Tentang
kelebihan Jum’at, adabnya, sunnatnya dan syarat-syaratnya KEUTAMAAN
JUM’AT (JUMU’AH):
Ketahuilah! Bahwa hari ini (hari Jum’at), adalah hari
besar. Dibesarkan oleh Allah agama Islam dengan sebab hari ini dan dikhususkan
ALLAH kaum muslimin dengan hari ini! Berfirman Allah Ta’ala: “Apabila ada
panggilan untuk mengerjakan shalat di hari jum’at, maka segeralah kamu
mengingati Tuhan dan tinggalkanlah jual-beli!”. S 62 Al Jumu’ah ayat 9.
Diharamkan mengurus urusan duniawi dan tiap-tiap perbuatan yang menghalangi
daripada pergi ke jum’at. Bersabda Nabi saw: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
mewajibkan atasmu shalat Jum’at pada hariku ini, pada tempatku ini”. Bersabda
Nabi saw: “Siapa yang meninggalkan Jum’at 3 X tanpa halangan, niscaya dicapkan
oleh Allah pada hatinya”. Dan pada riwayat lain, berbunyi: “Sesungguhnya ia
telah melemparkan Islam kebelakangnya”. Datang seorang laki-laki kepada Ibnu
Abbas, menanyakan tentang orang yang mati tidak menghadiri Jum’at dan shalat
jama’ah. Maka menjawab Ibnu Abbas: “Dalam neraka!”. Maka bulak-baliklah orang
itu kepada Ibnu Abbas sebulan lamanya, menanyakan yang demikian. Tetapi Ibnu
Abbas tetap menjawab: “Dalam neraka!”. Pada hadits tersebut: “Bahwa ahli dua
kitab itu (orang Yahudi dan Nasrani), diberikan kepada mereka hari Jum’at, maka
bertengkarlah mereka, lalu berpaling daripadanya. Dan diberi petunjuk kita oleh
Allah Ta’ala untuk menerima hari Jum’at itu dan dikemudiankan oleh Allah
memberi kannya kepada ummat ini dan dijadikannya menjadi hari raya bagi mereka.
Maka adalah umat ini menjadi manusia yang lebih utama didahulukan dan ahli kedua
kitab itu menjadi pengikutnya”. Dan pada hadits yang diriwayatkan Anas daripada
Nabi saw bahwa Nabi saw bersabda: “Datang kepadaku Jibril as dan pada tangannya
sebuah cermin putih, seraya berkata: “Inilah Jum’at, yang diwajibkan atas
engkau oleh Tuhan engkau, untuk menjadi hari raya bagi engkau dan ummat engkau
sesudah engkau”. Lalu aku menjawab: “Apakah yang ada untuk kami pada hari
Jum’at itu?”. Menjawab Jibril: “Engkau mempunyai waktu yang baik. Barangsiapa
berdo’a padanya kebajikan, niscaya dianugerahkan oleh Allah akan dia. Atau dia
tiada memperoleh bahagian, maka disimpankan oleh Allah baginya, yang lebih
besar. Atau berlindung ia daripada kejahatan yang telah dituliskan kepadanya,
niscaya dilindungi Allah yang lebih besar daripada kejahatan itu. Hari Jum’at
adalah penghulu segala hari pada kita. Kita bermohon kepada Allah, pada hari
akhirat, akan menjadi hari kelebihan!”. Lalu aku bertanya: “Mengapa demikian?”.
Maka menjawab Jibril as: “Sesungguhnya Tuhan engkau ‘Azza wa Jalla telah
menjadikan dalam sorga sebuah lembah yang luas, dari kesturi putih. Maka
apabila datang hari Jum’at, niscaya turunlah Ia dari sorga yang tinggi di atas
kursi ALLAH. Lalu jelaslah Ia kepada mereka, sehingga mereka memandang kepada
wajah ALLAH yang mulia”. Bersabda Nabi saw: “Sebaik-baik hari yang terbit
padanya matahari, ialah hari Jum’at.
Pada hari Jum’at, dijadikan Adam as pada hari Jum’at, ia
dimasukkan ke dalam sorga, diturunkan ke bumi, diterima tobatnya, pada hari itu
ia meninggal dan pada hari Jum’at itu, berdirinya qiamat. Adalah hari Jum’at
pada sisi Allah itu, hari kelebihan. Begitulah hari Jum’at dinamakan oleh para
malaikat di langit, yaitu: hari memandang kepada Allah Ta’ala dalam sorga”.
Pada hadits, tersebut: “Bahwa pada tiap-tiap hari Jum’at, Allah ‘Azza wa Jalla
mempunyai 600.000 orang yang dimerdekakan dari api neraka”. Pada hadits yang
diriwayatkan Anas ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Apabila selamatlah hari Jum’at
niscaya selamatlah segala hari”. Bersabda Nabi saw: “Bahwa neraka Jahim itu
menggelegak pada tiap-tiap hari sebelum tergelincir matahari pada tengah hari
di puncak langit. Maka janganlah kamu mengerjakan shalat pada saat itu, selain
hari Jum’at. Maka hari Jum’at itu, adalah shalat seluruhnya dan neraka Jahannam
tiada menggelegak padanya”. Berkata Ka’ab: “Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
melebihkan Makkah dari segala negeri, Ramadhan dari segala bulan, Jum’at dari
segala hari dan Lailatul-qadar dari segala malam. Dan dikatakan bahwa burung
dan hewan yang berjumpa satu sama lain pada hari Jum’at mengucapkan: “Selamat,
selamat, hari yang baik!”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang meninggal pada hari
Jum’at atau malamnya, niscaya dituliskan oleh Allah baginya, pahala syahid dan
dipeliharakan oleh Allah daripada fitnah kubur”.
FASAL 1 PENJELASAN Syarat-syarat Jumu’at.
Ketahuilah! Bahwa shalat Jumu’at itu, menyamai dengan segala shalat yang lain, tentang
syarat-syaratnya.
Dan
berbeda Shalat Junu’at dari shalat-shalat yang lain itu,
dengan 6 macam syarat:
Pertama: waktu. Maka kalau jatuhlah salam imam
pada waktu ‘Ashar, niscaya luputlah Jum’at. Dan haruslah menyempur nakan Jum’at
itu, menjadi Dhuhur dengan 4 raka’at. Dan orang masbuq (orang yang terkemudian
masuknya ke dalam shalat Jum’at) apabila jatuh pada raka’atnya yang terakhir,
di luar waktu, maka terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.
Kedua: tempat. Maka tidak syah shalat Jum’at di
padang pasir sahara, di tanah-tanah tandus yang tak berpenghuni dan diantara
kemah-kemah. Tetapi haruslah pada tempat yang terdapat padanya rumah-rumah,
yang tidak dipindahkan, yang mengumpulkan sejumlah 40 orang, yang wajib
bershalat jum’at. Dan kampung adalah seperti negeri. Dan tidak disyaratkan akan
kedatangan dan keizinan sultan (penguasa) pada shalat Jum’at itu. Tetapi adalah
lebih baik dengan keizinannya.
Ketiga: bilangan. Maka tidak
syah Jum’at dengan bilangan yang kurang daripada 40 orang laki-laki, mukallaf
(yang telah dipikulkan kewajiban agama, tegasnya: yang telah baligh dan
berakal), yang merdeka dan yang bertempat tinggal, dimana mereka tiada
berpindah pada musim dingin dan musim panas dari tempat tersebut. Jikalau
mereka meninggalkan tempat shalat, sehingga kuranglah bilangan itu, baik waktu
sedang khutbah atau di dalam shalat, maka tidaklah syah Jum’at itu. Tetapi,
haruslah bilangan tersebut dari permulaan sampai kepada penghabisan shalat.
Keempat: jama’ah. Kalau
bershalat orang yang 40 itu, di kampung atau di negeri dengan berpisah-pisah,
niscaya tidak syah Jum’at mereka. Tapi bagi orang masbuq, apabila mendapati
raka’at kedua, maka bolehlah ia bershalat sendirian pada raka’atnya yang kedua.
Dan kalau orang masbuq itu tiada mendapat ruku’ raka’at kedua, maka ia mengikut
imam serta meniatkan shalat Dhuhur. Dan apabila imam memberi salam, maka ia
menyempurnakan shalat Dhuhurnya.
Kelima: bahwa tidaklah Jum’at itu, didahului oleh shalat Jum’at
yang lain dalam negeri itu. Maka kalau sukar berkumpul pada satu tempat shalat
Jum’at, niscaya bolehlah pada dua, tiga dan empat, menurut yang diperlukan. Dan
jikalau tidak perlu, maka yang syah ialah shalat Jum’at, yang pertama-tama
takbiratul-ihramnya. Apabila ternyata perlunya lebih dari satu Jum’at, maka yang lebih utama, ialah shalat
di belakang yang lebih utama daripada dua imam, yang mengimami shalat Jum’at
itu. Kalau keduanya sama, maka masjid yang lebih lama, yang lebih utama. Kalau
keduanya sama juga, maka yang lebih dekat. Dan mengenai banyaknya orang, juga
mempunyai keutamaan yang harus diperhatikan.
Keenam: dua khutbah. Kedua khutbah
itu, adalah fardlu. Dan berdiri waktu membaca kedua khutbah itu dan duduk diantara
keduanya, adalah fardlu juga. Pada khutbah pertama, terdapat 4 fardlu:
1. Memuji Allah sekurang-kurangnya: “Alhamdulillah”
(Segala pujian bagi Allah).
2. Selawat kepada Nabi saw
3. Wasiat (nasehat) dengan bertaqwa kepada Allah Ta’ala.
4. Membaca suatu ayat dari Al-Qur’an.
Begitu pula, yang fardlu pada khutbah kedua, adalah 4
juga, kecuali wajib berdo’a pada khutbah kedua itu, sebagai ganti daripada
pembacaan Al-Qur’an pada khutbah pertama. Mendengar kedua khutbah, adalah wajib
kepada orang yang 40 itu.
Adapun sunnat: yaitu, apabila telah tergelincir matahari, muadzin telah melakukan adzan
dan imam telah duduk di atas mimbar, maka putuslah (tidak boleh lagi) shalat,
selain dari shalat tahiyah masjid. Dan berkata-kata tidaklah terputus, kecuali
dengan dimulai khutbah. Khatib memberi salam kepada orang banyak, apabila telah
berhadapan muka dengan mereka. Dan orang banyak itu, membalas salamnya. Apabila
telah siap muadzin daripada adzan, maka bangunlah khatib itu menghadapkan muka
kepada orang banyak, tiada berpaling ke kanan dan ke kiri. Ia memegang tangkai
pedang atau tangkai kampak dan mimbar dengan kedua tangannya. Supaya ia tidak
bermain-main dengan kedua tangan itu atau meletakkan tangan yang satu ke atas
lainnya. Khatib itu berkhutbah dua khutbah, diantara keduanya duduk sebentar.
Dan tidaklah memakai bahasa yang ganjil-ganjil, berhias dengan irama dan tidak
bernyanyi bergurindam. Dan adalah khutbah itu pendek, padat dan berisi.
Disunnatkan khatib itu, membaca juga ayat pada khutbah kedua. Dan tidaklah
orang yang masuk di dalam masjid, memberi salam, ketika khatib sedang membaca
khutbah. Kalau diberinya juga salam, maka tiada berhak dijawab. Dan
diisyaratkan dengan penjawaban, adalah lebih baik. Dan tidak juga ber-tasymit
kepada orang-orang bersin (membalas pembacaan “Alhamdulillah” dari orang yang
bersin, dengan mengucapkan “Yarhamukallah”). Inilah syarat-syarat syahnya
Jum’at.
Adapun
syarat-syarat wajibnya. Maka Jum’at
itu, tiada wajib, selain atas: laki-laki, baligh, berakal, muslim, merdeka dan
bertempat tinggal pada suatu desa, yang mencukupi 40 orang yang mempunyai
sifat-sifat yang tersebut tadi. Atau pada suatu desa dari pinggir negeri, yang
sampai kepadanya seruan adzan dari negeri yang menghubungi kampung itu. Pada
saat keadaan tenang dan suara muadzin itu keras meninggi. Karena firman Allah
Ta’ala: “Apabila ada panggilan untuk mengerjakan shalat di hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu mengingati Tuhan dan tinggalkanlah jual-beli”. S 62 Al
Jumu’ah ayat 9. Diberi keringan untuk meninggalkan Jum’at, karena berhalangan:
hujan, lumpur, takut, sakit dan menjaga orang sakit, apabila orang sakit itu
tiada mempunyai penjaga yang lain. Kemudian, disunnatkan kepada mereka yang
berhalangan dengan halangan-halangan yang tersebut tadi, supaya mengemudiankan
shalat Dhuhurnya, sampai selesai orang banyak dari shalat Jum’at. Kalau orang
sakit atau orang dalam berpergian jauh (orang musafir) atau budak atau wanita,
menghadiri shalat Jum’at, maka syahlah Jum’at mereka dan mencukupilah, tanpa
mengerjakan Dhuhur lagi. Wallahu A’lam! Allah Yang Maha Tahu!.
FASAL 2 PENJELASAN Adab shalat
jum’at menurut tertib kebiasaan. iaitu 10 bahagian.
Pertama:
bahwa bersedialah sejak hari Kamis untuk shalat Jum’at,
dengan cita-cita dan menghadapkan segala pikiran, untuk
menyambut keutamaan Jum’at itu. Maka berbuatlah ibadah dengan: berdo’a, membaca
istighfar (memohonkan ampunan Tuhan) dan bertasbih, sesudah ‘Ashar hari Kamis.
Karena saat itu adalah saat yang disamakan, dengan saat yang tidak dapat
dipastikan waktunya (sebagai saat mustajabah) pada hari Jum’at. Berkata
setengah salaf, bahwa Allah Ta’ala mempunyai kurnia, selain daripada rezeki
yang diberikan ALLAH kepada segala hamba ALLAH. Dan kurnia itu, tidak
dianugerahi ALLAH, selain kepada siapa yang memintanya pada petang Kamis dan
hari jum’at. Orang itu pada hari ini, menyucikan kainnya, memutihkannya,
menyediakan bau-bauan kalau belum ada padanya. Menyelesaikan hatinya dari
segala yang membimbangkan, yang mencegahkan daripada berpagi-pagi ke Jum’at
(masjid) dan meniatkan pada malam ini (malam Jum’at) akan puasa hari Jum’at.
Berpuasa itu ada kelebihannya. Dan hendaklah puasa itu dikumpulkan dengan hari
Kamis atau dengan hari Sabtu, tidak hari Jum’at saja, karena demikian itu
makruh hukumnya. Dan bekerja menghidupkan malam Jum’at itu dengan shalat dan
mengkhatamkan Al-Qur’an, karena malam itu mempunyai banyak kelebihan. Dan
ditarikkan kepada malam Jum’at itu akan kelebihan siangnya. Dan disetubuhinya
orang rumahnya pada malam Jum’at atau pada siangnya. Disunnatkan demikian oleh segolongan
ulama, yang membawa maksud sabda Nabi saw yang berikut ini, kepada yang
demikian, yaitu: “Diberi rahmat oleh Allah kepada orang yang bersegera dan
berpagi-pagi, kepada orang yang memandikan (menyucikan) dan yang mandi”. Yaitu:
membawa keluarga (orang rumah) kepada mandi. Ada yang mengatakan, bahwa
maksudnya: menyucikan kain, lalu diriwayatkan, bahwa perkataan Arabnya,
dibacakan dengan tidak bertasydid (yaitu dibacakan: ghasala, tidak: ghassala)
dan membersihkan badannya dengan mandi. Dengan ini, sempurnalah adab menyambut
kedatangan hari Jum’at. Dan keluarlah dari golongan orang-orang yang alpa,
mereka yang bertanya pada pagi-pagi hari Jum’at: “Hari apakah sekarang?”.
Berkata setengah salaf: “Manusia yang lebih sempurna nasibnya hari Jum’at, ialah
orang yang menunggu hari Jum’at dan menjaganya sejak kemarin. Dan orang yang
paling ringan nasibnya, ialah orang yang berkata pada pagi-paginya: “Hari
apakah sekarang?”. Sebahagian mereka, bermalam pada malam Jum’at di masjid,
karena lantaran Jum’at itu.
Kedua:
apabila sudah pagi Jum’at, maka mulailah mandi setelah terbit fajar.
Kalau tidak akan berpagi-pagi ke
masjid, maka mendekatkan mandi kepada waktu sesudah gelincir matahari, adalah
lebih baik, sebab lebih mendekatkan masanya dengan kebersihan. Mandi itu sangat
disunnatkan. Setengah ulama, berpendapat wajib. Bersabda Nabi saw: “Mandi
Jum’at itu wajib atas tiap-tiap orang yang dewasa”. Yang termahsyur ialah
hadits yang diriwayatkan Nafi’ dari Ibnu Umar ra: “Siapa yang datang ke Jum’at,
maka hendaklah mandi”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang hadir ke Jum’at, baik
laki-laki atau wanita, maka hendaklah mandi”. Adalah penduduk Madinah, apabila
memaki-maki diantara dua orang, maka berkata yang seorang kepada lainnya:
“Sungguh, engkau lebih jahat daripada orang yang tidak mandi pada hari Jum’at”.
Berkata Umar kepada Usman ra tatkala ia masuk ke dalam masjid, sedang Umar
membaca khutbah: “Bukankah saat ini dilarang meninggalkan berpagi-pagi?”. Maka
berkata Usman ra: “Setelah aku mendengar adzan, tidak lain daripada aku
berwudlu dan terus pergi”. Menyambung Umar ra: “Dan wudlu juga! Bukankah engkau
ketahui, bahwa Rasulullah saw menyuruh
kita mandi?”. Dan dapatlah diketahui dengan wudlu Usman ra itu, boleh
meninggalkan mandi. Dan dengan apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi saw bersabda:
“Siapa yang berwudlu pada hari Jum’at, maka baiklah Jum’atnya dan siapa yang
mandi, maka mandi itu adalah lebih baik”. Siapa yang mandi karena berjunub
(janabah), maka hendaklah menyiramkan air kepada badannya, satu kali lagi
dengan niat mandi Jum’at. Kalau dicukupkannya dengan suatu mandi saja, maka
mencukupilah. Dan memperoleh kelebihan (pahala) apabila ia berniat keduanya
(mandi janabah dan mandi Jum’at). Dan masuklah mandi Jum’at itu, ke dalam mandi
janabah. Telah datang sebahagian shahabat kepada anaknya yang sudah mandi. Lalu
bertanya: “Apakah mandimu itu untuk Jum’at?”. Maka menjawab anak dari shahabat
yang bertanya itu: “Tidak, tetapi untuk janabah!”. Lalu menyambung shahabat
tadi: “Ulangilah mandi yang kedua!”. Dan ia meriwayatkan hadits tentang mandi
Jum’at atas tiap-tiap orang yang dewasa. Dan sesungguhnya disuruh demikian,
karena belum diniatkan mandi Jum’at itu. Dan tidaklah jauh daripada yang
sebenarnya, bahwa dikatakan: yang dimaksudkan ialah: kebersihan. Dan kebersihan
itu telah berhasil tanpa niat. Tetapi ini terisi juga dengan wudlu. Mandi itu
pada agama adalah merupakan pendekatan diri kepada Tuhan. Dari itu, maka
seharusnyalah dicari kelebihan (pahalanya). Orang yang telah mandi, kemudian
berhadats, niscaya mengambil wudlu. Dan tidaklah batal mandinya. Yang lebih
baik, hendaklah ia menjaga diri daripada berhadats itu.
Ketiga: berhias. Iaitu: disunnatkan pada hari ini (hari
Jum’at).
Iaitu: tiga
perkara: pakaian, kebersihan dan bau-bauan. Adapun kebersihan, adalah dengan bersugi, mencukur rambut, mengerat kuku,
menggunting kumis dan lainnya daripada apa yang telah diterangkan dahulu pada:
kitab bersuci. Berkata Ibnu Mas’ud: “Siapa yang mengeratkan kukunya pada hari
Jum’at, niscaya dikeluarkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla daripadanya penyakit dan
dimasukkan ALLAH kepadanya obat”. Kalau
sudah masuk hammam pada hari Kamis atau hari Rabu, maka telah berhasillah yang
dimaksud. Lalu hendaklah pada hari Jum’at itu, memakai bau-bauan yang terbaik
yang ada padanya, supaya hilanglah segala bau yang tidak menyenangkan. Dan
sampailah bau-bauan yang harum itu kepada penciuman orang yang datang ke
masjid, yang duduk di kelilingnya. “Bau-bauan yang terbaik bagi laki-laki,
ialah yang keras baunya dan tiada terang warnanya. Dan yang terbaik bagi
wanita, ialah yang terang warnanya dan tidak keras baunya”. Ucapan ini,
diriwayatkan dari perkataan shahabat Nabi saw (atsar). Berkata Asy Syafi’i ra:
“Siapa yang bersih kainnya, niscaya kuranglah kesusahannya dan siapa yang baik
baunya, niscaya bertambahlah akalnya”. Adapun pakaian, maka yang lebih baik
adalah pakaian putih, karena pakaian yang lebih disukai Allah Ta’ala ialah yang
putih. Dan tidak dipakai, apa yang padanya kemahsyuran. Pakaian hitam, tidaklah
dari sunnah Nabi saw dan tak ada padanya kelebihan (pahala). Tetapi segolongan
ulama berpendapat, makruh memandang kepada pakaian hitam, karena bid’ah yang
diada-adakan sesudah Rasulullah saw serban adalah disunnatkan pada hari Jum’at.
Diriwayatkan Watsilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa Allah
dan para malaikat ALLAH berdo’a kepada orang-orang yang memakai serban pada
hari Jum’at”. Kalau menyukarkan baginya oleh karena panas, maka tidak mengapa
dibuka sebelum shalat dan sesudahnya. Tetapi tidaklah dibuka, waktu berjalan
dari rumah ke Jum’at, waktu mengerjakan shalat, waktu imam naik ke atas mimbar
dan waktu sedang khutbah.
Keempat:
berpagi-pagi ke masjid (masjid jami’).
Dan disunnatkan menuju ke masjid Jami’ yang terletak dua
atau tiga farsakh jaraknya (satu farsakh adalah kira-kira 8 km). Dan hendaklah
berpagi-pagi benar ke tempat shalat Jum’at. Dan waktu berpagi-pagi itu, masuk
terbit fajar. Keutamaan berpagi-pagi itu besar sekali. Dan seyogyanya berjalan
ke Jum’at itu dengan khusyu’, merendahkan diri, meniatkan i’tikaf di dalam
masjid sampai kepada waktu shalat, bermaksud menyegerakan menyahut seruan Allah
‘Azza wa Jalla kepadanya dengan Jum’at, bersegera kepada pengampunan dan
kerelaan ALLAH. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang pergi ke Jum’at pada jam
pertama, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor unta. Siapa yang pergi
pada jam kedua, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor sapi. Siapa yang
pergi pada jam ketiga, maka seakan-akan ia menyembelih kurban seekor kibasy
(biri-biri) yang bertanduk. Siapa yang pergi pada jam keempat, maka seakan-akan
ia menghadiahkan seekor ayam. Dan siapa yang pergi pada jam kelima, maka
seakan-akan ia menghadiahkan sebutir telur.
Apabila imam telah ke tempat
shalat, maka tertutuplah segala buku tempat dituliskan amalan, terangkatlah
segala pena dan segala malaikat berkumpul pada mimbar, mendengar dzikir. Siapa
yang datang sesudah itu, maka sesungguhnya ia datang untuk shalat semata-mata
dan tak ada baginya sesuatu daripada kelebihan”. Jam pertama, adalah sampai
terbit matahari. Jam kedua, adalah sampai kepada meninggi matahari. Jam ketiga,
adalah sampai kepada meluas sinar matahari, ketika sudah panas tempat tapak
berpijak. Jam keempat dan kelima, adalah sesudah waktu dluha meninggi, sampai
kepada waktu tergelincir matahari. Kelebihan jam keempat dan kelima adalah
sedikit. Dan waktu tergelincir (zawal) itu, adalah waktu untuk shalat, maka tak
ada kelebihan padanya. Bersabda Nabi saw: “Tiga perkara, kalau tahulah manusia
apa yang ada padanya, niscaya mereka mengendarai unta mencarikannya, yaitu:
adzan, shaf pertama dan berpagi-pagi ke Jum’at”. Berkata Ahmad bin Hanbal ra:
“Yang lebih utama dari yang tiga tadi, ialah berpagi-pagi ke Jum’at”. Pada
hadits, tersebut: “Apabila datang hari Jum’at, maka duduklah para malaikat di
pintu-pintu masjid. Pada tangannya, kertas daripada perak dan pena daripada
emas. Dituliskannya siapa yang lebih dahulu ke masjid, satu persatu menurut
urutannya”. Dan tersebut pada hadits: “Bahwa para malaikat itu mencari orang
yang terkemudian daripada waktunya pada hari Jum’at. Maka bertanyalah para
malaikat itu sesamanya, tentang orang itu: “Apakah yang dikerjakan si anu?
Apakah kiranya yang menyebabkan si anu itu terlambat daripada waktunya?”. Maka
berdo’alah para malaikat: “Ya Allah, ya Tuhanku! Kalau kiranya orang itu
terkemudian karena miskin, maka kayakanlah dia! Kalau karena sakit, maka
sembuhkanlah dia! Kalau karena sibuk, maka berikanlah kepadanya kelapangan
waktu beribadah kepadaMU!. Dan kalau bermain-main, maka hadapkanlah hatinya
untuk menta’atiMU!”. Adalah pada abad pertama, mulai waktu sahur atau setelah
terbit fajar, jalan-jalan sudah penuh dengan manusia yang pergi dengan
kendaraan dan berdesak-desak ke masjid Jami’, seperti pada hari-hari raya.
Sehingga lenyaplah yang demikian itu, lalu dikatakan: “Bahwa bid’ah pertama
yang datang dalam Islam, ialah meninggalkan berpagi-pagi ke masjid Jami’.
Mengapakah tidak malu kaum muslimin, dengan orang Yahudi dan Nasrani dan
berpagi-pagi benar sudah kekelenteng dan gereja, pada hari Sabtu dan Ahad?
Penuntut-penuntut dunia, betapa kiranya mereka berpagi-pagi benar ke halaman
toko untuk berjual-beli dan mencari keuntungan, maka mengapakah tiada
berlomba-lomba dengan mereka, para penuntut akhirat? Ada yang mengatakan, bahwa
manusia itu pada kedekatannya ketika memandang kepada wajah Allah Ta’ala,
adalah menurut kadar pagi-paginya ke Jum’at. Adalah Ibnu Mas’ud datang
pagi-pagi ke suatu masjid Jami’, maka dilihatnya tiga orang telah mendahuluinya
dengan berpagi-pagi benar ke masjid Jami’ itu. Maka susahlah hatinya karena itu,
lalu mengatakan kepada dirinya dengan perasaan menyesal: “Keempat dari empat
dan tidaklah yang keempat dari empat itu, berjauhan daripada pagi-pagi”.
Kelima: tentang cara masuk,
seyogyalah tiada melangkahi leher orang dan tiada melalui dihadapan mereka.
Dan berpagi-pagi itu, memudahkan kepadanya yang demikian
itu. Telah datang janji azab yang berat, pada melangkahi leher orang, yaitu
orang yang berbuat demikian, akan dijadikan jembatan pada hari kiamat, yang
akan dilangkahi oleh manusia. Diriwayatkan Ibnu Juraij suatu hadits mursal
yaitu: “Bahwa Rasulullah saw ketika sedang membaca khutbah pada hari Jum’at,
tiba-tiba melihat seorang laki-laki melangkahi leher orang, sehingga laki-laki
itu sampai ke depan, lalu duduk. Tatkala Nabi saw telah selesai daripada
shalat, maka beliau mencari laki-laki itu, sampai berjumpa, lalu bertanya: “Hai
Anu! Apakah yang menghalangi engkau, untuk berjum’at hari ini bersama kami?”.
Menyahut laki-laki itu: “Wahai Nabi Allah! aku telah berjum’at bersama engkau”.
Menyambung Nabi saw: “Bukankah kami telah melihat engkau melangkahi leher
manusia?”. Maka dengan ucapan Nabi saw itu menunjukkan kepada batalnya amalan
dengan melangkahi leher orang. Pada hadits musnad, Nabi saw bersabda: “Apakah
yang menghalangi engkau bershalat bersama kami?”. Maka menjawab laki-laki itu:
“Apakah tidak engkau melihat aku, wahai Rasulullah?”. Nabi saw menjawab: “Aku
melihat engkau terkemudian dan menyusahkan orang”. Artinya: terkemudian dari
berpagi-pagi dan menyusah kan orang yang telah datang lebih dahulu. Kalau shaf
(barisan) pertama itu, tertinggal kosong, maka bolehlah melangkahi leher orang,
karena mereka telah menyia-nyiakan haknya dan meninggalkan tempat yang lebih
utama. Berkata Al-Hasan: “Langkahilah leher mereka yang duduk pada pintu masjid
di hari Jum’at, karena tak ada kehormatan bagi mereka”. Apabila tidak ada di
dalam masjid, selain daripada orang yang mengerjakan shalat, maka seyogyalah
tidak memberi salam, karena memberatkan penjawaban salam yang tidak pada
tempatnya.
Keenam:
tiada melalui dihadapan orang dan duduklah pada tempat yang mendekati tiang
atau dinding, sehingga orang ramai tiada melalui dihadapannya.
Yakni: dihadapan orang yang sedang mengerjakan shalat.
Melalui dihadapan orang yang sedang shalat, tidaklah memutuskan shalat, tetapi
dilarang. Bersabda Nabi saw: “Tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih baik
daripada melalui dihadapan orang yang sedang shalat”. Bersabda Nabi saw:
“Sampai menjadikan orang itu debu yang halus yang diterbangkan angin adalah
lebih baik baginya daripada melalui dihadapan orang shalat”. Diriwayatkan pada
hadits lain, tentang orang yang lalu dan orang yang mengerjakan shalat, dimana
orang itu bershalat atas jalan besar atau tak sanggup menghalangi orang lalu
dihadapannya , yaitu: “kalaulah tahu orang yang melalui dihadapan orang yang
bershalat dan orang yang bershalat tahu pula, akan apa yang menimpa ke atas
keduanya, maka sesungguhnya tegak berdiri 40 tahun, adalah lebih baik baginya, daripada melalui dihadapan
orang yang sedang mengerjakan shalat itu”. Tiang, dinding dan tikar mushalla
yang terbentang, adalah menjadi batas bagi orang yang bershalat. Maka orang
yang melintasi batas ini, seyogyalah ditolaknya. Bersabda Nabi saw: “Hendaklah
ditolaknya! Kalau orang itu tidak memperdulikan, maka hendaklah ditolaknya
lagi! Kalau tidak juga orang itu memperdulikan, maka hendaklah dibunuh saja
karena dia itu setan!”. Adalah Abu Sa’id Al-Khudri ra menolak orang yang
melalui dihadapannya, sehingga orang itu terjatuh ke lantai. Mungkin orang itu
bergantung pada Abu Sa’id. Kemudian ia mengadu kepada Marwan. Maka Marwan
menerangkan kepadanya, bahwa Nabi saw menyuruh yang demikian. Kalau tidak
diperoleh tiang, maka hendaklah ia menegakkan sesuatu dihadapannya, yang
panjangnya kira-kira sehasta, supaya menjadi tanda untuk batas.
Ketujuh:
dicari shaf pertama, karena banyak kelebihannya, sebagaimana yang telah kami
riwayatkan dahulu.
Dan pada hadits tersebut: “Siapa yang mencucikan dan
mandi, bersegera dan berpagi-pagi, mendekati imam dan mendengar, niscaya adalah
yang demikian itu, menjadi kafarat (penutup dosa) baginya diantara dua Jum’at
dan tambah tiga hari lagi”. Pada riwayat lain, berbunyi: “niscaya diampunkan
Allah baginya, sampai kepada Jum’at yang lain”. Dan pada setengah riwayat,
disyaratkan: “dia tidak melangkahi leher orang”. Dan hendaklah tidak dilupakan,
pada mencari shaf pertama itu, daripada tiga perkara:
1.
Apabila ia melihat perbuatan munkar dekat khatib, yang tak sanggup ia
mencegahnya, seperti pakaian sutera pada imam (kepala pemerintahan) atau pada
orang lain atau orang itu mengerjakan shalat dengan memakai banyak senjata yang
berat yang mengganggu atau senjata yang beremas ataupun yang lain, yang
merupakan perbuatan yang wajib ditantang, maka dalam hal ini mundur ke
belakang, adalah lebih menyelamatkan baginya dan lebih memusatkan perhatian
kepada shalat. Dan telah dikerjakan yang demikian, oleh segolongan ulama yang
mencari keselamatan. Ditanyakan kepada Bisyr bin Al-Harts: “Kami melihat engkau
berpagi-pagi ke tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada penghabisan
shaf”. Menjawab Bisyr: “Yang dimaksud, ialah berdekatan hati, tidak berdekatan
tubuh”. Diisyaratkan oleh Bisyr dengan perkataannya itu, bahwa yang demikian,
adalah lebih mendekatkan untuk keselamatann hatinya. Sufyan Ats-Tsuri memandang
kepada Syu’aib bin Harb di sisi mimbar, yang memperhatikan khutbah Abi Ja’far
Al-Manshur. Tatkala selesai dari shalat, berkata Sufyan: “Terganggu hatiku oleh
berdekatanmu dengan Abi Ja’far itu. Apakah engkau merasa aman mendengar
perkataan yang harus engkau tantang, lantas engkau tiada bangun menantangnya?”.
Lalu Sufyan menyebutkan, apa yang diperbuat mereka, seperti memakai pakaian
hitam. Maka jawab Syu’aib: “’Hai Abu Abdillah! Bukankah tersebut pada hadits:
“Dekatilah dan perhatikanlah!”. Menjawab Sufyan: “Benar, itu terhadap
khulafa’-rasyidin yang memperoleh petunjuk! Adapun mereka ini, semakin jauh
engkau daripada mereka dan tidak memandang mereka, maka adalah lebih
mendekatkan engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla”. Berkata Sa’id bin ‘Amir: “Aku
mengerjakan shalat disamping Abid Darda’. Dia mengambil shaf yang terakhir,
sehingga kami berada pada akhir shaf. Tatkala telah siap daripada shalat, lalu
aku bertanya kepadanya: “Bukankah dikatakan bahwa shaf yang terbaik, ialah shaf
pertama?”. Menjawab Abid Darda: “Benar, tetapi umat ini dirahmati, lagi
dipandang kepadanya dari antara umat-umat lain. Sesungguhnya Allah Ta’ala
apabila memandang kepada seorang hamba di dalam shalatnya, maka Ia mengampunkan
dosa hamba itu dan dosa orang lain yang dibelakangnya. Dari itu, aku mengambil
di belakang, dengan harapan kiranya aku diampunkan dengan sebab seseorang
daripada mereka, yang dipandang Allah kepadanya”. Diriwayatkan oleh setengah
perawi hadits, yang mengatakan: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda
demikian. Maka siapa yang mengambil tempat di belakang atas niat itu, karena
memilih dan melahirkan kebaikan budi-pekerti, maka tidak mengapa. Dan ketika
itu, maka dikatakan: “Segala amal perbuatan itu dengan niat”.
2. Kalau tidak ada di samping
khatib, sebahagian tempat yang dikhususkan kepada sultan-sultan, maka shaf
pertama itu disunnatkan. Kalau ada, maka sebahagian ulama memandang makruh
masuk ke tempat yang dikhususkan itu. Al-Hasan dan Bakr Al-Mazani tidak
mengerjakan shalat di tempat yang dikhususkan itu. Dan keduanya, berpendapat,
bahwa tempat itu ditentukan untuk sultan-sultan. Dan itu adalah bid’ah yang
diada-adakan di dalam masjid-masjid sesudah Rasulullah saw. Padahal masjid itu,
adalah diuntukkan kepada sekalian manusia. Dan dengan dikhususkan itu, telah
menyalahi dasar tersebut. Anas bin Malik dan ‘Imran bin Hushain mengerjakan
shalat, di tempat yang dikhususkan itu dan tidak memandang makruh, karena
mencari kedekatan. Mungkin kemakruhan itu tertentu kepada keadaan pengkhususan
dan pelarangan orang lain. Kalau semata-mata pengkhususan, tanpa ada
pelarangan, maka tidaklah mengharuskan adanya kemakruhan itu.
3. Bahwa mimbar memutuskan
sebahagian shaf. Dari itu, shaf pertama satu-satunya, ialah yang bersambung
dihadapan mimbar. Dan yang terletak di kedua tepi mimbar, adalah shaf yang
terputus. Sufyan Ats-Tsuri berkata, bahwa shaf pertama, ialah yang keluar
dihadapan mimbar. Yaitu yang menghadap kepada mimbar, karena dia bersambung dan
karena orang yang duduk pada shaf itu, menghadap khatib dan mendengar
daripadanya. Dan tidaklah jauh daripada kebenaran, kalau dikatakan, bahwa yang
terdekat kepada qiblat, ialah shaf pertama. Dan pengertian ini, tiada begitu
diperhatikan orang. Dimakruhkan shalat di pasar-pasar & di beranda-beranda
luar dari masjid. Dan sebahagian shahabat, memukul orang & membangunkannya
dari beranda-beranda itu.
Kedelapan:
bahwa dihabiskan shalat, ketika imam keluar ke tempat shalat dan juga
dihabiskan berkata-kata.
Dan waktu itu, dipakai untuk menjawab adzan dari muadzin,
kemudian mendengar khutbah. Telah berlaku kebiasaan sebahagian orang awwam,
dengan melakukan sujud ketika bangun muadzin untuk adzan. Yang demikian itu,
tidaklah berdasarkan kepada atsar dan hadits. Tetapi kalau kebetulan bertepatan
dengan sujud tilawah/sujud biasa (sujud ini dilakukan setelah selesai sholat),
maka tiada mengapa untuk do’a, karena itu adalah waktu yang baik. Dan tidak
dihukum dengan haramnya sujud ini, karena tiada sebab untuk mengharamkannya.
Diriwayatkan dari Ali ra dan Usman ra bahwa keduanya berkata: “Siapa yang
mendengar dan memperhatikan, maka baginya dua pahala. Siapa yang tidak
mendengar, tetapi memperhatikan, maka baginya satu pahala. Siapa yang mendengar
dan menyia-nyiakan, maka atasnya dua dosa. Dan siapa yang tidak mendengar dan
menyia-nyiakan, maka atasnya satu dosa”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang
mengatakan kepada temannya, ketika imam berkhutbah: “Perhatikan!” atau “Jangan
berbicara!”, maka ia telah berbuat yang sia-sia. Siapa yang berbuat sia-sia,
dan imam berkhutbah, maka tak adalah Jum’at baginya”. Ini menunjukkan, bahwa
menyuruh diam teman itu, seyogyalah dengan isyarat atau dengan melemparkan batu
kecil saja kepadanya, tidak dengan kata-kata. Pada hadits dari Abi Dzar, bahwa
Abi Dzar bertanya kepada Ubai, ketika Nabi saw sedang membaca khutbah: “Bilakah
diturunkan surat ini?” Ubai berisyarat kepadanya, supaya diam. Tatkala
Rasulullah saw turun dari mimbar, maka berkata Ubai kepada Abi Dzar: “Pergilah!
Tak ada Jum’at bagimu!”. Lalu Abi Dzar mengadukannya kepada Nabi saw, maka
bersabda Nabi: “Benar Ubai!”. Kalau berjauhan dari imam, maka tiada seyogyalah
berkata-kata mengenai ilmu dan lainnya. Tetapi diam, karena yang demikian itu
tali-bertali dan membawa kepada suara yang halus, sehingga sampai kepada para
pendengar khutbah. Dan janganlah duduk dalam lingkungan orang yang
berkata-kata!. Siapa yang tidak dapat mendengar karena jauh, maka hendaklah
memperhatikan saja. Dan itu adalah sunnat. Apabila shalat dimakruhkan pada
waktu imam berkhutbah, maka berkata-kata, adalah lebih utama lagi dimakruhkan.
Berkata Ali ra: “Dimakruhkan shalat pada empat waktu: sesudah fajar (sesudah
Shubuh), sesudah ‘Ashar, waktu tengah hari dan bershalat ketika imam
berkhutbah”.
Kesembilan: bahwa
diperhatikan pada mengikuti imam shalat jum’at, apa yang telah kami sebutkan
dahulu pada tempat lain.
Apabila mendengar bacaan imam, maka ma’mum itu tiada
membaca, selain dari al-fatihah. Apabila telah selesai dari shalat Jum’at, maka
dibacakan: “Alhamdulillah” 7 X, sebelum berkata-kata dan “Qul-huwallaahu ahad”
dan “Muawwadzatain” (yaitu:”Qul-A’uudzu birabbil-falaq” dan “Qul a’uudzu
birabbinnas”). Tujuh-tujuh kali. Diriwayatkan oleh setengah salaf bahwa siapa
mengerjakan yang tersebut tadi, niscaya ia terpelihara dari Jum’at ke Jum’at.
Dan adalah penjaga baginya daripada gangguan setan. Disunnatkan membaca sesudah
shalat Jum’at: “Ya Allah, ya Tuhanku! ya Yang Maha Kaya, ya Yang Maha Terpuji,
ya Yang Maha Pencipta, ya Yang Maha Mengembalikan, ya Yang Maha Penyayang, ya
Yang Maha Pengasih! Cukupkanlah aku dengan yang halal daripadaMU, daripada yang
haram dan dengan kurniaMU daripada yang lain!”. Dikatakan, bahwa siapa yang
berkekalan membaca do’a ini, niscaya ia dikayakan Allah daripada makhluk ALLAH,
dan diberikan Allah rezeki, dari yang tidak di duga-duga. Kemudian, sesudah
Jum’at. Lalu bershalat 6 raka’at. Telah diriwayatkan Ibnu Umar ra bahwa: “Nabi
saw mengerjakan shalat dua raka’at sesudah Jum’at”. Dan diriwwayatkan Abu
Hurairah “empat raka’at” dan diriwayatkan Ali dan Abdullah bin Abbas ra “enam
raka’at”. Semuanya itu benar dalam berbagai macam keadaan. Dan yang lebih
sempurna, adalah lebih utama.
Kesepuluh:
bahwa meneruskan tinggal di masjid, sampai shalat Ashar.
Kalau diteruskan sampai kepada Maghrib, maka adalah lebih
utama. Dikatakan, bahwa siapa yang bershalat ‘Ashar di masjid Jami’, maka
adalah baginya pahala hajji. Dan siapa yang bershalat Maghrib, maka baginya
pahala hajji dan ‘umrah. Kalau tidak merasa aman dari sifat berbuat-buat dan
dari datangnya bahaya kepadanya, dengan pandangan orang banyak kepada
i’tikafnya (diamnya di dalam masjid dengan ibadah) atau ia takut terjerumus
pada yang tidak perlu, maka yang lebih utama, ialah kembali ia ke rumahnya,
dengan berdzikir kepada Allah, memikirkan tentang segala nikmat ALLAH,
mensyukuri atas taufiq ALLAH, takut dari keteledorannya, mengawasi akan hari
dan lidahnya sampai kepada terbenam matahari. Sehingga ia tidak tertinggal oleh
saat yang mulia itu. Dan tidaklah wajar bercakap-cakap dalam masjid jami’ dan
masjid-masjid lainnya, dengan percakapan duniawi. Bersabda Nabi saw: “Akan
datang kepada manusia suatu zaman, yang pembicaraan mereka dalam masjid-masjid,
adalah urusan duniawi. Tak adalah bagi Allah hajat pada mereka. Dari itu,
janganlah kamu duduk-duduk bersama mereka!”.
FASAL 3 PENJELASAN Adab dan sunnat
yang di luar daripada susunan yang lalu, yang meratai seluruh hari.
Iaitu: 7 perkara:
Pertama:
mengunjungi mejelis ilmu pengetahuan pada pagi hari atau sesudah ‘Ashar.
Dan tidaklah mengunjungi majelis tukang-tukang ceritera,
karena tak adalah kebajikan pada perkataan mereka. Dan tak wajarlah bagi
seorang murid (yang menuntut jalan akhirat), mengosongkan seluruh hari Jum’at
itu, dari amal kebajikan dan do’a-do’a, sehingga saat yang mulia itu dapatlah
diperolehnya. Dan dia dalam kebajikan. Tidaklah wajar menghadiri tempat
pelajaran ilmu, sebelum shalat Jum’at. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar:
“bahwa Nabi saw melarang, menghadiri tempat pelajaran ilmu pada hari Jum’at,
sebelum shalat”. Kecuali ia ulama pada jalan Allah, mengingati segala hari
Allah, memahami agama Allah, berbicara pada masjid jami’ pada pagi hari. Lalu
ia duduk di situ, maka adalah ia menghimpunkan diantara berpagi-pagi dan
mendengar ilmu. Mendengar ilmu yang bermanfa’at pada jalan akhirat, adalah
lebih utama, daripada mengerjakan amalan sunnat. Diriwayatkan oleh Abu Dzar:
“Bahwa menghadiri majelis ilmu, adalah lebih utama daripada shalat 1000
raka’at”. Berkata Anas bin Malik, tentang firman Allah Ta’ala: “Dan apabila
selesai mengerjakan shalat, kamu boleh bertebaran di muka bumi dan carilah
kurnia Allah”. S 62 Al Jumu’ah ayat 10, bahwa yang dimaksud bukanlah mencari
dunia, tetapi mengunjungi orang sakit, bertukam/mengunjungi pada orang
meninggal, mempelajari ilmu pengetahuan dan menziarahi saudara pada jalan Allah
‘Azza wa Jalla (fillahi Ta’ala). Allah ‘Azza wa Jalla menamakan “ilmu” itu
“kurnia” pada beberapa tempat di dalam Al-Qur’an. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan
Allah mengajarkan apa yang belum engkau ketahui, kurnia Allah kepada engkau
sangat besarnya”. S 4 An-Nisaa’ ayat 113. Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami sendiri”. S 34 As Sabak
ayat 10, yakni ilmu. Mempelajari ilmu pengetahuan dan mengajarkannya pada hari
ini, adalah pengorbanan yang lebih utama. Dan shalat adalah lebih utama
daripada majelis tukang-tukang ceritera. Karena mereka memandang perbuatan
tukang ceritera itu bid’ah. Dan mereka mengeluarkan tukang-tukang ceritera itu
dari masjid jami’. Ibnu Umar ra datang pagi-pagi ke tempatnya dalam masjid
jami’, tiba-tiba di situ seorang tukang ceritera berceritera pada tempatnya.
Berkata Ibnu Umar: “Bangunlah dari tempatku!”. Menjawab tukang ceritera itu:
“Aku tidak mau. Aku telah duduk di sini dan aku telah lebih dahulu daripada
engkau!”. Maka Ibnu Umar meminta bantuan polisi. Lalu datanglah polisi membangunkan
orang itu. Kalau adalah yang demikian itu, termasuk sunnah, tentulah tidak
boleh membangunkannya. Bersabda Nabi saw: “Janganlah dibangunkan seorang kamu
akan saudaranya dari tempat duduknya, kemudian ia duduk padanya. Tetapi
berlapang-lapanglah dan berluas-luaslah!”. Dan ketika laki-laki tukang ceritera
itu, telah bangun dari tempat Ibnu Umar, maka Ibnu Umar tidak duduk disitu,
sehingga kembalilah laki-laki itu ke tempat tadi. Diriwayatkan, bahwa seorang
tukang ceritera duduk di halaman kamar ‘Aisyah, maka beliau mengirimkan kabar
kepada Ibnu Umar, dengan kata-kata: “Bahwa orang itu, telah menyakitkan aku
dengan ceriteranya dan mengganggukan aku dari pembacaan tasbihku”. Maka orang
itu dipukul oleh Ibnu Umar sampai pecah tongkatnya pada punggung orang itu,
kemudian diusirnya.
Kedua: bahwa
adalah muraqabah yang sebaik-baiknya pada saat mulia itu.
Dan hadits mahsyur, tersebut: “Sesungguhnya pada hari
Jum’at ada suatu saat, kalau kebetulan seorang hamba muslim, meminta sesuatu
kepada Allah ‘Azza wa Jalla pada saat itu, niscaya diberikannya”. Pada hadits
lain: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba yang bershalat”. Berbeda pendapat
tentang saat itu. Ada yang mengatakan, ketika terbit matahari, ada yang
mengatakan ketika gelincir matahari, ada yang mengatakan beserta adzan, ada
yang mengatakan apabila imam naik ke mimbar dan berkhutbah, ada yang mengatakan
apabila manusia berdiri kepada shalat, ada yang mengatakan pada akhir waktu
‘ashar, yakni waktu ikhtiar (waktu yang dipilih untuk shalat) dan ada yang
mengatakan sebelum terbenam matahari. Dan fatimah ra menjaga waktu itu dan
menyuruh pembantunya melihat matahari, untuk diberitahukan kepadanya matahari
itu sudah jatuh ke tepi langit. Maka masuklah ia ke dalam do’a dan istighfar,
sampai kepada terbenam matahari. Ia menceriterakan, bahwa saat itu, adalah saat
yang ditunggu-tunggu. Dan ia terima berita itu daripada ayahandanya Rasulullah
saw. Berkata setengah ulama, bahwa saat mulia itu tidak jelas pada seluruh hari
Jum’at, seperti Lailatul-Qadar, sehingga hendaknya sempurnalah segala cara
mengintipnya. Ada yang mengatakan, bahwa saat mulia itu berpindah-pindah dalam
segala saat hari Jum’at seperti berpindahnya Lailatul-Qadar. Inilah yang lebih
sesuai. Dan mempunyai rahasia, yang tidak layak diterangkan pada ilmu mu’amalah
(pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Tetapi
seyogyalah membenarkan apa yang dikatakan Nabi saw: “Sesungguhnya Tuhanmu
mempunyai wangi-wangian dalam hari-hari masamu. Dari itu, datangilah kepada
wangi-wangian itu”. Dan hari Jum’at, termasuk diantara hari-hari itu. Maka
seyogyalah hamba itu pada seluruh harinya. Mencari saat mulia itu, dengan
menghadirkan hati, membiasakan berdzikir dan mencabutkan diri dari segala
gangguan dunia. Semoga ia memperoleh sedikit dari wangi-wangian yang harum
itu!. Berkata Ka’b Al-Ahbar, bahwa saat mulia itu, adalah pada saat terakhir,
daripada hari Jum’at, yaitu: ketika terbenam matahari. Lalu berkata Abu
Hurairah: “Bagaimana adanya saat mulia itu, pada saat terakhir, padahal aku
telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak dijumpai saat itu oleh hamba
yang bershalat. Dan tidaklah ketika shalat”. Maka menjawab Ka’b: “Tidakkah
Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang duduk menunggu shalat, maka adalah dia di
dalam shalat?”. Menjawab Abu Hurairah: “Ya, benar!”. Menyambung Ka’b: “Maka
yang demikian itu shalat!”. Maka Abu Hurairah diam. Dan Ka’b condong kepada
saat mulia itu, adalah rahmat dari Allah Ta’ala kepada mereka yang tegak
berdiri menunaikan hak hari Jum’at. Dan waktu turunnya saat itu, adalah ketika
selesai daripada menyempurnakan amal perbuatan. Kesimpulan, itu adalah waktu
mulia, bersamaan dengan waktu naiknya imam ke mimbar. Maka perbanyakkanlah do’a
pada kedua waktu itu!
Ketiga:
disunnatkan berbanyak selawat kepada Rasulullah saw pada hari Jum’at.
Bersabda Nabi saw: “Siapa yang berselawat kepadaku pada
hari Jum’at, 80 kali, niscaya diampunkan Allah dosanya 80 tahun”. Maka bertanya
shahabat: “Bagaimanakah berselawat kepada engkau?”. Menjawab Nabi saw: “Engkau
bacakan: “Ya Allah, ya Tuhan kami! Berilah rahmat kepada Muhammad hambaMU,
nabiMU, dan rasulMU, nabi yang ummi (tidak pandai tulis baca)”. Dan ini, engkau
kirakan satu kali. Dan kalau engkau bacakan: “Ya Allah, ya Tuhan kami!
Berikanlah rahmat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad, rahmat yang
menjadi kerelaanMU dan iringilah tunainya rahmat itu. Anugerahilah dia jalan
dan berikanlah kepadanya tempat terpuji yang Engkau janjikan. Dan berikanlah
kepadanya balasan daripada kami, akan apa yang menjadi haknya dan berikanlah
kepadanya sebaik-baik apa yang Engkau berikan balasan kepada seorang nabi
daripada umatnya. Berikanlah rahmat kepadanya dan kepada segala saudaranya dari
nabi-nabi dan orang-orang shalih, wahai yang amat penyayang dari segala yang
penyayang”. Engkau bacakan ini, 7 kali. Ada yang mengatakan bahwa siapa yang
membacanya pada 7 Jum’at dan pada tiap-tiap Jum’at 7 kali, niscaya wajiblah
baginya syafa’at Nabi saw. Dan kalau bermaksud menambahkan lagi, maka bacakan
selawat yang berasal dari atsar, yang artinya sebagai berikut: “Ya Allah, ya
Tuhanku! Jadikanlah segala rahmatMU yang utama, berkatMU yang bertambah-tambah,
kesucianMU yang mulia, kasih sayangMU, rahmatMU dan ucapan selamatMU kepada
Muhammad, penghulu segala rasul, imam segala orang yang bertaqwa, kesudahan
segala nabi dan rasul Tuhan seru sekalian alam, panglima kebajikan, pembuka
kebaikan, nabi rahmat dan penghulu ummat! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah
kepadanya tempat terpuji yang bertambah dekat kehampirannya dengan tempat itu,
dan Engkau tetapkan matanya, yang digemari oleh orang-orang dahulu dan
orang-orang kemudian! Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah kepadanya kelebihan dan
keutamaan, kemuliaan, jalan, derajat tinggi dan tempat agung mulia! Ya Allah,
ya Tuhanku! Berikanlah kepada Muhammad permintaannya, sampaikanlah
cita-citanya, jadikanlah dia yang pertama memberi syafa’at dan yang pertama
yang diterima syafa’atnya! Ya Allah, ya Tuhanku! Agungkanlah dalil
kebenarannya, beratkanlah timbangannya, tegaskanlah alasannya dan tinggikanlah
derajatnya pada tempat tertinggi dari orang-orang muqarrabin! Ya Allah, ya
Tuhanku! Kumpulkanlah kami dalam rombongannya, jadikanlah kami dari orang yang
memperoleh syafa’atnya, hidupkanlah kami di atas sunnahnya, matikanlah kami di
atas agamanya, bawakanlah kami ke kolamnya dan anugerahilah kami minuman dengan
gelasnya, tiada merugi, menyesal, ragu-ragu, bertukar-tukar, berbuat fitnah dan
mendapat fitnah! Terimalah doa’ku, wahai Tuhan seru sekalian alam!”.
Kesimpulannya, tiap-tiap yang dibacakan dari kata-kata selawat, walaupun
kalimat yang terkenal pada do’a tasyahhud, adalah ia telah berselawat kepada
Nabi saw. Seyogyalah ditambahkan kepada pembacaan selawat itu, istighfar.
Itupun disunnatkan juga pada hari Jum’at.
Keempat: membaca Al-Qur’an.
Maka hendaklah membanyakkan pembacaan itu dan hendaklah
membacakan surat Al-Kahfi khususnya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu
Hurairah ra: “Bahwa siapa membaca surat Al-Kahfi pada malam Jum’at atau
siangnya, niscaya dianugerahkan kepadanya nur, dimana dibacanya sunnat itu,
sampai ke Makkah dan diampunkan dosanya sampai kepada hari Jum’at yang lain
serta dilebihkan lagi tiga hari. Dan berdo’a kepadanya 70 ribu malaikat, sampai
kepada pagi hari. Dan disembuhkan dia daripada penyakit biasa, penyakit dalam,
sesak nafas, supak, kusta dan fitnah dajjal”. Disunnatkan khatam (menamatkan)
Al-Qur’an pada hari Jum’at dan malamnya, kalau sanggup. Dan hendaklah penamatan
Al-Qur’an itu, pada kedua rak’aat shalat Shubuh, kalau dibacanya pada malam
atau pada kedua rak’aat Maghrib atau diantara adzan dan qamat bagi shalat
Jum’at. Menamatkan pembacaan Al-Qur’an itu, mempunyai kelebihan besar. Dan
adalah orang-orang ‘abid (yang banyak beribadah), menyunatkan pembacaan
“Qil-huwallaahu ahad” 1000 X pada hari Jum’at. Dan dikatakan, bahwa siapa yang
membaca nya pada 10 raka’at atau 20, maka itu adalah lebih utama daripada
penamatan Al-Qur’an. Dan mereka berselawat kepada Nabi saw 1000 X dan membaca
“Subhaanallah, wal-hamdu lillaah wa laa ilaaha illallaah wallaahu akbar” 1000
Xi. Kalau dibacakan 6 surat dari 7 surat yang panjang di dalam Al-Qur’an, pada
hari Jum’at atau pada malamnya, maka adalah baik. Dan tiadalah diriwayatkan,
bahwa Nabi saw ada membacakan beberapa surat tertentu, selain pada hari Jum’at
dan malamnya, dimana beliau membaca pada shalat Maghrib dari malam Jum’at,
surat “Qul yaa ayyuhal kafiruun” dan “Qul huwallaahu ahad”’. Dan beliau membaca
pada shalat ‘Isya, surat “Al-Jumuah” dan “Al-Munafiquun”. Diriwayatkan, bahwa
Nabi saw membaca kedua surat tadi, pada kedua raka’at Jum’at. Dan beliau
membaca pada shalat Shubuh hari Jum’at, surat “As-Sajadah” dan surat “Hal ataa
‘alal-insaan”.
Kelima: shalat-shalat.
Disunnatkan apabila memasuki masjid jami’, tidak duduk
sebelum bershalat empat raka’at, yang dibacakan pada raka’at itu “Qul huwallaahu
ahad” 200 kali, pada masing-masing raka’atnya 50 kali. Dinukilkan daripada
Rasulullah saw bahwa: “Siapa yang berbuat demikian, niscaya ia tidak mati,
sehingga dilihatnya tempatnya di dalam sorga”. Atau diperlihatkan kepadanya.
Dan tidak ditinggalkan dua raka’at shalat tahiyyah masjid, meskipun imam
berkhutbah. Tetapi hendaklah diringankan shalat itu. Disuruh oleh Rasulullah
saw dengan demikian. Dan pada suatu hadits gharib (hadits yang tidak terkenal),
tersebut: “Bahwa Nabi saw diam daripada meneruskan khutbah, untuk orang yang
masuk sampai ia menyelesaikan shalat dua raka’at tahiyyah masjid”. Berkata
ulama-ulama Kufah: “Kalau imam diam untuk orang yang masuk itu, maka orang yang
masuk itu mengerjakan shalat tahiyyah masjid dua raka’at”. Disunnatkan pada
hari Jum’at atau pada malamnya bershalat empat raka’at, dengan empat surat,
yaitu: surat Al-An’am, Al-Kahfi, Tho Ha dan Ya-Sin, Kalau tidak dihafalnya
surat-surat tersebut, maka dibaca: surat Ya-sin, surat As-sajadah, surat
Ad-Dukhan dan surat Al-Mulk. Dan tidak ditinggalkan membaca surat-surat yang
empat ini pada malam Jum’at, karena padanya banyak kelebihan. Dan orang yang
tidak menghafal Al-Qur’an, maka dibaca apa yang dihafalnya. Bacaan itu, adalah
berkedudukan pengkhataman Al-Qur’an baginya. Dan diperbanyakkan membaca surat
“Al-Ikhlash”. Dan disunnatkan mengerjakan shalat tasbih, sebagaimana akan
diterangkan caranya pada “Bab Amalan Sunat”, karena Nabi saw mengatakan kepada
pamannya Al-Abbas: “Kerjakanlah shalat tasbih itu, pada tiap-tiap Jum’at”. Dan
adalah Ibnu Abbas ra tidak meninggalkan shalat ini pada hari Jum’at, sesudah
tergelincir matahari. Dan ia menerangkan tentang besar kelebihannya. Yang lebih
baik, menggunakan waktu sampai kepada tergelincir matahari, untuk shalat. Dan
sesudah Jum’at sampai kepada waktu ‘Ashar, untuk mendengar ilmu pengetahuan.
Dan sesudah ‘Ashar sampai kepada waktu Maghrib, untuk bertasbih dan
beristighfar.
Keenam: disunnatkan
bersedekah pada hari Jum’at khususnya, karena berganda-ganda pahalanya.
Kecuali kepada orang yang meminta-minta, sedang imam
membaca khutbah dan ia berbicara pada waktu imam sedang berkhutbah itu. Maka
dimakruhkan bersedekah. Berkata saleh bin Muhammad: “Seorang miskin
meminta-minta pada hari Jum’at dan imam sedang membaca khutbah dan orang yang
meminta-minta itu menuju ke samping ayahku. Lalu seorang laki-laki menyerahkan
sepotong barang kepada ayahku, untuk diberikannya kepada orang yang
meminta-minta itu. Ayahku tiada mau mengambilnya”. Berkata Ibnu Mas’ud:
“Apabila seorang meminta-minta dalam masjid, maka mustahaklah tidak diberikan.
Dan apabila ia meminta-minta atas pembacaan Al-Qur’an, maka janganlah engkau
berikan!”. Sebahagian ulama berpendapat, makruh bersedekah atas permintaan
dalam masjid jami’, dimana mereka meminta-minta itu, melangkahi leher orang.
Kecuali ia meminta-minta dengan berdiri atau duduk pada tempatnya, tanpa
melangkahi leher orang. Berkata Ka’b Al-Ahbar: “Siapa yang menghadiri Jum’at,
kemudian pulang, lalu bersedekah dengan dua benda yang berlainan, kemudian
kembali lagi, lalu mengerjakan shalat dua raka’at, dengan menyempurnakan ruku’,
sujud dan khusyu’ pada kedua raka’at itu, kemudian ia membaca: “Ya Allah, ya
Tuhanku! Bahwasanya aku bermohon akan Engkau dengan nama Engkau, dengan nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan dengan nama Engkau, yang tiada
disembah selain Allah, yang hidup, yang berdiri sendiri, yang tidak didatangi
kelupaan dan ketiduran”, maka tidaklah orang itu, meminta sesuatu pada Allah
Ta’ala melainkan diberinya”. Dan berkata setengah salaf: “Siapa memberikan
makanan kepada orang miskin pada hari Jum’at, kemudian ia berpagi-pagi dan
bersegera dan tidak menyusahkan seseorang, kemudian membaca, ketika imam
memberi salam. “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang
hidup, lagi yang berdiri sendiri. Aku bermohon akan Engkau, kiranya mengampuni
akan aku, mengrahmati akan aku dan memeliharakan aku daripada neraka”. Kemudian
berdo’a dengan apa yang ada padanya, niscaya dimakbulkan do’anya.
Ketujuh: bahwa
dijadikan hari Jum’at itu untuk akhirat.
Maka mencegah diri pada hari itu, daripada segala
pekerjaan duniawi dan memperbanyak kan bermacam-macam wirid. Dan tidaklah
dimulai bermusafir (berjalan jauh) pada hari Jum’at. Diriwayatkan: “Bahwa siapa
yang bermusafir pada malam Jum’at, niscaya berdo’a yang merugikan kepadanya
oleh dua malaikat nya”. Bermusafir setelah terbit fajar, adalah haram, kecuali
ada keperluan penting yang akan lenyap. Dimakruhkan oleh setengah salaf,
membeli air dalam masjid dari pembawa air minum, untuk diminumnya sendiri atau
untuk disedekahkan kepada orang. Sehingga tidak adalah barang yang
diperjual-belikan dalam masjid. Karena berjual-beli dalam masjid, adalah makruh
hukumnya. Mereka mengatakan, tidak mengapa kalau diberikan kepadanya sepotong
barang di luar masjid. Kemudian ia minum atau bersedekah barang itu dalam
masjid. Kesimpulannya, seyogyalah ditambahkan pada hari Jum’at dengan
bermacam-macam wirid dan kebajikan. Karena Allah Ta’ala apabila mengasihi
seorang hamba, niscaya dipakaikan ALLAH hamba ALLAH itu pada waktu yang baik
dengan amal perbuatan yang baik. Dan apabila membencinya, niscaya dipakaikan
ALLAH pada waktu yang baik dengan perbuatan yang jahat. Supaya adalah yang
demikian itu lebih menyakitkan pada cacian ALLAH dan lebih memberatkan pada kutukan
ALLAH, karena diharamkan ALLAH keberkatan waktu dan dibinasakan ALLAH
kehormatan waktu. Disunnatkan pada hari Jum’at bemacam-macam do’a dan akan
datang penjelasannya pada “Kitab do’a-do’a”, insya Allah Ta’ala!”. Dan rahmat
Allah kepada tiap-tiap hamba ALLAH yang pilihan!.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan