Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda:
“Siapa yang mengerjakan shalat pada hari Senin 12 raka’at, di mana ia membaca
pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali. Setelah siap
daripada shalat itu, lalu membaca Qul huwallaahu ahad 12 kali dan beristighfar
12 kali, maka ia akan dipanggil pada hari Qiamat nanti: “Manakah si Anu anak si
Anu? Hendaklah bangun, untuk mengambil pahalanya daripada Allah Ta’ala! Maka
yang mula-mula daripada pahala yang diberikan, ialah 1000 helai pakaian dan ia
memakai mahkota, seraya dikatakan kepadanya: “Masuklah ke sorga!”. Maka ia
diterima oleh 100.000 malaikat, masing-masing malaikat membawa hadiah, yang
akan diserahkan kepadanya. Kemudian ia dibawa berkeliling 1000 mahligai
daripada nur yang gilang gemilang”.
Hari Selasa:
Diriwayatkan oleh Yazid Ar-Raqqasyi dari Anas bin Malik.
Berkata Anas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada hari
Selasa, 10 raka’at ketika menengah hari”, dan pada hadits lain “ketika meninggi
hari, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat
Al-Kursy sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, maka tidak dituliskan
kesalahannya sampai 70 hari lamanya. Kalau ia meninggal dunia sampai hari ke-70
itu, niscaya ia mati syahid dan diampunkan baginya dosa 70 tahun”.
Hari Rabu:
Diriwayatkan oleh Abu Idris Al-Khaulani dari Mu’adz bin
Jabal ra, berkata Mu’adz, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan
shalat pada hari Rabu 12 raka’at ketika meninggi hari, di mana ia membaca pada
tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah dan ayat Al-Kursy sekali dan Qul huwallaahu
ahad 3 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq 3 kali dan Qul a’uudzu birab-binnaas 3
kali, niscaya diserukan oleh penyeru di sisi ‘Arasy: “Wahai hamba Allah!
kerjakanlah kembali perbuatan itu! Sesungguhnya telah diampunkan bagi engkau,
yang telah terdahulu daripada dosa engkau. Diangkatkan oleh Allah daripada
engkau ‘azab kubur, kesempitan dan kegelapannya, diangkatkan oleh Allah
daripada engkau kesengsaraan hari Qiamat”. Dan diangkatkan oleh Allah untuknya
dari harinya itu amal perbuatan nabi”.
Hari Kamis:
Dari ‘Akramah, dari Ibnu Abbas, berkata Ibnu Abbas, bahwa
Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada hari Kamis, antara Dhuhur dan
‘Ashar 2 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama surat Al-Fatihah dan
ayat Al-Kursy 100 kali dan pada raka’at kedua surat Al-Fatihah dan Qul
huwallaahu ahad 100 kali dan berselawat kepada Muhammad 100 kali, niscaya ia
diberikan oleh Allah pahala orang yang berpuasa bulan Rajab, Sya’ban dan
Ramadlan dan baginya pahala seperti pahala orang yang mengerjakan hajji ke
Baitullah dan dituliskan baginya kebaikan, sebanyak bilangan semua orang yang
beriman kepada Allah dan bertawakkal kepada Allah”.
Hari Jum’at:
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra, daripada Nabi saw, bahwa beliau
bersabda: “Hari Jum’at, adalah shalat seluruhnya. Tidaklah seorang hamba yang
mu’min, yang bangun berdiri, ketika matahari telah terbit dan meninggi segalah
atau lebih, lalu ia berwudlu dan menyempurnakan wudlunya, kemudian mengerjakan
sunat Dluha 2 raka’at, karena beriman dan karena Allah semata-mata, melainkan
dituliskan Allah baginya 200 kebaikan dan dihapuskan daripadanya 100 kejahatan.
Siapa mengerjakan shalat 4 raka’at, niscaya diangkatkaan Allah baginya di dalam
sorga 400 tingkat. Siapa mengerjakan 8 raka’at, niscaya diangkatkan Allah
baginya di dalam sorga 800 tingkat dan diampunkan dosanya seluruhnya. Dan siapa
mengerjakan shalat 12 raka’at, niscaya dituliskan Allah baginya 2200 kebaikan
dan dihapuskan daripadanya 2200 kejahatan dan diangkatkan Allah baginya di
dalam sorga 2200 tingkat”. Dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw bahwa
beliau bersabda: “Siapa masuk masjid jami’ (masjid tempat bershalat Jum’at)
pada hari Jum’at, lalu mengerjakan shalat 4 raka’at sebelum shalat Jum’at, di
mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at Al-hamdulillah (surat Al-Fatihah) sekali
dan Qul huwallaahu ahad 50 kali, niscaya ia tidak mati sehingga ia melihat
tempatnya dari sorga atau diperlihatkan
kepadanya”.
Hari Sabtu:
Diriwayatkan Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan
shalat pada hari Sabtu 4 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at
surat Al-Fatihah sekali dan Qul huwallaahu ahad 3 kali, kemudian tatkala telah
selesai daripada shalat, ia membaca ayat Kursy, niscaya dituliskan Allah
baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala hajji dan ‘umrah dan
diangkatkan Allah baginya dengan tiap-tiap satu huruf, akan pahala puasa
setahun siangnya dan pahala ibadah shalat setahun malamnya. Dan diberikan Allah
kepadanya dengan tiap-tiap satu huruf akan pahala orang syahid dan adalah ia di
bawah naungan ‘Arasy Allah, bersama para nabi dan orang-orang syahid”.
Adapun malam: malam Ahad,
diriwayatkan Anas bin Malik, mengenai malam Ahad itu,
bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Ahad 20 raka’at,
di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali, Qul
huwallaahu ahad 50 kali, Qul a’uudzu birab-bil-falaq sekali dan Qul a’uudzu
birab-binnaas sekali, bermohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla 100 kali (membaca:
Astaghfirullah), mengucapkan istighfar untuk dirinya sendiri dan untuk ibu
bapaknya 100 kali, berselawat kepada Nabi saw 100 kali, melepaskan diri dari
daya dan upayanya dan berpegang kepada Allah dengan membaca: “Tiada daya dan
upaya, selain dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”. Kemudian membaca:
“Niscaya baginya pahala sebanyak bilangan orang, yang mendakwakan Allah
mempunyai anak dan orang yang tidak mendakwakan Allah mempunyai anak. Dan ia
dibangkitkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada hari qiamat bersama orang-orang
yang memperoleh keamanan, serta ia berhak atas Allah Ta’ala, masuk ke dalam
sorga bersama nabi-nabi”.
Malam Senin:
Diriwayatkan Al-A’masy dari Anas, berkata Anas, bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Senin 4 raka’at,
di mana ia membaca pada raka’at pertama Surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu
ahad 11X, pada raka’at kedua surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 20 X,
pada raka’at ketiga surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 30 X dan pada
raka’at keempat surat Al-Fatihah 1X dan Qul huwallaahu ahad 40 X. Kemudian ia
memberi salam dan membaca Qul huwallaahu ahad 75 X dan mengucapkan istighfar
(memohon ampunan Allah) untuk dirinya dan kedua ibu bapaknya 75 X, kemudian ia
meminta pada Allah, disampaikan hajat pintanya, niscaya ia berhak atas Allah
untuk dikabulkan permintaannya, akan apa yang dimintanya”. Shalat tersebut,
dinamakan Shalat Hajat.
Malam Selasa:
Siapa mengerjakan shalat pada malam Selasa 2 raka’at, di
mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at itu, surat Al-Fatihah 1X, Qul huwallaahu
ahad, Qul a’uudzu birab-bil-falaq dan Qul a’uudzu birab-binnaas, masing-masing
15X. Dan sesudah salam, ia membaca 15X ayat Al-Kursy dan membaca istighfar 15X,
niscaya adalah baginya pahala yang amat besar dan balasan yang amat banyak.
Diriwayatkan dari Umar ra dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Siapa
mengerjakan shalat pada malam Selasa 2 raka’at, dimana ia membaca pada
tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah 1X, innaa anzalnah dan Qul huwallaahu ahad,
masing-masing daripadanya 7X, niscaya ia dibebaskan oleh Allah daripada api
neraka dan adalah amal perbuatan itu pada hari qiamat menjadi pemimpin dan
penunjuk baginya ke sorga”.
Malam Rabu:
Diriwayatkan
Fatimah ra daripada Nabi saw, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan
shalat pada malam Rabu 2 raka’at, di mana ia membaca pada raka’at pertama surat
Al-Fatihah 1X dan Qul a’uudzu birab-bil-falaq 10 X dan pada raka’at kedua,
sesudah Al-Fatihah, Qul a’uudzu birab-binnaas 10X. Kemudian, apabila telah
memberi salam, lalu membaca istighfar 10X, kemudian berselawat kepada Muhammad
saw 10X, niscaya turunlah dari tiap-tiap langit 70.000 malaikat, yang
menuliskan pahalanya sampai kepada hari qiamat”. Pada hadits lain, tersebut:
“16 raka’at, di mana ia membaca sesudah Al-Fatihah “Maa syaa-allaahu” dan ia
membaca pada akhir dari kedua raka’at itu, ayat Al-Kursy 30X dan pada yang
pertama dari kedua raka’at itu 30 X Qul huwallaahu ahad, maka adalah ia memberi
syafa’at kepada 10 orang dari familinya, di mana semuanya harus memperoleh
sorga”. Diriwayatkan oleh Fatimah ra dengan mengatakan, bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Siapa mengerjakan shalat pada malam Rabu 6 raka’at, di mana ia
membaca pada tiap-tiap raka’atnya sesudah Al-Fatihah, “Qulillaahum-ma
maalikal-mulk” sampai akhir ayat. Kemudian tatkala telah selesai dari
shalatnya, lalu ia membaca: “Jazallaahu Muhammadan ‘annaa maa huwa ahluh”
(Dibalasi Allah akan Muhammad dari kita, apa yang berhak ia mempunyainya),
niscaya diampunkan baginya dosa 70 tahun dan dituliskan baginya kelepasan
daripada neraka”.
Malam Kamis:
Berkata Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa
mengerjakan shalat pada malam Kamis, antara Maghrib dan ‘Isya’ 2 raka’at, di
mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah 1X, ayat Al-Kursy 5X,
Qul huwallaahu ahad 5X, Qul a’uudzu birabbil falaq 5X, dan Qul a’uudzu
birabbinnaas 5X. Dan tatkala telah selesai dari shalatnya, lalu mengucapkan
“istighfar” 15X dan diniatkannya pahalanya untuk ibu bapaknya, maka adalah ia
telah menunaikan hak kedua ibu bapaknya atasnya, meskipun ia durhaka kepada
keduanya. Dan ia dianugerahkan oleh Allah akan apa yang dianugerahkan kepada
orang-orang shiddiq dan syahid”.
Malam Jum’at:
“Berkata Jabir, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa
mengerjakan shalat pada malam Jum’at, antara Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at, di
mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya, surat Al-Fatihah 1X dan Qul
huwallaahu ahad 11X, maka seakan-akan ia telah beribadah kepada Allah Ta’ala
selama 12 tahun dengan puasa siangnya dan bangun mengerjakan shalat malamnya”.
Berkata Anas, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat pada
malam Jum’at, shalat ‘Isya’ yang akhir dalam berjama’ah dan mengerjakan shalat
2 raka’at sunat, kemudian daripada fardlu ‘Isya’. Kemudian ia bershalat sesudah
2 raka’at sunat tadi 10 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’atnya,
surat Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad, Qul a’uudzu birabbil falaq dan Qul
a’uudzu birabbinnaas sekali-sekali. Kemudian ia bershalat witir 3 raka’at dan
ia tidur atas lembungnya yang kanan serta mukanya menghadap qiblat, maka
seolah-olah ia telah berbuat ibadah pada malam Lailatul Qadar”. Bersabda Nabi
saw: “Perbanyakkanlah selawat kepadaku pada malam yang cemerlang dan siang yang
gemilang, yaitu malam Jum’at dan hari Jum’at”.
Malam Sabtu:
Berkata Anas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa
mengerjakan shalat pada malam Sabtu, antara Maghrib dan ‘Isya’, 12 raka’at,
niscaya didirikan baginya suatu mahligai dalam sorga dan seolah-olah ia telah
bersedekah kepada orang mu’min, pria dan wanitanya dan ia terlepas daripada
Yahudi dan adalah hak atas Allah Ta’ala mengampuni dosanya”.
FASAL 4 : TENTANG
SHALAT SUNNAT Tentang shalat yang berulang-ulang dengan berulang-ulang
tahun.
Iaitu 4: Ada 4 jenis:
1. shalat dua hari
raya (hari raya puasa dan hari raya hajji),
2. shalat tarawih,
3. shalat Rajab, dan
4. shalat Sya’ban.
PERTAMA:
Shalat dua hari raya.
Iaitu: sunat muakkadah & salah
satu daripada syi’ar agama. Seyogyalah diperhatikan pada shalat hari raya 7
perkara:
Pertama: takbir 3 kali dengan teratur. Yaitu membaca: “Allah Maha
Besar - Allah Maha Besar - Allah Maha Besar, segala puji-pujian
sebanyak-banyaknya bagi Allah - Maha suci Allah pagi dan petang-tiada Tuhan
yang sebenarnya, selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi Allah semuanya
ikhlas mengerjakan suruhan agama karena Allah walaupun orang-orang kafir itu
tidak suka”. Dimulai takbir pada malam hari raya puasa (‘Idil-fithri), sampai
kepada waktu mengerjakan shalat baginya. Dan pada hari raya hajji
(‘Idil-qurban), di mulai takbir sesudah shalat Shubuh hari ‘Arafah (tanggal 9
Dzulhijjah), sampai kepada penghabisan siang hari ke-13 Dzulhijjah. Inilah yang
lebih sempurna segala pembacaan. Dan takbir itu dibacakan di belakang shalat
fardlu dan shalat sunat. Dan di belakang shalat fardlu, adalah lebih muakkad.
Kedua: Apabila telah datang pagi hari raya, lalu mandi,
menghiasi diri dan memakai bau-bauan, sebagaimana telah kami terangkan dahulu
pada Jum’at. Rida’ (selendang) dan serban, adalah lebih utama bagi laki-laki.
Dan hendaklah disingkirkan dari pakaian sutera untuk anak-anak dan penghiasan
diri untuk orang-orang perempuan tua, ketika keluar ke tempat shalat.
Ketiga: Hendaklah keluar dari satu jalan dan pulang dari jalan
lain. Begitulah yang diperbuat Rasulullah saw. Dan adalah Rasulullah saw:
“menyuruh supaya dikeluarkan (ke tempat shalat hari raya) budak-budak wanita
dan anak gadis-gadis pingitan”.
Keempat: disunatkan keluar ke tanah lapang,
selain di Makkah dan Baitul-mukaddis. Kalau hari hujan, maka tidak mengapa
bershalat di masjid. Dan boleh pada hari terang (tidak ada hujan), imam
menyuruh seorang bershalat sebagai imam dengan orang-orang lemah di masjid dan
ia sendiri keluar dengan orang-orang kuat ke tanah lapang dengan bertakbir.
Kelima: Dijaga waktu. Waktu shalat hari raya itu, ialah antara
terbit matahari sampai kepada gelincir matahari. Dan waktu penyembelihaan
qurban, ialah antara meninggi matahari sekedar dua khutbah dan dua raka’at
shalat, sampai kepada akhir hari ketiga belas. Disunatkan menyegerakan shalat
hari raya qurban, untuk penyembelihan yang dilakukan sesudah shalat. Dan
melambatkan hari raya puasa, karena pembahagian zakat fitrah sebelumnya.
Begitulah sunnah Rasulullah saw!.
Keenam: tentang cara shalat. Maka hendaklah orang banyak keluar
ke tempat shalat dengan bertakbir di jalan! Apabila imam telah sampai ke tempat
shalat, maka ia tidak duduk dan tidak mengerjakan shalat sunat dan menyuruh
orang banyak menghabiskan shalat sunatnya. Kemudian, berserulah seorang
penyeru: “Ash-shalaatu jaami’ah (Shalat itu berjama’ah). Dan imam mengerjakan
shalat dengan orang banyak itu, 2 raka’at, di mana ia bertakbir pada raka’at
pertama, selain dari takbiratul-ihram dan takbir ruku’, sebanyak 7 X. Dan
membaca diantara tiap-tiap 2 takbir itu: Subhaanallaahi wal hamdu lillaahi wa
laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar” dan membaca “Wajjahtu wajhia lilladzii
fatharas samaawaati wal ardl”, sesudah takbiratul-ihram dan mengemudian kan
membaca “A-‘uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim”, sampai kepada sesudah
takbir ke-8 (yaitu: 7 takbir tadi, ditambah dengan takbiratul-ihram pada
permulaan shalat). Dan dibaca surat Qaaf, pada raka’at pertama sesudah
Al-Fatihah dan iqtarabat, pada raka’at kedua. Dan tambahan takbir pada raka’at
kedua, ialah 5, selain dari takbir untuk berdiri dan untuk ruku’. Dan dibacakan
diantara tiap-tiap dua takbir, apa yang telah kami sebutkan di atas tadi.
Kemudian, dibaca 2 khutbah. Diantara kedua khutbah itu, duduk sebentar. Orang
yang ketinggalan shalat hari raya, maka sunat diqodokan.
Ketujuh: menyembelih qurban seekor kambing atau biri-biri (kibasy)
“Rasulullah saw menyembelih dua ekor kibasy, yang manis bentuknya dengan tangan
beliau sendiri dan membaca: “Dengan nama Allah - Allah Maha Besar - ini, dariku
dan dari orang yang tidak berqurban dari umatku”. Bersabda Nabi saw: “Siapa
melihat hilal (bulan sabit) bulan Dzulhijjah dan bermaksud menyembelih qurban,
maka janganlah ia mencukur rambutnya dan memotong kukunya walaupun sedikit”.
Berkata Abu Ayyub al-Anshari: “Adalah seorang laki-laki menyembelih qurban pada
masa Rasulullah saw seekor kambing dari keluarganya dan mereka makan serta
memberikan untuk makanan orang lain”. Orang yang berqurban, boleh memakan dari
qurbannya sesudah tiga hari dan seterusnya. Pembolehan ini, datangnya adalah
sesudah ada pelarangan untuk dimakan sendiri. Berkata Sufyan Ats-Tsuri:
“Disunatkan mengerjakan shalat 12 raka’at sesudah shalat ‘Idul-fithri dan 6
raka’at sesudah ‘Idul-adhha”. Berkata Sufyan, bahwa shalat itu termasuk
diantara shalat sunat.
KEDUA: Shalat
Tarawih:
yaitu 20 raka’at. Dan cara
mengerjakannya, sudah terkenal. Shalat tarawih itu, sunat muakkadah, walaupun
muakkadahnya kurang dari shalat dua hari raya. Dan berbeda pendapat alim ulama,
tentang berjama’ah pada shalat tarawih. Apakah lebih utama dengan berjama’ah
atau dengan sendirian? Rasulullah saw telah keluar untuk bershalat tarawih, dua
malam atau tiga malam, dengan berjama’ah. Kemudian beliau tiada keluar lagi,
dengan mengatakan: “Aku takut nanti diwajibkan atas kamu!”. Umar ra
mengumpulkan manusia, untuk bershalat tarawih dengan berjama’ah, di mana sudah
dirasa aman daripada diwajibkan, karena wahyu tidak ada lagi. Ada yang
mengatakan, bahwa berjama’ah lebih utama karena dikerjakan Umar ra demikian dan
karena berjama’ah, ada berkatnya. Dan berjama’ah itu mempunyai kelebihan,
dengan dalil shalat-shalat fardlu. Dan kadang-kadang dengan sendirian itu
mendatangkan kemalasan dan menjadi rajin, ketika melihat orang banyak. Ada yang
mengatakan, sendirian lebih utama, karena shalat ini adalah sunnah Nabi saw,
yang tidak termasuk dalam golongan syi’ar agama, seperti shalat dua hari raya.
Maka, disamakan shalat tarawih itu dengan shalat Dluha. Dan tahiyyat masjid,
adalah lebih utama, di mana tidak disuruh padanya jama’ah. Dan telah berlaku
adat kebiasaan bahwa serombongan orang bersama-sama masuk masjid, kemudian
tidak melakukan shalat tahiyyat masjid dengan berjama’ah. Dan karena sabda Nabi
saw: “Kelebihan shalat sunat di rumah dengan shalat sunat di masjid, adalah
seperti kelebihan shalat fardlu di masjid dengan shalatnya di rumah”.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Suatu shalat pada masjidku ini, adalah
lebih utama daripada 100 shalat pada masjid-masjid lain. Dan suatu shalat dalam
Masjidil-haram, adalah lebih utama daripada 1000 shalat pada masjidku. Dan yang
lebih utama dari itu semuanya, ialah seorang laki-laki yang melakukan shalat
dalam sudut rumahnya 2 raka’at, yang tidak diketahui selain oleh Allah ‘Azza wa
Jalla”. Pahamilah ini! Karena ria dan berbuat-buat kadang-kadang datang kepada
seseorang dalam ia membaca pada tiap-tiap raka’at surat Al-Fatihah sekali,
Innaa anzalnaahu fi lailatil-qadr 3 kali dan Qul huwallaahu ahad 12 kali.
Kemudian tatkala telah siap dari shalat, lalu berselawat kepadaku 70 X , yaitu:
“Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadinin-nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi”
kemudian ia sujud dan membaca dalam sujudnya 70 X : “Maha suci, Maha Qudus,
Tuhan para malaikat dan nyawa”. Kemudian, ia mengangkat kepalanya dan membaca
70 X : “Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lampauilah daripada apa
yang Engkau ketahui ! Sesungguhnya Engkau Maha Agung, lagi Maha Mulia”.
Kemudian ia sujud sekali lagi dan membaca di dalamnya, seperti apa yang
dibacanya pada sujud pertama. Kemudian ia meminta hajatnya dalam sujud, maka
hajat itu, akan dipenuhinya”. Bersabda Rasulullah saw: “Tidaklah seorang
mengerjakan shalat ini, melainkan diampunkan oleh Allah Ta’ala segala dosanya,
meskipun dosa itu seperti buih di laut, sebanyak pasir, seberat bukit dan daun
kayu-kayuan. Dan diberi syafa’at pada hari qiamat kepada 700 daripada
keluarganya, yaitu orang-orang yang seharusnya masuk neraka”. Inilah shalat
sunat! Dan kami kemukakan dalam bahagian ini, karena ia berulang-ulang dengan
berulang-ulangnya tahun. Meskipun derajatnya, tidak sampai sederajat shalat
tarawih dan hari raya. Karena shalat tadi dinukilkan oleh seorang-seorang
(tidak oleh orang banyak). Tetapi saya melihat penduduk Baitul mukaddis umumnya
biasa mengerjakan shalat tadi dan tidak membolehkan ditinggalkan. Dari itu,
saya ingin membentangkan nya di sini.
KETIGA: shalat Rajab
Maka
diriwayatkan daripada Rasulullah صلى الله عليه
وسلم . bahwa
beliau bersabda : "Tiada daripada seseorang yang berpuasa pada
hari Kamis pertama daripada bulan Rajab, kemudian mengerjakan shalat, antara
'Isya' dan bahagian pertiga pertama daripada malam. sebanyak dua belas raka'at,
yang dipisahkan antara tiap-tiap dua raka'at dengan salam, di mana ia membaca
pada tiap-tiap raka'at surat Al-Fatihah sekali, Innaa
anzalnaahu fi lailatil-qadr tiga kali dan Qul huwallaahu
ahad dua belas kali. Kemudian tatkala telah siap dari shalat, lalu
berselawat kepadaku tujuh puluh kali,
اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله
(Allaahumma
shalli 'alaa Muhammadinin-nabiyyil ummiyyi wa 'alaa aalihi).
سبوح قدوس رب الملائكة والروح
(Subbuuhun
qudduusun rabbul malaaikati warruuh).
Artinya
: "Maha Suci, Maha Qudus Tuhan para malaikat dan nyawa".
Kemudian ia
sujud dan membaca dalam sujudnya tujuh puluh kali :
Kemudian, ia
mengangkat kepalanya dan membaca tujuh puluh kali:
مرة رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم
(Rab-bighfir
warham wa tajaawaz ammaa ta'lamu innaka antal-a-'az-zul akramu).
Artinya
: "Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lampauilah dari apa
yang Engkau ketahui! Sesungguhnya Engkau Maha Agung, lagi Maha Mulia".
Kemudian ia
sujud sekali lagi dan membaca di dalamnya, seperti apa yang dibacanya pada
sujud pertama. Kemudian ia meminta hajatnya dalam sujud, maka hajat itu, akan
dipenuhinya", (1)
Bersabda
Rasulullah صلى الله عليه
وسلم :
"Tidaklah seorang mengerjakan shalat ini, melainkan diampunkan oleh
Allah Ta'ala segala dosanya, meskipun dosa itu seperti buih di laut, se banyak
pasir, seberat bukit dan daun kayu-kayuan. Dan diberi syafa'at pada hari qiamat
kepada tujuh ratus daripada keluarganya, yaitu orang-orang yang seharusnya
masuk neraka",
Inilah
shalat sunat! Dan kami ke mukakan dalam bahagian ini, karena ia berulang-ulang
dengan berulang-ulangnya tahun. Meskipun derajatnya, tidak sampai sederajat
shalat Tarawih dan Hari Raya. Karena shalat tadi dinukilkan oleh
seorang-seorang (tidak oleh orang banyak). Tetapi saya melihat penduduk
Baitulmukaddis umumnya biasa mengerjakan shalat tadi dan tidak membolehkan
ditinggalkan. Dari itu, saya ingin membentangkannya di sini.
KEEMPAT: Shalat Sya’ban
yaitu, malam ke-15 daripadanya, di
mana dikerjakan shalat itu sebanyak 100 raka’at. Tiap-tiap dua raka’at diberi salam, dimana dibacakan
pada tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, Qul huwallaahu ahad 11X dan kalau
ia mau, maka ia mengerja kan shalat itu 10 raka’at, di mana ia membaca pada
tiap-tiap raka’at, sesudah surat Al-Fatihah, 100 X Qul huwallaahu ahad. Ini juga diriwayatkan
dalam kumpulan shalat-shalat, di mana orang-orang dahulu (salaf), mengerjakan
shalat ini. Dan menamakannya “Shalat Kebajikan” dan mereka berkumpul pada
shalat itu. Kadang-kadang mereka kerjakan dengan berjama’ah. Diriwayatkan
daripada Al-Hasan, bahwa beliau berkata: “Telah berceritera kepadaku, 30 orang
shahabat Nabi saw, bahwa siapa yang mengerjakan shalat ini pada malam tersebut,
niscaya Allah memandang kepadanya 70 pandangan dan menyampaikan dengan
tiap-tiap pandangan itu, 70 hajat keperluannya, yang sekurang-kurangnya, ialah
pengampunan dosa”.
Tentang
shalat-shalat sunat yang berhubungan dgn sebab-sebab mendatang & tidak
berhubungan dengan waktu.
Iaitu: 9 perkara:
1. Shalat gerhana bulan
2. Sholat gerhana matahari,
3. Shalat minta hujan,
4. Shalat jenazah,
5. Shalat tahiyyat masjid,
6. Sholat 2 raka’at wudlu
7. Sholat 2 raka’at antara adzan dan
qamat,
8. Sholat dua raka’at ketika keluar
dari rumah dan
9. Sholat ketika masuk ke rumah dan
sebagainya. Akan kami terangkan semuanya itu, satu persatu.
Pertama: shalat gerhana bulan.
Bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah tanda dari tanda-tanda wujud Allah. keduanya tidak gerhana, karena mati
seseorang atau hidup seseorang. Apabila kamu melihat gerhana itu, bersegeralah
mengingati Allah dan mengerjakan shalat!”. Nabi saw bersabda demikian, tatkala
meninggal anaknya Ibrahim as dan matahari gerhana, lalu berkatalah orang
banyak: “Matahari itu gerhana, karena meninggalnya Ibrahim as”. Memperhatikan
kepada cara dan waktunya, adalah: Caranya, ialah apabila gerhana matahari pada
waktu, di mana shalat padanya makruh atau tidak makruh, maka diserukan dengan
suara keras: “Ash-shalaatu jaami’ah” (sholat itu berjama’ah). Imam, mengerjakan
shalat gerhana itu dengan orang banyak di masjid, dua raka’at banyaknya, di mana
ia ruku’ pada tiap-tiap raka’at dua ruku’. Yang pertama lebih panjang daripada
yang kedua. Dan tidak dibacakan dengan keras (tidak dengan jahr). Dibacakan
pada yang pertama dari berdiri raka’at pertama, surat Al-Fatihah dan surat
Al-Baqarah dan pada yang kedua dari berdiri raka’at kedua, surat Al-Fatihah dan
Ali ‘Imran. Pada yang ketiga dari berdiri raka’at ketiga, surat Al-Fatihah dan
surat An-Nisaa’ dan pada rakaat ke 4 surat Al fateha dan surat Al-Maidah.
Ataupun sepanjang itu dari Al-Qur’an, di mana saja di kehendakinya. Kalau
disingkatkan dengan membaca surat Al-Fatihah saja, pada tiap-tiap berdiri,
niscaya memadai. Dan kalau disingkatkan atas surat-surat yang pendek, maka
tiada mengapa. Dan yang dimaksudkan dengan memanjangkan bacaan, ialah supaya terus-menerus
shalat sampai habis gerhana. Pada ruku’ pertama, dibacakan tasbih, kira-kira
100 ayat panjangnya, pada ruku’ kedua, kira-kira 80, pada ruku’ ketiga,
kira-kira 70 dan pada ruku’ keempat, kira-kira 50 ayat. Dan hendaklah sujud
itu, kira-kira sepanjang ruku’ pada tiap-tiap raka’at. Kemudian, imam, membaca
dua khutbah sesudah selesai shalat, dengan duduk sebentar diantara kedua
khutbah itu. Dan menyuruh orang banyak dengan bersedekah, memerdekakan budak
dan bertobat. Dan seperti itu juga, dikerjakan pada gerhana bulan. Hanya pada
gerhana bulan, pembacaan dijahr, karena dia itu malam. Adapun waktu shalat
gerhana matahari, maka yaitu, ketika permulaan gerhana, sampai kepada terang
benar. Dan waktunya habis, dengan terbenamnya matahari, sedang dalam keadaan
gerhana. Dan habis waktu shalat gerhana bulan, dengan terbit bundaran matahari,
karena telah lenyap kekuasaan malam. Dan tidak luput shalat gerhana bulan,
dengan terbenamnya bulan dalam keadaan masih gerhana. Karena malam seluruhnya,
adalah di bawah kekuasaan bulan. Kalau gerhana itu habis sedang shalat, maka
shalat itu diteruskan dengan diringkaskan. Kalau ma’mum memperoleh ruku’ kedua
serta imam, maka luputlah baginya raka’at pertama, karena yang pokok ialah
ruku’ pertama.
Kedua: shalat minta hujan (shalat
istisqa’):
Apabila telah kering segala sungai dan telah putus hujan
atau telah runtuh saluran air, maka disunatkan bagi imam, menyuruh orang
banyak: pertama, puasa 3 hari dan sekedar yang disanggupi dari sedekah. Dan
keluar dari segala perbuatan dhalim dan bertobat dari segala perbuatan ma’siat.
Kemudian keluar bersama orang banyak, pada hari keempat, bersama dengan
wanita-wanita tua dan anak-anak dalam keadaan bersih, memakai pakaian tua dan
tenang, menundukkan diri kepada Tuhan. Kebalikan dari keadaan hari raya. Ada
yang mengatakan, sunat dikeluarkan binatang-binatang ternak, karena
binatang-binatang itupun mempunyai kepentingan yang sama dengan manusia dan
karena sabda Nabi saw: “Kalau tidaklah anak-anak - kecil yang menyusu,
orang-orang tua yang ruku’ kepada Tuhan dan binatang-binatang ternak yang
memerlukan kepada yang dimakan dan yang diminumnya maka sesungguhnya dituangkan
azab sengsara kepada kamu sekalian”. Kalau turut juga keluar orang-orang dzimmi
(orang tidak Islam yang berlindung di bawah kekuasaan Islam) dengan keadaan
yang membedakan, jangan dilarang. Apabila orang banyak telah berkumpul pada
tempat shalat yang luas, dari tanah lapang, lalu diserukan dengan suara yang
nyaring: “Ash-shalaatu jaami’ah”(sholat itu berjama’ah). Maka imam bershalat
dengan orang banyak itu dua raka’at, seperti shalat hari raya, tanpa takbir.
Kemudian, imam membaca dua khutbah dan diantara kedua khutbah itu, duduk
sebentar. Dan hendaklah istighfar (memohonkan ampunan Allah), menjadi isi yang
terbanyak dari kedua khutbah itu. Dan seyogyalah pada pertengahan khutbah
kedua, imam membelakangi orang banyak dan menghadap qiblat, membalikan
selendangnya ketika itu, sebagai sempena (tafaa-ul) akan berobah keadaan yang
sedang di alami. Begitulah diperbuat Rasulullah saw. Maka dijadikan yang di
atas ke bawah, yang di kanan ke kiri dan yang di kiri ke kanan. Dan orang
banyakpun berbuat begitu pula. Pada saat ini, semuanya berdo’a dengan suara
yang dapat didengar sendiri (sirriyah). Kemudian, imam menghadap orang banyak kembali,
lalu menyudahi khutbahnya. Dan dibiarkan selendangnya itu dalam keadaan yang
berbalik itu, sampai dibuka, kapan kain yang dipakai itu mau dibuka. Dibacakan
dalam do’a itu: “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah menyuruhkan
kami, dengan berdo’a kepada Engkau dan menjanjikan kepada kami akan perkenan
Engkau. Maka kami telah berdo’a kepada Engkau, sebagaimana Engkau suruhkan
kami, maka perkenankanlah akan do’a kami, sebagaimana Engkau janjikan kepada
kami! Ya Allah, ya Tuhan kami! Anugerahilah kepada kami ampunan, dari dosa yang
telah kami perbuat dan penerimaan ALLAH dari permintaan kami akan hujan serta
keluasan rezeki kami!”. Dan tidak mengapa dengan berdo’a, sesudah shalat dalam
tiga hari berpuasa itu, sebelum keluar ke tanah lapang. Do’a ini, mempunyai
adab dan syarat bathiniyah dengan bertobat, mengembalikan segala hak orang yang
diambil secara dhalim dan lain-lain sebagainya, yang akan datang nanti
penjelasannya pada Kitab Do’a.
Ketiga: shalat jenazah:
Caranya sudah terkenal. Dan telah ijma’ do’a yang diterima
dari Nabi saw ialah do’a yang diriwayatkan dalam hadits shahih, dari ‘Auf bin
Malik. Berkata ‘Auf: “Aku melihat Rasulullah saw bershalat jenazah, maka aku
hafal daripada do’anya ialah: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Ampunilah dosa mayit
ini, kasihanilah dia, peliharalah jiwanya, ma’afkanlah kesalahannya,
muliakanlah tempatnya, lapangkanlah kuburnya, basuhkanlah dia dengan air,
dengan air beku dan air hujan batu, sucikanlah dia dari segala kesalahan,
sebagaimana disucikan kain putih dari kotoran, gantikanlah dia dengan negeri
yang lebih baik daripada negerinya, keluarga yang lebih baik daripada
keluarganya, teman hidup yang lebih baik daripada teman hidupnya, masukkanlah
dia ke dalam sorga, lindungilah dia dari azab kubur dan siksaan api neraka!”
Sehingga ‘Auf berkata: “Aku berangan-angan, kiranya akulah mayit itu!”. Ma’mum
yang mendapat takbir kedua, maka seyogyalah menjaga tertib shalatnya sendiri
dan bertakbir bersama takbir imam. Apabila imam telah memberi salam, lalu ia
menyelesaikan takbirnya yang ketinggalan, seperti yang diperbuat oleh seorang
masbuq (ma’mum yang terkemudian mengikuti imam). Karena, kalau ma’mum itu
menyegerakan takbirnya, maka tidak ada lagi arti mengikuti imam dalam shalat
ini. Sebab takbir-takbir itu adalah merupakan rukun-rukun yang terang padanya.
Dan layaklah takbir-takbir itu ditempatkan seperti raka’at-raka’at pada shalat
lain. Inilah yang lebih kuat menurut pendapatku, walaupun yang lain itu,
merupakan suatu kemungkinan. Hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan
shalat jenazah dan mengurus jenazah itu, adalah terkenal. Maka tidaklah kami
memperpanjangkan lagi. Bagaimanakah tidak besar keutamaannya, sedang dia
termasuk sebahagian daripada fardlu kifayah? Dan shalat jenazah itu menjadi
sunat, terhadap orang yang tidak menjadi fardlu ‘ain atasnya, disebabkan orang
lain. Kemudian, ia memperoleh kelebihan fardlu kifayah, walaupun tidak menjadi
fardlu ‘ain, karena mereka secara bersama-sama, telah mengerjakan, apa yang
menjadi fardlu kifayah itu dan mereka telah menghapuskan dosa dari orang-orang
lain. Dari itu, tidaklah yang demikian menjadi sunat, di mana dengan sunat itu
tidak terhapus sesuatu fardlu dari seseorang. Disunatkan mencari sebanyak
mungkin orang yang bershalat janazah, karena mengharapkan keberkatan dengan
banyaknya harapan dan do’a dan dengan banyaknya itu, termasuk di dalamnya orang
yang berdo’a yang kiranya diterima Tuhan. Karena apa yang diriwayatkan oleh
Kuraib daripada Ibnu Abbas, bahwa telah meninggal seorang anak laki-laki dari
Ibnu Abbas, maka berkatalah beliau: “Hai Kuraib! Lihatlah berapa banyak sudah
manusia berkumpul!”. Berceritera Kuraib seterusnya: “Lalu aku keluar, maka aku
melihat manusia sudah banyak berkumpul. Aku ceriterakan itu kepada Ibnu Abbas”.
Menyambung Ibnu Abbas: “Engkau katakan, mereka itu 40 orang?”. Aku menjawab:
“Ya!”. Berkata Ibnu Abbas: “Keluarkanlah mayit itu untuk dishalatkan! Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang laki/wanita muslim yang
mati, lalu berdiri untuk bershalat pada jenazahnya 40 orang, di mana mereka
tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan mereka diberi syafa’at
oleh Allah ‘Azza wa Jalla pada mayit itu”. Apabila jenazah itu dibawa dan telah
sampai ke kuburan atau pada permulaan masuk ke daerah perkuburan, maka hendaklah
dibacakan: “Salam sejahtera kepadamu, wahai kaum mu’minin dan muslimin,
penduduk dari perkampungan ini! Diberi rahmat kiranya oleh Allah orang-orang
yang terdahulu dan yang terkemudian daripada kami. Dan kami - insya Allah -
akan mengikuti kamu”. Yang lebih utama, tidaklah meninggalkan tempat itu,
sebelum selesai penguburan. Apabila telah diratakan kuburan mayit itu, lalu
berdirilah dan bacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku! Ini hambaMU, dikembalikan
kepadaMU, maka berilah rahmat kepadanya dan kasihanilah dia! Ya Allah, ya
Tuhanku! Renggangkanlah bumi daripada kedua lembungnya! Bukakanlah segala pintu
langit, untuk ruhnya! Terimalah dia dipihakMU dengan penerimaan yang baik! Ya
Allah, ya Tuhanku! Kalau adalah ia berbuat kebaikan, maka lipat gandakanlah
pada kebaikannya itu! Dan kalau adalah ia berbuat kejahatan, maka hapuskanlah
kejahatannya itu!”.
Keempat: shalat tahiyyat masjid:
dua raka’at atau lebih, adalah sunat muakkadah, sehingga
sunat itu tidak hilang walaupun imam sedang membaca khutbah pada hari Jum’at,
serta diperkuatkan wajibnya memperhatikaan kepada khutbah dari khatib itu.
Kalau dikerjakan shalat fardlu atau shalat qodo (ketika masuk ke dalam masjid),
maka berhasillah tahiyyat itu dengan yang demikian dan berolehlah pahala.
Karena yang dimaksud, ialah tidak kosong pada permulaan masuknya, daripada
ibadah yang tertentu dengan masjid, sebagai menegakkan hak dari masjid. Dari
itu, dimakruhkan memasuki masjid tanpa wudlu. Kalau masjid itu dimasuki untuk
dilewati saja atau untuk duduk, maka hendaklah dibacakan: “Subhaanallah,
walhamdulillaah, walaa ilaaha illallaah, wallahu akbar”. (Maha suci Allah,
semua puji-pijian untuk Allah, tidak ada Tuhan kecuali Allah, Allah maha besar)
Dibacakan 4 X dan itu adalah menyamai
pahalanya dengan 2 raka’at shalat. Menurut mazhab Asy-Syafi’i ra, tidak
dimakruhkan shalat tahiyyat masjid pada waktu-waktu makruh mengerjakan shalat,
yaitu: sesudah ‘ashar, sesudah Shubuh, waktu tengah hari, waktu terbit &
waktu terbenam matahari, karena diriwayatkan: “Bahwa Rasulullah saw mengerjakan
shalat 2 raka’at sesudah ‘Ashar. Lalu ditanya kan kepadanya: “Bukankah engkau
telah melarang kami dari ini?”. Menjawab Nabi saw: “Keduanya itu adalah 2
raka’at, yang hendaknya aku kerjakan sesudah Dhuhur, tetapi aku sibuk dengan
kedatangan utusan”. Hadits ini menimbulkan 2 hasil pemahaman
1. Kemakruhan itu terletak pada
shalat yang tak ada sebab. Dan diantara sebab yang paling lemah, ialah
meng-qodo-kan shalat sunat, karena berbeda pendapat para ulama, tentang shalat
sunat, apakah di-qodo-kan? Dan kalau dikerjakan kembali shalat sunat yang telah
tertinggal itu, apakah qodo itu namanya? Apabila kemakruhan tidak ada, dengan
sebab yang paling lemah itu, maka lebih layak lagi, kemakruhan itu tidak ada
dengan sebab masuk masjid. Dan masuk masjid itu, adalah suatu sebab yang kuat.
Dari itu, tidak dimakruhkan shalat jenazah, apabila jenazah itu telah ada dan
tidak dimakruhkan shalat gerhana dan shalat minta hujan pada waktu-waktu
dimakruhkan bershalat, karena mempunyai sebab-sebab yang membolehkan.
2. Meng-qodo-kan shalat-shalat
sunat, karena Rasulullah saw, telah berbuat demikian. Dan Rasulullah saw adalah
ikutan yang paling utama bagi kita. Berkata ‘Aisyah: “Adalah Rasulullah saw
apabila sangat tertidur atau sakit, maka beliau tidak bangun mengerjakan shalat
pada malam itu. Tetapi beliau mengerjakan shalat dari permulaan siang besoknya,
12 raka’at”. Berkata para ulama, bahwa siapa yang ada di dalam shalat, sehingga
tiada dapat menjawab adzan dari muadzin, maka apabila telah memberi salam, lalu
meng-qodo-kan dengan menjawabkannya, meskipun muadzin itu sudah diam. Dan
tidaklah ada artinya perkataan orang yang mengatakan, bahwa itu adalah seperti
yang pertamanya dan bukanlah qodo. Karena, kalau benar demikian, tentulah Nabi
saw tidak mengerjakan shalat itu pada waktu dimakruhkan (waktu kirahah).
Memang, siapa yang mempunyai wirid, lalu terhalang mengerjakannya dengan
sesuatu halangan, maka seyogyalah ia tidak mempermudahkan dirinya untuk
meninggalkan wirid itu. Tetapi mengerjakan kembali pada waktu lain, sehingga
tidak terbawa-bawa meninggalkan wirid dan bersenang-senang. Mengerjakan kembali
itu adalah baik, untuk bermujahadah melawan hawa nafsu. Dan karena Nabi saw
bersabda: “Amal perbuatan yang amat disukai Allah Ta’ala, ialah yang
terus-menerus, meskipun sedikit”. Dimaksudkan dengan hadits ini, supaya tidak
kendur meneruskan amal perbuatan. Dan ‘Aisyah telah meriwayatkan daripada Nabi
saw bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan
sesuatu ibadah, kemudian ditinggalkannya karena malas, maka dia dikutuk oleh
Allah ‘Azza wa Jalla”. Maka hendaklah menjaga diri, jangan sampai termasuk
dalam peringatan ini!. Untuk memahami hadits tersebut, bahwa Allah Ta’ala
mengutuknya, adalah karena meninggalkan ibadah karena malas. Kalau tidak adalah
kutukan dan menjauhkan diri daripada ibadah, tentulah kemalasan itu tidak
mempengaruhi apa-apa terhadap dirinya.
Kelima: dua raka’at sesudah wudlu:
disunatkan. Karena wudlu itu, adalah mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala. Dan maksudnya, ialah shalat. Dan hadats adalah penghalang.
Kadang-kadang datang hadats, sebelum shalat, maka runtuhlah wudlu dan
sia-sialah usaha yang telah dikerjakan. Dari itu, bersegera kepada dua raka’at
tadi, adalah penyempurnaan bagi maksud wudlu, sebelum hilang. Hal ini, dapat
diketahui dengan hadits yang diriwayatkan Bilal, karena Nabi saw bersabda: “Aku
masuk ke dalam sorga, lalu aku lihat Bilal di dalamnya. Maka aku tanyakan
kepada Bilal: “Dengan apa engkau mendahului aku ke dalam sorga?”. Menjawab
Bilal: “Tidak aku ketahui sedikitpun sebabnya. Hanya, aku tidak berhadats dari
sesuatu wudlu, melainkan aku mengerjakan dua raka’at shalat sesudahnya”.
Keenam: dua raka’at ketika masuk dan
ketika keluar dari rumah:
Diriwayatkan Abu Hurairah ra dari Nabi saw, bahwa Nabi saw
bersabda: “Apabila engkau keluar dari rumah, maka kerjakanlah shalat 2 raka’at,
yang akan mencegah engkau dari tempat keluar yang jahat. Dan apabila engkau
masuk ke rumah, maka kerjakanlah shalat 2 raka’at, yang akan mencegah engkau
dari tempat masuk yang jahat”. Dan searti dengan itu, tiap-tiap pekerjaan
dimulai, pekerjaan mana yang mempunyai arti penting. Dari itu, telah datang
hadits yang menerangkan: 2 raka’at ketika melakukan ihram (hajji dan ‘umrah), 2
raka’at ketika permulaan bermusafir dan 2 raka’at ketika kembali dari
bermusafir di dalam masjid, sebelum masuk ke rumah. Semuanya itu, diambil dari
perbuatan Nabi saw. Dan adalah sebagian orang-orang shalih, apabila memakan
suatu makanan, lalu bershalat 2 raka’at. Dan apabila meminum suatu minuman,
lalu bershalat 2 raka’at. Begitu juga pada tiap-tiap perbuatan yang
dikerjakannya. Dan seyogya lah memulai segala perbuatan, dengan mengambil
barakah, dengan menyebutkan nama Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu atas 3 tingkat:
1. Sebahagian, berulang-ulang
berkali-kali, seperti makan dan minum. Maka mulailah dengan nama Allah ‘Azza wa
Jalla. Bersabda Nabi saw: “Tiap-tiap pekerjaan penting, yang tidak dimulai
dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, lagi Maha Penyayang (artinya: dengan
membaca: Bismillaahir-rahmaanir-rahiim), maka adalah kurang berkatnya
(barakahnya)”.
2. Yang tidak banyak
berulang-ulang, tetapi mempunyai arti yang mendalam, seperti melangsungkan
perkawinan, memulai nasehat pengajaran dan bermusyawarah. Maka disunatkan pada
segala perbuatan tersebut, dimulai dengan memujikan Allah Ta’ala. Yaitu, orang
yang mengawinkan itu membaca: “Alhamdu lillaah, washshalaatu ‘alaa Rasulillaah
saw” Aku kawinkan engkau akan anak perempuanku”. Menjawab yang menerima aqad
nikah: “Alhamdulillaah, washshalaatu ‘alaa Rasuulillah saw” Aku terima akan
nikahnya”. Dan adalah menjadi adat
kebiasaan para shahabat ra pada permulaan surat, nasehat dan musyawarah, dengan
mendahulukan: memujikan Allah (membaca Alhamdu lillaah).
3.
Yang tidak banyak berulang-ulang dan apabila terjadi, maka berjalan lama
dan mempunyai arti yang mendalam, seperti bermusafir, membeli rumah baru,
melakukan ihram dan lain-lain sebagainya. Maka disunatkan mendahulukan
pekerjaan itu dengan 2 raka’at shalat. Dan sekurang-kurangnya dari pekerjaan
tersebut, ialah keluar dan masuk ke rumah, sebab ini termasuk semacam
bermusafir yang dekat.
Ketujuh: shalat istikharah (memohon
kebajikan):
Siapa yang bercita-cita hendak melangsungkan sesuatu
pekerjaan dan tidak diketahuinya akan akibat dari pekerjaan tersebut, apakah baik
ditinggalkan atau baik diteruskan, maka dalam menghadapi pekerjaan yang seperti
ini, disuruh oleh Nabi saw supaya mengerjakan shalat 2 raka’at, di mana
dibacakan pada raka’at pertama surat Al-Fatihah dan Qul yaa ayyuhal-kaafiruun
dan pada raka’at kedua surat Al-Fatihah dan Qul huwallaahu ahad. Apabila telah
selesai dari shalat, lalu berdo’a dengan membacakan: “Ya Allah, ya Tuhanku!
Sesungguhnya aku memohon kebajikan dari Engkau dengan ilmu Engkau, aku memohon
tenaga dengan qudrah Engkau, aku meminta pada Engkau dengan kurnia Engkau yang
Maha Besar. Sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa dan aku tidaklah berkuasa,
Engkaulah yang Maha Tahu dan aku tidaklah mengetahui dan Engkaulah yang lebih
mengetahui dengan segala yang tersembunyi. Ya Allah, ya Tuhanku! Jika adalah
Engkau mengetahui, bahwa pekerjaan ini, baik bagiku, pada agamaku, duniaku dan
akibat perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka anugerahilah bagiku
kesanggupan dan berkatkanlah bagiku padanya, kemudian mudahkanlah perbuatan itu
bagiku. Dan jika adalah Engkau mengetahui, bahwa pekerjaan ini, buruk bagiku,
pada agamaku, duniaku dan perbuatanku, yang segera dan yang nanti, maka
hindarkanlah aku dari perbuatan itu dan hindarkanlah perbuatan itu daripadaku
dan anugerahilah bagiku kesanggupan berbuat kebajikan, di manapun adanya
kebajikan itu. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Do’a
tersebut, diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir: “Adalah
Rasulullah saw mengajari kami, memohon kebajikan pada seluruh perbuatan, sebagaimana
mengajari kami, akan sesuatu surat daripada Al-Qur’an. Bersabda Nabi saw:
“Apabila bercita-cita seorang kamu suatu hal, maka bershalatlah 2 raka’at,
kemudian sebutkanlah nama Allah pada perbuatan itu dan berdo’alah dengan apa
yang telah kami sebutkan”. Berkata setengah ahli hikmah: “Siapa yang diberikan
4, niscaya tidak tecegah daripada empat:
1. Siapa yang dianugerahkan tahu
berterima kasih (bersyukur), niscaya ia tidak tercegah daripada memperoleh
kelebihan.
2. Siapa yang dianugerahkan bertobat, niscaya tidak
tercegah daripada diterima tobatnya.
3. Siapa yang dianugerahkan meminta kebajikan, niscaya
tidak tercegah daripada memperoleh
kebajikan.
4. Siapa yang dianugerahkan bermusyawarah, niscaya tidak
tercegah daripada memperoleh kebenaran.
Kedelapan: shalat hajat:
Siapa yang memperoleh kesulitan dalam menghadapi
persoalan, di mana ia memerlukan demi kebaikan agamanya dan dunianya, kepada
persoalan yang sukar diatasinya itu, maka hendaklah ia mengerjakan shalat
hajat. Diriwayatkan dari Wuhaib bin Al-Ward, di mana Wuhaib berkata:
“Sesungguhnya sebahagian daripada do’a yang tidak ditolak, ialah: bershalat
seorang hamba sebanyak 12 raka’at, di mana ia membaca pada tiap-tiap raka’at
surat Al-Fatihah, ayat Kursy dan Qul huwallaahu ahad. Apabila telah selesai,
lalu bersujudlah ia, di mana ia membaca: “Maha Suci Tuhan yang memakai akan
kemuliaan dan berfirman dengan dia. Maha Suci Tuhan yang bersifat dengan
kebesaran dan kemurahan. Maha Suci Tuhan yang menghinggakan bilangan tiap-tiap
sesuatu dengan ilmu Allah.
Maha Suci Tuhan yang tiada
seyogyalah bertasbih, selain untuk Allah. Maha Suci Tuhan yang mempunyai nikmat
dan kurnia. Maha Suci Tuhan yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. Maha Suci
Tuhan yang mempunyai kekuasaan. Aku bermohon kepada ENGKAU dengan segala tempat
kemuliaan dari ‘Arasy-MU, dengan rahmat yang setinggi-tingginya dari kitabMU,
dengan namaMU Yang Maha Agung, kesungguhanMU yang Maha Tinggi dan
kalimat-kalimatMU yang sempurna lagi melengkapi, yang tidak dilampaui oleh
orang yang berbuat kebajikan dan yang berbuat kejahatan. Bahwa ENGKAU
anugerahkan rahmat kiranya kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad”.
Setelah selesai dari itu, maka bermohonlah sesuatu hajat, yang tidak mengandung
kemaksiatan. Insya Allah Ta’ala akan diterima. Berkata Wuhaib: “Telah sampai
riwayat kepada kami bahwa dikatakan, supaya tidak diajarkan shalat itu kepada
orang-orang yang tidak baik. Nanti diperguna kannya untuk melakukan kemaksiatan
kepada Allah ‘Azza wa jalla”.
Kesembilan: shalat Tasbih:
“Shalat ini dinukilkan
dalam bentuknya, yang tidak ditentukan dengan sesuatu waktu dan sesuatu sebab.
Disunatkan, bahwa tiada minggu yang tidak dikerjakan shalat tasbih sekali atau
sebulan sekali. Diriwayatkan oleh ‘Akramah daripada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi
saw bersabda kepada Abbas bin Abdul Muttalib: “Tidaklah aku berikan kepadamu,
tidaklah aku serahkan kepadamu, tidakkah aku datangkan kepadamu, sesuatu, di
mana apabila engkau kerjakan, niscaya diampunkan Allah dosa engkau, yang awal
dan yang akhir, yang lama dan yang baru, yang salah dan yang sengaja, yang
sembunyi dan yang nyata? Yaitu: engkau kerjakan shalat 4 raka’at, di mana
engkau bacakan pada tiap-tiap raka’at, surat Al-Fatihah dan suatu surat dari
Al-Qur'an. Apabila telah selesai daripada bacaan pada awal raka’at dan engkau
sedang berdiri, maka bacalah: “Subhaanallaah walhamdulillaah wa laa ilaaha
illallaah wallaahu akbar” 15 X . Kemudian engkau ruku’, di mana engkau baca
sedang ruku’ itu, yang tadi, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada ruku’,
lalu engkau baca yang tadi sedang berdiri, 10 X . Kemudian, engkau sujud, di
mana engkau bacakan yang tadi, 10 X .
Kemudian engkau bangkit daripada sujud, lalu engkau bacakan yang tadi sedang
duduk, 10 X . Kemudian engkau sujud lagi, lalu bacakan yang tadi, di mana engkau
sedang sujud, 10 X . Kemudian, engkau bangkit daripada sujud, lalu engkau
bacakan yang tadi, 10 X . Jadi semuanya, 75 X
pada tiap-tiap raka’at yang engkau kerjakan itu, dalam 4 rak’at. Kalau
sanggup, engkau kerjakan shalat tasbih itu, pada tiap-tiap hari sekali, maka
kerjakanlah! Kalau tidak sanggup, maka tiap-tiap Jum’at (minggu) sekali. Kalau
tidak juga sanggup, maka tiap-tiap bulan sekali. Kalau tidak juga sanggup, maka
pada tiap-tiap tahun sekali”. Pada riwayat yang lain, dibacakan pada permulaan shalat:
“Maha suci Engkau wahai Tuhanku! Dan dengan pujian Engkau dan maha suci nama
Engkau dan maha tinggi kesungguhan Engkau dan maha qudus nama Engkau. Dan tiada
Tuhan selain Engkau”. Kemudian, dibacakan tasbih 15 X. Sebelum pembacaan
Al-Fatihah dan surat dari Al-Qur’an dan 10 X
sesudah pembacaan. Yang masih tinggal (sisanya) seperti dahulu juga,
sepuluh-sepuluh. Dan tidak dibacakan tasbih sesudah sujud yang penghabisan,
ketika sedang duduk. Cara inilah yang terbaik, yang dipilih oleh Ibnul Mubarak.
Dan jumlah tasbih pada ke-4 raka’at itu, ialah 300 X , pada kedua macam riwayat
tadi. Kalau shalat tasbih itu dilakukan pada siang hari, maka dengan sekali
salam saja. Dan kalau dilakukan pada malam hari, maka lebih baik dengan dua
kali salam, karena tersebut dalam hadits: “Bahwa shalat malam itu, dua-dua”.
Kalau ditambahkan sesudah tasbih, bacaan: “Laa haula wa laa quwwata illaa
billaahil ‘aliyyil ‘adhiim”, maka adalah baik.
Telah datang yang demikian dalam
setengah riwayat. Inilah, shalat-shalat yang dinukilkan. Dan tidak disunatkan
satupun dari shalat-shalat sunat ini, pada waktu yang dimakruhkan, selain
shalat tahiyyat masjid. Dan apa yang kami sebutkan sesudah tahiyyat masjid,
yaitu: 2 raka’at wudlu, shalat bermusafir, keluar dari rumah dan istikharah, maka
tidak disunatkan pada waktu yang dimakruhkan. Karena larangannya lebih kuat dan
sebab-sebab tersebut adalah lemah. Maka tidak sampai ia kepada derajat shalat
gerhana, minta hujan dan tahiyyat masjid. Aku melihat sebagian kaum shufi,
mengerjakan 2 raka’at shalat sunat wudlu, pada waktu-waktu yang dimakruhkan.
Dan ini, adalah amat jauh daripada kebenaran. Karena wudlu tidaklah sebab bagi
shalat, tetapi shalat adalah sebab bagi wudlu. Maka seyogyalah wudlu, untuk
bershalat. Tidaklah bershalat, karena telah berwudlu. Tiap-tiap orang yang
berhadats, yang bermaksud mengerjakan shalat pada waktu dimakruhkan, maka tiada
jalan baginya, selain ia berwudlu dan bershalat. Maka tidak ada lagi artinya
bagi kemakruhan. Dan tidak layaklah ia meniatkan 2 raka’at wudlu, sebagaimana
ia meniatkan 2 raka’at tahiyyat masjid. Tetapi apabila ia berwudlu, lalu
bershalat 2 raka’at, untuk amalan sunat, supaya tidak kosong wudlunya, seperti
yang dikerjakan Bilal. Maka itu adalah amalan sunat semata-mata, yang dilakukan
sesudah wudlu. Hadits yang diriwayatkan Bilal itu, tidaklah menunjukkan bahwa
wudlu adalah suatu sebab, seperti gerhana dan tahiyyat masjid, sehingga ia
niatkan 2 raka’at wudlu. Maka mustahillah diniatkan dengan shalat, akan wudlu,
tetapi seyogyalah diniatkan dengan wudlu akan sholat. Bagaimanakah dapat
teratur, untuk ia mengatakan pada wudlunya “aku wudlu untuk sholatku” dan ia
mengatakan pada shalatnya: “aku bershalat untuk wudluku ?”. Tetapi orang yang
bermaksud menjaga wudlunya dari kekosongan pada waktu dimakruhkan itu,
hendaklah ia meniatkan qodlo jika mungkin ada dalam tanggungan nya sesuatu
sholat, yang belum dilaksanakan karena sesuatu sebab. Dan mengkodokan sholat
pada waktu-waktu dimakruhkan, adalah tidak makruh. Adapun niat berbuat sunat,
maka tidak adalah cara baginya. Mengenai larangan pada waktu-waktu yang
dimakruhkan, mempunyai 3 hal penting:
1. Menjaga daripada penyerupaan dengan penyembah-penyembah
matahari.
2. Menjaga daripada bertebaran setan-setan, karena sabda
Nabi saw: “Sesungguhnya matahari itu terbit dan bersamanya disertai setan.
Apabila ia terbit, maka setan menyertainya dan apabila matahari itu meninggi,
lalu memisahkan diri daripadanya. Ketika tengah hari setan itu menyertai
matahari lagi. Apabila telah gelincir, lalu setan itu memisahkann diri
daripadanya. Dan apabila matahari itu hampir terbenam, maka setan itu
menyertainya. Dan apabila telah terbenam, lalu setan itu memisahkan diri
daripadanya”. Nabi saw melarang shalat
pada waktu-waktu yang tersebut serta diberitahukan sebab-sebabnya.
3. Bahwa mereka yang berjalan pada jalan akhirat,
senantiasa rajin mengerjakan shalat pada segala waktu. Dan kerajinan atas
sesuatu bentuk daripada beberapa ibadah, mendatangkan kebosanan. Maka manakala
datang larangan daripada ibadah itu pada suatu saat, niscaya bertambahlah
semangat dan bangkitlah kemauan yang mendorong untuk mengerjakannya. Dan
manusia itu amat suka mengerjakan sesuatu yang dilarang. Maka dalam pengosongan
segala waktu tersebut, adalah menambahkan kemauan dan hasrat, untuk menunggu habisnya waktu itu. Dari itu,
ditentukan segala waktu ini, dengan bertasbih dan beristighfar. Karena menjaga
daripada kebosanan dengan terus-menerus dengan semacam ibadah dan memperoleh
kegembiraan dengan berpindah daripada semacam ibadah kepada macam yang lain. Maka
dalam perpindahan pekerjaan dan pembaharuannya, datanglah kesenangan dan
kerajinan. Dan dalam tetapnya bekerja dengan sesuatu pekerjaan, datanglah
perasaan berat dan bosan. Dari itu, tidaklah shalat, semata-mata sujud,
tidaklah semata-mata ruku’ dan semata-mata berdiri. Tetapi segala ibadah itu,
adalah tersusun daripada bermacam-macam amal perbuatan dan berbagai macam
dzikir. Karena hati memperoleh kelezatan baru daripada berbuat dengan amalan dan
bacaan tadi, ketika berpindah kepadanya. Kalau dibiasakan kepada semacam saja
niscaya segeralah datang kebosanan. Apabila 3 perkara yang tersebut itu, adalah
hal-hal yang penting, tentang terlarang mengerjakan shalat pada waktu-waktu
yang dimakruhkan dan lain-lain sebagainya, dari kunci-kunci rahasia yang tidak
dapat diketahui, menurut kekuatan otak manusia, hanya Allah dan RasulNYAlah
yang mengetahuinya, maka hal-hal yang penting itu, tidaklah dibiarkan begitu
saja, kecuali dengan sebab-sebab yang penting pula pada agama. Seumpama
mengqodokan shalat-shalat, shalat minta hujan, shalat gerhana bulan dan shalat
tahiyyat masjid.
Adapun apa yang lemah daripadanya, maka tidak layaklah
maksud dari larangan itu dilanggar. Inilah, yang lebih kuat menurut pendapat
kami! Wallahu a’lam! (Allah Yang Maha Tahu!). telah selesailah “Kitab
Rahasia-rahasia Shalat”, dari “Kitab Ihya’ Ulumiddin”, yang akan disambung,
insya Allah, dengan “Kitab Rahasia-rahasia Zakat”, dengan segala pujian kepada
Allah, atas pertolongan dan kebaikan taufiq Allah.
Segala pujian bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan rahmat
Allah kepada sebaik-baik makhluk Allah Muhammad dan kepada keluarga serta
sekalian shahabatnya, dengan kesejahteraan yang sebanyak-banyaknya!.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan