Catatan Popular

Isnin, 11 Januari 2016

KITAB RAHSIA SHALAT IHYA ULUMUDDIN BAB 3 : KHUSUS SYARAT-SYARAT BATHIN DARIPADA AMAL PERBUATAN HATI DALAM SHALAT



TERDAPAT  7 FASAL:

Hendak kami sebutkan pada Bab ini, hubungan shalat dengan khusyu' dan kehadiran hati.

Kemudian kami sebutkan segala pe­ngertian bathin, batas‑batasnya, sebab‑sebabnya dan obatnya. Ke­mudian hendak kami sebutkan perincian apa yang sewajarnya harus timbul pada tiap‑tiap rukun dari rukun‑rukun shalat. Supaya patut untuk perbekalan akhirat.


BATHIN SHALAT FASAL 1 : PENJELASAN PENSYARATAN KHUSYUK DAN KEHADIRAN HATI

 Ketahuilah kiranya bahwa dalil‑dalil yang demikian itu banyak.

Diantaranya firman Allah Ta’ala: “Dirikanlah. shalat untuk mengingati AKU“ S 20  Thaahaa ayat 14. Yang jelas dari perintah (amr) ialah wajib. Dan lengah itu berla­wanan dengan mengingati. Orang yang lengah (lalai) dalam keselu­ruhan shalatnya, bagaimanakah ia mendirikan shalat untuk mengi­ngati Tuhan?

Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau termasuk orang‑orang lengah". S 7 Al raaf ayat 205 adalah suatu larangan, dan dhahiriyahnya menunjukkan kepada pengharaman.

 Dan firman Allah 'A zza wa Jalla: "Sampai kamu mengeahui apa yang kamu katakan"  S 4 An‑Nisa ayat 43. adalah alasan bagi larangan meminum minuman yang memabukkan. Dan memabukkan itu sering terjadi pada orang yang alpa, yang karam dengan kesangsian dan pikiran‑pikiran duniawi.

 Dan Sabda Nabi saw: "Sesungguh nya shalat itu ialah ketetapan dan kerendah­an hati", adalah pembatasan dengan adanya alif dan lam pada kata‑kata shalaatu itu (yang berarti adanya shalat itu, terbatas dengan adanya ketetapan dan kerendahan hati).  Dan kata‑kata innamaa (sesung­guhnya), berarti: penegasan dan penguatan.

Dan dipahami oleh para ahli fiqih dari sabda Nabi saw: "Sesungguhnya syufah  ialah pada benda yang tiada dapat dibagikan". adalah itu pembatas­an, itsbat (positif) dan nafi (negatif).

Dan sabda Nabi saw: "Barangsiapa tidak dicegahkan oleh shalat­nya dari perbuatan yang keji dan mungkar, maka tidaklah ia ber­tambah dekat, kepada Allah melainkan bertambah jauh" . Dan shalat orang yang Ialai itu, tidaklah mencegah daripada kekeji­an dan kemungkaran.

 Bersabda Nabi saw: "Berapa banyak orang yang menegakan shalat, memper­oleh letih dan payah saja daripada shalat ". Dan tidaklah dimaksudkan oleh Nabi saw dengan ucapannya itu, melainkan orang yang alpa.

Bersabda saw: “Tiadalah bagi hamba daripada shalatnya, melainkan yang ada akal pikirannya pada shalat itu". Dan yang diyakini bahwa orang yang mengerjakan shalat itu adalah bermunajah dengan Tuhannya 'Azza wa Jalla, sebagaimana yang tersebut pada hadits. Dan berkata‑kata dengan alpa, tidaklah sekali-kali dapat dinamakan munajah. Jelasnya, bahwa zakat kalau alpalah manusia daripadanya umpamanya, maka zakat itu sendiri adalah menyalahi bagi hawa‑nafsu dan berat atas diri seseorang. Demikian juga puasa, yang memaksakan bagi kekuatan, menghancurkan kekuasaan hawa‑nafsu yang menjadi alat bagi setan musuh Allah. Maka tiadalah jauh bahwa berhasil maksud daripada zakat itu serta alpa. Begitu pula hajji, segala amal perbuatannya adalah sulit dan berat. Di dalamnya dari mujahadah, diperoleh kesakitan, adakah hati itu hadir beserta segala perbuatannya atau tidak? Adapun shalat, maka tak ada padanya selain daripada dzikir, baca­an, ruku', sujud, berdiri dan duduk. Adapun dzikir adalah bercakap‑cakap dan bermunajah serta Allah Ta’ala. Maksud daripadanya, adakalanya berhadapan dan bercakap­-cakap. Atau dimaksudkan daripadanya huruf‑huruf  dan suara‑suara, sebagaimana ujian bagi lisan dengan amal perbuatan. Sebagaimana diuji perut dan kemaluan dengan menahan (imsak) pada puasa. Dan sebagaimana diuji tubuh dengan segala kesulitan waktu mengerja­kan hajji. Dan diuji hati dengan kesulitan mengeluarkan zakat dan melepaskan harta yang dirindukan.

Dan tak ragu lagi bahwa bahagian ini batal. Sesungguhnya mengge­rakkan lisan dengan kelengahan, alangkah ringannya kepada orang yang alpa. Sebab, tak ada padanya ujian dari segi perbuatan. Tetapi yang dimaksudkan ialah huruf‑huruf dari segi ia diucapkan. Dan tidaklah itu dinamakan ucapan, kecuali apabila melahirkan apa yang terkandung di dalam hati (dlamir). Dan tidak ada itu dilahir­kan, kecuali dengan kehadiran hati. Maka apakah artinya: "Ihdinash shiraathal mustaqiim" (Tunjukilah aku jalan yang lurus), apabila hati itu alpa? Apabila tidak dimaksudkan untuk merendah­kan diri dan berdo'a? Maka manakah kesulitan pada menggerakkan lisan untuk membacanya serta alpa itu? Apa lagi kalau sudah dibi­asakan!. Demikian, mengenai dzikir‑dzikir itu. Bahkan aku mengatakan, jikalau bersumpahlah seseorang dengan mengatakan: "Demi Allah, aku akan mengucapkan terima kasih kepada si Anu, aku puji dia dan aku mintakan sesuatu keperluan padanya". Kemudian berlaku­lah kata‑kata yang menunjukkan kepada maksud‑maksud itu, dengan lidahnya waktu ia sedang tidur, maka tidaklah ia terkena dengan sumpah itu. Dan jikalau berlaku kata‑kata itu dengan lidah­nya di dalam gelap dan si Anu itu hadir di situ, sedang ia tidak mengetahuinya dan tidak melihatnya, maka tidaklah ia terkena dengan sumpahnya. Karena tidaklah kata‑katanya itu ditujukan dan dituturkan kepada si Anu, selama dia itu tidak hadir di dalam hati‑nya. Jikalau kata‑kata itu keluar pada lidahnya dan si Anu itu hadir, pada siang hari, di mana yang mengucapkan itu sedang alpa, karam di dalam kerusuhan, dengan beraneka macam pikiran dan tak ada maksudnya menghadapkan kata‑kata tadi kepada si Anu itu ketika mengucapkannya, niscaya tidaklah ia terkena pada sumpahnya itu. Dan tidak syak lagi bahwa yang dimaksud daripada pembacaan dan dzikir‑dzikir itu ialah: pujian, sanjungan, tadlarru' (merendahkan diri) dan doa. Dan yang dihadapi dengan pembicaraan itu ialah Allah 'Azza wa jalla.

Dan hati orang itu dengan hijab kealpaan, adalah terhijab daripada Allah Ta’ala, tiada melihat dan tiada menyaksikan ALLAH, bahkan ia alpa daripada Yang Ditujukan itu. Lidahnya bergerak adalah disebabkan kebiasaan saja. Maka alangkah jauhnya ini daripada yang, dimaksudkan dengan shalat yang disuruh oleh Agama untuk mengasah hati, membarukan ingatan kepada Allah Ta’ala dan meneguhkan ikatan iman kepada ALLAH. Inilah hukum bacaan dan dzikir!. Kesimpulamya, maka inti ini tiada jalan untuk menentangnya pada pembacaan dan membedakannya daripada perbuatan. Adapun ruku' dan sujud, maka yang dimaksudkan dengan kedua­nya itu, ialah mengagungkan semata‑mata. Jikkalau bolehlah meng­agungkan Allah 'Azza wa Jalla dengan perbuatan, sedang ia alpa daripada ALLAH, maka boleh pulalah ia mengagungkan Patung Yang terletak dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya. Atau menga­gungkan dinding tembok yang ada dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya. Dan apabila keluar daripada adanya pengagungan itu, maka tidaklah tinggal, selain daripada semata‑mata gerakan pung­gung dan kepala. Dan tak ada padanya kesukaran yang dimaksud­kan oleh ujian padanya. Kemudian dijadikan semua itu tiang agama dan pemisah diantara kufur dan Islam. Dan didahulukannya dari hajji dan ibadah‑ibadah lain dan diwajibkan bunuh dengan sebab meninggalkannya pada khususnya. Dan aku tidak melihat bahwa kebesaran yang demikian agung seluruhnya untuk shalat itu, dari segi amal perbuatan dhahiriyahnya, melainkan karena ditambahkan kepadanya maksud munajah itu. Maka yang demikian itulah yang mendahulukannya daripada puasa, zakat, hajji dan lainnya. Bahkan daripada segala pengorbanan dan kurban, yang menjadi mujahadah dengan hawa nafau dengan pengurangan harta.

Berfirman Allah Ta’ala: "Tidak akan sampai daging dan darahnya itu kepada Tuhan, hanya yang sampai kepada Tuhan ialah taqwa (kepatuhan menjalankan kewajiban) dari kamu". S 22 Al‑Hajj ayat 37 artinya: suatu sifat yang menguasai hati, sehingga membawanya kepada menuruti segala perintah yang dituntut. Maka bagaimana urusannya mengenai shalat itu, apakah tiada tuju­an pada segala amal perbuatannya? Inilah yang menunjukkan tentang arti disyaratkan kehadiran hati itu! Kalau anda mengatakan, bahwa jika kita tetapkan dengan batal shalat dan kita jadikan kehadiran hati itu menjadi syarat pada shah shalat, niscaya kita telah menyalahi ijma' ulama  fiqih. Karena me­reka itu tiada mensyaratkan kehadiran hati, selain ketika takbira­tul‑ihram. Maka ketahuilah kiranya bahwa telah diterangkan pada Kitab ilmu  dahulu, bahwa ulama‑ulama fiqih itu tiada mengurus mengenai bathin dan tiada membuka persoalan hati dan jalan akhirat. Tetapi mereka membangun yang dhahir dari hukum‑hukum Agama, pada yang dhahir dari perbuatan‑perbuatan anggota badan.

Dan perbu­atan‑perbuatan dhahir itu, adalah mencukupi untuk tidak dihukum bunuh dan tidak disiksa oleh sultan (penguasa). Adapun tentang bermanfa'atnya di akhirat, maka ini tidaklah ter­masuk dalam perbatasan ilmu fiqih, sehingga tidak memungkinkan untuk didakwakan ijma'.

Telah dinukilkan dari Bisyr bin Al‑Harits, menurut yang diriwayatkan Abu Thalib AI‑Makki dari Sufyan Ats­Tsuri, bahwa Sufyan Ats‑Tsuri berkata: "Siapa yang tiada khusyu', maka tidak shah shalatnya". Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa Al Hasan berkata: "Tiap‑tiap shalat yang tidak hadir padanya hati, maka shalat itu lebih mence­patkan kepada siksaan".

Diriwayatkan dari Ma'az bin Jabal: “Barangsiapa mengenal orang di kanannya dan di kirinya dengan sengaja, sedang ia di dalam sha­lat, maka tak ada shalat baginya". Dan diriwayatkan pula oleh Ma'az suatu hadits musnad, bahwa Rasulullah saw bersabda:  "Bahwa hamba untuk mengerjakan shalat, tidaklah ditu­liskan baginya 1/6 dari shalat itu dan tidak 1/10 nya. Hanya dituliskan bagi hamba itu daripada shalatnya, apa yang di pergunakan, akalnya daripadanya". Dan Ini kalau dinukilkan dari orang lain, tentu telah dijadikan madzhab. Maka bagaimanakah tidak menjadi perpegangan?

Berkata Abdul‑Wahid bin Zaid: "Telah Ijma’ (sepakat) para ulama, bahwa tiada bagi hamba daripada shalatnya, selain apa yang diper­gunakannya akal padanya. Lalu pendapat itu dijadikan ijma".  Apa yang dinukilkan dari sejenis ini, daripada para ulama fuqaha yang wara' dan para ulama akhirat, adalah lebih banyak daripada dapat dihinggakan. Yang benar, ialah kembali kepada dalil-dalil syari'at, hadits dan atsar yang jelas mengenai syarat ini. Tetapi kedudukan fatwa mengenai taklif yang dhahir itu, diukur menurut ukuran kesanggupan manusia. Maka tidak mungkin disyaratkan kepada orang banyak, untuk menghadirkan hatinya di dalam keseluruhan shalat. Karena yang demikian itu, adalah seluruh manusia lemah daripadanya, kecuali jumlah yang sedikit. Apabila tidak mungkin disyaratkan meratanya kehadiran hati itu, karena kesulitan tersebut, maka tiada jalan keluar selain daripada disyaratkan sekedar nama kehadiran hati itu, walaupun pada masa sekejap saja. Dan masa sekejap yang paling utama itu, ialah detik takbiratul‑ihram.

Dari itu, kita singkatkan taklif (dimestikan) de­ngan yang demikian. Dalam pada itu, kita mengharap bahwa tidak adalah keadaan orang yang alpa di dalam keseluruhan shalatnya, seperti keadaan orang meninggalkan kehadiran hati itu secara keseluruhan. Karena orang yang alpa itu umumnya, tampil mengerjakannya pada dhahir dan menghadirkan hatinya sekejap mata. Bagaimanakah tidak demikian? Orang yang mengerjakan shalat, serta berhadats (tidak berwudlu), karena lupa, maka shalatnya itu batal pada sisi Allah Ta’ala. Tetapi baginya pahala sekedar perbuatannya, keteledoran dan halangan yang dihadapinya. Dan beserta harapan yang di atas tadi, maka ditakuti keadaan orang yang alpa itu lebih memburuk dari keadaan orang yang meninggalkan kehadiran hati. Bagaimana tidak? Orang yang datang melakukan pengkhidmatan dan berbuat sembrono tiba dihadapan, berkata ‑kata dengan kata‑kata orang alpa, yang hina, adalah lebih buruk keadaannya dari orang yang tidak melakukan pengkhidmat­an sama sekali. Dan apabila berlawananlah diantara sebab takut dan sebab harap dan jadilah hal itu berbahaya pada dirinya, maka terserahlah kepada kita kemudian, memilihnya diantara berhati‑hati dan mempermu­dah‑mudahkan. Dan dalam pada itu, tidak diharapkan menyalahi ulama fiqih, yang berfatwa shahnya shalat serta alpa itu. Karena yang demikian adalah sebahagian daripada yang penting difatwakan, sebagaimana telah diperingatkan dahulu. Siapa yang mengenal kunci rahasia shalat niscaya mengetahui bah­wa kealpaan itu berlawanan dengan shalat. Tetapi telah kami sebut­kan pada "Pada bab Perbedaan antara ilmu Bathin dan ilmu Dhahir", pada Kitab Qaidah‑qaidah 'Aqidah, bahwa kurangnya kesanggupan manusia adalah salah satu sebab yang mencegah daripada penegasan segala apa yang terbuka dari rahasia syariat. Maka kami ringkaskan pembahasan sekedar ini karena mencukupi­lah kiranya bagi murid yang menuntut jalan akhirat.

Tetapi bagi orang membangkang yang berniat buruk, maka tiadalah maksud kami menghadapinya sekarang. Pendek kata, bahwa kehadiran hati adalah nyawa shalat. Dan sekurang‑kurangnya yang membuat nyawa itu tidak keluar, ialah hadir­nya hati itu ketika takbiratul‑ihram. Maka kurang dari itu adalah membinasakan. Dan semakin bertambah lagi, maka semakin mengembang nyawa itu di dalam segala bahagian shalat. Berapa banyak orang yang hidup yang tidak dapat bergerak lagi, yang mendekati kepada kematian. Maka shalat orang yang alpa itu, didalam keseluruhannya selain ketika takbir, adalah seumpama orang hidup yang tak ada geraknya lagi. Kita bermohon kepada Allah akan pertolong­an yang baik!.


FASAL 2 : PENGERTIAN BATHIN YANG MENYEMPURNAKAN KEHIDUPAN SHALAT.

Ketahuilah, bahwa semua pengertian itu, banyaklah kata‑kata yang ditujukan kepadanya.

Tetapi dapat dikumpulkan oleh 6 patah kata‑kata, iaitu:  kehadiran hati, pemahaman, pengagungan, kehe­batan, harap dan malu.

Maka haruslah kami terangkan pengurai- an ­nya, kemudian sebab‑sebabnya, kemudian cara pada mengusaha­kannya. Adapun penguraiannya, maka yang pertama, ialah
Kehadiran hati.

2.1  Kami maksudkan dengan kehadiran hati, ialah bahwa hati itu ko­song dari yang lain, dari apa yang dilaksanakan dan yang dibicara­kannya. Maka adalah pengetahuannya dengan perbuatan dan perkataan itu, menyertai dengan keduanya. Dan tidaklah pikirannya, menerawang kepada yang lain. Manakala pikirannya itu berpaling dari yang bukan apa ia di dalamnya, dan adalah di dalam hatinya ingatan bagi apa yang ia di dalam­nya dan tak ada pada hati itu kealpaan dari keseluruhannya, maka sesungguhnya telah berhasillah kehadiran hati.

2.2 Tetapi pemahaman arti dari kata‑kata yang dibacakan, adalah suatu hal di balik keha­dliran hati. Kadang‑kadang hati itu hadir bersama kata‑kata dan tidak hadir bersama arti dari kata‑kata itu. Maka melengkapnya hati atas pengetahuan dengan arti dan kata‑kata yang dibacakan, itulah yang kami maksudkan dengan pemahaman. Dan ini, suatu kedudukan yang berlebih‑kurang manusia padanya. Karena tiadalah bersekutu manusia tentang memahami segala arti AI Quran dan tasbih‑tasbih. Berapa banyak pengertian‑pengertian yang halus, yang dipahami oleh orang yang mengerjakan shalat (Mushalli), waktu sedang shalat dan tidak terlintas di hatinya yang demikian sebelumnya. Dari segi inilah, shalat itu adalah pencegah dari perbuatan keji dan Mungkar. Karena shalat memberi pemahaman hal‑hal, sudah pasti mencegah dari perbuatan keji.

2.3 Adapun pengagungan, yaitu suatu hal, di balik kehadiran hati dan pemahaman. Karena orang yang berbicara dengan budaknya sesuatu pembicaraan, adalah hatinya hadir pada pembicaraan itu dan memahami artinya, sedang ia tidaklah mengagungkan budak itu. Maka pengagungan itu menambahkan kehadiran hati dan pemahaman arti.

2.4 Adapun kehebatan, maka menambahkan atas pengagungan. Bahkan kehebatan itu adalah ibarat dari ketakutan, yang timbuInya dari rasa pengagungan. Karena orang yang tidak takut, maka tidaklah dinamakan dia orang yang merasa kehebatan. Ketakutan kepada kalajengking dan kejahatan budi seseorang dan sebagainya, dari sebab‑sebab yang mengejikan, tidaklah dinamakan takut kehebatan. Tetapi takut kepada sultan yang diagungkan, itulah yang dinama­kan takut kehebatan. Kehebatan, ialah takut yang sumbemya pengagungan.

2.5 Adapun harap, maka tak ragu lagi, adalah suatu tambahan. Berapa banyak orang membesarkan seseorang raja; ia takut kepadanya atau takut akan kekuasaannya. Tetapi ia tiada mengharap akan pembalasannya. Dan hamba sewajarnyalah mengharap dengan shalatnya itu, akan pahala daripada Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana ia takut dengan keteledorannya akan siksaan Allah 'Azza wa Jalla.

2.6 Adapun malu, maka adalah suatu tambahan pada umumnya. Kare­na sandarannya ialah perasaan keteledoran dan sangkaan berdosa. Dan tergambarlah pengagungan, takut  dan harap, dengan tanpa malu, di mana tidak ada sangkaan teledor dan berbuat dosa.


FASAL 3 PENERANGAN BERKESAN UNTUK MENGHADIRKAN HATI

Adapun sebab‑sebab daripada pengertian yang 6 itu, maka ketahuilah kiranya bahwa kehadiran hati, sebabnya ialah cita‑cita.

3.1 Hati kita mengikuti cita‑cita kita. Dia tidak hadir, kecuali menge­nai apa yang kita cita‑citakan. Manakala ada sesuatu hal yang men­jadi cita‑cita kita, maka hadirlah hati padanya, dengan kehendak atau tanpa kehendak. Hati itu terpaksa dan tunduk patuh kepada­nya. Apabila hati itu tidak hadir di dalam shalat, bukanlah dia itu menganggur, tetapi menerawang pada cita‑cita yang datang kepada­nya dari hal‑ikhwal duniawi. Dari itu, tiada daya dan cara untuk menghadirkan hati, selain dengan menjuruskan cita‑cita kepada shalat. Dan cita‑citanya itu, tidak menjurus kepadanya, selama belum nyata bahwa maksud yang dicari terpaku padanya.

Yang demikian itu ialah iman dan membenarkan bahwa akhirat, adalah lebih baik dan kekal abadi. Dan shalat adalah jalan kepadanya. Apabila ini ditambahkan kepada pengetahuan yang sejati dengan kehinaan dunia dan kepentingannya, niscaya secara keseluruhan, berhasillah kehadiran hati itu di dalam shalat. Dan dengan alasan yang seperti ini, hati anda itu hadir apabila anda berada dihadapan sebahagian pembesar, yang tidak sanggup memberi kemelaratan dan kemanfa'atan kepada anda. Apabila hati itu tidak hadir ketika berMunajah dengan Raja‑Diraja, di mana di dalam tangan ALLAH alam al‑Mulki dan alam al‑malakut, kemanfa'atan dan kemelaratan, maka janganlah kiranya anda me­nyangka ada sesuatu sebab yang lain baginya, selain dari kelemahan iman. Maka bersungguh‑sungguhlah sekarang menguatkan iman itu! Dan caranya akan dibahas secara mendalam, tidak pada tem­pat ini.

3.2 Adapun pemahaman, maka sebabnya setelah kehadiran hati, ialah ketekunan berpikir dan menjuruskan hati kepada memahami arti. Dan obatnya adalah obat menghadirkan hati, serta menghadapkan kepada pemikiran dan terus‑menerus menolak segala yang terlintas di dalam bathin. Dan obat menolak segala yang terlintas yang mem­bawa kepada kebimbangan bathin ialah memutuskan segala materi­nya. Yakni mencabut diri dari segala sebab yang menarik segala yang terlintas itu kepadanya. Selama materi‑materi itu tidak diputuskan maka selama itu pulalah, segala yang terlintas itu, tidak berpaling daripadanya. Barangsiapa menyukai sesuatu, niscaya banyaklah menyebut‑nye­butnya. Maka menyebut‑nyebutkan yang disukai itu, lalu dengan sendirinya menyerbu ke dalam hati. Dari itu, kita melihat bahwa orang yang mencintai selain Allah Ta’ala, maka tidaklah bersih shalatnya dari lintasan‑lintasan ke dalam bathin.

3.3 Adapun pengagungan, adalah suatu keadaan bagi hati, yang terjadi daripada dua ma'rifah (pengenalan):

Pertama:  mengenal kebesaran dan keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan itu adalah sebagian dari pokok‑pokok iman. Siapa yang tidak mengimani keagungan ALLAH, niscaya jiwanya tidak meyakini akan keagungan ALLAH.

Kedua: mengenal kehinaan diri, kerendahan dan keadaannya seba­gai hamba yang mematuhi dan tunduk kepada Tuhannya. Sehingga dari ma'rifah yang dua ini, lahirlah ketenangan, kesepian hati dari dunia dan kekhusyu'an jiwa kepada Allah yang Maha Suci. Lalu dikatakanlah yang demikian itu: pengagungan. Selama tidak ter­jalin ma'rifah kehinaan diri dengan ma'rifah keagungan Ilahi, maka selama itu pulalah tidak teratur keadaan pengagungan dan kekhu­syu'an hati. Orang yang merasa tiada memerlukan kepada orang lain dan merasa aman kepada dirinya sendiri, maka boleh ia mengenal dari orang lain itu akan sifat keagungan. Dan tidaklah kekhusyu'an hati dan mengagungkan orang itu menjadi perilakunya, karena faktor yang lain yaitu mengenal kehinaan diri dan memerlukan diri kepada orang itu tidak ada padanya.

3.4 Adapun kehebatan dan ketakutan, maka adalah keadaan bagi diri, yang terjadi dari mengenal kekuasaan Allah, keperkasaan dan ke­tembusan kehendak ALLAH, serta kurang perhatian kepada ALLAH. Dan kalaulah Ia membinasakan segala orang yang terdahulu dan yang terkemudian, niscaya tidaklah berkurang dari kerajaan ALLAH sebesar biji sawipun. Hal ini, disamping membaca segala peristiwa yang berlaku pada nabi‑nabi dan wali‑wali, dari bermacam‑macam musi­bah dan malapetaka, serta berkuasa Ia menolak, sebaliknya dari­pada apa yang tampak pada raja‑raja dunia. Kesimpulannya, semakin bertambah ilmu dengan Allah, maka semakin bertambah ketakutan dan kehebatan kepada ALLAH. Dan akan datang nanti, penjelasan sebab‑sebab yang demikian, pada “Kitab Takut“, dari “Rubu’ Yang Melepaskan”.

3.5 Adapun harap, maka sebabnya ialah karena mengenal kelemah-­lembutan Allah 'Azza wa Jalla, keMurahan ALLAH, kemerataan nik­mat ALLAH, kehalusan perbuatan ALLAH dan mengenal kebenaran ALLAH  pada janji ALLAH  akan sorga dengan shalat. Apabila berhasillah keyakinan dengan janji ALLAH dan ma'rifah de­ngan kelemah‑lembutan ALLAH, niscaya dari keseluruhannya itu, pastilah membangkitkan pengharapan.

3.6 Adapun malu, maka adalah dengan perasaan keteledoran di dalam ibadah dan mengetahui dengan kelemahan menegakkan keagungan Allah 'Azza wa Jalla.  Dan malu itu kuat dengan pengetahuan kekurangan diri, bahaya hawa nafsu, kurang keikhlasan, kotor kebathinan dan condong kepada kebahagiaan yang segera (dunia) di dalam segala amal perbuatannya. Serta mengetahui dengan keagungan, yang dikehendaki oleh kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla dan mengetahui bahwa Ia melihat kepada rahasia dan segala getaran hati, meskipun halus dan tersembunyi. Segala pengetahuan ini, apabila mendatang kan keyakinan, niscaya membangkitlah dengan sendirinya dari hati itu suatu keadaan yang dinamakan malu. Inilah sebab‑sebab dari sifat‑sifat itu. Tiap‑tiap apa yang dicari supaya berhasil, maka obatnya ialah: mendatangkan sebab adanya. Di dalam mengenal sebab itu, dapatlah mengenal obatnya. Dan pengikat segala sebab itu ialah iman dan yakin. Yakni: segala ma’rifah ini yang telah kami sebutkan. Arti adanya yakin, ialah tiada ragu dan ma'rifah itu berkuasa pada hati, sebagaimana telah diterangkan pada “Penjelasan Tentang Yakin”, dari Kitab Ilmu.

 Menurut kadarnya yakin, khusyu'lah hati. Dari itu berkatalah 'Aisyah: "Adalah Rasulullah saw bercakap‑cakap dengan kami dan kami pun bercakap‑cakap dengan beliau. Maka apabila datang­lah shalat, lalu seakan‑akan beliau tiada mengenal kami dan kami pun tiada mengenal beliau". Diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: "Wahai Musa! Apabila engkau menyebut­kan (berdzikir) akan AKU, maka sebutkanlah akan AKU, di mana seluruh anggota tubuhmu bergerak. Dan adalah engkau ketika berdzikir kepadKU itu khusyu' dan tenang. Apabila engkau me­nyebutkan akan AKU, maka jadikanlah lidahmu di belakang hatimu! Dan apabila engkau berdiri dihadapanKU, maka berdirilah sebagaimana berdirinya seorang hamba yang hina! BerMunajahlah dengan AKU, dengan hati yang gemetar dan lidah yang benar!”. Diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: "Katakanlah (Musa) kepada ummatMU yang durhaka, agar mereka tiada menyebutkan akan AKU! Karena AKU telah berjanji kepada diriKU sendiri, bahwa siapa yang berdzikir kepada AKU, maka AKU ingat kepadanya. Maka apabila orang‑orang yang durha­ka itu menyebutkan AKU, maka AKU sebutkan mereka dengan kutukan (Ia’nat)". Ini, adalah mengenai pendurhaka yang tidak alpa mengingati ALLAH. Maka bagaimanakah pula, apabila berkumpul kealpaan dan kedur­hakaan?. Dan dengan berbagai macam pengertian yang telah kami sebutkan mengenai hati itu, terbagilah manusia kepada: orang yang alpa yang menyempurnakan shalatnya dan tidak hadir hatinya sekejap pun di dalam shalat, dan orang yang menyempurnakan dan tidak hilang kehadiran hatinya sekejappun. Bahkan kadang‑kadang selu­ruh perhatiannya kepada shalat, di mana ia tiada merasa apa yang berlaku dihadapannya.

 Karena itulah, Muslim bin Yassar, tiada merasa dengan jatuhnya tiang dalam masjid, di mana orang banyak sudah berkerumun kepadanya. Setengah mereka, menghadiri shalat jama'ah pada suatu ketika dan sekali‑kali tiada mengenal, siapa yang dikanannya dan yang dikirinya. Dan bunyi detakan jantung Ibrahim as adalah terdengar sampai 2 mil jaraknya. Dan suatu golongan ketika shalat itu pucat mukanya dan kembang‑kempis perutnya. Semuanya itu, tiadalah jauh daripada dapat dipahami. Karena berlipat gandanya yang demikian, dapat dipersaksikan pada cita-­cita penduduk dunia dan ketakutan raja‑raja dunia serta kelemahan dan kedla'ifan raja‑raja itu. Dan memburuknya nasib yang diper­oleh daripada raja‑raja itu. Sehingga jikalau masuklah seseorang kepada raja atau menteri (wazir) dan membicarakan kepentingan­nya, kemudian keluar, lalu ditanyakan tentang orang di keliling raja atau tentang kain yang dipakai oleh raja, maka tiadalah sanggup ia menceriterakannya. Karena seluruh perhatiannya kepada raja, tidak kepada kain dan orang yang di kelilingnya. Masing‑masing orang mempunyai tingkatan daripada apa yang dikerjakannya. Maka keuntungan masing‑masing, daripada shalatnya, ialah menurut takut, khusyu' dan pengagungannya akan Allah. Sesungguhnya tempat perhatian Allah akan hamba ALLAH ialah hati, bukan gerakan dhahir. Dari itu, berkatalah setengah shahabat ra: “Dikumpulkan manusia pada hari qiamat, menurut keadaan mereka di dalam shalat, dari thumaninah, ketenangan, dari adanya perasaan nikmat dan lezat dengan shalat. Sesungguhnya, benarlah perkataan itu, karena manusia itu seluruh­nya dikumpulkan atas apa, ia mati. Dan ia mati atas apa ia hidup. Yang diperhatikan pada yang demikian itu ialah keadaan hatinya, tidak keadaan dirinya. Maka dari sifat hati, tertuang bentuk pada hari akhirat. Dan tidaklah terlepas, selain orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera. Kita bermohon kepada Allah akan kebaikan taufiq dengan kasih ­sayang dan kemurahanNya!.


FASAL 4 PENJELASAN OBAT YANG BERMANFAAT PADA KEHADIRAN HATI

Ketahuilah! Bahwa orang mu'min tak boleh tidak, mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla, takut kepada ALLAH, mengharap daripada ALLAH dan malu karena keteledorannya.

Maka tidaklah terIepas seorang mu'min itu dari hal‑ikhwal yang tersebut tadi sesudah keimanannya, walaupun kekuatan hal‑ikhwal tadi, adalah menurut kekuatan keyakinannya. Terlepasnya, dari keadaan yang tersebut di dalam shalat, tiada sebabnya, selain dari­pada bercerai‑berai pemikiran, bersimpang‑siur yang terlintas pada hati, lenyap jiwa daripada munajah dan alpa daripada shalat. Dan tidaklah yang melengahkan dari shalat, selain lintasan‑lintasan yang mendatang dan yang membimbangkan. Maka obat untuk menghadirkan hati itu, ialah menolak segala lintasan yang terlintas di dalam hati. Dan sesuatu itu tidak dapat ditolak, selain dengan menolak sebabnya. Maka hendaklah diketa­hui sebabnya. Dan sebab kedatangan lintasan‑lintasan itu, adakala­nya, ia sesuatu yang datang dari luar atau sesuatu yang berada di dalam (bathiniyah). Adapun yang dari luar, ialah sesuatu yang mengetok pendengaran atau yang nyata pada penglihatan.

 Kadang‑kadang yang demikian itu, mempengaruhi cita‑cita, sehingga diturutinya dan ia bertindak padanya. Kemudian tertariklah pemikiran daripadanya kepada yang lain dan lalu tali‑bertalilah. Memandang itu adalah menjadi sebab untuk berpikir. Kemudian, sebahagian pemikiran itu menjadi sebab bagi pemikiran yang lain. Siapa yang kuat niatnya dan tinggi cita‑citanya, niscaya tidaklah dapat diganggu oleh apa yang berlaku atas panca indranya. Tetapi orang yang lemah ‑sudah pasti‑ membawa kepada bercera-berai pemikirannya. Dan obatnya, ialah memutuskan segala sebab itu, dengan memincingkan matanya atau mengerjakan shalat dalam rumah yang gelap atau tidak membiarkan dihadapannya sesuatu yang mengganggu pancaindranya dan mendekatkan diri kepada dinding ketika shalat, sehingga tiadalah luas jarak pemandangannya. Dan menjaga daripada melakukan shalat di tepi jalan, pada tempat-­tempat yang penuh dengan ukiran kesenian dan pada tikar yang dicelup dengan warna yang menarik. Dari itu, adalah orang‑orang yang rajin beribadah, melakukan iba­dahnya pada rumah kecil yang gelap. Luasnya sekedar dapat bersujud, supaya yang demikian itu, dapat mengumpulkan segala cita‑citanya. Orang‑orang kuat daripada mereka, datang ke masjid dan menutup­kan mata. Dan tidak melampaui pandangannya daripada tempat sujud.

Mereka melihat bahwa kesempurnaan shalat adalah dengan tiada mengenal orang yang di kanan dan yang di kirinya. Adalah Ibnu Umar ra tiada membiarkan pada tempat shalatnya mashhaf. Ia tiada membiarkan pedang, melainkan dicabutkannya dan tulisan melainkan dihapuskannya. Adapun sebab‑sebab, bathiniyah, maka adalah lebih sulit lagi. Kare­na siapa yang bercabang ingatannya pada lembah‑lembah dunia, niscaya tiadalah terkungkung pemikirannya pada suatu persoalan. Tetapi senantiasalah terbang melayang dari sudut ke sudut. Dan pemicingan mata, tiadalah memadai baginya. Karena apa yang telah jatuh ke dalam lubuk hatinya tadi, telah cukup untuk membim­bangkannya. Dari itu, jalannya ialah menarik diri secara paksa, kepada mema­hami apa yang dibacakan di dalam shalat dan memberikan perhati­an kepadanya, tidak kepada yang lain. Dan dapat menolongnya untuk yang demikian, dengan mengadakan persiapan sebelurn ber­takbiratul‑ihram, dengan memperbaharukan ke dalam jiwanya ingatan kepada akhirat, tempat tegak munajah, berbahayanya tempat berdiri dihadapan Allah Ta’ala dan huru‑haranya pemandangan. Dan menyelesaikan hatinya sebelum bertakbir untuk shalat daripada apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga tiada lagi tempat di dalam jiwanya untuk sesuatu urusan yang berpaling kepada­nya lintasan bathinnya. Bersabda Rasulullah saw kepada Usman bin Abi Syaibah: "Aku lupa mengatakan kepadamu, supaya engkau me­nyembunyikan periuk yang ada di rumah. Maka sesungguhnya tiada wajar, ada di rumah sesuatu, yang mengganggu manusia dari shalatnya”.

Inilah jalan menenteramkan pikiran. Kalau tiada juga menenteram­kan pikiran dengan obat yang menenteramkan, maka tiadalah yang melepaskannya, melainkan obat cuci perut yang mengeluarkan ben­da penyakit dari urat yang paling dalam. Yaitu: memperhatikan kepada segala keadaan, yang menyeleweng, yang mempengaruhi daripada kehadiran hati. Dan tiada ragu kiranya, bahwa segala keadaan itu kembali kepada kepentingannya. Dan kepentingan itu, menjadi kepentingan hawa ­nasfunya. Maka hendaklah ia menyiksakan dirinya dengan menca­but diri dari segala hawa‑nafsu dan memutuskan segala hubungan. Segala yang mengganggunya dari shalat, maka adalah lawan agama­nya dan tentara Iblis musuhnya menahankannya, adalah lebih mendatangkan melarat kepadanya daripada mengeluarkannya. Maka haruslah ia membersihkan diri daripadanya dengan mengelu­arkan benda yang mengganggu itu. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi saw: "Tatkala memakai ‑khamishah‑ (kain hitam 4 persegi) yang dihadiahkan oleh Abu Jahm kepadanya. Dan pada kain itu ada cap bendera Nabi. Lalu Nabi bershalat dengan kain itu. Maka dibukanya sesudah shalat, seraya bersabda: "Kembalikanlah kain ini kepada Abu jahm, karena telah mengganggu aku tadi dari shalatku. Dan bawalah saja kepadaku kain selimut Abu jahm!”.
Rasulullah saw menyuruh memperbaharukan alas kakinya bahagi­an atas. Kemudian beliau memandang kepadanya di dalam shalat, karena barunya. Maka beliau suruh membukanya dan mengembali­kan bahagian atas alas kaki yang lama. Adalah Rasulullah saw memakai alas kaki, lalu mena’jubkan beliau oleh kebagusannya. Maka beliau bersujud kepada Allah, Kemudian bersabda: “Aku merendahkan diri kepada Tuhanku 'Azza wa jalla, kiranya tidak dikutukiNYA aku”. Kemudian beliau keluar membawa alas kaki itu dan memberikannya kepada peminta pertama yang dijumpainya. Kemudian, disuruhnya Ali ra membelikan dua alas kaki dari kulit yang disamak, yang telah dibuang bulunya, lalu dipakainya. Adalah pada tangan Rasulullah saw sebentuk cincin dari emas, sebelum diharamkan. Dan ketika itu beliau diatas mimbar, lalu dilemparkannya cincin itu, seraya bersabda: “Diganggu aku oleh benda ini, karena memandang kepadanya dan memandang kepada kamu”. Diriwayatkan: “Bahwa abu Thalhah bershalat dalam suatu dinding tembok, padanya ada sebatang kayu. Maka menakjubkannya oleh seekor burung yang kehitam-hitaman, terbang di pohon itu mencari jalan keluar. Lalu diikuti oleh Abu Thalhah sebentar burung itu dengan matanya. kemudian ia tiada mengetahui lagi, berapa raka’at sudah shalatnya.

Maka Abu Thalhah menerangkan apa yang telah menimpa dirinya dari kekacauan itu, kepada Nabi saw kemudian ia menyambung: “Wahai Rasulullah! Dinding tembok itu adalah sedekahku. Perbuatkanlah menurut kehendakmu!”. Diriwayatkan dari orang lain, bahwa Abu Thalhah bershalat di dalam dinding temboknya dan pohon kurma berbuah lebat. Maka Abu Thalhah memandang kepada pohon kurma itu dan menakjubkannya. Sehingga ia tak tahu, berapa raka’at sudah shalatnya. Peristiwa ini diceriterakannya kepada Usman ra seraya mengatakan: “Dinding tembok itu, sedekahku, buatkanlah dia pada jalan Allah ‘Azza wa Jalla!”. Maka dijual oleh Usman ra dengan 50 ribu. Mereka berbuat demikian, untuk menghilangkan bahan yang mengganggu pemikiran dan menutup apa yang telah terjadi daripada kekurangan shalat. Inilah obat yang mencegah unsur penyakit dan tidak mempan dengan yang lain. Apa yang telah kami sebutkan dari berlemah-lembutnya menetapkan hati dan mengembalikannya kepada memahami dzikir, adalah bermanfa’at pada hawa nafsu yang lemah dan angan-angan yang tidak mengganggu selain dari tepi-tepi hati. Adapun hawa nafsu yang meluap-luap, yang payah dikendalikan, maka tidaklah bermanfa’at padanya penetapan hati dengan kelemah-lembutan. Tetapi senantiasalah engkau menarik dia dan dia menarik engkau. Kemudian ia mengalahkan engkau dan berlalulah seluruh shalat engkau dalam gangguan tarik menarik.

Adalah seumpama seorang lelaki, di bawah sepohon kayu. Ia bermaksud hendak menjernihkan pikirannya, tetapi nyanyian burung pipit mengganggunya. Maka senantiasalah diusirnya burung pipit itu, dengan sepotong kayu pada tangannya. Dan kembali ia menenangkan pikirannya. Kemudian burung itu kembali lagi, lalu iapun kembali mengusirnya dengan kayu yang ada di tangannya. Maka berkatalah orang kepadanya: “Ini adalah pekerjaan yang tak ada hasilnya! Dan tidak akan habis. Kalau engkau mau terlepas, maka potonglah pohon itu!”. Maka seperti itu pulalah pohon hawa nafsu. Apabila telah bercabang dan banyak ranting-rantingnya, niscaya tertarik kepadanya segala pikiran, sebagaimana tertariknya burung-burung pipit kepada pohon-pohon. Dan tertariknya lalat kepada barang-barang buruk. Dan lamalah usaha untuk mengenyahkannya. Lalat itu, tiap kali dihancurkan, kembali lagi berkembang. Dari itulah, maka ia dinamakan lalat. Maka seperti itu pulalah, segala lintasan di dalam hati. hawa nafsu itu banyak macamnya. Amat sedikitlah manusia terlepas daripadanya. Dan semuanya itu dikumpulkan oleh satu pokok, yaitu: mencintai dunia. Dan begitu pula, kepala tiap-tiap kesalahan, sendi tiap-tiap kekurangan dan sumber tiap-tiap kerusakan. Maka siapa yang terlibat hatinya kepada mencintai dunia, sehingga condong kepada sesuatu daripadanya, bukan untuk mencari bekal daripadanya dan memperoleh pertolongan untuk negri akhirat, maka janganlah diharapkan, akan jernih kelezatan bermunajah di dalam shalat. Karena orang yang senang dengan dunia, niscaya ia tidak senang dengan Allah Ta’ala dan dengan munajah dengan DIA. Cita-cita seseorang, adalah beserta kesayangannya. Kalau kesayangannya ada pada dunia, maka sudah pasti kemauannya berpaling kepada dunia itu. Tetapi, dalam pada itu, tiadalah wajar meninggalkan mujahadah, mengembalikan hati kepada shalat dan menyedikitkan sebab-sebab yang menjadi gangguan. Ini adalah obat yang pahit. Dan karena pahitnya, maka dimuntahkan oleh tabi’at manusia. Sehingga tinggallah penyakit itu melumpuhkan badan dan jadilah penyakit itu penghalang. Sehingga beberapa pembesar, bersungguh-sungguh melakukan shalat dua raka’at, dimana mereka tiada memperkatakan dengan dirinya di dalam shalat tadi, akan hal ikhwal duniawi, maka ternyata mereka lemah dari yang demikian itu. Maka tak adalah harapan seperti kita-kita ini!. Semoga kiranya, selamatlah shalat kita, setengah atau sepertiga daripadanya, dari kebimbangan hati, supaya kita tidak termasuk orang yang mencampurkan amalan baik dan amalan buruk. Kesimpulannya, maka cita-cita dunia dan cita-cita akhirat di dalam hati, adalah seperti air yang dituangkan ke dalam gelas yang penuh dengan cuka. Seberapa banyak air yang masuk kedalam gelas itu, maka sudah pasti sebanyak itu pula cuka keluar. Dan tidaklah keduanya itu berkumpul menjadi satu.



FASAL 5 PENJELASAN PERINCIAN APA YANG SELAYAKNYA HADIR DI DALAM HATI PADA TIAP-TIAP RUKUN DAN SYARAT PERBUATAN SHALAT

Maka kami katakan, hak anda kalau benarlah anda dari orang-orang yang mencari akhirat, ialah yang pertama-pertama tidak melengahkan segala peringatan yang mengenai syarat-syarat dan rukun-rukun shalat.

Adapun syarat-syarat yang mendahului shalat, yaitu: azan, bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, berdiri betul dan niat.

5.1  Azan. Apabila kita mendengar seruan muadzin, maka hadirkanlah kiranya ke dalam hati kita, huru-hara seruan pada hari qiamat.

Dan bersiaplah dengan dhahir dan bathin kita, memperkenan dan menyegerakan. Karena orang-orang yang menyegerakan diri kepada seruan ini, adalah mereka yang diserukan dengan lemah-lembut pada hari pertemuan akbar itu. Maka bawalah hatimu kepada seruan ini! Kalau anda memperolehnya penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, melimpah-limpah dengan keinginan untuk bersegera, maka ketahuilah bahwa anda didatangi oleh seruan dengan berita gembira dan kemenangan di hari keputusan yang akan tiba. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Berikanlah kesenangan kami, hai Bilal!”. Artinya: Berikanlah kesenangan kepada kami dengan shalat dan dengan seruan kepadanya! Karena kecintaan hati Nabi saw adalah padanya.

5.2  Adapun bersuci, maka apabila anda telah laksanakan pada tempat anda, yaitu lingkungan yang mengelilingi anda, yang lebih jauh, kemudian pada pakaian anda, yaitu pembalut anda yang lebih dekat, kemudian pada kulit anda, yaitu kulit anda yang lebih dekat lagi, maka janganlah anda melupakan isi badan anda, yang menjadi diri anda sendiri, yaitu hati anda. Maka bersungguh-sungguhlah menyucikan hati itu, dengan bertaubat dari menyesali diri atas perbuatan yang telah terlanjur dan memusatkan cita-cita, untuk meninggalkannya pada masa yang akan datang. Maka sucikanlah bathin anda dengan yang tersebut tadi, karena bathinlah tempat yang dilihat oleh Tuhan yang kita sembah.

5.3  Adapun menutup aurat, maka ketahuilah bahwa arti menutup aurat itu, ialah menutup tempat-tempat yang jelek pada badan anda dari mata manusia. Sesungguhnya yang dhahir dari badan anda, adalah tempat pandangan manusia.

Maka bagaimanakah fikiran anda mengenai aurat bathin anda dan rahasia-rahasia anda yang keji, yang tidak dilihat selain oleh Tuhan anda ‘Azza wa Jalla? Maka kemukakanlah segala kekejian itu pada hati anda dan mintalah diri anda menutupkannya. Dan yakinlah bahwa tiada sesuatupun yang dapat menutupkannya. Pada penglihatan Allah Ta’ala. Hanya segala kekejian itu dapat ditutup oleh penyesalan, malu dan takut. Maka dengan menghadirkan segala kekejian itu ke dalam hati, dapatlah anda memperoleh faedah, menggerakkan tentara takut dan malu dari tempat persembunyiannya. Lalu dengan yang demikian, anda hinakan diri anda dan hati anda akan menjadi tenteram di bawah perasaan malu itu.

5.4  Dan tegak berdirilah anda di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana berdirinya hamba yang berdosa, yang berbuat jahat dan yang melarikan diri selama ini, yang telah menyesal. Maka ia kembali kepada tuannya dengan kepala menekur, karena malu dan takut.

5.5 Adapun menghadap qiblat, yaitu memalingkan wajah dhahir anda dari pihak-pihak yang lain, ke pihak Baitullah. Adakah anda berpendapat, bahwa memalingkan hati dari segala hal yang lain, kepada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, tidak diminta dari anda?. Amat jauh dari yang demikian! Maka tidaklah diminta selain itu!.  Sesungguhnya segala yang dhahir ini, adalah segala penggerak bagi bathin, pengendalian dan penenangan bagi segala anggota badan, dengan penetapan arah yang satu itu. Sehingga segala yang dhahir itu, tidak mendurhakai hati. karena apabila ia mendurhakai dan menganiayai di dalam segala geraknya dan berpalingnya kepada segala pihak itu, niscaya dia menarik akan hati dan berbalik daripada wajah Allah ‘Azza wa Jalla.

Dari itu, hendaklah wajah hati engkau bersama dengan wajah tubuh engkau!. Ketahuilah kiranya bahwa sebagaimana muka tidak menghadap ke arah Baitullah, kecuali dengan berpaling dari lainnya, maka begitu pula hati tiada akan berpaling kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali dengan mengosongkan hati itu daripada lainNYA. Telah bersabda Nabi saw: “Apabila berdirilah hamba kepada shalatnya, maka hawa nafsunya, wajahnya dan hatinya berpaling kepada Allah ‘Azza wa Jalla, adalah seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya”. Adapun i’tidal dengan berdiri betul, adalah berdiri lurus dengan diri dhahir dan hatinya dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka hendaklah kepala anda, yaitu anggota tubuh anda yang tertinggi, menekur, menunduk dan melihat ke bawah! Dan hendaklah kerendahan kepala dari ketinggiannya, memberi pengertian kepada keharusan bagi hati untuk merendahkan, menghinakan dan melepaskan dari sifat keangkuhan dan kesombongan! Dan hendaklah ada pada ingatan anda disini, tergurisnya di hati berdiri dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, pada huru-hura pandangan ketika datang untuk pertanyaan amal! Ketahuilah, dalam keadaan ini, sesungguhnya anda adalah berdiri dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla! IA melihat kepada anda. Dari itu berdirilah di hadapan ALLAH, sebagaimana anda berdiri dihadapan setengah raja-raja zaman sekarang, kalau anda merasa lemah daripada mengenal dzat ALLAH yang Maha Tinggi.

Tetapi umpamakanlah selama anda berdiri di dalam shalat itu, bahwa anda diperhatikan dan diintip oleh mata yang bersinar berapi-api, dari seorang laki-laki yang shalih, dari keluarga anda atau dari orang yang anda ingini, untuk mengenal anda sebagai orang shalih. Maka pada ketika itu, tenanglah sendi-sendi anda, khusyu’lah anggota-anggota tubuh anda dan tenteramlah segala bahagian badan anda. Karena takut dikatakan anda oleh orang yang lemah lagi miskin itu, bahwa anda kurang kusyu’. Apabila anda telah merasa diri anda, dengan pemegangan diri, dari perhatian hamba yang miskin itu, maka celalah diri anda dan katakanlah kepada diri itu: “Bahwa engkau, hai diri, mendakwakan mengenal dan mencintai Allah.

Apakah engkau tidak malu dari keberanian engkau kepadanya, serta engkau memuliakan salah seorang daripada hamba ALLAH ? Atau engkau takut kepada manusia dan engkau tidak takut kepada ALLAH ? Padahal, Dialah yang berhak ditakuti! Karena itu, tatkala bertanya Abu Hurairah: “Bagaimanakah malu kepada Allah?”. maka menjawab Nabi saw: “Engkau malu kepada ALLAH, adalah sebagaimana engkau malu kepada laki-laki yang baik dari kaum engkau”. Dan diriwayatkan pada riwayat yang lain: “Dari keluarga engkau”. Adapun niat, maka berhasratlah untuk memenuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla, pada mengikuti perintah ALLAH dengan shalat dan menyempurnakannya, mencegah dari segala yang meruntuhkan dan yang merusakkan shalat itu. Serta mengikhlaskan semuanya itu bagi wajah Allah Ta’ala, karena mengharap pahala daripadanya, takut daripada siksaan ALLAH, mencari kehampiran diri pada ALLAH dan mengharapkan nikmat dengan keizinan ALLAH.

Awaslah pada  bermunajah itu dengan adabmu yang buruk dan maksiatmu, yang banyak. Dan agungkanlah di dalam jiwamu banyak sedikitnya bermunajah dengan DIA ! Dan lihatlah dengan siapa anda bermunajah dan bagaimana anda bermunajah! Dan dengan apa anda bermunajah?. Pada ketika ini sewajarnyalah berkeringat pipimu daripada perasaan malu, kembang kempislah perutmu daripada perasaan kehebatan dan menguninglah wajahmu daripada perasaan ketakutan.

5.6 Adapun takbir, apabila lisan anda mengucapkannya, maka seyogyalah tidak didustakannya oleh hati anda. Kalau di dalam hati anda, ada sesuatu, yang lebih agung daripada Allah Ta’ala, maka Allah menyaksikan, bahwa anda itu pembohong, meskipun perkataan anda itu benar. Seperti yang disaksikan pada orang-orang yang munafik tentang perkataan mereka, bahwa Nabi saw itu rasul Allah. Kalau hawa nafsu anda lebih keras pada anda daripada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga anda lebih mematuhi panggilan hawa nafsu itu daripada panggilan Allah, maka sesungguhnya anda telah mengambil hawa nafsu itu menjadi Tuhan anda dan telah mengagungkannya. Maka adalah ucapan anda Allaahu akbar (Allah Maha Besar) itu, adalah ucapan dengan lisan semata-mata. Dan hati menyalahi daripada menolong lisan itu. Alangkah besarnya bahaya yang demikian itu, jikalau tidaklah bertaubat, bermohon ampun dan membaikkan sangka dengan kemurahan dan kema’afan Allah Ta’ala.

5.7 Adapun do’a iftitah, maka kata-kata pertamanya ialah ucapan anda: “wajjahtu wajhiya lilladzii fathaaras-samaawaati wal-ardhi”. (aku hadapkan wajahku/diriku kepada Tuhan yang menjadikan langit dan bumi). Tidaklah dimaksudkan dengan wajah itu, wajah dhahir. Karena anda apabila menghadapkan wajah itu ke arah qiblat dan Allah Ta’ala Maha Suci, daripada di dapati oleh pihak-pihak, sehingga anda menghadapkan dengan wajah tubuh anda kepadanya. Sesungguhnya wajah hatilah, yang anda hadapkan kepada pencipta langit dan bumi. Maka lihatlah kepada hati itu, adakah ia menghadap kepada cita-citanya dan kemauannya, di rumah dan di pasar, yang mengikuti hawa nafsu atau menghadap kepada pencipta langit?”. Awaslah daripada adanya permulaan munajah anda itu, dengan bohong dan dibuat-buat. Dan tidaklah berpaling wajah itu kepada Allah Ta’ala selain dengan berpalingnya daripada selain Allah. Dari itu, bersungguh-sungguhlah pada waktu sekarang, memalingkannya kepada Allah. jikalau anda lemah terus menerus daripada yang demikian, maka hendaklah ada pada waktu sekarang ini, ucapan anda itu benar!.

Apabila anda mengucapkan: “Hanifam-muslima” (memilih agama yang benar, lagi muslim/berserah diri), maka seyogyalah bahwa, terlintas pada hati anda, bahwa muslim, ialah yang selamat orang muslimin lain daripada lidah dan tangannya. Kalau tidak adalah anda seperti yang demikian, maka adalah anda pembohong. Maka berusahalah sungguh-sungguh, untuk berhasrat yang demikian pada masa yang akan datang dan menyesali diri terhadap hal-ikhwal yang telah lalu. Apabila anda mengucapkan: “Wa maa ana minal musyrikiin” (dan tidaklah aku termasuk orang musyrik), maka guriskanlah pada hati anda “syirik khafi”, (mempersekutukan Tuhan secara tersembunyi, tidak kelihatan). Bahwa firman Allah Ta’ala: “Maka siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan pekerjaan yang baik-baik dan jangan dia mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al kahfi ayat 110. Turun mengenai orang yang bermaksud dengan ibadahnya akan wajah Allah dan pujian manusia. Hendaklah anda berhati-hati menjaga diri dari syirik ini! Dan meresaplah kiranya perasaan malu di dalam hati anda, kalau anda menyifatkan diri sendiri, bahwa anda tidaklah termasuk orang musyrik, tanpa terlepas daripada syirik itu. Nama syirik itu, terjadi pada sedikit dan banyak daripadanya.

Apabila anda mengucapkan: “Hidupku dan matiku untuk Allah”, maka ketahuilah bahwa ini adalah keadaan seorang hamba yang memandang dirinya tidak ada, hanya adanya  untuk tuannya. Bahwa sesungguh nya, kalau terbitlah kata-kata tadi dari orang, yang relanya dan marahnya, tegaknya dan duduknya, sukanya kepada hidup dan takutnya kepada mati, untuk urusan keduniaan, maka tiadalah sesuai kata-kata itu dengan keadaaan. Apabila anda mengucapkan: “Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang terkutuk”, maka ketahuilah bahwa setan itu musuhmu dan mencari kesempatan untuk memalingkan hatimu daripada Allah ‘Azza wa jalla. Karena dengkinya kepadamu bermunajah dengan Allah Ta’ala dan sujudmu kepada ALLAH. Sedang dia telah terkutuk, disebabkan satu sujud yang ditinggalkannya dan tidak disetujuinya. Bahwa engkau berlindung dengan Allah Ta’ala daripada setan, adalah dengan meninggalkan apa yang disukai setan dan menggantikannya dengan apa yang disukai Allah ‘Azza wa Jalla. Tidaklah dengan semata-mata perkataan engkau itu saja. Karena orang yang dimaksudkan oleh binatang buas atau oleh musuh, mau diterkam atau dibunuhnya, lalu mengucapkan: “Aku berlindung daripadamu dengan benteng yang kokoh kuat itu”, sedang ia tetap pada tempatnya, maka yang demikian itu, tiadalah bermanfa’at baginya. Tetapi tidaklah melindunginya, kecuali dengan menggantikan tempat itu. Seperti itu pulalah orang yang menuruti hawa nafsu, yang menjadi kesukaan setan dan kebencian Tuhan, maka tiada mencukupi dengan semata-mata perkataan. Tetapi hendaklah disertakan perkataan itu dengan hasrat melindungkan diri dengan benteng Allah ‘Azza wa Jalla daripada kejahatan setan itu. Dan bentengNYA, ialah: “Laa ilaaha illallaah” (Tiada yang disembah dengan sebenarnya, selain Allah). karena berfirman Allah Ta’ala, menurut apa yang diterangkan oleh Nabi kita saw: “Laa ilaaha illallah adalah bentengKU. Maka siapa yang masuk ke dalam bentengKU, niscaya ia aman daripada azabKU”. Yang berbenteng dengan benteng Allah, ialah orang yang tiada menyembah selain Allah swt.

Adapun orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya, maka dia adalah di dalam tanah lapang setan, tidak di dalam benteng Allah ‘Azza wa Jalla. Ketahuilah bahwa diantara tipu daya setan itu ialah diganggunya anda di dalam shalat, dengan mengingati akhirat dan memahami perbuatan kebajikan, supaya mencegah anda daripada memahami apa yang anda baca.

Maka ketahuilah bahwa tiap-tiap yang mengganggu anda daripada memahami arti bacaan anda, itu adalah gangguan setan. Karena bukanlah gerak lidah yang dimaksud, tetapi yang dimaksud ialah arti dari gerak lidah itu. Karena itu anda harus paham atau mengerti arti bacaan pada sholat. Jangan hanya hafal bahasa arabnya saja, tapi anda tidak tau apa yang anda ucapkan !!! Karena itulah anda menjadi alpa dan pikiran anda menerawang kemana-mana !!! Maka menjadilah sholat anda tidak syah !!!

Adapun bacaan, maka manusia mengenai bacaan ini 3 golongan:
      1        Segolongan ialah orang yang menggerakkan lidahnya dan hatinya alpa.
      2.       Segolongan orang yang menggerakkan lidahnya dan hatinya mengikuti lidahnya, maka ia mengerti dan mendengar bacaan dari lidahnya, seakan-akan ia mendengar dari orang lain. Yaitu: derajat orang golongan kanan. Dan
      3.       Segolongan lagi, ialah orang, pertama-tama: mendahului hatinya kepada maksud, kemudian lidahnya berkhidmat kepada hati, lalu lidah itu menjadi juru bahasa daripada hati. Maka dibedakan, antara lidah menjadi juru bahasa dari hati atau guru dari hati.

Adapun orang muqarrabun (orang-orang yang menghampirkan diri kepada Allah Ta’ala), lidah mereka itu adalah juru bahasa yang menuruti hati dan tidaklah hati yang menuruti lidah. Perincian terjemah dari segala maksud yang dibaca itu, ialah apabila anda membaca: “Bismillaahir rahmaanir rahiim”, (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka berniatlah memperoleh barakah (berkat) untuk memulai bacaan kalam Allah Ta’ala. Dan pahamilah bahwa maksudnya, ialah: segala sesuatu itu seluruhnya pada Allah Ta’ala. Dan yang dimaksudkan dengan “nama” disini, ialah “yang dinamakan” (yang diberi nama kepadanya). Apabila segala sesuatu adalah pada Allah Ta’ala, maka tegaslah, bahwa pujian itu adalah bagi Allah. artinya: syukur (terima kasih) itu bagi Allah, karena segala nikmat itu daripada Allah.

Siapa yang melihat, nikmat itu dari selain Allah atau bermaksud bersyukur kepada selain Allah, tidak dari segi bahwa yang lain dari Allah itu adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala, maka pada menamakan dan memujikan yang lain dari Allah itu, mengandung kekurangan, menurut kadar berpalingnya kepada selain Allah. Apabila anda membaca “arrahmaanir-rahiim”. (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka hadirkanlah ke dalam hati anda segala macam kasih sayang ALLAH. Supaya jelaslah bagi anda rahmat ALLAH, lalu tergeraklah harapan anda, kemudian meluaplah dari hati anda keagungan dan ketakutan dengan ucapan anda: “maaliki yaumiddin” (Yang menguasai hari pembalasan). Adapun keagungan, maka karena tak adalah pemerintahan, melainkan kepunyaan ALLAH. Dan adapun takut, maka karena kehuru-haraan hari pembalasan dan perhitungan amal, di mana DIAlah yang mempunyainya. Kemudian perbaharuilah keihklasan dengan ucapan anda: “Iyyaaka na’budu” (Hanyalah Engkau yang kami sembah!) dan perbaharuilah rasa kelemahann diri, rasa berhajat kepada ALLAH dan tidak mempunyai daya dan upaya, dengan ucapan anda: “Wa iyyaaka nasta’iin” (Dan kepada Engkau kami memohon pertolongan!) dan yakinlah, bahwa tiadalah memperoleh kemudahan berbuat ta’at, melainkan dengan pertolongan ALLAH. Dialah yang mempunyai nikmat, karena memberikan taufiq kepada kita untuk berbuat ta’at kepada ALLAH. Dan dijadikan ALLAH kita, dapat berkhidmat memperhambakan diri kepada ALLAH dan menjadikan kita dapat bermunajah dengan DIA.

Kalau tidak dianugerahi ALLAH kita daripada memperoleh taufiq, niscaya adalah kita termasuk orang-orang yang terusir bersama setan yang terkutuk. Kemudian apabila anda telah selesai daripada membaca: “A’uudzu billaah”, daripada membaca: “Bismillaahir-rahmaanir-rahiim”, daripada membaca “Alhamdulillaah”, dan daripada melahirkan hajat umumnya kepada pertolongan ALLAH, maka tentukanlah permohonanmu! Dan tidak meminta selain daripada hajatmu yang terpenting, yaitu ucapkanlah: “Ihdinash-shiraathal-mustaqiim” (Pimpinlah kami ke jalan yang lurus), yang membawa kami ke sisi Engkau dan menghantarkan kami kepada kerelaan Engkau!. Dan tambahkanlah penguraian, perincian, peneguhan dan pengakuan bersama mereka yang telah dianugerahi ALLAH kenikmatan petunjuk, yaitu nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Tidak mereka yang telah dimarahi, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Majusi. Kemudian bermohonlah makbul, dengan mengucapkan “Aamin” (Perkenankanlah ya Allah!).

Apabila sudah membaca al-fatihah seperti yang tersebut diatas, maka menyerupailah anda dengan orang-orang yang dikatakan oleh Allah Ta’ala tentang mereka itu, menurut apa yang diceriterakan Nabi saw: “Aku bagi shalat itu dua bahagian, antaraKU dan hambaKU. Sebahagian bagiKU dan sebahagian lagi bagi hambaKU. Dan hambaKU memperoleh apa yang dimintanya”. Berkatalah hamba: “Alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin” (Segala pujian untuk Allah, Pemimpin semesta alam), maka berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: “Telah dipuji AKU oleh hambaKU dan disanjunginya AKU”. Yaitu: maksud dari bacaannya: “Sami’allaahu liman hamidah”. (Didengar oleh Allah siapa yang memuji ALLAH). Kalau sekiranya tak ada bagi anda keuntungan dari shalat itu, selain dari diingati oleh Allah Ta’ala akan anda di dalam kebesaran dan keagungan ALLAH, maka itupun merupakan suatu hadiah yang berharga. Maka betapa lagi dengan apa yang anda harapkan, yang merupakan pahala dan kurnia daripada ALLAH?. Begitu pula, sewajarnyalah anda pahami tiap-tiap yang anda baca dari surat-surat Al-Qur’an, sebagaimana akan datang penjelasannya pada Kita Membaca Al-Qur’an. Maka janganlah anda alpa dari perintah ALLAH, dan larangan ALLAH, janji nikmat ALLAH dan janji ‘azab ALLAH, segala pengajaran ALLAH, berita dari nabi-nabi ALLAH, ingatan kepada nikmat-nikmat ALLAH dan kebaikan ALLAH. Masing-masing itu mempunyai hak. Maka harap, adalah hak dari janji nikmat. Dan takut, adalah hak dari janji ‘azab. Dan cita-cita, adalah hak dari suruhan dan larangan. Dan menerima pengajaran adalah hak dari pengajaran. Syukur adalah hak dari ingatan kepada nikmat. Dan memperoleh pengertian adalah hak berita dari nabi-nabi. Diriwayatkan, bahwa Zararah bin Aufa, tatkala sampai pembacaannya kepada firman Allah Ta’ala: “Ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8, lalu jatuh tersungkur dan meninggal dunia. Adalah Ibrahim An-Nakha’i, apabila mendengar firman Allah Ta’ala: “Ketika langit belah”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 1, gemetarlah tubunya sehingga lemahlah sendi-sendinya. Berkatalah Abdullah bin Waqid: “Saya melihat Ibnu Umar mengerjakan shalat, dalam keadaan tidak sadar. Kiranya benarlah, bahwa hatinya terbakar dengan janji nikmat dan janji ‘azab Tuhannya. Karena dia adalah hamba yang berdosa lagi hina, dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, lagi Maha Perkasa”. Dan adalah segala pengertian tadi, menurut tingkat pemahaman masing-masing. Dan pemahaman itu adalah menurut kesempurnaan ilmu dan kebersihan hati dan tingkat-tingkat tersebut, tidak terhingga banyaknya. Shalat itu adalah kunci hati. didalam shalat terbukalah segala kunci rahasia kalimah-kalimah yang dibaca. Dan inilah hak bacaan, juga hak dzikir dan tasbih.

Kemudian, dijaga kehebatan pada bacaan, maka bacalah dengan bacaan yang bagus dan tidak terburu. Karena dengan demikian, lebih memudahkan bagi perhatian. Dan diperbedakan pada pembacaan itu, diantara turun naiknya suara, mengenai ayat-ayat yang mengandung rahmat dan ‘azab, janji pahala dan janji siksa, pemujian, pengagungan dan penghormatan. Adalah An-Nakha’i apabila melalui di dalam pembacaannya seperti firman Allah Ta’ala: “Allah tiada mengambil (mempunyai) anak dan tiada pula Tuhan yang lain disamping ALLAH”. S 23 Al Mukminuun ayat 91, maka beliau merendahlah suaranya, seperti orang yang malu menyebutkan sesuatu yang tidak layak. Diriwayatkan, bahwa dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an: “Bacalah, tinggikanlah dan baguskanlah pembacaan, sebagaimana engkau membaguskan pembacaan mengenai ikhwal duniawi!”. Adapun berkekalan berdiri di dalam shalat, adalah pemberitahuan kepada ketegakan hati serta Allah Ta’ala di atas sifat dari kehadirannya. Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menghadap pada orang yang bershalat, selama orang itu tiada berpaling kepada yang lain”. Sebagaimana harus menjaga kepala dan mata daripada berpaling kepada segala pihak, maka seperti itu pulalah wajib menjaga rahasia (bathin) daripada berpaling kepada bukan shalat. Apabila berpaling kepada yang lain, maka peringatilah hati itu, bahwa Allah Ta’ala melihatnya. Dan merupakan penghinaan yang keji kepada Allah ketika kealpaan orang yang bermunajah itu. Supaya kembalilah hati itu kepada ALLAH. Dan haruslah mengusahakan khusyu’ bagi hati, dengan terlepasnya hati daripada berpaling kepada yang lain, pada bathin dan pada dhahir, sebagai hasil dari khusyu’. Dan manakala telah khusyu’ bathin, niscaya khusyu’lah dhahir. Bersabda Nabi saw, ketika ia melihat seorang laki-laki yang mengerjakan shalat dan mempermain-mainkan janggutnya: “Adapun orang ini jikalau khusyu’lah hatinya, maka pastilah khusyu’ anggota badannya”. Karena rakyat itu adalah menurut pimpinan dari pemimpinnya. Dari itu tersebut pada do’a Nabi saw: “Ya Allah, ya Tuhanku! Perbaikilah pemimpin dan rakyat yang dipimpin!”, yaitu hati dan anggota badan”. Adalah Abu Bakar Shiddiq ra di dalam shalatnya, seolah-olah dia itu tonggak.

Dan Ibnu Zubair ra, seolah-olah dia itu tiang. Setengah mereka adalah menetap di dalam ruku’nya, sehingga jikalau jatuhlah burung pipit ke atasnya, maka dia adalah seakan-akan barang keras. Semuanya itu, adalah kehendak tabi’at manusia, dihadapan yang diagungkan daripada anak-anak dunia. Maka bagaimana pula, tidak diperlakukan yang demikian, dihadapan Raja-Diraja pada orang yang mengenal akan Raja-Diraja itu?. Tiap-tiap orang yang tenang dengan khusyu’ dihadapan selain Allah dan tidak tenang anggota badannya dengan bermain-main dihadapan Allah, maka adalah karena singkat pengetahuannya tentang kebesaran Allah dan tentang penglihatan Allah kepada rahasia dan isi hatinya. Berkata ‘Akramah tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (mengerjakan shalat). Dan melihat gerak badan engkau diantara orang-orang yang sujud”. S 26 Asy Syu’araaa’ ayat 218-219, yaitu: berdiri ruku’, sujud dan duduk dari orang yang mengerjakan shalat itu.

5.8 Adapun ruku’ dan sujud, maka sewajarnyalah membaru ingatan kepada kebesaran Allah Ta’ala ketika mengerjakan keduanya. Dan anda mengangkatkan kedua tangan, dengan bermohon kema’afan Allah Ta’ala dari siksaan ALLAH, dengan membaharukan niat dan mengikuti sunnah Nabi saw kemudian anda mengulangi lagi, menghinakan dan merendahkan diri kepada ALLAH dengan ruku’ anda. Dan berusaha benar-benar melembutkan hati anda, membaharukan khusyu’ anda. Anda merasakan akan demikian, kemuliaan Tuhan anda, kerendahan anda dan keagungan Tuhan anda. Anda bermohon pertolongan supaya tetaplah yang demikian itu dalam hati anda dengan lisan anda. Maka bertasbihlah akan Tuhan dan mengakuilah keagungan ALLAH. Bahwa DIA Maha Agung dari segala yang agung! Anda mengulang-ulangi yang demikian dalam hati anda, supaya bertambah kuat dengan mengulang-ulangi itu.

5.9 Kemudian anda bangkit dari ruku’ dengan mengharap, kiranya IA merahmati anda. Dan kuatkan harapan itu pada jiwa anda, dengan bacaan: “Samiallaahu liman hamidah” (Didengar oleh Allah akan siapa yang memujikan ALLAH). Artinya: dikabulkan ALLAH do’a orang yang mensyukuri ALLAH. Kemudian anda iringi yang demikian itu, dengan kesyukuran yang menghendaki penambahan itu, lalu anda bacakan: “Rabbanaa lakalhamd”, (Hai Tuhan kami, bagi Engkau segala jenis pujian). Anda perbanyakkan pujian itu, dengan bacaan: “Mil-ussamaawaati wa mil-ul-ardli” (Memenuhi segala langit dan bumi). Kemudian, anda turun kepada sujud, yaitu tingkat tertinggi dari ketetapan hati. Maka anda tetapkan anggota badan anda yang termulia, yaitu, muka kepada benda yang terhina, yaitu tanah. Kalau dapat janganlah anda buat dinding diantara keduanya, maka sujudlah diatas bumi! Perbuatlah yang demikian, karena lebih menarik kepada kekhusyu’an hati dan lebih menunjukkan kepada kehinaan. Apabila anda meletakkan diri anda pada tempat kehinaan, maka ketahuilah bahwa anda telah meletakkannya pada tempatnya dan telah anda kembalikan cabang kepada pokoknya. Karena anda, dari tanah dijadikan dan kepadanya anda kembali. Maka ketika itu, perbaharuilah di dalam hatimu keagungan Allah dan ucapkanlah: “Subhaana rabbial-a’laa”, (Maha suci Tuhanku yang Maha Tinggi). Dan kuatkanlah dengan diulang-ulangi! Karena sekali adalah lemah membekasnya. Apabila hati anda telah menghalus dan telah nyata yang demikian itu, maka benarkanlah harapan anda kepada rahmat Allah! karena rahmat ALLAH bersegera kepada yang lemah dan yang hina, tidak kepada yang takabur dan menggagah. Kemudian, angkatkanlah kepala anda dengan bertakbir dan bermohon hajat anda, dengan membaca: “Rabbighfir warham wa tajaawaz ‘ammaa ta’lam”, (Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lepaskanlah (aku) daripada sesuatu (dosa) yang Engkau ketahui!. Ataupun anda bacakan sesuatu do’a yang anda kehendaki. Kemudian, teguhkanlah merendahkan diri itu, dengan mengulang-ulangi membacakannya!. Kemudian, kembalilah kepada sujud kedua seperti tadi!. Adapun tasyahhud, maka apabila anda duduk tasyahhud itu, maka duduklah dengan adab. Dan tegaskanlah bahwa seluruh apa yang dilaksanakan dari amal perbuatan shalat dan tingkah laku yang suci, adalah karena Allah dan kepunyaan Allah. itulah, yang dimaksudkan dengan: segala kehormatan (tahiyyah) untuk Allah. dan hadirkanlah di dalam hati anda, Nabi saw dan pribadinya yang mulia, dengan mengucapkan: “Salaamun ‘alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh”, (Selamat sejahtera kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah serta berkat ALLAH). Dan hendaknya benarkanlah cita-cita anda, pada menyampaikan salam kepadanya dan semoga dibalaskannya kepada anda dengan lebih sempurna. Kemudian, anda mengharapkan selamat sejahtera kepada diri anda sendiri dan kepada sekalian hamba Allah yang shalih. Kemudian, anda mengharapkan kiranya Allah mengembalikan selamat sejahtera yang lebih sempurna kepada anda, sebanyak bilangan hamba ALLAH yang shalih itu.

Kemudian anda mengakui dengan keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw dengan risalah yang dibawanya, dimana anda membaharukan janji kepada Allah dengan mengulangi dua kalimah syahadah dan mengulangi kembali untuk membentengi diri dengan kalimah itu. Kemudian, anda berdo’a pada akhir shalat anda, dengan do’a yang berasal dari Nabi saw serta dengan merendahkan diri, khusyu’ hati, memohon, meminta dan mengharap dengan harapan yang sebenarnya, diperkenankan kiranya oleh Allah. Anda sertakan di dalam do’a itu, akan do’a kepada kedua ibu-bapak anda dan kaum muslimin lainnya. Dan ditujukan ketika memberi salam itu, kepada para malaikat dan hadirin yang ada di tempat shalat anda. Dan niatkan menyudahi shalat dengan salam itu dan mesrakanlah didalam hati akan rasa syukur kepada Allah Ta’ala, atas taufiq ALLAH, dapat menyempurnakan ibadah ini!. Dan buatkanlah sangkaan di dalam hati, bahwa anda meninggalkan shalat anda ini dan boleh jadi anda tidak akan lama hidup, dapat menyelesaikan shalat yang seperti ini lagi! Bersabda Nabi saw kepada orang yang diberinya wasiat: “Bershalatlah seperti shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal!”. Kemudian, rasakanlah di dalam hati akan perasaan takut dan malu dari keteledoran di dalam shalat! Dan takutilah shalat anda itu tidak diterima dan anda dikutuki dengan dosa dhahir atau bathin, lalu shalat anda itu ditolak ke muka anda. Dari itu anda berharap, kiranya diterima ALLAH sholat anda dengan kemurahan dan kurnia Allah. Adalah Yahya bin Watstsab apabila telah mengerjakan sholat, maka ia berhenti / masya Allah / sampai kita kenal padanya, seperti tanda shalat. Dan adalah Ibrahim, berhenti sesudah shalat satu jam lamanya, seolah-olah ia sakit. Maka inilah perincian shalat orang-orang yang khusyu’, dimana mereka khusyu’ di dalam shalatnya. Dan mereka memelihara shalatnya dan mereka tetap mengerjakan shalatnya dan bermunajah dengan Allah menurut kesanggupannya dalam peribadatan. Hendaklah manusia mendatangkan dirinya kepada shalat yang seperti ini! Maka menurut kesanggupan yang diperolehnya, sewajarnyalah ia bergembira. Dan terhadap yang tidak diperolehnya, sewajarnyalah ia merasa rugi. Dan sewajarnyalah ia berusaha mengobati yang tidak diperolehnya itu!. Adapun shalat orang-orang yang alpa, maka adalah membahayakan, kecuali Allah melindunginya dengan rahmat ALLAH.

Rahmat Allah adalah Maha Halus dan kemurahan ALLAH adalah melimpah-limpah. Kita bermohon kepada Allah, kiranya IA menyarungi kita dengan rahmat ALLAH dan menyelubungi kita dengan ampunan ALLAH. Karena tak adalah jalan bagi kita selain daripada mengaku dengan kelemahan daripada menta’ati ALLAH. Ketahuilah, bahwa melepaskan shalat dari segala bahaya,  mengikhlaskan nya karena Allah ‘Azza wa Jalla dan mengerjakannya dengan segala syarat bathiniyah yang telah kami sebutkan itu, yaitu: khusyu’, pengagungan dan malu, adalah sebab untuk memperoleh nur yang cemerlang di dalam hati, dimana nur itu adalah kunci dari ilmu mukasyafah. Wali-wali Allah yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) dengan segala alam malakut langit dan bumi serta segala rahasia keTuhanan, adalah terbuka hijabnya di dalam shalat. Lebih-lebih di dalam sujud, karena hamba itu mendekati Tuhannya dengan sujud. Dari itu, berfirman Allah Ta’ala: “Dan sujudlah dan dekatkanlah diri (kepada Tuhan)!”. S 96 Al ‘Alaq ayat 16. Terbukanya kasyaf bagi tiap-tiap orang yang mengerjakan shalat itu, adalah menurut tingkat kebersihannya dari kotoran duniawi. Berbeda yang demikian itu, menurut kuat dan lemahnya, sedikit dan banyaknya, terang dan tersembunyinya, sehingga terbukalah bagi setengah mereka sesuatu itu dengan sebenar-benarnya.

Dan terbukalah bagi setengah yang lain sesuatu itu sekedarnya, sebagaimana terbuka bagi setengah mereka, dunia itu dalam bentuk bangkai dan setan itu dalam bentuk anjing, yang datang meniarap memanggil kepadanya. Dan berbeda pula, apa yang padanya mukasyafah. Setengah mereka terbuka baginya tentang sifat Allah dan kebesaran ALLAH. Setengah mereka terbuka tentang af’al (perbuatan) Allah. dan setengah mereka terbuka tentang yang halus-halus ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan). Untuk ketentuan segala pengertian itu pada tiap-tiap waktu, ada sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak terhingga banyaknya. Diantara sebab-sebab itu yang sangat sesuai, ialah cita-cita. Karena, apabila cita-cita itu ditujukan kepada sesuatu yang tertentu, maka adalah itu yang lebih utama dengan terbuka (inkisyaf). Tatkala segala keadaan ini tidak dapat terlihat, selain pada kaca yang halus licin dan kaca itu seluruhnya berkarat, maka terdindinglah daripadanya hidayah (petunjuk). Bukan karena kikir dari pihak Pemberi nikmat hidayah, tetapi karena kotoran yang berlapis-lapis karatnya pada tempat mengalirnya hidayah, di mana bergegas-gegas lidah manusia membantahnya. Karena telah menjadi tabi’at manusia, membantah yang tidak di mukanya. Jikalau adalah bagi anak dalam kandungan, akal pikiran, niscaya dibantahnya akan kemungkinan adanya manusia pada udara luas terbuka. Jikalau adalah bagi anak kecil, dapat membedakan sesuatu, niscaya mungkin dibantahnya akan apa yang didakwakan oleh orang-orang yang berakal mengetahuinya, dari alam al-malakut langit dan bumi. Begitulah manusia pada tiap-tiap tingkat, hampirlah selalu membantah apa yang ada pada tingkat sesudahnya. Siapa yang membantah tingkat kewalian tentulah ia membantah tingkat kenabian. Dan makhluk itu dijadikan bertingkat-tingkat. Maka tidak wajarlah, tiap-tiap orang membantah yang di belakang tingkatnya. Ya, manakala mereka meminta ini diperdebatkan dan dibahas dengan cara yang mengacaukan itu dan tidak dimintanya dari segi membersihkan hati dari selain Allah Ta’ala, niscaya mereka tiada memperolehnya, lalu membantahnya. Dan orang yang tidak dari ahli ilmu mukasyafah, maka tidak sedikit yang beriman dengan ghaib (yang tidak dapat di ketahui dengan pancaindra atau yang termasuk bahagian metafisika) dan membenarkannya, sampai dapat dipersaksikannya dengan percobaan. Pada hadits tersebut: “Bahwa hamba apabila berdiri pada shalat, maka diangkat oleh Allah dinding (hijab), antara ALLAH dan hamba ALLAH. Ia menghadapi hamba ALLAH dengan wajah ALLAH. Dan berdirilah para malaikat dari sejak kedua bahunya sampai ke udara, bershalat dengan shalatnya dan mengucapkan amin atas do’anya. Bahwa orang yang mengerjakan shalat itu, bertaburanlah ke atasnya kebajikan dari puncak langit sampai kepada belahan kepalanya. Dan menyerulah seorang penyeru: “Jikalau tahulah orang yang bermunajah ini dengan siapa ia bermunajah, niscaya ia tidak berpaling kepada yang lain. Bahwa pintu-pintu langit itu, dibuka bagi orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan Allah ‘Azza wa Jalla membanggakan kepada para malaikat ALLAH akan hamba ALLAH yang bershalat itu”. Maka pembukaan pintu-pintu langit dan muwajahah Allah Ta’ala dengan wajah ALLAH akan hamba ALLAH, adalah kinayah dari kasyaf yang kami sebutkan itu. Dalam Taurat, tertulis: “Hai anak Adam! Jangan engkau merasa lemah berdiri di hadapanKU, sebagai orang yang bershalat, yang menangis. AKU lah Allah yang engkau dekati dari hati engkau dan dengan ghaib, engkau melihat akan nurKU”. Ia berkata: “Maka kita melihat bahwa kehalusan perasaan, ketangisan dan keterbukaan yang diperoleh oleh orang yang bershalat dalam hatinya, adalah dari kedekatan Tuhan dari hatinya.

Dan apabila tidak ada kedekatan ini, yaitu dekat dengan tempat, maka tidak adalah artinya, selain dari kedekatan dengan hidayah, rahmat dan terbuka hijab. Dan dikatakan, bahwa hamba itu apabila bershalat dua raka'at, niscaya ta’jublah 10 barisan daripada malaikat. Tiap-tiap barisan adalah 10.000 banyaknya. Dan Allah membanggakan dengan hamba ALLAH yang bershalat itu, kepada 100.000 malaikat. Yang demikian ini, adalah karena hamba itu telah mengumpulkan di dalam shalatnya, antara berdiri, duduk, ruku’ dan sujud. Dan telah dipisah-pisahkan oleh Allah yang demikian, itu kepada 40.000 malaikat. Maka para malaikat yang berdiri, mereka tidak ruku’ sampai hari qiamat. Dan yang sujud, tidak  mengangkat kepalanya, sampai hari qiamat. Dan begitu pulalah yang ruku’ dan yang duduk. Maka apa yang direzekikan oleh Allah kepada para malaikat itu, dari kedekatan diri dan derajat tinggi, adalah berlaku terus-menerus demikian, dalam suatu keadaan, tiada bertambah dan tiada berkurang. Dan karena itulah, diceriterakan oleh Allah, bahwa para malaikat itu berkata: “Dan tak adalah dari kami selain dari suatu kedudukan yang dimaklumi”. S 37 Ash Shaffaat ayat 164. Dan manusia itu berbeda daripada malaikat, tentang kenaikan dari tingkat ke tingkat. Maka senantiasalah manusia itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, lalu memperoleh faedah bertambahnya ke dekat itu. Dan pintu untuk tambah mendekat, adalah tertutup bagi para malaikat as dan tidaklah bagi masing-masing malaikat, melainkan derajatnya yang diuntukkan kepadanya dan ibadahnya yang tetap dikerjakannya. Tidak berpindah kepada yang lain dan tidak berhenti dari ibadah yang tertentu itu. “Para malaikat itu tiada menyombong dengan ibadahnya dan tiada merasa letih.

 Mereka bertasbih siang dan malam dan tiada pernah berhenti”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 19-20. Kunci bertambahnya derajat itu, ialah shalat. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam shalatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 1 dan 2. Allah memujikan mereka sesudah iman, dengan shalat tertentu, yang disertai dengan khusyu’. Kemudian disudahi ALLAH sifat-sifat orang yang beruntung itu, dengan shalat pula, maka berfirman IA: “Dan mereka yang menjaga shalatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 9. Kemudian, berfirman Allah Ta’ala, mengenai buah dari sifat-sifat itu: “Itulah orang-orang yang mempusakai. Mereka yang mempusakai sorga firdaus.

Mereka kekal di dalamnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 10-11. Allah yang menyifatkan mereka, pertama dengan keberuntungan dan penghabisan dengan mempusakai sorga firdaus  dan menurut pendapatku, bahwa banyaknya kata-kata dari lidah serta hati alpa, berkesudahan sampai kepada batas itu. Karena itulah, berfirman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang berlawanan dengan mereka: “Apakah yang membawa kamu masuk neraka? Mereka menjawab: “Kami tiada termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. S 74 Al Muddatstsir ayat 42-43. Orang-orang yang mengerjakkan shalat itu, ialah mereka yang mewarisi sorga firdaus. Merekalah yang menyaksikan nur Allah Ta’ala, memperoleh kesenangan dengan mendekati ALLAH dan dekatnya dari hati mereka. Kita bermohon pada Allah, kiranya dijadikan ALLAH kita sebahagian dari mereka dan dilindungi ALLAH kita dari siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang yang terhias kata-katanya dan keji perbuatannya. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, yang menganugerahkan bermacam-macam nikmat, yang qadim, mempunyai banyak kebaikan. Rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba ALLAH  yang pilihan!.


FASAL 6 Tentang shalat orang-orang khusyu’. Kiranya Allah merelai amalan mereka.

Ketahuilah, bahwa khusyu’ adalah buah iman dan natijah/hasil keyakinan, yang diperoleh dengan kebesaran Allah ‘Azza wa jalla. Siapa yang direzekikan demikian, adalah ia orang khusyu’ di dalam shalat dan pada bukan shalat. Bahkan di dalam kesepiannya dan di dalam kamar kecil ketika membuang air. Sesungguhnya, yang mengharuskan khusyu’ itu, ialah mengetahui melihatnya Allah kepada hamba, mengetahui kebesaran ALLAH dan mengetahui keteledoran hamba. Maka dari segala pengetahuan ini, terjadilah khusyu’ dan tidaklah pengetahuan itu tertentu dengan shalat saja. Dari itu diriwayatkan dari setengah mereka, bahwa ia tiada mengangkatkan kepalanya arah ke langit selama 40 tahun, karena malu kepada Allah Ta’ala dan khusyu’ kepada ALLAH. Ar-Rabi’ bin Khaitsam, karena sangat memincingkan matanya dan menekurkan kepalanya, lalu disangka oleh sebahagian orang, bahwa ia buta. Ia bulak-balik ke rumah Ibnu Mas’ud selama 20 tahun. Apabila dilihat oleh budak wanita Ibnu Mas’ud, lalu budak itu mengatakan kepada Ibnu Mas’ud: “Teman tuan yang buta itu telah datang!”. Maka Ibnu Mas’ud tertawa mendengar perkataan budak wanitanya itu. Apabila Ar-Rabi’ mengetok pintu, lalu budak wanita itu keluar. Maka dilihatnya Ar-Rabi’ menekur dan memincingkan matanya. Dan Ibnu Mas’ud, apabila memandang kepadanya berkata: “Gembirakanlah orang-orang yang merendah kan diri!”. S 22 Al Hajj ayat 34. Demi Allah! kalau dilihat engkau oleh Muhammad saw, niscaya gembira beliau kepada engkau”. Pada riwayat yang lain: “niscaya sayang beliau akan engkau”. Dan pada riwayat yang lain: “niscaya tertawa beliau”. Pada suatu hari, Ar-Rabi’ pergi bersama Ibnu Mas’ud kepada tukang besi. Maka tatkala dilihatnya tempat api yang ditiup dan api yang menyala-nyala, lalu peninglah Ar-Rabi’ dan jatuh pingsan ke lantai. Dan Ibnu Mas’ud duduk pada kepalanya, sampai masuk waktu shalat, dia belum sembuh. Lalu didukung oleh Ibnu Mas’ud dibawa pulang ke rumahnya. Ia pingsan terus sampai kepada saat dia mulai pening tadi. Sehingga luputlah lima shalat. Dan Ibnu Mas’ud yang duduk pada kepalanya mengatakan: “Demi Allah! Inilah yang dinamakan takut!”. Ar-Rabi’ mengatakan: “Tiadalah sekali-kali aku masuk ke dalam shalat, yang aku pentingkan di dalamnya, selain dari apa yang aku bacakan dan apa yang dibacakan kepadaku”. Adalah ‘Amir bin Abdullah, termasuk orang yang khusyu’ di dalam shalat. Dan apabila ia mengerjakan shalat, kadang-kadang anak perempuannya memukul rebana dan wanita-wanita bercakap-cakap sesuka hatinya di rumah. Ia tidak mendengar dan tidak memahami yang demikian itu. Dan pada suatu hari, ditanyakan kepadanya: “Adakah jiwa engkau mengatakan sesuatu kepada engkau di dalam shalat?”. Ia menjawab: “Ya, ada, dengan tegakku dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla dan berpaling aku kepada salah satu dari dua negei”. Ditanyakan lagi: “Adakah engkau mendapati sesuatu daripada hal-ikhwal duniawi?”. Ia menjawab: “Meskipun tanggal gigiku, aku lebih menyukai daripada aku dapati di dalam shalatku, apa yang kamu dapati”. Dan adalah ‘Amir bin Abdullah mengatakan lagi: “Jikalau terbukalah tutup, niscaya tidaklah betambah keyakinanku”. Dan adalah Muslim bin Yassar, termasuk diantara orang yang khusyu' di dalam shalat. Dan telah kami nukilkan dahulu, bahwa ia tiada merasa dengan jatuhnnya tiang dalam masjid dan dia waktu itu di dalam shalat. Dan kenallah salah satu daripada anggota badan sebahagian mereka, yang memerlukan kepada dipotong. Dan pemotongan itu, tidak mungkin dilakukan.

Maka ada yang mengatakan, bahwa kalau dia di dalam shalat, niscaya tiada merasakan dengan apa yang dilakukan ke atas dirinya. Maka dipotonglah, ketika ia di dalam shalat. Betapa sebahagian mereka bahwa shalat itu dari akhirat. Apabila kita masuk ke dalamnya, maka kita telah keluar dari dunia. Ditanyakan kepada seorang khusyu’ yang lain: “Adakah jiwamu membicarakan sesuatu tentang urusan duniawi di dalam shalat?. Ia menjawab: “Tidak dalam shalat dan tidak pada yang lain dari shalat”. Ditanyakan setengah mereka: “Adakah engkau teringat sesuatu dalam shalat?”. Maka ia menjawab: “Adakah sesuatu yang lain, yang lebih saya cintai daripada shalat, maka saya ingat dia di dalam shalat?”. Berkata Abud-Darda’ ra: “Diantara tanda mengertinya seseorang, ialah dia memulai dengan keperluannya, sebelum ia masuk ke dalam shalat. Supaya ia masuk ke dalam shalat itu dan hatinya kosong dari yang lain”. Setengah mereka, tidak berlama-lama di dalam shalat, karena takut datang was-was (gangguan pikiran, tiada tenteram). Diriwayatkan, bahwa ‘Ammar bin Yasir, mengerjakan suatu shalat lalu tidak berlama-lama padanya. Maka orang bertanya kepadanya: “Mengapakah engkau sederhanakan shalat itu, wahai Abul-Yaqdhan?”. Maka ‘Ammar menjawab: “adakah engkau melihat, aku mengurangkan sesuatu dari batas-batas yang dimestikan dari shalat?”. “Tidak!” menjawab yang bertanya tadi. Maka menyambung ‘Ammar: “Aku memburu, di waktu setan lengah. Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa hamba yang mengerjakan shalat itu, tidak dituliskan untuknya 1/2nya shalat, tidak 1/3nya, tidak 1/4nya, tidak 1/5nya, tidak 1/6nya dan tidak 1/10nya”. Dan seterusnya Nabi menjelaskan: “Sesungguhnya, dituliskan bagi hamba itu daripada shalatnya, ialah apa yang dipergunakannya akal padanya”. Dan diceriterakan bahwa Thalhah, Az-Zubair dan segolongan dari para shahabat ra, adalah termasuk diantara orang yang mengerjakan shalat dengan sederhana (tidak mengerjakannya dengan cara yang memberatkan). Mereka itu mengatakan: “Kami menyegerakan shalat itu, karena menjaga daripada gangguan setan”. Diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khaththab ra berpidato atas mimbar: “Sesungguhnya orang itu beruban kedua jambangnya dalam Islam dan tidak disempurna kannya shalat karena Allah Ta’ala”. Lalu orang menanyakan: “Bagaimanakah, maka demikian?”. Menjawab Umar: “Tidak sempurna khusyu’nya, tawadlunya dan menghadapnya kehadirat Allah Ta’ala di dalam shalat itu”. Ditanyakan Abul Aliyah tentang firman Allah Ta’ala: “Mereka yang lalai dari shalatnya”. S 107 Al Maa’uun ayat 5. Lalu ia menjawab: “Yaitu, orang yang lalai dalam shalatnya. Ia tidak tahu, pada raka’at berapa ia berpindah. Adakah atas yang genap atau atas yang ganjil?”. Dan berkata Al-Hasan: “Yaitu, orang yang lalai dari waktu shalat, sehingga waktu itu keluar”. Berkata setengah mereka: “Yaitu, orang kalau mengerjakan shalat pada awal waktu, ia tiada gembira. Dan kalau dikemudiankannya dari waktu, ia tiada merasa sedih. Ia tiada melihat kebajikan dengan menyegerakan shalat dan dosa dengan mengemudiankannya”.

Ketahuilah! Bahwa shalat itu, kadang-kadang dikira sebahagiannya dan ditulis sebahagiannya, tanpa sebahagian lagi, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits kepada yang demikian itu. Kalau ada ahli fiqih mengatakan bahwa shalat itu mengenai syahnya, tidak terbagi-bagi. Tetapi yang demikian, adalah mempunyai pengertian lain yang telah kami sebutkan dahulu. Pengertian itu, telah ditunjukkan oleh beberapa hadits, karena telah tersebut pada suatu hadits, tentang “Penempelan kekurangan fardlu dengan sunnat”. Pada suatu hadits tersebut: “Berkata ‘Isa as: berfirman Allah Ta’ala: “Dengan fardlu, mendapat kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU. Dengan sunnat, mendekatkan diri hambaKU kepadaKU”. Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah ta’ala: Tiada mendapat kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU, selain dengan mengerjakan apa yang AKU wajibkan kepadanya”. Diriwayatkan bahwa nabi saw: “Mengerjakan suatu shalat, maka tertinggallah dari bacaannya suatu ayat”. Maka tatkala Nabi saw berpaling. Lalu bertanya: “Apakah yang aku bacakan tadi?”. Maka berdiam dirilah orang ramai, lalu Nabi saw bertanya kepada Ubai bin Ka’ab ra. Ubai menjawab: “Engkau membaca surat anu dan engkau tinggalkan ayat anu. Kami tiada mengetahui, apakah ayat itu sudah dimansukhkan atau sudah diangkatkan?”. Maka menyahut Nabi saw: “Benar, engkau, wahai Ubai!”, “kemudian Nabi saw menghadap kepada orang yang banyak itu, seraya bersabda: “Bagaimanakah kiranya keadaan kaum yang mengerjakan shalatnya, menyempurnakan shafnya dan Nabi mereka berada dihadapan mereka? Mereka tiada tahu apa yang dibacakan Nabi mereka, kepada mereka dari kitab Tuhan. Ketahuilah bahwa Bani Israil telah berbuat demikian. Maka diwahyukan oleh Allah ‘Azza wa jalla kepada Nabi mereka, yang artinya: “Katakanlah kepada kaummu!: Engkau hadirkan kepadaKU badanmu, engkau berikan kepadaKU lidahmu dan engkau jauhkan daripadaKU hatimu.

Adalah batil apa yang engkau kerjakan itu!”. Ini menunjukkan bahwa memperhatikan apa yang dibacakan imam dan memahaminya, adalah ganti daripada membacakan sendiri surat itu. Dan berkata setengah mereka: “Bahwa orang yang bersujud suatu sujud kepada Allah, adalah ia menghampirkan diri dengan sujud itu kepada ALLAH. Maka kalau dibagikan segala dosanya pada sujudnya itu kepada penduduk kotanya, niscaya binasalah mereka itu semuanya”. Lalu orang bertanya: “Bagaimanakah terjadi yang demikian itu?”. Menjawab setengah mereka tadi: “Adalah orang itu sujud pada Allah, sedang hatinya memperhatikan kepada hawa nafsu dan menyaksikan yang batil, yang telah mempengaruhinya”. Inilah sifat orang-orang yang khusyu’! telah dibuktikan oleh ceritera dan riwayat tadi serta yang telah kami bentangkan, bahwa pokok pada shalat ialah khusyu’ dan kehadiran hati dan semata-mata gerak serta alpa, adalah kurang faedahnya pada hari kembali (hari akhirat). Wallahu A’lam! Allah Maha Tahu! Kita bermohon kepada Allah taufiq yang baik!.

Tiada ulasan: