Catatan Popular

Isnin, 11 Januari 2016

KITAB RAHSIA SHALAT IHYA ULUMUDDIN BAB 4 : MENGIKUTI IMAM SHALAT



Tentang ke-imam-man dan mengikuti imam. Mengenai rukun shalat, sesudah salam dan atas imam ada tugas-tugas sebelum shalat dan pada pembacaan:

Adapun tugas-tugas sebelum shalat, ada  6 Fasal

FASAL Pertama: bahwa tidaklah seorang itu tampil menjadi imam, kepada orang banyak yang tidak suka kepadanya.

Kalau orang banyak itu tidak sekata, maka yang dilihat, ialah yang terbanyak. Dan kalau golongan yang sedikit, terdiri dari orang-orang baik dan beragama, maka memandang kepada pendapat mereka adalah lebih utama. Pada hadits tersebut: “Tiga golongan tidak dilampaui oleh shalatnya akan kepalanya: budak yang lari dari tuannya, isteri yang dimarahi suaminya dan imam yang mengimami suatu kaum, dimana kaum itu tiada suka kepadanya”. Sebagaimana dilarang tampil menjadi imam. Karena tidak disukai orang banyak, maka seperti itu pula dilarang tampil menjadi imam, bila ada di belakangnya orang yang lebih ahli fiqih, daripadanya. Kecuali apabila orang yang lebih utama daripadanya itu, menolak. Maka bolehlah ia tampil menjadi imam. Kalau tidak ada sesuatu daripada yang tersebut itu, maka hendaklah ia tampil, manakala telah meyakini dan mengetahui pada dirinya, terdapat syarat-syarat menjadi imam. Dan dimakruhkan ketika itu menolak. Sesungguhnya dikatakan, bahwa ada suatu kaum yang tolak-menolak menjadi imam sesudah selesai qamat dari shalat, maka terjadilah kekeruhan diantara mereka. Dan apa yang diriwayatkan, tentang tolak-menolaknya menjadi imam diantara para shahabat ra, sebabnya ialah, karena pilihan mereka akan orang yang dilihatnya lebih utama untuk itu. Atau karena kekuatiran mereka kepada dirinya akan kealpaan dan beratnya tanggungan shalat para ma’mum. Karena imam itu adalah penanggung. Dan siapa yang tiada membiasakan dirinya menjadi imam, kadang-kadang hatinya bimbang dan keikhlasannya kacau di dalam shalat, karena malu kepada para pengikut (ma’mum). Lebih-lebih waktu membaca bacaan dengan suara keras. Dari itu terdapatlah beberapa sebab, bagi orang yang menjaga diri daripada yang demikian itu.

FASAL Kedua:  apabila seseorang disuruh pilih antara melakukan adzan dan menjadi imam, maka wajarlah dipilih menjadi imam.

 Masing-masing dari yang dua ini, mempunyai kelebihan. Tetapi mengumpulkan keduanya pada satu orang, adalah makruh. Dari itu, seyogyalah bahwa imam itu, tidak muadzin (orang yang melakukan adzan). Dan apabila sukar dikumpulkan itu, maka yang lebih utama, ialah menjadi imam. Berkata segolongan ulama, bahwa adzan adalah lebih utama. Karena apa yang kami nukilkan dahulu tentang keutamaan adzan dan karena sabda Nabi saw: “Imam itu penanggung dan muadzin itu yang diterima kepercayaannya (dipegang amanahnya)”. Lalu mereka mengatakan, sulitnya tanggung jawab di dalam shalat. Bersabda Nabi saw: “Imam itu adalah orang kepercayaan. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah kamu dan apabila ia sujud, maka sujudlah kamu!”. Pada hadits, tersebut: “Kalau imam itu menyempurnakan dengan baik, maka kesempurnaan itu adalah bagi imam dan para ma’mum. Dan kalau kurang, maka kekurangan itu adalah atas imam dan tidak atas para ma’mum”. Dan karena Nabi saw berdo’a: “Ya Allah, ya Tuhanku! Berilah petunjuk kepada imam-imam shalat dan ampunilah orang-orang yang melakukan adzan”. Ampunan adalah lebih utama dicari, karena petunjuk itu dimaksudkan untuk memperoleh ampunan. Dalam hadits tersebut: “Barangsiapa menjadi imam pada suatu masjid 7 tahun, niscaya wajiblah baginya sorga, tanpa hisab (tanpa dihitung amalannya). Dan barangsiapa melakukan adzan 40 tahun, niscaya ia masuk sorga, tanpa hisab”. Karena itu, dinukilkan dari para shahabat ra, bahwa mereka tolak menolak menjadi imam. Dan pendapat yang lebih kuat, adalah menjadi imam itu lebih utama, karena Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan para imam sesudahnya, membiasakan diri menjadi imam dalam shalat. Ya, benar pada menjadi imam itu, terdapat bahaya tanggung jawab. Dan kelebihan itu, adalah serta bahaya itu, sebagaimana pangkat jabatan amir dan khalifah, adalah lebih utama, karena sabda Nabi saw: “Sesungguhnya sehari bagi seorang sultan (penguasa) yang adil, adalah lebih utama daripada ibadahnya 70 tahun”. Tetapi pada jabatan-jabatan tersebut itu, ada bahayanya.

Dari itu, wajiblah didahulukan orang yang lebih utama dan lebih banyak ilmu fiqihnya. Bersabda Nabi saw: “Imam-imammu itu, adalah orang-orang yang memberi syafa’at kepadamu”. Atau menurut riwayat yang lain, Nabi saw bersabda: “Adalah utusanmu kepada Allah”. kalau kamu bermaksud membersihkan shalatmu, maka dahulukanlah orang-orang yang baik daripada kamu, menjadi imam”. Berkata setengah salaf: “Tiadalah sesudah nabi-nabi, yang lebih utama daripada ulama. Dan tidalah sesudah para ulama, yang lebih utama daripada imam-imam shalat. Karena mereka adalah berdiri, diantara hadirat Allah ‘Azza wa jalla dan makhluk ALLAH. Yang ini, dengan “kenabian”, yang ini, dengan “keilmuan” dan yang ini, dengan “tiang agama”, yaitu: shalat”. Dengan alasan inilah, para shahabat mengambil dalil, mendahulukan Abu Bakar Shiddiq ra untuk memegang jabatan khalifaah, karena mereka menyatakan: “Kami memandang, bahwa shalat itu adalah tiang agama. Maka kami pilihlah untuk urusan duniawi kami, orang yang telah direlai Nabi saw untuk urusan agama kami”. Dan tidak mereka mendahulukan Bilal, beralasan bahwa Bilal itu telah direlai Nabi saw untuk adzan. Dan apa yang diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki meminta kepada Nabi saw: “Ya Rasulullah! Tunjukilah aku kepada amal, yang dapat kiranya aku memperoleh sorga!”. Maka menjawab Nabi saw: “Hendaklah kamu menjadi muadzin!”. Menjawab orang itu: “Aku tidak sanggup menjadi muadzin”. Menyambung Nabi saw: “Hendaklah kamu menjadi imam!”. Menyahut orang itu lagi: “Aku tidak sanggup menjadi imam!”. Lalu bersabda Nabi saw: “Bershalatlah di belakang imam!”. Mungkin orang laki-laki tersebut menyangka, bahwa Nabi saw tidak merelai ke-imam-mannya. Karena adzan itu adalah kepadanya dan keimaman itu adalah kepada orang banyak dan orang banyak itu mendahulukannya. Kemudian, mungkin laki-laki itu menyangka, bahwa ia menyanggupi menjadi imam.


FASAL Ketiga:  bahwa imam itu menjaga segala waktu shalat.

 Maka bershalatlah ia pada awal waktunya, supaya memperoleh kerelaan Allah Ta’ala. “Maka keutamaan awal waktu, dari akhir waktu, adalah seperti keutamaan akhirat, dari dunia”, demikian diriwayatkan dari Rasulullah saw”. Pada hadits tersebut: “Bahwa hamba itu untuk mengerjakan shalat pada akhir waktunya dan tidak sampai terluput daripadanya, meskipun telah terluput dari awal waktunya, adalah lebih baik baginya daripada dunia dan isinya”. Dan tidak seyogyalah, mengemudiankan shalat, untuk menunggu banyaknya orang berjama’ah. Tetapi haruslah menyegerakan shalat untuk memperoleh kelebihan awal waktu. Maka kelebihan awal waktu itu, adalah lebih utama daripada banyaknya jama’ah dan panjangnya surat yang dibaca. Ada yang mengatakan, bahwa mereka apabila telah hadir dua orang pada shalat jama’ah, mereka tiada menunggu orang ketiga. Dan apabila telah hadir empat orang pada shalat janazah (shalat atas orang meninggal), mereka tiada menunggu orang kelima. Nabi saw telah terlambat dari shalat Shubuh, dimana Nabi saw dan para shahabatnya dalam suatu perjalanan jauh. Sesungguhnya Nabi saw terlambat itu, adalah karena bersuci, lalu beliau tidak ditunggu. Dan ditampilkan ke depan Abdur Rahman bin ‘Auf, lalu bershalat bersama mereka, sehingga luputlah seraka’at bagi Nabi saw maka bangunlah beliau mengerjakannya. Abdur Rahman bin ‘Auf berkata: “Restuilah kami dari yang demikian”. Maka Nabi saw menjawab: “Kamu sudah bagus seperti itu, maka buatlah terus!”. Dan Nabi saw terlambat pada shalat Dhuhur, lalu mereka menampilkan Abu Bakar ra menjadi imam. Ketika Rasulullah saw datang dan Abu Bakar dalam shalat, lalu Nabi saw berdiri di sampingnya”. Dan tidaklah atas imam itu menunggu muadzin. Tetapi muadzin harus menunggu imam, untuk melakukan qamat. Apabila imam itu telah datang, maka tidaklah muadzin itu menunggu orang lain.


FASAL Keempat:  bahwa menjadi imam itu adalah semata-mata ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla dan menunaikan amanah Allah Ta’ala, mengenai suci dan seluruh syarat-syarat shalatnya.

Adapun ikhlas, yaitu tidak mengambil upah atas pekerjaannya menjadi imam. Rasulullah saw menyuruh Usman bin Abil-‘Ash Ats-Tsaqafi, dengan mengatakan: ”Ambillah seorang muadzin, yang tidak mengambil upah atas adzannya”. Adzan adalah jalan kepada shalat. Maka shalat itu lebih utama lagi tidak diambil upah. Kalau upah ittu diambil dari masjid sebagai penghidupan, dari harta yang telah diwakafkan untuk orang yang ditugaskan menjadi imam di masjid itu atau dari sultan atau dari seseorang manusia, maka tidaklah dihukumkan haramnya. Tetapi adalah makruh hukumnya. Kemakruhan pada shalat fardlu adalah melebihi dari kemakruhan pada shalat tarawih. Upah itu adalah berdasarkan atas tetapnya mengunjungi tempat shalat dan mengurus kepentingan masjid, tentang mendirikan shalat jama’ah. Dan tidaklah upah itu karena shalat itu sendiri. Adapun amanah, ialah kesucian bathin dari fasiq, dosa besar dan berkekalan berbuat dosa kecil. Maka orang yang dicalonkan untuk menjadi imam, seyogyalah menjaga diri dari perbuatan yang tersebut, dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Karena imam itu adalah seperti utusan dan pembawa syafa’at kepada orang banyak. Maka sepantasnyalah, dia orang yang terbaik daripada golongannya. Demikian pula, suci dhahir daripada hadats dan najis, karena tidak ada yang memandangnya, selain ia sendiri kalau ia teringat kepada hadats, pada waktu sedang shalat atau keluar daripadanya angin, maka tidaklah wajar ia merasa malu. Tetapi diambilnyalah tangan orang yang berada dekatnya dan orang itu menggantikannya selaku imam. Sesungguhnya, Rasulullah teringat akan hadats besar/janabah waktu sedang shalat, lalu beliau gantikan orang lain menjadi imam dan beliau pergi mandi. Kemudian kembali lagi dan masuk dalam shalat. Berkata Sufyan: “Bershalatlah di belakang tiap-tiap orang yang baik dan orang yang alim. Bukan orang yang peminum khamer atau berterang-terangan berbuat fasiq atau mendurhakai ibu bapak atau pembuat bid’ah atau budak yang melarikan diri daripada tuannya”.


FASAL Kelima: bahwa imam itu tiada bertakbir, sebelum shaf/barisan shalat itu lurus. Maka hendaklah ia berpaling ke kanan dan ke kiri.

 Kalau dilihatnya ada yang belum beres, maka disuruhnya supaya dibereskan dengan meluruskan shaf. Ada yang mengata kan, bahwa mereka membuat setentang dengan bahu-bahu dan merapatkan diantara tumit-tumit. Dan imam itu tidak bertakbir sebelum selesai muadzin daripada qamat. Dan muadzin itu mengemudiankan qamat daripada adzan, sekedar selesai persiapan orang yang banyak untuk shalat. Pada hadits tersebut: “Hendaklah muadzin itu berhenti diantara adzan dan qamat, sekedar selesailah orang makan dari makanannya dan orang membuag air dari hajatnya”. Yang demikian itu, adalah karena Nabi saw melarang daripada menolak dua keadaan yang tidak disukai (lapar dan membuang air) dan menyuruh dengan mendahulukan makan malam daripada shalat ‘Isya, karena mencari keselesaian hati daripada segala gangguan.


FASAL Keenam: bahwa imam itu meninggikan suaranya dengan takbiratul ihram dan takbir-takbir yang lain.

Dan ma’mum itu, tidak meninggikan suaranya, selain sekedar didengar oleh dirinya sendiri. Dan imam itu meniatkan menjadi imam, supaya memperoleh pahala. Kalau tidak diniatkannya, maka shalatnya dan shalat ma’mumnya syah, apabila para ma’mum itu meniatkan mengikut imam. Dan mereka memperoleh pahala berjama’ah, sedang imam itu tiada memperoleh pahala menjadi imam. Dan hendaklah ma’mum itu mengemudiankan takbirnya daripada takbir imam. Yaitu dimulainya bertakbir sesudah selesai imam dari pada takbir. Wallahu ‘alam! Allah Yang Maha Tahu!.

Adapun tugas pembacaan di dalam shalat ada tiga bahagian:

Bahagian Pertama: membaca dengan suara yang dapat di dengar olehnya sendiri (secara sirr), do’a iftitah dan ta’awudz (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk), seperti orang yang bershalat sendirian. Dan membaca dengan suara keras al-fatihah dan surat sesudahnya pada semua shalat Shubuh dan dua raka’at pertama ‘Isya dan Maghrib. Dan begitu pula bagi orang yang bershalat sendirian. Dan mengeraskan bacaan “amin” pada shalat jahriyah (shalat yang dikeraskan suara bacaannya, yaitu Shubuh, Maghrib dan ‘Isya) dan begitupula ma’mum. Dan ma’mum itu menyertakan bacaan aminnya bersama dengan amin imam, tidak beriring-iringan. Dan mengeraskan bacaan “Bismillaahir rahmaanir-rahiim”. Dan mengenai ini, terdapatlah beberapa hadits yang bertentangan satu dengan lainnya. Tetapi Asy Syafi’i ra memilih dengan jahar/suara keras.

Bahagian Kedua: bahwa imam pada tegaknya itu ada tiga kali diam. Begitulah di riwayatkan oleh Samurah bin Jundub dan Imran bin Al-Husain daripada Rasulullah saw diam yang pertama, yaitu apabila telah bertakbiratul-ihram. Dan diam inilah yang terpanjang daripadanya, sekedar dapat dibaca oleh orang yang di belakang imam akan surat al-fatihah. Yaitu, waktu imam membaca do’a iftitah. Dan kalau imam itu tidak diam, maka luputlah bagi ma’mum mendengar bacaan imam dan imamlah yang menanggung akan kekurangan yang terdapat pada shalat ma’mum. Kalau ma’mum itu tiada membaca Fateha pada waktu imam diam dan menghabiskan waktunya dengan yang lain, maka resikonya adalah tanggungan mereka sendiri, tidak tanggungan imam. Diam yang kedua, yaitu: apabila selesai daripada membaca al-fatihah, gunanya supaya disempurnakan oleh orang yang membaca al-fatihah pada diam yang pertama tadi, akan al-fatihahnya. Dan lamanya, ialah setengah daripada diam yang pertama diatas. Dan diam yang ketiga, yaitu apabila telah selesai daripada membaca surat, sebelum ia ruku’. Diam inilah yang tercepat, yaitu: sekedar terpisahlah bacaan dari takbir untuk ruku’. Dan Nabi saw  melarang disambung padanya. Dan ma’mum tidak membaca di belakang imam, selain daripada al-fatihah. Kalau imam itu tiada diam, maka ma’mum membaca al-fatihah bersama imam. Dan yang teledor dalam hal ini, ialah imam. Kalau ma’mum itu tiada mendengar bacaan imam pada shalat jahriyah, karena jauh atau pada shalat sirriyah, maka tiada mengapa ma’mum itu membaca surat.

Bahagian Ketiga: bahwa imam itu membaca pada shalat Shubuh, dua surat yang panjang yang kurang dari 100 ayat panjangnya. Karena memanjangkan bacaan shalat Fajar/Shubuh dan gelap padanya adalah sunnat dan bila tidak mendatangkan melarat kepadanya, oleh perjalanan jauh. Dan tiada mengapa membaca pada rakaat kedua, penghabisan surat, kira-kira 30 atau 20 ayat lagi, sampai pada kesudahan ayat itu. Karena yang demikian, tiadalah banyak berulang-ulang pada pendengaran, sehingga lebih mendalam untuk pengajaran dan lebih membawa kepada pemikiran. Hanya sebagian ulama, memandang makruh membaca sebagian permulaan surat dan memotong pembacaan itu. Dan diriwayatkan bahwa Nabi saw “Membaca sebagian surat Yunus. Maka tatkala sampai kepada penyebut Musa dan Fir’aun, lalu Nabi memutuskannya dan terus ruku’”. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw membaca pada shalat Shubuh suatu ayat dari surat Al-baqarah yaitu firman ALLAH: “Katakan! Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. S 2 Al Baqarah ayat 136. Pada rakaat kedua: “Wahai Tuhan kami! Kami mempercayai apa yang engkau turunkan”. S 3 Ali ‘Imran ayat 53. Nabi saw mendengar Bilal membaca, dengan memetik dari sana sini, lalu bertanya dari yang demikian itu. Maka Bilal menjawab: “Aku mencampurkan yang baik dengan yang baik”. Maka sahut Nabi saw: “Bagus, baik sekali!”. Nabi saw membaca pada shalat Dhuhur, surat yang panjang ayat-ayatnya, sampai 30 ayat. Dan pada Ashar, setengah dari itu. Dan pada Maghrib, membaca akhir dari surat-surat yang panjang itu. Dan penghabisan shalat dikerjakan Nabi saw ialah shalat Maghrib, dimana Nabi saw membaca padanya surat Al Mursalat. Dan tidaklah Nabi saw mengerjakan shalat sesudah itu, sehingga wafatlah beliau. Kesimpulannya, meringankan shalat, adalah lebih utama, lebih-lebih apabila jama’ah itu banyak. Bersabda Nabi saw tentang keringanan ini: “Apabila bershalat seorang kamu dengan orang banyak, maka hendaklah diiringkan, karena diantara mereka ada yang lemah yang tua dan yang berkeperluan”. Dan apabila bershalat sendirian, maka dapatlah memanjangkannya sesuka hati. Adalah Mu’az bin Jabal bershalat ‘Isya dengan suatu kaum, lalu dibacanya surat Al Baqarah. Maka keluarlah seorang dari shalat dan menyempurnakan sendiri shalatnya. Kemudian, kaum itu mengatakan: “Telah munafik orang itu!”. Maka datanglah Mu’az dan laki-laki itu, mengadu pada Rasulullah saw lalu Nabi saw  marah kepada Mu’az, seraya bersabda: “Engkau berbuat fitnah, hai Mu’az! Baca sajalah surat “Sabbih”, “Wassamaa-i wath-thaariqi”, dan “Wasy-syamsi wa dluhaahaa!”.


Adapun tugas mengenai rukun-rukun, maka adalah tiga Bahagian:

Bahagian Pertama: bahwa imam itu meringankan ruku’ dan sujud. Tidak melebihkan pembacaan tasbih dari tiga kali. Diriwayatkan dari Anas, bahwa ia berkata: “Tidaklah aku melihat shalat yang lebih ringan dan sempurna daripada shalat Rasulullah saw”.  Ya benar, diriwayatkan pula bahwa Anas bin Malik tatkala mengerjakan shalat di belakang Umar bin Abdul Aziz, ketika itu Umar bin Abdul Aziz menjadi amir Madinah, mengatakan: “Belum pernah aku bershalat di belakang seseorang, yang lebih menyerupai shalatnya dengan shalat Rasulullah saw daripada pemuda ini”. Kemudian Anas meneruskan: “Kami membaca tasbih di belakangnya sepuluh-sepuluh”. Dan diriwayatkan secara tidak terperinci, bahwa para sahabat itu, berkata: “Adalah kami membaca tasbih di belakang Rasulullah saw pada ruku’ dan sujud sepuluh-sepuluh”. Adalah yang demikian itu (membaca tasbih sepuluh-sepuluh) baik, tetapi membaca tiga kali, apabila jama’ah itu banyak, adalah lebih baik. Apabila tiada hadir pada shalat jama’ah, kecuali orang-orang yang menyerahkan seluruh waktunya untuk agama, maka tidak mengapa membaca tasbih sepuluh kali. Inilah cara menghimpunkan di antara riwayat-riwayat yang berbeda-beda itu. Dan seyogyalah, imam membaca ketika mengangkatkan kepala nya dari ruku’: “Samiallaahu liman hamidah” (didengar Allah akan siapa yang memujikan ALLAH).

Bahagian Kedua: mengenai ma’mum. Seyogyalah ia tiada menyamai imam pada ruku’ dan sujud, tetapi mengemudiankan daripadanya. Maka ia tiada turun kepada sujud, kecuali apabila telah sampai dahi imam kepada tempat sujud. Begitulah para shahabat mengikuti Rasulullah saw dan tiada turun kepada ruku’, sehingga imam itu sudah lurus badannya pada ruku’. Ada yang mengatakan, bahwa manusia itu keluar dari shalat, terdiri daripada tiga kelompok: sekelompok dengan 25 shalat, yaitu: mereka yang bertakbir dan ruku’ sesudah imam; sekelompok dengan satu shalat, yaitu: mereka yang menyamai dengan imam; dan sekelompok lagi dengan tanpa shalat, yaitu: mereka yang mendahului imam. Berbeda pendapat para ulama, tentang imam di dalam ruku’, apabila ia menunggu orang yang akan masuk ke dalam shalat, supaya memperoleh keutamaan jama’ah dan mendapat raka’at itu?. Bahwa, yang lebih utama, menunggu yang demikian tadi, secara ikhlas, tiada mengapa (boleh), asal tiada tampak berlebih kurang bagi orang-orang yang datang kepada shalat itu. Sebab hak mereka, dijaga, dengan meninggalkan berpanjang-panjang yang membawa kemelaratan kepada mereka.
Bahagian Ketiga: imam itu tiada menambahkan pada do’a tasyahhud, dari sekedar tasyahhud saja, karena menjaga daripada memanjang-manjangkan. Dan tidak menentukan dirinya sendiri dengan do’a, tetapi dengan kata-kata jama’, yaitu: “Allaahum-maghfir lanaa” (Ya Allah, ya Tuhanku! Ampunilah kami!). dan tidak: “Allaahum-maghfir-lii” (Ya Allah, ya Tuhanku! Ampunilah aku!). maka dimakruhkan bagi imam, menentukan dirinya sendiri dengan do’a. Dan tiada mengapa ia meminta perlindungan pada tasyahhud, dengan lima kalimat yang diterima daripada Rasulullah saw yaitu: “Kami berlindung dengan Engkau daripada azab neraka jahannam dan daripada azab kubur. Dan kami berlindung dengan Engkau daripada fitnah hidup dan fitnah mati dan daripada fitnah dajjal penyapu. Dan apabila Engkau berkehendak mendatangkan fitnah kepada suatu kaum, maka peganglah kami kepada Engkau, sampai tidak terkena fitnah itu”. Ada yang mengatakan, dajjal itu, dinamakan ”masih” (penyapu), karena dia menyapukan bumi dengan kekuasaannya. Dan ada yang mengatakan, karena ia tersapu sebelah matanya, yakni: hilang penglihatan dari sebelah matanya.


Adapun tugas dari “tahallul” (mengeluarkan diri dari shalat), adalah tiga Bahagian:

Pertama: meniatkan dengan kedua salam itu, memberi salam kepada orang banyak dan kepada para malaikat.

Kedua:   bahwa menetap sebentar sesudah salam. Begitulah diperbuat Rasulullah saw, Abu Bakar ra dan Umar ra Lalu imam itu mengerjakan shalat sunnat pada tempat lain. Kalau di belakangnya ada kaum wanita, maka tidaklah ia bangun sampai kaum wanita itu pergi. Dalam hadits masyhur, tersebut: “Bahwa Nabi saw tiada duduk sesudah shalat, melainkan sekedar membaca: “Ya Allah, ya Tuhanku! Engkaulah keselamatan. Dan daripada Engkaulah keselamatan. Anugerahilah keberkatan, wahai Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan”.

Ketiga: Apabila telah membei salam, maka seyogyalah menghadapkan muka kepada para ma’mum. Dan dimakruhkan bagi ma’mum bangun sebelum berpaling imam. Diriwayatkan dari Thalhah dan Az-Zubair ra bahwa keduanya mengerjakan shalat di belakang seorang imam. Tatkala telah memberi salam, lalu keduanya mengatakan kepada imam itu: “Alangkah bagus dan sempurnanya shalat engkau, kecuali suatu perkara. Yaitu, tatkala engkau memberi salam, tiada memalingkan muka engkau”. Kemudian keduanya mengatakan kepada orang banyak: “Alangkah bagusnya shalat kamu, kecuali kamu terus pergi sebelum berpaling imammu!”. Kemudian sesudah selesai shalat itu, maka imam pergi ke arah mana disukainya, dari jurusan kanannya atau kirinya. Dan kananlah yang lebih baik!. Inilah tugas dari shalat-shalat itu!. Adapun shalat Shubuh, maka ditambahkan padanya bacaan Qunut. Maka imam membacakan: “Allaahummahdinaa” (Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami), dan tidak: “Allahummahdinii” (Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah aku). Dan ma’mum, membacakan amin atas do’a qunut imam. Tetapi waktu sampai kepada: “Innaka taqdlii wa laa yuqdlaa ‘alaik” (Bahwasanya Engkau yang menghukum dan tiadalah Engkau yang dihukum), maka tidak layaklah padanya dibacakan amin, karena itu adalah pujian. Dari itu, ma’mum membacakannya seperti bacaan imam atau mengucapkan: “Balaa wa ana ‘alaa dzaalika minasy syaahidiin” (Benar, bahwa aku termasuk orang-orang yang mengakui demikian itu), atau mengucapkan: “Shadaqta wa bararta” (Benar engkau dan berbuat kebajikan engkau). Dan bacaan-bacaan lain yang serupa dengan itu. Diriwayatkan suatu hadits, tentang mengangkat kedua tangan pada qunut. Apabila hadits itu benar, niscaya disunnatkanlah yang demikian. Meskipun berbeda dengan do’a-do’a yang dibacakan pada tasyahhud. Karena disitu tidak diangkatkan tangan, tetapi berpegang menurut yang diperoleh daripada Nabi saw dan diantara keduanya (do’a qunut dan do’a akhir tasyahhud), terdapat perbedaan pula. Yaitu; tangan pada tasyahhud, mempunyai tugas, yakni: diletakkan di atas kedua paha, menurut cara tertentu dan tak ada tugas bagi kedua tangan itu di sini (pada qunut). Dari itu, tiada jauh dari kebenaran, bahwa mengangkatkan kedua tangan, adalah menjadi tugas pada qunut. Karena yang demikian itu layak dengan do’a. Wallaahu A’lam! Allah Maha Tahu!. Inilah kumpulan adab mengikuti imam dan menjadi imam di dalam shalat! Kiranya Allah memberikan taufiq!.

Tiada ulasan: