Catatan Popular

Isnin, 11 Januari 2016

KITAB RAHSIA SHALAT IHYA ULUMUDDIN BAB 6 : MASALAH-MASALAH BENCANANYA



BAB  Tentang masalah-masalah yang berpisah-pisah, yang meratai bencananya dan memerlukan murid mengenalinya. Adapun masalah-masalah yang jarang terjadi, maka dapatlah kita menyelidikinya dalam kitab-kitab fiqih.


Masalah Satu:

Perbuatan yang sedikit, meskipun tidak membatalkan shalat, maka adalah makruh, kecuali diperlukan.

 Umpamanya: menolak orang lalu, membunuh kalajengking yang ditakuti dan mungkin membunuhnya dengan sekali atau dua kali pukul. Apabila tiga kali, maka telah banyak dan batallah shalat. Begitupula kutu dan kutu anjing, apabila menyakitkan badan, maka bolehlah membuangnya. Dan demikian juga, hajatnya kepada menggaruk, yang mengganggu kekhusyu’annya. Adalah Mu’az mengambil kutu dan kutu anjing dalam shalatnya. Dan Ibnu Umar membunuh kutu dalam shalat, sehingga kelihatan darah pada tangannya. Berkata An-Nakha’i: “Bahwa orang yang bershalat itu, mengambil kutu dan membuangnya dan tiada mengapa kalau membunuhnya”. Berkata Ibnul-Musayyab: “Bahwa orang yang bershalat itu mengambil kutu dan menutupkannya, kemudian membuangkannya”. Dan berkata Mujahid: “Bahwa yang lebih baik padaku ialah membiarkan kutu itu, kecuali menyakitinya, sehingga mengganggunya dari shalat, maka disingkirkan sekedar yang menyakitinya. Kemudian sesudah shalat baru dicampakkan”. Itu, adalah suatu keringanan. Kalau tidak, maka yang sempurna, ialah menjaga dari perbuatan, walaupun sedikit. Dari itu, adalah setengah mereka, tiada mengusir lalat dan berkata: “Tidak aku biasakan diriku yang demikian, nanti merusakkan shalatku. Aku mendengar bahwa orang-orang fasiq dihadapan raja-raja, sabar menahan kesakitan yang keras dan tidak bergerak”. Kalau menguap, maka tiada mengapa meletakkan tangan pada mulut. Yang begitu, adalah lebih utama. Dan kalau bersin, maka memujikan Allah di dalam hati & tidak menggerakkan lidah. Dan kalau bersendawa, maka seyogyalah tidak mengangkatkan kepala arah ke langit. Dan kalau jatuh kain penutup badan, maka tidaklah wajar memperbaiki pemakaiannya. Begitupula tepi serban. Semuanya itu makruh, kecuali kalau diperlukan.


Masalah Dua:

Bershalat dengan dua alas kaki, dibolehkan, walaupun membukanya itu mudah.

Dan tidaklah keringanan itu, pada muza (sepatu pansus), karena sukar membukanya. Bahkan najis itu, dima’afkan daripadanya. Dan disamakan dengan najis yang ada pada sepatu pansus itu, najis yang ada pada madas (semacam sandal). Nabi saw mengerjakan shalat dengan dua alas kakinya, kemudian dibukanya. Lalu orang banyakpun membuka alas kaki mereka. Maka bertanya Nabi saw: “Mengapakah kamu membuka alas kakimu?”. Mereka menjawab: “Kami lihat engkau membuka, maka kamipun membuka”. Maka menyambung Nabi saw: “Bahwa Jibril as datang kepadaku, menerangkan bahwa pada kedua alas kakiku ada najis. Apabila bermaksud seorang kamu ke masjid, maka hendaklah membalikkan kedua alas kakinya & memperhatikan pada keduanya. Kalau ia melihat najis, maka hendaklah disapunya dengan tanah & bershalatlah dengan keduanya”. Berkata setengah mereka: “Shalat dengan dua alas kaki itu, adalah lebih utama (afdhal), karena Nabi saw bersabda: “Mengapakah kamu membuka alas kakimu?”. Ini adalah berlebih-lebihan, karena Nabi saw menanyakan mereka, untuk menerangkan kepada mereka sebabnya Nabi saw membuka alas kakinya. Sebab Nabi saw mengetahui, bahwa mereka membuka alas kakinya adalah menyesuaikan perbuatannya dengan perbuatan Nabi saw diriwayatkan oleh Abdullah bin As-Saib, bahwa: “Nabi saw membuka ke2 alas kakinya”. Jadi, Nabi saw telah berbuat dengan membuka ke2 alas kakinya itu. Siapa yang membuka, maka tidaklah wajar meletakkan ke2 alas kakinya itu, pada kanannya atau pada kirinya, lalu menyempitkan tempat & memutuskan shaf. Tetapi hendaklah diletakkan dihadapannya & tidak ditinggalkan di belakang, karena membawa hati menoleh kepada alas kaki itu. Dan mungkin orang yang berpendapat bahwa bershalat dengan keduanya lebih utama, adalah menjaga maksud itu, yaitu: berpalingnya hati kepada kedua alas kaki tersebut. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila mengerjakan shalat seorang kamu, maka hendaklah menjadikan ke2 alas kakinya diantara ke2 kakinya”. Berkata Abu Hurairah kepada orang yang lain: “Letakkanlah keduanya diantara kedua kakimu! Janganlah engkau menyusahkan orang muslim dengan kedua alas kaki itu! Dan Rasulullah saw meletakkan keduanya di sebelah kirinya & beliau adalah imam shalat”. Jadi, imam boleh berbuat demikian, karena tiada berdiri seorangpun pada kirinya. Yang lebih utama, ialah ke2 alas kaki itu, tidak diletakkan diantara ke2 tapak kaki, karena mengganggukannya, tetapi diletakkan di muka ke2 tapak kaki. Kiranya, itulah yang dimaksud dengan hadits tadi. Berkata Jubair bin Muth-‘im: “Meletakkan ke2 alas kaki, diantara kedua tapak, adalah bid’ah”.


Masalah Tiga:

Apabila meludah dalam shalat, maka tidaklah batal shalat, karena itu adalah perbuatan yang sedikit.

Dan yang tidak mendatangkan suara, maka tidaklah dinamakan berkata-kata & tidaklah merupakan bentuk huruf dari kata-kata. Hanya meludah itu, adalah makruh. Dari itu, seyogyalah dijaga daripadanya, kecuali seperti  apa yang diizinkan oleh Nabi saw. Karena diriwayatkan setengah shahabat: “Bahwa Rasulullah saw melihat dahak pada qiblat, maka amat marahlah beliau. Lalu digosokkannya dengan gundar yang ada pada tangannya & bersabda: “Bawalah kepadaku sedikit bau-bauan!”. Lalu beliau letakkan kumkuma pada bekas dahak itu. Kemudian berpaling kepada kami & bersabda: “Siapakah diantara kamu, yang suka meludah di mukanya?”. Maka kami menjawab: “’Tiada seorangpun!”. Menyambung Nabi saw: “Sesungguhnya seorang kamu, apabila masuk dalam shalat, maka sesungguhnya Allah Ta’ala adalah diantaranya & qiblat”. Dan pada riwayat yang lain: “Dia dihadapi oleh Allah Ta’ala. Maka janganlah meludah seorang kamu, di depan mukanya & kanannya. Tetapi di kirinya atau di bawah tapak kirinya. Kalau terburu-buru, maka hendaklah meludah dalam kainnya & hendaklah mengatakan: “Beginilah!”. Dan digosokkan sebahagian dengan sebahagian yang lain”.


Masalah  Empat:

Berdiri ma’mum itu, ada yang sunnat dan ada yang fardlu.

Yang sunnat, ialah: berdiri ma’mum yang seorang di kanan imam, terkebelakang daripadanya sedikit. Dan ma’mum wanita yang seorang, berdiri di belakang imam. Kalau ia berdiri disamping imam, maka tidaklah membawa melarat, tetapi menyalahi sunnah. Kalau bersama ma’mum wanita, ada ma’mum laki-laki, maka ma’mum laki-laki berdiri di kanan imam dan ma’mum wanita di belakang ma’mum laki-laki tadi. Dan janganlah berdiri seorang sendirian di belakang shaf, tetapi masuklah ke dalam shaf atau menarikkan seorang dari shaf kepadanya. Kalau berdiri juga ia sendirian, maka shalatnya syah tetapi makruh. Adapun fardlu, maka yaitu: menyambung shaf. Yakni diantara ma’mum dan imam, ada ikatan yang menghimpunkan, karena keduanya, adalah dalam suatu jama’ah. Kalau keduanya dalam masjid, maka mencukupilah yang demikian itu, menghimpunkan keduanya. Karena masjid itu dibangun untuk yang demikian. Maka tidaklah memerlukan kepada sambungan shaf, tetapi mencukupilah sampai ma’mum itu mengetahui segala perbuatan imam. Abu Hurairah ra mengerjakan shalat pada bahagian atas masjid dengan mengikuti shalat imam. Apabila ma’mum berada di halaman masjid pada jalan besar atau pada lapangan luas milik perkongsian dan tak ada diantara imam dan ma’mum bermacam-macam rumah yang memisahkan, maka memadailah kedekatan, sekedar tembakan anak busur. Dan mencukupilah ikatan dengan yang demikian, karena sampai perbuatan salah seorang daripada keduanya kepada yang lain. Sesungguhnya, disyaratkan apabila ma’mum itu berdiri pada beranda rumah di kanan masjid atau dikirinya dan pintunya menempel pada masjid, maka yang disyaratkan, ialah: bahwa memanjang shaf masjid yang dalam lorongnya, tanpa putus sampai kepada beranda rumah. Kemudian syahlah shalat orang yang dalam shaf itu dan orang yang di belakangnya. Tidak syah orang dihadapannya. Begitulah hukumnya, kalau dalam rumah yang berlain-lainan. Adapun satu rumah dan satu lapangan, maka adalah seperti satu tanah lapang.


Masalah  Lima:
Masbuq (ma’mum yang terkemudian masuk ke dalam shalat), apabila mendapati akhir shalat imam, maka itulah awal shalatnya.


 Maka hendaklah ia menyesuaikan dengan shalat imam, kemudian ia meneruskan shalatnya, ketika imam telah selesai dari shalat. Dan hendaklah ia berqunut Shubuh pada akhir shalatnya sendiri, meskipun ia telah berqunut bersama imam. Kalau masbuq itu mendapati bersama imam sebahagian berdiri, maka janganlah membaca do’a iftitah. Dan hendaklah memulai dengan al-fatihah dan hendaklah meringkaskannya. Kalau imam ruku’ sebelum sempurna al-fatihahnya dan sanggup ia menghubungi imam pada i’tidalnya dari ruku’, maka hendaklah ia menyempurnakan al-fatihah. Dan kalau tidak sanggup, maka ia menyesuaikan dengan shalat imam dan terus ia ruku’. Dan al-fatihah yang dibacanya sebahagian itu, dihitung cukup dan yang tidak dibacanya menjadi gugur, disebabkan ia orang masbuq. Kalau imam ruku’ dan ia sedang membaca surat, maka hendaklah diputuskannya pembacaan itu. Kalau ia mendapati imam dalam sujud atau tasyahhud, maka ia bertakbiratul-ihram, kemudian terus duduk, tanpa takbir perpindahan (takbir intiqalat). Lain halnya, kalau ia mendapati imam pada ruku’, maka ia bertakbir intiqalat, sebagai takbir kedua sesudah takbiratul-ihram pada turunnya kepada ruku’. Karena yang demikian itu, adalah kepindahan yang dihitung baginya. Segala takbir intiqalat yang asli adalah dalam shalat, tidaklah karena hal-hal yang mendatang, disebabkan mengikut imam. Dan ma’mum masbuq itu, tiada memperoleh raka’at, selama tidak berthuma’ninah dalam ruku’ sebagai orang yang ruku’ dan imampun masih dalam keadaan orang yang ruku’. Kalau ia belum menyempurnakan thuma’ninahnya, kecuali sesudah imam keluar dari batas orang yang ruku’, maka dalam keadaan demikian ma’mum masbuq tadi, tidak mendapat raka’at itu.


Masalah  Enam:

Siapa yang luput shalat Dhuhur sampai waktu ‘Ashar, maka hendaklah ia mengerjakan shalat dhuhur dahulu, kemudian baru mengerjakan ‘Ashar.

Kalau ia memulai dengan ‘Ashar, memadai juga, tetapi telah meninggalkan yang lebih utama dan menjerumuskan diri ke dalam persoalan yang diperselisihkan. Kalau ia mendapati imam, maka hendaklah mengerjakan shalat ‘Ashar, kemudian barulah ia mengerjakan shalat Dhuhur sesudahnya. Karena berjama’ah dengan shalat ada’ (shalat dalam waktunya), adalah lebih utama. Kalau ia bershalat sendirian pada awal waktu, kemudian ia mendapati shalat jama’ah, maka bershalatlah lagi dalam jama’ah dan meniatkan shalat waktu itu. Allah Ta’ala akan menghitung mana yang dikehendaki ALLAH. Kalau ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau meniatkan shalat sunnat, maka bolehlah yang demikian. Kalau ia telah bershalat jama’ah, kemudian memperoleh lagi jama’ah lain, maka hendaklah ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat qodo’) atau shalat sunnat. Karena mengulangi shalat yang sudah dilaksanakan dengan jama’ah, sekali lagi, tak ada alasan baginya. Cara berbuat demikian, adalah untuk memperoleh keutamaan berjama’ah semata-mata.
Masalah:
Siapa yang telah shalat, kemudian melihat pada kainnya najis, maka yang lebih disukai ialah mengerjakan shalat itu kembali dan tidak wajib. Kalau ia melihat najis itu sedang shalat, maka hendaklah dilemparkannya kain itu dan diteruskannya shalat. Dan yang lebih disukai, ialah mengulangi shalat itu kembali. Pokok pemahaman ini, ialah ceritera penanggalan dua alas kaki Nabi saw, ketika diterangkan oleh Jibril as kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu ada najis. Nabi saw tidak mengulangi shalatnya.

Masalah  Tujuh:

Siapa yang meninggalkan tasyahhud pertama atau qunut atau selawat kepada Nabi saw

Pada tasyahhud pertama atau berbuat suatu perbuatan karena lupa dan kalau disengaja, shalat menjadi batal, atau ia ragu, lalu tidak diketahuinya, apakah ia telah shalat tiga raka’at atau empat raka’at, maka dalam hal ini, diambil yang yakin dan sujud dua sujud sahwi (sujud karena kelupaan), sebelum salam. Kalau lupa, lalu sesudah salam, manakala ia teringat dalam waktu berdekatan. Maka jikalau ia sujud sahwi sesudah salam dan sesudah berhadats, maka batallah shalatnya. Karena tatkala ia masuk ke dalam sujud, adalah seolah-olah ia menjadikan salamnya itu terlupa, tidak pada tempatnya. Maka tidaklah berhasil tahallul (menjadi halal apa yang dilarang dengan shalat) dengan salam itu. Dan ia telah kembali kepada shalat. Dari itulah, diulangi salam sesudah sujud sahwi. Kalau ia teringat kepada sujud sahwi setelah keluar dari masjid atau setelah lama masanya, maka luputlah waktu untuk sujud sahwi itu.


Masalah  Lapan:

Was-was (bimbang hati) pada niat shalat, adalah disebabkan oleh kelemahan pikiran atau kebodohan tentang agama.

Karena menuruti perintah Allah Ta’ala, adalah seperti menuruti perintah selain ALLAH. Dan mengagungkan ALLAH adalah seperti mengagungkan selain ALLAH, tentang kasad di hati. Siapa yang datang kepadanya seorang ulama, lalu ia berdiri menghormatinya, maka kalau ia mengatakan: “Aku meniatkan berdiri, untuk menghormati kedatangan pak Zaid yang mulia, karena kemuliaannya, menyambut kedatangannya, dengan menghadapkan wajahku kepadanya”, maka perkataan itu, menunjukkan kepada kebodohan. Tetapi sebegitu melihatnya dan mengetahui kelebihannya, terus timbul pendorong untuk menghormatinya. Lalu pendorong itu membawa ia berdiri dan memuliakannya. Kecuali ia berdiri karena urusan lain atau dalam kealpaan. Pensyaratan adanya shalat itu Dhuhur, dalam waktu dan fardlu, dalam keadaannya, menuruti perintah Allah, adalah seperti pensyaratan adanya berdiri yang disertai dengan masuk, serta menghadapkan muka kepada orang yang masuk itu dan tanpa penggerak lainnya, selain yang tersebut dan maksud penghormatan dengan demikian, adalah supaya menjadi penghormatan. Karena kalau ia berdiri membelakangi orang yang mau dihormati atau ia bersabar dahulu, kemudian sesudah sejenak, baru ia bangun berdiri, maka tidaklah itu penghormatan namanya. Kemudian, sifat-sifat tersebut, harus ada, harus dimaklumi dan dimaksudkan. Kemudian tidak lama datangnya pada hati dalam satu detik. Yang lama, hanyalah menyusun kata-kata yang menunjukkan kepada sifat-sifat itu. Adakalanya diucapkan dengan lisan dan adakalanya dipikirkan dengan hati. Siapa yang tidak memahami niat shalat secara ini, adalah seolah-olah ia tiada memahami niat. Sehingga tiada padanya selain daripada anda dipanggil supaya mengerjakan shalat pada suatu waktu, lalu anda terima panggilan itu dan anda tegak berdiri. Was-was itu, adalah semata-mata kebodohan. Segala maksud dan pengetahuan itu, berkumpul dalam hati pada suatu keadaan. Dan tidaklah berpisah-pisah satu dengan lainnya di dalam hati, dari segi dilihat dan diperhatikan semuanya itu oleh hati. Berbeda antara kehadiran sesuatu dalam hati dan perinciannya dengan pemikiran. Kehadiran adalah berlawanan dengan keghaiban dan kealpaan, meskipun tidak diperincikan.

 Siapa yang mengetahui suatu kejadian, umpamanya, maka ia mengetahuinya dengan suatu pengetahuan dalam suatu keadaan. Pengetahuan itu mengandung beberapa pengetahuan yang mendatang, walaupun tiada diperincikan. Siapa yang mengetahui suatu kejadian, sesungguhnya ia telah mengetahui: yang ada (maujud), yang tiada (ma’dum), yang dahulu, yang kemudian dan waktu. Dan yang dahulu itu, adalah untuk tiada dan kemudian itu, adalah untuk ada. Segala pengetahuan tadi, tersimpul di bawah pengetahuan dengan suatu kejadian itu, dengan dalil bahwa orang itu mengetahui kejadian itu, apabila ia tiada mengetahui yang lain. Kalau umpamanya ditanyakan kepadanya: “Adakah anda mengetahui yang dahulu saja atau yang kemudian atau tiada atau terdahulu tiada atau terkemudian ada atau waktu yang terbagi kepada yang  dahulu dan yang terkemudian?”, lalu ia menjawab: “Aku tiada mengetahuinya sekali-kali”, maka adalah dia itu pembohong. Dan perkataannya itu bertentangan dengan perkataannya: “Aku mengetahui kejadian itu”. Dari kebodohan dengan pengertian yang halus ini, melonjaklah ke-waswas-an itu. Orang yang waswas itu, memberatkan dirinya untuk menghadirkan ke dalam hatinya, pengertian ke Dhuhuran, dalam waktu (adaa’) dan fardlu, dalam suatu keadaan yang terperinci dengan kata-kata yang dibacanya. Yang demikian itu, adalah mustahil! Kalau ia memberatkan dirinya yang demikian, mengenai bangunnya untuk menghormati seorang ahli ilmu, niscaya amat sukarlah baginya. Dengan pengetahuan tersebut, tertolaklah waswas itu. Yaitu, ia mengetahui bahwa menuruti perintah Allah Ta’ala dalam niat, adalah seperti menuruti perintah selain ALLAH. Kemudian, aku tambahkan untuk lebih memudahkan dan menjelaskan, bahwa kalau orang yang waswas itu tidak memahami niat, kecuali dengan menghadirkan segala keadaan itu dengan terperinci dan tidak tergambar dalam hatinya dengan sekaligus, mengikuti perintah Allah dan ia menghadirkaan secara keseluruhan yang demikian itu, waktu sedang bertakbir, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya, dimana ia tiada selesai daripada takbir itu, melainkan telah berhasillah niat tadi, niscaya memadailah yang demikian. Kita tidak memberatkan orang yang waswas itu, bahwa menyertakan semua tadi, dengan awal takbir atau dengan akhir takbir. Karena yang demikian adalah amat memberatkan. Dan kalau itu disuruh, tentu telah menimbulkan pertanyaan bagi orang-orang dahulu. Dan tentulah mendatangkan waswas bagi seseorang daripada shahabat tentang niat. Maka tidak terjadinya yang demikian itu, adalah menjadi dalil bahwa hal itu dipermudahkan (tidak dipersulitkan). Maka bagaimanakah niat itu menjadi mudah bagi orang waswas, selayaknyalah dicukupkan dengan itu. Sehingga ia terbiasa yang demikian dan ia terpisah daripada sifat waswas. Dan tidak memaksakan dirinya dengan meyakinkan yang demikian itu. Karena untuk meyakinkan itu, menambahkan kewaswasan. Telah kami sebutkan dalam “Al-Fatawa”, cara-cara yang meyakinkan, untuk mendatangkan keyakinan bagi segala pengetahuan dan maksud-maksud yang berhubungan dengan niat, di mana para ulama memerlukan untuk mengetahuinya. Adapun orang awwam, mungkin membawa kemelaratan mendengarnya dan membangkitkan was-was kepada mereka. Dari itu, kami tinggalkan menerangkannya!.

Masalah  Sembilan:

Seyogyalah ma’mum tidak mendahului imam pada ruku’, sujud, pada bangkit daripada keduanya dan pada perbuatan-perbuatan yang lain.

Dan tidak seyogyalah ma’mum menyamai imam, tetapi hendaklah ia mengikuti imam dan menuruti di belakangnya. Inilah, arti mengikuti imam. Kalau ma’mum itu menyamai imam dengan sengaja, tidaklah batal shalatnya, sebagaimana kalau ma’mum itu berdiri di samping imam, tidak terbelakang daripada iman. Kalau ma’mum itu mendahului imam, maka mengenai batal shalatnya terdapat perbedaan paham diantara para ulama. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran, kalau dihukum dengan batalnya. Karena diserupakan dengan: kalau ma’mum itu, lebih  ke muka tempat berdirinya daripada imam. Bahkan ini lebih utama lagi, karena berjama’ah ialah mengikuti imam pada perbuatan, bukan pada tempat berdiri. Maka mengikuti pada perbuatan itu, adalah lebih penting!. Disyaratkan, tidak ke muka pada tempat berdiri, adalah untuk memudahkan bagi ma’mum mengikuti perbuatan imam dan untuk memperoleh bentuk mengikuti itu. Karena selayaknyalah bagi yang diikut, mendahului daripada yang mengikut. Tak adalah cara bagi ma’mum mendahului perbuatan imam, kecuali ia terlupa. Karena itulah Rasulullah saw sangat menantangnya, dengan sabdanya: “Apakah tidak takut orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam, bahwa diputar oleh Allah kepalanya itu, menjadi kepala keledai?”. Adapun terkemudian daripada imam dengan satu rukun, tidaklah membatalkan shalat. Yang demikian itu, umpamanya: imam i’tidal dari ruku’, sedang ma’mum belum lagi ruku’. Tetapi terkemudian sampai batas ini adalah makruh. Kalau imam telah meletakkan dahinya ke lantai, sedang ma’mum belum lagi sampai kepada batas ruku’, niscaya batallah shalat ma’mum itu. Begitu pula kalau imam telah meletakkan dahinya untuk sujud kedua, sedang ma’mum belum lagi sujud pertama.




Masalah  Sepuluh:

Berhaklah orang yang menghadiri shalat, apabila melihat orang lain berbuat salah pada shalatnya, menegur dengan memperbaiki dan menantang.

 Kalau kesalahan itu timbul pada orang  bodoh, maka hendaklah orang bodoh itu dikawani dan diajari. Diantara yang tersebut itu, ialah menyuruh menyamakan shaf, melarang sendirian berdiri di luar shaf dan menegur orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam dan lain-lain sebagainya. Bersabda Nabi saw: “Neraka wailun bagi orang berilmu, daripada orang bodoh, yang tidak diajarinya”. Berkata Ibnu Mas’ud ra: “Siapa yang melihat orang berbuat salah dalam shalatnya dan tidak ditegurnya, maka dia adalah sekutu orang itu dalam kedosaan”. Dari Bilal bin Sa’ad, bahwa ia berkata: “Kesalahan apabila disembunyikan, maka tidak mendatangkan melarat, kecuali atas orang yang berbuat kesalahan itu. Apabila kesalahan itu telah lahir dan tidak diadakan perobahan, maka adalah memberi melarat kepada orang awwam”. Pada hadits tersebut: “Bahwa Bilal meratakan shaf-shaf shalat dan memukul ujung betis mereka dengan cambuk”. Dari Umar ra, bahwa ia berkata: periksalah saudara-saudaramu yang tidak hadir pada shalat! Apabila kami dapati, mereka tidak menghadiri shalat, kalau mereka sakit, maka hendaklah kamu kunjungi mereka. Dan kalau mereka sehat, maka hendakah kamu menentang mereka. Menentang itu ialah, membantah tehadap orang yang meninggalkan jama’ah. Tidak layaklah mempermudah-mudahkan shalat jama’ah. Orang-orang dahulu, bersangatan benar padanya, sampai sebahagian mereka membawa jenazah  kepada sebahagian orang yang meninggalkan shalat jama’ah, sebagai pertanda bahwa orang matilah yang meninggalkan jama’ah. Tidak orang yang hidup. Siapa yang masuk masjid, hendaklah menuju kebahagian kanan shaf. Dari itulah, berdesak-desak manusia kejurusan itu pada masa Rasulullah saw, sampai orang mengatakan kepada Nabi saw: Telah kosonglah bahagian kiri shaf. Maka menjawab Nabi saw: “Siapa yang meramaikan bahagian kiri masjid, adalah baginya 2 kali pahala”. Manakala dijumpai seorang budak dalam shaf dan ia sendiri tidak memperoleh tempat, maka bolehlah ia mengeluarkan budak itu ke shaf belakang dan ia masuk ke tempat tadi. Ini maksudnya, kalau budak itu belum dewasa. Inilah yang kami maksudkan menyebutnya mengenai masalah-masalah yang meratai bencananya! Dan akan datang hukum beberapa shalat yang bercerai-berai dalam “Kitab Wirid”. Insya Allah Ta’ala!.

Tiada ulasan: