TERDAPAT 7 FASAL:
Hendak kami
sebutkan pada Bab ini, hubungan
shalat dengan khusyu' dan kehadiran hati.
Kemudian kami sebutkan segala pengertian bathin, batas‑batasnya,
sebab‑sebabnya dan obatnya. Kemudian hendak kami sebutkan perincian apa yang
sewajarnya harus timbul pada tiap‑tiap rukun dari rukun‑rukun shalat. Supaya
patut untuk perbekalan akhirat.
BATHIN SHALAT FASAL 1 : PENJELASAN PENSYARATAN KHUSYUK DAN KEHADIRAN HATI
Ketahuilah kiranya bahwa dalil‑dalil yang demikian itu banyak.
Diantaranya firman Allah Ta’ala: “Dirikanlah. shalat untuk mengingati AKU“ S 20 Thaahaa
ayat 14. Yang jelas dari perintah (amr)
ialah wajib. Dan lengah itu berlawanan dengan mengingati.
Orang yang lengah (lalai) dalam keseluruhan shalatnya, bagaimanakah ia
mendirikan shalat untuk mengingati Tuhan?
Dan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah engkau termasuk orang‑orang lengah". S 7 Al
raaf ayat 205 adalah suatu larangan, dan dhahiriyahnya menunjukkan kepada pengharaman.
Dan firman Allah 'A zza wa Jalla: "Sampai kamu mengeahui apa yang kamu katakan" S 4 An‑Nisa ayat 43. adalah alasan bagi larangan meminum minuman
yang memabukkan. Dan memabukkan itu sering terjadi pada orang yang alpa, yang
karam dengan kesangsian dan pikiran‑pikiran duniawi.
Dan Sabda Nabi saw:
"Sesungguh nya shalat itu ialah
ketetapan dan kerendahan hati", adalah pembatasan dengan adanya alif dan lam pada kata‑kata shalaatu itu (yang berarti adanya shalat itu, terbatas dengan adanya
ketetapan dan kerendahan hati). Dan
kata‑kata innamaa (sesungguhnya),
berarti: penegasan dan penguatan.
Dan dipahami oleh para ahli fiqih dari sabda Nabi saw:
"Sesungguhnya syufah ialah pada benda yang tiada dapat
dibagikan". adalah itu pembatasan,
itsbat (positif) dan nafi (negatif).
Dan sabda Nabi saw: "Barangsiapa
tidak dicegahkan oleh shalatnya dari
perbuatan yang keji dan mungkar, maka tidaklah ia bertambah dekat, kepada
Allah melainkan bertambah jauh" . Dan shalat orang yang Ialai itu,
tidaklah mencegah daripada kekejian dan kemungkaran.
Bersabda Nabi saw: "Berapa banyak orang yang menegakan
shalat, memperoleh letih dan payah saja daripada shalat ". Dan
tidaklah dimaksudkan oleh Nabi saw dengan ucapannya itu, melainkan orang yang
alpa.
Bersabda saw: “Tiadalah
bagi hamba daripada shalatnya, melainkan yang ada akal pikirannya pada shalat
itu". Dan yang diyakini bahwa orang yang mengerjakan shalat itu adalah
bermunajah dengan Tuhannya 'Azza wa Jalla, sebagaimana yang tersebut pada
hadits. Dan berkata‑kata dengan alpa, tidaklah sekali-kali dapat dinamakan munajah. Jelasnya, bahwa zakat kalau alpalah manusia daripadanya
umpamanya, maka zakat itu sendiri adalah menyalahi bagi hawa‑nafsu dan berat
atas diri seseorang. Demikian juga puasa,
yang memaksakan bagi kekuatan, menghancurkan kekuasaan hawa‑nafsu yang
menjadi alat bagi setan musuh Allah. Maka tiadalah jauh bahwa berhasil maksud
daripada zakat itu serta alpa. Begitu pula hajji,
segala amal perbuatannya adalah sulit dan berat. Di dalamnya dari
mujahadah, diperoleh kesakitan, adakah hati itu hadir beserta segala
perbuatannya atau tidak? Adapun shalat, maka
tak ada padanya selain daripada dzikir, bacaan, ruku', sujud, berdiri dan
duduk. Adapun dzikir adalah bercakap‑cakap
dan bermunajah serta Allah Ta’ala. Maksud daripadanya, adakalanya berhadapan dan bercakap-cakap. Atau dimaksudkan daripadanya huruf‑huruf dan suara‑suara, sebagaimana ujian bagi
lisan dengan amal perbuatan. Sebagaimana diuji perut dan kemaluan dengan
menahan (imsak) pada puasa. Dan sebagaimana diuji tubuh dengan segala kesulitan
waktu mengerjakan hajji. Dan diuji hati dengan kesulitan mengeluarkan zakat
dan melepaskan harta yang dirindukan.
Dan tak ragu lagi bahwa bahagian ini batal. Sesungguhnya
menggerakkan lisan dengan kelengahan, alangkah ringannya kepada orang yang
alpa. Sebab, tak ada padanya ujian dari
segi perbuatan. Tetapi yang dimaksudkan ialah huruf‑huruf dari segi ia diucapkan. Dan tidaklah itu dinamakan ucapan, kecuali apabila melahirkan apa
yang terkandung di dalam hati (dlamir). Dan tidak ada itu dilahirkan, kecuali
dengan kehadiran hati. Maka apakah
artinya: "Ihdinash shiraathal mustaqiim" (Tunjukilah aku jalan yang lurus), apabila hati itu alpa? Apabila
tidak dimaksudkan untuk merendahkan diri dan berdo'a? Maka manakah kesulitan
pada menggerakkan lisan untuk membacanya serta alpa itu? Apa lagi kalau sudah
dibiasakan!. Demikian, mengenai dzikir‑dzikir itu. Bahkan aku mengatakan,
jikalau bersumpahlah seseorang dengan mengatakan: "Demi Allah, aku akan
mengucapkan terima kasih kepada si Anu, aku puji dia dan aku mintakan sesuatu
keperluan padanya". Kemudian berlakulah kata‑kata yang menunjukkan kepada
maksud‑maksud itu, dengan lidahnya waktu ia sedang tidur, maka tidaklah ia
terkena dengan sumpah itu. Dan jikalau berlaku kata‑kata itu dengan lidahnya
di dalam gelap dan si Anu itu hadir di situ, sedang ia tidak mengetahuinya dan
tidak melihatnya, maka tidaklah ia terkena dengan sumpahnya. Karena tidaklah
kata‑katanya itu ditujukan dan dituturkan kepada si Anu, selama dia itu tidak
hadir di dalam hati‑nya. Jikalau kata‑kata itu keluar pada lidahnya dan si Anu
itu hadir, pada siang hari, di mana yang mengucapkan itu sedang alpa, karam di
dalam kerusuhan, dengan beraneka macam pikiran dan tak ada maksudnya
menghadapkan kata‑kata tadi kepada si Anu itu ketika mengucapkannya, niscaya
tidaklah ia terkena pada sumpahnya itu. Dan tidak syak lagi bahwa yang dimaksud
daripada pembacaan dan dzikir‑dzikir itu ialah: pujian, sanjungan, tadlarru' (merendahkan diri) dan doa. Dan yang dihadapi dengan
pembicaraan itu ialah Allah 'Azza wa jalla.
Dan hati orang itu dengan hijab kealpaan, adalah terhijab
daripada Allah Ta’ala, tiada melihat dan tiada menyaksikan ALLAH, bahkan ia
alpa daripada Yang Ditujukan itu. Lidahnya bergerak adalah disebabkan kebiasaan
saja. Maka alangkah jauhnya ini daripada yang, dimaksudkan dengan shalat yang
disuruh oleh Agama untuk mengasah hati, membarukan ingatan kepada Allah Ta’ala
dan meneguhkan ikatan iman kepada ALLAH. Inilah hukum bacaan dan dzikir!.
Kesimpulamya, maka inti ini tiada jalan untuk menentangnya pada pembacaan dan
membedakannya daripada perbuatan. Adapun ruku' dan sujud, maka yang dimaksudkan
dengan keduanya itu, ialah mengagungkan semata‑mata.
Jikkalau bolehlah mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla dengan perbuatan, sedang
ia alpa daripada ALLAH, maka boleh pulalah ia mengagungkan Patung Yang terletak
dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya. Atau mengagungkan dinding tembok
yang ada dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya. Dan apabila keluar daripada
adanya pengagungan itu, maka tidaklah tinggal, selain daripada semata‑mata
gerakan punggung dan kepala. Dan tak ada padanya kesukaran yang dimaksudkan
oleh ujian padanya. Kemudian dijadikan semua itu tiang agama dan pemisah diantara
kufur dan Islam. Dan didahulukannya dari hajji dan ibadah‑ibadah lain dan
diwajibkan bunuh dengan sebab meninggalkannya pada khususnya. Dan aku tidak
melihat bahwa kebesaran yang demikian agung seluruhnya untuk shalat itu, dari
segi amal perbuatan dhahiriyahnya, melainkan karena ditambahkan kepadanya maksud munajah itu. Maka yang demikian
itulah yang mendahulukannya daripada puasa, zakat, hajji dan lainnya. Bahkan
daripada segala pengorbanan dan kurban, yang menjadi mujahadah dengan hawa
nafau dengan pengurangan harta.
Berfirman Allah Ta’ala: "Tidak akan sampai daging dan darahnya itu kepada Tuhan, hanya
yang sampai kepada Tuhan ialah taqwa (kepatuhan menjalankan kewajiban) dari
kamu". S 22 Al‑Hajj ayat 37 artinya: suatu sifat yang menguasai hati,
sehingga membawanya kepada menuruti segala perintah yang dituntut. Maka
bagaimana urusannya mengenai shalat itu, apakah tiada tujuan pada segala amal
perbuatannya? Inilah yang menunjukkan tentang arti disyaratkan kehadiran hati
itu! Kalau anda mengatakan, bahwa jika kita tetapkan dengan batal shalat dan
kita jadikan kehadiran hati itu menjadi syarat pada shah shalat, niscaya kita telah menyalahi ijma' ulama fiqih. Karena mereka itu tiada
mensyaratkan kehadiran hati, selain ketika takbiratul‑ihram.
Maka ketahuilah kiranya bahwa telah diterangkan pada Kitab ilmu dahulu, bahwa
ulama‑ulama fiqih itu tiada mengurus mengenai bathin dan tiada membuka
persoalan hati dan jalan akhirat. Tetapi mereka membangun yang dhahir dari
hukum‑hukum Agama, pada yang dhahir dari perbuatan‑perbuatan anggota badan.
Dan perbuatan‑perbuatan dhahir itu, adalah mencukupi
untuk tidak dihukum bunuh dan tidak disiksa oleh sultan (penguasa). Adapun
tentang bermanfa'atnya di akhirat, maka ini tidaklah termasuk dalam perbatasan
ilmu fiqih, sehingga tidak
memungkinkan untuk didakwakan ijma'.
Telah dinukilkan dari Bisyr bin Al‑Harits, menurut yang
diriwayatkan Abu Thalib AI‑Makki dari Sufyan AtsTsuri, bahwa Sufyan Ats‑Tsuri
berkata: "Siapa yang tiada khusyu', maka tidak shah shalatnya".
Diriwayatkan dari Al Hasan, bahwa Al Hasan berkata: "Tiap‑tiap shalat yang
tidak hadir padanya hati, maka shalat itu lebih mencepatkan kepada
siksaan".
Diriwayatkan dari Ma'az bin Jabal: “Barangsiapa mengenal
orang di kanannya dan di kirinya dengan sengaja, sedang ia di dalam shalat,
maka tak ada shalat baginya". Dan diriwayatkan pula oleh Ma'az suatu hadits musnad, bahwa Rasulullah saw
bersabda: "Bahwa hamba untuk
mengerjakan shalat, tidaklah dituliskan baginya 1/6 dari shalat itu dan tidak
1/10 nya. Hanya dituliskan bagi hamba itu daripada shalatnya, apa yang di
pergunakan, akalnya daripadanya". Dan Ini kalau dinukilkan dari orang
lain, tentu telah dijadikan madzhab. Maka bagaimanakah tidak menjadi perpegangan?
Berkata Abdul‑Wahid bin Zaid: "Telah Ijma’ (sepakat)
para ulama, bahwa tiada bagi hamba daripada shalatnya, selain apa yang dipergunakannya
akal padanya. Lalu pendapat itu dijadikan ijma". Apa yang dinukilkan dari sejenis ini,
daripada para ulama fuqaha yang wara' dan para ulama akhirat, adalah lebih
banyak daripada dapat dihinggakan. Yang benar, ialah kembali kepada dalil-dalil
syari'at, hadits dan atsar yang jelas mengenai syarat ini. Tetapi kedudukan
fatwa mengenai taklif yang dhahir itu,
diukur menurut ukuran kesanggupan manusia. Maka tidak mungkin disyaratkan
kepada orang banyak, untuk menghadirkan hatinya di dalam keseluruhan shalat.
Karena yang demikian itu, adalah seluruh manusia lemah daripadanya, kecuali
jumlah yang sedikit. Apabila tidak mungkin disyaratkan meratanya kehadiran hati
itu, karena kesulitan tersebut, maka tiada jalan keluar selain daripada
disyaratkan sekedar nama kehadiran hati itu,
walaupun pada masa sekejap saja. Dan
masa sekejap yang paling utama itu, ialah
detik takbiratul‑ihram.
Dari itu, kita singkatkan taklif (dimestikan) dengan yang
demikian. Dalam pada itu, kita mengharap bahwa tidak adalah keadaan orang yang
alpa di dalam keseluruhan shalatnya, seperti keadaan orang meninggalkan
kehadiran hati itu secara keseluruhan. Karena orang yang alpa itu umumnya, tampil mengerjakannya pada dhahir dan
menghadirkan hatinya sekejap mata. Bagaimanakah
tidak demikian? Orang yang mengerjakan shalat, serta berhadats (tidak
berwudlu), karena lupa, maka shalatnya itu batal pada sisi Allah Ta’ala. Tetapi
baginya pahala sekedar perbuatannya, keteledoran dan halangan yang dihadapinya.
Dan beserta harapan yang di atas tadi, maka ditakuti keadaan orang yang alpa itu lebih memburuk dari
keadaan orang yang meninggalkan kehadiran hati. Bagaimana tidak? Orang yang
datang melakukan pengkhidmatan dan berbuat sembrono tiba dihadapan, berkata ‑kata dengan kata‑kata orang alpa, yang
hina, adalah lebih buruk keadaannya dari orang yang tidak melakukan pengkhidmatan
sama sekali. Dan apabila berlawananlah diantara sebab takut dan sebab harap dan
jadilah hal itu berbahaya pada dirinya, maka terserahlah kepada kita kemudian,
memilihnya diantara berhati‑hati dan mempermudah‑mudahkan. Dan dalam pada itu,
tidak diharapkan menyalahi ulama fiqih, yang berfatwa shahnya shalat serta alpa
itu. Karena yang demikian adalah sebahagian daripada yang penting difatwakan,
sebagaimana telah diperingatkan dahulu. Siapa yang mengenal kunci rahasia
shalat niscaya mengetahui bahwa kealpaan
itu berlawanan dengan shalat. Tetapi telah kami sebutkan pada "Pada bab Perbedaan antara ilmu Bathin
dan ilmu Dhahir", pada Kitab
Qaidah‑qaidah 'Aqidah, bahwa kurangnya kesanggupan
manusia adalah salah satu sebab yang mencegah daripada penegasan segala apa
yang terbuka dari rahasia syariat. Maka kami ringkaskan pembahasan sekedar ini
karena mencukupilah kiranya bagi murid yang menuntut jalan akhirat.
Tetapi bagi orang membangkang yang berniat buruk, maka
tiadalah maksud kami menghadapinya sekarang. Pendek kata, bahwa kehadiran hati adalah
nyawa shalat. Dan sekurang‑kurangnya yang membuat nyawa itu tidak keluar, ialah
hadirnya hati itu ketika takbiratul‑ihram.
Maka kurang dari itu adalah membinasakan. Dan semakin bertambah lagi, maka
semakin mengembang nyawa itu di dalam segala bahagian shalat. Berapa banyak
orang yang hidup yang tidak dapat bergerak lagi, yang mendekati kepada
kematian. Maka shalat orang yang alpa itu, didalam keseluruhannya selain ketika
takbir, adalah seumpama orang hidup yang tak ada geraknya lagi. Kita bermohon kepada
Allah akan pertolongan yang baik!.
FASAL 2 : PENGERTIAN BATHIN YANG
MENYEMPURNAKAN KEHIDUPAN SHALAT.
Ketahuilah, bahwa semua pengertian itu, banyaklah kata‑kata
yang ditujukan kepadanya.
Tetapi dapat dikumpulkan oleh 6 patah
kata‑kata, iaitu: kehadiran hati, pemahaman, pengagungan, kehebatan,
harap dan malu.
Maka haruslah kami terangkan pengurai- an nya, kemudian
sebab‑sebabnya, kemudian cara pada mengusahakannya. Adapun penguraiannya, maka yang pertama, ialah
Kehadiran hati.
2.1 Kami maksudkan dengan kehadiran
hati, ialah bahwa hati itu kosong dari yang lain, dari apa yang dilaksanakan dan yang dibicarakannya. Maka adalah
pengetahuannya dengan perbuatan dan perkataan itu, menyertai dengan
keduanya. Dan tidaklah pikirannya, menerawang kepada yang lain. Manakala
pikirannya itu berpaling dari yang bukan apa ia di dalamnya, dan adalah di
dalam hatinya ingatan bagi apa yang ia di dalamnya dan tak ada pada hati itu
kealpaan dari keseluruhannya, maka sesungguhnya telah berhasillah kehadiran hati.
2.2 Tetapi pemahaman
arti dari kata‑kata yang dibacakan, adalah suatu hal di balik kehadliran hati. Kadang‑kadang hati itu hadir bersama kata‑kata dan tidak hadir bersama
arti dari kata‑kata itu. Maka melengkapnya hati atas pengetahuan dengan arti dan
kata‑kata yang dibacakan, itulah yang kami maksudkan dengan pemahaman. Dan ini, suatu kedudukan yang
berlebih‑kurang manusia padanya. Karena tiadalah bersekutu manusia tentang
memahami segala arti AI Quran dan tasbih‑tasbih. Berapa banyak pengertian‑pengertian
yang halus, yang dipahami oleh orang yang mengerjakan shalat (Mushalli), waktu
sedang shalat dan tidak terlintas di hatinya yang demikian sebelumnya. Dari
segi inilah, shalat itu adalah pencegah dari perbuatan keji dan Mungkar. Karena
shalat memberi pemahaman hal‑hal, sudah pasti mencegah dari perbuatan keji.
2.3 Adapun pengagungan, yaitu suatu
hal, di balik kehadiran hati dan pemahaman. Karena orang yang berbicara dengan budaknya sesuatu pembicaraan, adalah
hatinya hadir pada pembicaraan itu dan memahami artinya, sedang ia tidaklah
mengagungkan budak itu. Maka pengagungan itu
menambahkan kehadiran hati dan pemahaman arti.
2.4 Adapun kehebatan, maka
menambahkan atas pengagungan. Bahkan kehebatan itu adalah ibarat dari
ketakutan, yang timbuInya dari rasa pengagungan.
Karena orang yang tidak takut, maka tidaklah dinamakan dia orang yang merasa kehebatan. Ketakutan
kepada kalajengking dan kejahatan budi seseorang dan sebagainya, dari sebab‑sebab
yang mengejikan, tidaklah dinamakan takut kehebatan. Tetapi takut kepada sultan
yang diagungkan, itulah yang dinamakan takut
kehebatan. Kehebatan, ialah takut yang sumbemya pengagungan.
2.5 Adapun harap, maka tak ragu
lagi, adalah suatu tambahan. Berapa banyak
orang membesarkan seseorang raja; ia takut kepadanya atau takut akan
kekuasaannya. Tetapi ia tiada mengharap akan pembalasannya. Dan hamba
sewajarnyalah mengharap dengan shalatnya itu, akan pahala daripada Allah 'Azza
wa Jalla, sebagaimana ia takut dengan keteledorannya akan siksaan Allah 'Azza
wa Jalla.
2.6 Adapun malu, maka adalah suatu tambahan pada umumnya. Karena sandarannya ialah perasaan
keteledoran dan sangkaan berdosa. Dan
tergambarlah pengagungan, takut dan harap,
dengan tanpa malu, di mana tidak ada sangkaan teledor dan berbuat dosa.
FASAL 3 PENERANGAN BERKESAN UNTUK MENGHADIRKAN HATI
Adapun sebab‑sebab daripada pengertian yang 6 itu, maka ketahuilah kiranya bahwa kehadiran
hati, sebabnya ialah cita‑cita.
3.1 Hati kita mengikuti cita‑cita kita. Dia tidak hadir, kecuali mengenai apa yang kita cita‑citakan. Manakala
ada sesuatu hal yang menjadi cita‑cita kita, maka hadirlah hati padanya,
dengan kehendak atau tanpa kehendak. Hati itu terpaksa dan tunduk patuh kepadanya.
Apabila hati itu tidak hadir di dalam shalat, bukanlah dia itu menganggur,
tetapi menerawang pada cita‑cita yang datang kepadanya dari hal‑ikhwal
duniawi. Dari itu, tiada daya dan cara untuk menghadirkan hati, selain dengan
menjuruskan cita‑cita kepada shalat. Dan cita‑citanya itu, tidak menjurus
kepadanya, selama belum nyata bahwa maksud yang dicari terpaku padanya.
Yang demikian itu ialah iman dan membenarkan bahwa
akhirat, adalah lebih baik dan kekal abadi. Dan shalat adalah jalan
kepadanya. Apabila ini ditambahkan kepada pengetahuan yang sejati dengan
kehinaan dunia dan kepentingannya, niscaya secara keseluruhan, berhasillah
kehadiran hati itu di dalam shalat. Dan dengan alasan yang seperti ini, hati
anda itu hadir apabila anda berada dihadapan sebahagian pembesar, yang tidak
sanggup memberi kemelaratan dan kemanfa'atan kepada anda. Apabila hati itu
tidak hadir ketika berMunajah dengan Raja‑Diraja, di mana di dalam tangan ALLAH
alam al‑Mulki dan alam al‑malakut, kemanfa'atan dan kemelaratan, maka janganlah
kiranya anda menyangka ada sesuatu sebab yang lain baginya, selain dari kelemahan iman. Maka bersungguh‑sungguhlah
sekarang menguatkan iman itu! Dan caranya akan dibahas secara mendalam, tidak
pada tempat ini.
3.2 Adapun pemahaman, maka sebabnya
setelah kehadiran hati, ialah ketekunan berpikir dan menjuruskan hati kepada
memahami arti. Dan obatnya adalah obat menghadirkan hati, serta
menghadapkan kepada pemikiran dan terus‑menerus menolak segala yang terlintas
di dalam bathin. Dan obat menolak segala yang terlintas yang membawa kepada
kebimbangan bathin ialah memutuskan segala materinya. Yakni mencabut diri dari
segala sebab yang menarik segala yang terlintas itu kepadanya. Selama materi‑materi
itu tidak diputuskan maka selama itu pulalah, segala yang terlintas itu, tidak
berpaling daripadanya. Barangsiapa menyukai sesuatu, niscaya banyaklah menyebut‑nyebutnya.
Maka menyebut‑nyebutkan yang disukai itu, lalu dengan sendirinya menyerbu ke
dalam hati. Dari itu, kita melihat bahwa orang yang mencintai selain Allah
Ta’ala, maka tidaklah bersih shalatnya dari lintasan‑lintasan ke dalam bathin.
3.3 Adapun pengagungan, adalah suatu
keadaan bagi hati, yang terjadi daripada dua
ma'rifah (pengenalan):
Pertama: mengenal kebesaran dan keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan itu adalah
sebagian dari pokok‑pokok iman. Siapa yang tidak mengimani keagungan ALLAH,
niscaya jiwanya tidak meyakini akan keagungan ALLAH.
Kedua: mengenal kehinaan diri, kerendahan dan keadaannya sebagai
hamba yang mematuhi dan tunduk kepada Tuhannya. Sehingga dari ma'rifah yang dua
ini, lahirlah ketenangan, kesepian hati dari dunia dan kekhusyu'an jiwa kepada
Allah yang Maha Suci. Lalu dikatakanlah yang demikian itu: pengagungan. Selama tidak terjalin ma'rifah kehinaan diri dengan
ma'rifah keagungan Ilahi, maka selama itu pulalah tidak teratur keadaan pengagungan dan kekhusyu'an hati. Orang
yang merasa tiada memerlukan kepada orang lain dan merasa aman kepada dirinya
sendiri, maka boleh ia mengenal dari orang lain itu akan sifat keagungan. Dan tidaklah kekhusyu'an hati dan mengagungkan
orang itu menjadi perilakunya, karena
faktor yang lain yaitu mengenal kehinaan diri dan memerlukan diri kepada orang
itu tidak ada padanya.
3.4 Adapun kehebatan dan ketakutan, maka adalah keadaan bagi
diri, yang terjadi dari mengenal kekuasaan Allah, keperkasaan dan ketembusan
kehendak ALLAH, serta kurang perhatian kepada ALLAH. Dan kalaulah Ia membinasakan segala orang yang terdahulu dan yang
terkemudian, niscaya tidaklah berkurang dari kerajaan ALLAH sebesar biji
sawipun. Hal ini, disamping membaca segala peristiwa yang berlaku pada nabi‑nabi
dan wali‑wali, dari bermacam‑macam musibah dan malapetaka, serta berkuasa Ia
menolak, sebaliknya daripada apa yang tampak pada raja‑raja dunia.
Kesimpulannya, semakin bertambah ilmu dengan Allah, maka semakin bertambah
ketakutan dan kehebatan kepada ALLAH. Dan akan datang nanti, penjelasan sebab‑sebab
yang demikian, pada “Kitab Takut“, dari
“Rubu’ Yang Melepaskan”.
3.5 Adapun harap, maka sebabnya
ialah karena mengenal kelemah-lembutan Allah 'Azza wa Jalla, keMurahan ALLAH, kemerataan nikmat ALLAH, kehalusan perbuatan ALLAH dan mengenal
kebenaran ALLAH pada janji ALLAH akan sorga dengan shalat. Apabila berhasillah
keyakinan dengan janji ALLAH dan ma'rifah dengan kelemah‑lembutan ALLAH,
niscaya dari keseluruhannya itu, pastilah membangkitkan pengharapan.
3.6 Adapun malu, maka adalah dengan perasaan keteledoran di dalam ibadah dan
mengetahui dengan kelemahan menegakkan keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan malu itu kuat dengan
pengetahuan kekurangan diri, bahaya hawa nafsu, kurang keikhlasan, kotor
kebathinan dan condong kepada kebahagiaan yang segera (dunia) di dalam segala
amal perbuatannya. Serta mengetahui dengan keagungan, yang dikehendaki oleh
kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla dan mengetahui bahwa Ia melihat kepada rahasia
dan segala getaran hati, meskipun halus dan tersembunyi. Segala pengetahuan
ini, apabila mendatang kan keyakinan, niscaya membangkitlah dengan sendirinya
dari hati itu suatu keadaan yang dinamakan malu.
Inilah sebab‑sebab dari sifat‑sifat itu. Tiap‑tiap apa yang dicari supaya
berhasil, maka obatnya ialah: mendatangkan sebab adanya. Di dalam mengenal
sebab itu, dapatlah mengenal obatnya. Dan pengikat segala sebab itu ialah iman dan yakin. Yakni: segala ma’rifah ini yang telah kami sebutkan. Arti
adanya yakin, ialah tiada ragu dan ma'rifah itu berkuasa pada hati, sebagaimana
telah diterangkan pada “Penjelasan
Tentang Yakin”, dari Kitab Ilmu.
Menurut kadarnya yakin, khusyu'lah hati. Dari itu berkatalah 'Aisyah:
"Adalah Rasulullah saw bercakap‑cakap dengan kami dan kami pun bercakap‑cakap
dengan beliau. Maka apabila datanglah shalat, lalu seakan‑akan beliau tiada
mengenal kami dan kami pun tiada mengenal beliau". Diriwayatkan bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: "Wahai Musa!
Apabila engkau menyebutkan (berdzikir) akan AKU, maka sebutkanlah akan AKU, di
mana seluruh anggota tubuhmu bergerak. Dan adalah engkau ketika berdzikir
kepadKU itu khusyu' dan tenang. Apabila engkau menyebutkan akan AKU, maka
jadikanlah lidahmu di belakang hatimu! Dan apabila engkau berdiri dihadapanKU,
maka berdirilah sebagaimana berdirinya seorang hamba yang hina! BerMunajahlah
dengan AKU, dengan hati yang gemetar dan lidah yang benar!”. Diriwayatkan bahwa
Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada Musa as: "Katakanlah (Musa) kepada
ummatMU yang durhaka, agar mereka tiada menyebutkan akan AKU! Karena AKU telah
berjanji kepada diriKU sendiri, bahwa siapa yang berdzikir kepada AKU, maka AKU
ingat kepadanya. Maka apabila orang‑orang yang durhaka itu menyebutkan AKU,
maka AKU sebutkan mereka dengan kutukan (Ia’nat)". Ini, adalah mengenai
pendurhaka yang tidak alpa mengingati ALLAH. Maka bagaimanakah pula, apabila
berkumpul kealpaan dan kedurhakaan?. Dan dengan berbagai macam pengertian yang
telah kami sebutkan mengenai hati itu, terbagilah manusia kepada: orang yang alpa yang menyempurnakan
shalatnya dan tidak hadir hatinya sekejap
pun di dalam shalat, dan orang yang menyempurnakan dan tidak hilang kehadiran hatinya sekejappun. Bahkan
kadang‑kadang seluruh perhatiannya kepada shalat, di mana ia tiada merasa apa
yang berlaku dihadapannya.
Karena itulah, Muslim bin Yassar, tiada merasa
dengan jatuhnya tiang dalam masjid, di mana orang banyak sudah berkerumun
kepadanya. Setengah mereka, menghadiri shalat jama'ah pada suatu ketika dan
sekali‑kali tiada mengenal, siapa yang dikanannya dan yang dikirinya. Dan bunyi
detakan jantung Ibrahim as adalah terdengar sampai 2 mil jaraknya. Dan suatu
golongan ketika shalat itu pucat mukanya dan kembang‑kempis perutnya. Semuanya
itu, tiadalah jauh daripada dapat dipahami. Karena berlipat gandanya yang
demikian, dapat dipersaksikan pada cita-cita penduduk dunia dan ketakutan raja‑raja
dunia serta kelemahan dan kedla'ifan raja‑raja itu. Dan memburuknya nasib yang
diperoleh daripada raja‑raja itu. Sehingga jikalau masuklah seseorang kepada
raja atau menteri (wazir) dan membicarakan kepentingannya, kemudian keluar,
lalu ditanyakan tentang orang di keliling raja atau tentang kain yang dipakai
oleh raja, maka tiadalah sanggup ia menceriterakannya. Karena seluruh
perhatiannya kepada raja, tidak kepada kain dan orang yang di kelilingnya.
Masing‑masing orang mempunyai tingkatan daripada apa yang dikerjakannya. Maka
keuntungan masing‑masing, daripada shalatnya, ialah menurut takut, khusyu' dan
pengagungannya akan Allah. Sesungguhnya tempat perhatian Allah akan hamba ALLAH
ialah hati, bukan gerakan dhahir.
Dari itu, berkatalah setengah shahabat ra: “Dikumpulkan manusia pada hari
qiamat, menurut keadaan mereka di dalam shalat, dari thumaninah, ketenangan, dari adanya
perasaan nikmat dan lezat dengan shalat. Sesungguhnya, benarlah perkataan
itu, karena manusia itu seluruhnya dikumpulkan atas apa, ia mati. Dan ia mati
atas apa ia hidup. Yang diperhatikan pada yang demikian itu ialah keadaan hatinya, tidak keadaan dirinya.
Maka dari sifat hati, tertuang bentuk pada hari akhirat. Dan tidaklah terlepas,
selain orang yang datang kepada Allah dengan hati yang sejahtera. Kita bermohon
kepada Allah akan kebaikan taufiq dengan kasih sayang dan kemurahanNya!.
FASAL 4 PENJELASAN OBAT YANG BERMANFAAT PADA KEHADIRAN HATI
Ketahuilah! Bahwa orang mu'min tak boleh tidak,
mengagungkan Allah 'Azza wa Jalla, takut kepada ALLAH, mengharap daripada ALLAH
dan malu karena keteledorannya.
Maka tidaklah terIepas seorang mu'min itu dari hal‑ikhwal yang tersebut tadi sesudah
keimanannya, walaupun kekuatan hal‑ikhwal tadi, adalah menurut kekuatan
keyakinannya. Terlepasnya, dari keadaan yang tersebut di dalam shalat, tiada
sebabnya, selain daripada bercerai‑berai pemikiran, bersimpang‑siur yang
terlintas pada hati, lenyap jiwa daripada munajah dan alpa daripada shalat. Dan
tidaklah yang melengahkan dari shalat, selain lintasan‑lintasan yang mendatang
dan yang membimbangkan. Maka obat untuk menghadirkan hati itu, ialah menolak
segala lintasan yang terlintas di dalam hati. Dan sesuatu itu tidak dapat
ditolak, selain dengan menolak sebabnya. Maka hendaklah diketahui sebabnya.
Dan sebab kedatangan lintasan‑lintasan itu, adakalanya, ia sesuatu yang datang
dari luar atau sesuatu yang berada di
dalam (bathiniyah). Adapun yang dari luar, ialah sesuatu yang mengetok pendengaran atau yang nyata pada penglihatan.
Kadang‑kadang yang demikian itu, mempengaruhi cita‑cita, sehingga
diturutinya dan ia bertindak padanya. Kemudian tertariklah pemikiran
daripadanya kepada yang lain dan lalu tali‑bertalilah. Memandang itu adalah
menjadi sebab untuk berpikir. Kemudian, sebahagian pemikiran itu menjadi sebab
bagi pemikiran yang lain. Siapa yang kuat niatnya dan tinggi cita‑citanya,
niscaya tidaklah dapat diganggu oleh apa yang berlaku atas panca indranya.
Tetapi orang yang lemah ‑sudah pasti‑ membawa kepada bercera-berai
pemikirannya. Dan obatnya, ialah memutuskan segala sebab itu, dengan
memincingkan matanya atau mengerjakan shalat dalam rumah yang gelap atau tidak
membiarkan dihadapannya sesuatu yang mengganggu pancaindranya dan mendekatkan
diri kepada dinding ketika shalat, sehingga tiadalah luas jarak pemandangannya.
Dan menjaga daripada melakukan shalat di tepi jalan, pada tempat-tempat yang
penuh dengan ukiran kesenian dan pada tikar yang dicelup dengan warna yang
menarik. Dari itu, adalah orang‑orang yang rajin beribadah, melakukan ibadahnya
pada rumah kecil yang gelap. Luasnya sekedar dapat bersujud, supaya yang
demikian itu, dapat mengumpulkan segala cita‑citanya. Orang‑orang kuat daripada
mereka, datang ke masjid dan menutupkan mata. Dan tidak melampaui pandangannya
daripada tempat sujud.
Mereka melihat bahwa kesempurnaan shalat adalah dengan
tiada mengenal orang yang di kanan dan yang di kirinya. Adalah Ibnu Umar ra
tiada membiarkan pada tempat shalatnya mashhaf. Ia tiada membiarkan pedang,
melainkan dicabutkannya dan tulisan melainkan dihapuskannya. Adapun sebab‑sebab, bathiniyah, maka adalah
lebih sulit lagi. Karena siapa yang bercabang ingatannya pada lembah‑lembah
dunia, niscaya tiadalah terkungkung pemikirannya pada suatu persoalan. Tetapi
senantiasalah terbang melayang dari sudut ke sudut. Dan pemicingan mata,
tiadalah memadai baginya. Karena apa yang telah jatuh ke dalam lubuk hatinya
tadi, telah cukup untuk membimbangkannya. Dari itu, jalannya ialah menarik
diri secara paksa, kepada memahami apa yang dibacakan di dalam shalat dan
memberikan perhatian kepadanya, tidak kepada yang lain. Dan dapat menolongnya
untuk yang demikian, dengan mengadakan persiapan sebelurn bertakbiratul‑ihram,
dengan memperbaharukan ke dalam jiwanya ingatan kepada akhirat, tempat tegak
munajah, berbahayanya tempat berdiri dihadapan Allah Ta’ala dan huru‑haranya
pemandangan. Dan menyelesaikan hatinya sebelum bertakbir untuk shalat daripada
apa saja yang mempengaruhinya. Sehingga tiada lagi tempat di dalam jiwanya
untuk sesuatu urusan yang berpaling kepadanya lintasan bathinnya. Bersabda
Rasulullah saw kepada Usman bin Abi Syaibah: "Aku lupa mengatakan kepadamu, supaya engkau menyembunyikan
periuk yang ada di rumah. Maka sesungguhnya tiada wajar, ada di rumah sesuatu,
yang mengganggu manusia dari shalatnya”.
Inilah jalan menenteramkan pikiran. Kalau tiada juga
menenteramkan pikiran dengan obat yang menenteramkan, maka tiadalah yang
melepaskannya, melainkan obat cuci perut yang mengeluarkan benda penyakit dari
urat yang paling dalam. Yaitu: memperhatikan kepada segala keadaan, yang
menyeleweng, yang mempengaruhi daripada kehadiran hati. Dan tiada ragu kiranya,
bahwa segala keadaan itu kembali kepada kepentingannya. Dan kepentingan itu,
menjadi kepentingan hawa nasfunya. Maka hendaklah ia menyiksakan dirinya
dengan mencabut diri dari segala hawa‑nafsu dan memutuskan segala hubungan.
Segala yang mengganggunya dari shalat, maka adalah lawan agamanya dan tentara
Iblis musuhnya menahankannya, adalah lebih mendatangkan melarat kepadanya
daripada mengeluarkannya. Maka haruslah ia membersihkan diri daripadanya dengan
mengeluarkan benda yang mengganggu itu. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi
saw: "Tatkala memakai ‑khamishah‑ (kain hitam 4 persegi) yang dihadiahkan
oleh Abu Jahm kepadanya. Dan pada kain itu ada cap bendera Nabi. Lalu Nabi
bershalat dengan kain itu. Maka dibukanya sesudah shalat, seraya bersabda: "Kembalikanlah kain ini kepada Abu
jahm, karena telah mengganggu aku tadi dari shalatku. Dan bawalah saja kepadaku
kain selimut Abu jahm!”.
Rasulullah saw menyuruh memperbaharukan alas kakinya
bahagian atas. Kemudian beliau memandang kepadanya di dalam shalat, karena
barunya. Maka beliau suruh membukanya dan mengembalikan bahagian atas alas
kaki yang lama. Adalah Rasulullah saw memakai alas kaki, lalu mena’jubkan
beliau oleh kebagusannya. Maka beliau bersujud kepada Allah, Kemudian bersabda:
“Aku merendahkan diri kepada Tuhanku
'Azza wa jalla, kiranya tidak dikutukiNYA aku”. Kemudian beliau keluar
membawa alas kaki itu dan memberikannya kepada peminta pertama yang
dijumpainya. Kemudian, disuruhnya Ali ra membelikan dua alas kaki dari kulit
yang disamak, yang telah dibuang bulunya, lalu dipakainya. Adalah pada tangan
Rasulullah saw sebentuk cincin dari emas, sebelum diharamkan. Dan ketika itu
beliau diatas mimbar, lalu dilemparkannya cincin itu, seraya bersabda: “Diganggu aku oleh benda ini, karena
memandang kepadanya dan memandang kepada kamu”. Diriwayatkan: “Bahwa abu
Thalhah bershalat dalam suatu dinding tembok, padanya ada sebatang kayu. Maka
menakjubkannya oleh seekor burung yang kehitam-hitaman, terbang di pohon itu
mencari jalan keluar. Lalu diikuti oleh Abu Thalhah sebentar burung itu dengan
matanya. kemudian ia tiada mengetahui lagi, berapa raka’at sudah shalatnya.
Maka Abu Thalhah menerangkan apa yang telah menimpa
dirinya dari kekacauan itu, kepada Nabi saw kemudian ia menyambung: “Wahai
Rasulullah! Dinding tembok itu adalah sedekahku. Perbuatkanlah menurut
kehendakmu!”. Diriwayatkan dari orang lain, bahwa Abu Thalhah bershalat di
dalam dinding temboknya dan pohon kurma berbuah lebat. Maka Abu Thalhah
memandang kepada pohon kurma itu dan menakjubkannya. Sehingga ia tak tahu,
berapa raka’at sudah shalatnya. Peristiwa ini diceriterakannya kepada Usman ra
seraya mengatakan: “Dinding tembok itu, sedekahku, buatkanlah dia pada jalan
Allah ‘Azza wa Jalla!”. Maka dijual oleh Usman ra dengan 50 ribu. Mereka berbuat
demikian, untuk menghilangkan bahan yang mengganggu pemikiran dan menutup apa
yang telah terjadi daripada kekurangan shalat. Inilah obat yang mencegah unsur
penyakit dan tidak mempan dengan yang lain. Apa yang telah kami sebutkan dari
berlemah-lembutnya menetapkan hati dan mengembalikannya kepada memahami dzikir,
adalah bermanfa’at pada hawa nafsu yang lemah dan angan-angan yang tidak
mengganggu selain dari tepi-tepi hati. Adapun hawa nafsu yang meluap-luap, yang
payah dikendalikan, maka tidaklah bermanfa’at padanya penetapan hati dengan
kelemah-lembutan. Tetapi senantiasalah engkau menarik dia dan dia menarik
engkau. Kemudian ia mengalahkan engkau dan berlalulah seluruh shalat engkau
dalam gangguan tarik menarik.
Adalah seumpama seorang lelaki, di bawah sepohon kayu. Ia
bermaksud hendak menjernihkan pikirannya, tetapi nyanyian burung pipit
mengganggunya. Maka senantiasalah diusirnya burung pipit itu, dengan sepotong
kayu pada tangannya. Dan kembali ia menenangkan pikirannya. Kemudian burung itu
kembali lagi, lalu iapun kembali mengusirnya dengan kayu yang ada di tangannya.
Maka berkatalah orang kepadanya: “Ini adalah pekerjaan yang tak ada hasilnya!
Dan tidak akan habis. Kalau engkau mau terlepas, maka potonglah pohon itu!”.
Maka seperti itu pulalah pohon hawa nafsu.
Apabila telah bercabang dan banyak ranting-rantingnya, niscaya tertarik
kepadanya segala pikiran, sebagaimana tertariknya burung-burung pipit kepada
pohon-pohon. Dan tertariknya lalat kepada barang-barang buruk. Dan lamalah
usaha untuk mengenyahkannya. Lalat itu, tiap kali dihancurkan, kembali lagi
berkembang. Dari itulah, maka ia dinamakan lalat.
Maka seperti itu pulalah, segala lintasan di dalam hati. hawa nafsu itu banyak
macamnya. Amat sedikitlah manusia terlepas daripadanya. Dan semuanya itu
dikumpulkan oleh satu pokok, yaitu: mencintai
dunia. Dan begitu pula, kepala tiap-tiap kesalahan, sendi tiap-tiap
kekurangan dan sumber tiap-tiap kerusakan. Maka siapa yang terlibat hatinya
kepada mencintai dunia, sehingga condong kepada sesuatu daripadanya, bukan
untuk mencari bekal daripadanya dan memperoleh pertolongan untuk negri akhirat,
maka janganlah diharapkan, akan jernih kelezatan bermunajah di dalam shalat.
Karena orang yang senang dengan dunia, niscaya ia tidak senang dengan Allah Ta’ala
dan dengan munajah dengan DIA. Cita-cita seseorang, adalah beserta
kesayangannya. Kalau kesayangannya ada pada dunia, maka sudah pasti kemauannya
berpaling kepada dunia itu. Tetapi, dalam pada itu, tiadalah wajar meninggalkan
mujahadah, mengembalikan hati kepada shalat dan menyedikitkan sebab-sebab yang
menjadi gangguan. Ini adalah obat yang pahit. Dan karena pahitnya, maka
dimuntahkan oleh tabi’at manusia. Sehingga tinggallah penyakit itu melumpuhkan
badan dan jadilah penyakit itu penghalang. Sehingga beberapa pembesar,
bersungguh-sungguh melakukan shalat dua raka’at, dimana mereka tiada
memperkatakan dengan dirinya di dalam shalat tadi, akan hal ikhwal duniawi,
maka ternyata mereka lemah dari yang demikian itu. Maka tak adalah harapan
seperti kita-kita ini!. Semoga kiranya, selamatlah shalat kita, setengah atau
sepertiga daripadanya, dari kebimbangan hati, supaya kita tidak termasuk orang
yang mencampurkan amalan baik dan amalan buruk. Kesimpulannya, maka cita-cita
dunia dan cita-cita akhirat di dalam hati, adalah seperti air yang dituangkan
ke dalam gelas yang penuh dengan cuka. Seberapa banyak air yang masuk kedalam
gelas itu, maka sudah pasti sebanyak itu pula cuka keluar. Dan tidaklah
keduanya itu berkumpul menjadi satu.
FASAL 5 PENJELASAN PERINCIAN APA YANG SELAYAKNYA HADIR DI
DALAM HATI PADA TIAP-TIAP RUKUN DAN SYARAT PERBUATAN SHALAT
Maka kami katakan, hak anda kalau benarlah anda dari
orang-orang yang mencari akhirat, ialah yang
pertama-pertama tidak melengahkan segala peringatan yang mengenai syarat-syarat dan rukun-rukun shalat.
Adapun syarat-syarat yang mendahului shalat, yaitu: azan,
bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, berdiri betul dan niat.
5.1 Azan. Apabila kita mendengar seruan muadzin, maka hadirkanlah kiranya ke dalam
hati kita, huru-hara seruan pada hari
qiamat.
Dan bersiaplah dengan dhahir dan bathin kita, memperkenan
dan menyegerakan. Karena orang-orang yang menyegerakan diri kepada seruan ini,
adalah mereka yang diserukan dengan lemah-lembut pada hari pertemuan akbar itu. Maka bawalah hatimu kepada seruan ini! Kalau
anda memperolehnya penuh dengan kesenangan dan kegembiraan, melimpah-limpah
dengan keinginan untuk bersegera, maka ketahuilah bahwa anda didatangi oleh
seruan dengan berita gembira dan kemenangan di
hari keputusan yang akan tiba. Karena itulah, bersabda Nabi saw: “Berikanlah kesenangan kami, hai Bilal!”.
Artinya: Berikanlah kesenangan kepada kami dengan shalat dan dengan seruan
kepadanya! Karena kecintaan hati Nabi saw adalah padanya.
5.2 Adapun bersuci, maka apabila anda telah laksanakan pada tempat anda, yaitu lingkungan yang mengelilingi anda, yang
lebih jauh, kemudian pada pakaian
anda, yaitu pembalut anda yang lebih
dekat, kemudian pada kulit anda,
yaitu kulit anda yang lebih dekat lagi, maka janganlah anda melupakan isi badan anda, yang menjadi diri anda
sendiri, yaitu hati anda. Maka
bersungguh-sungguhlah menyucikan hati itu, dengan bertaubat dari menyesali diri
atas perbuatan yang telah terlanjur dan memusatkan cita-cita, untuk
meninggalkannya pada masa yang akan datang. Maka sucikanlah bathin anda dengan
yang tersebut tadi, karena bathinlah tempat yang dilihat oleh Tuhan yang kita
sembah.
5.3 Adapun menutup aurat, maka ketahuilah bahwa arti menutup aurat itu, ialah menutup tempat-tempat
yang jelek pada badan anda dari mata manusia. Sesungguhnya yang dhahir dari
badan anda, adalah tempat pandangan manusia.
Maka bagaimanakah fikiran anda mengenai aurat bathin anda dan rahasia-rahasia
anda yang keji, yang tidak dilihat selain oleh Tuhan anda ‘Azza wa Jalla? Maka
kemukakanlah segala kekejian itu pada hati anda dan mintalah diri anda
menutupkannya. Dan yakinlah bahwa tiada sesuatupun yang dapat menutupkannya.
Pada penglihatan Allah Ta’ala. Hanya segala kekejian itu dapat ditutup oleh
penyesalan, malu dan takut. Maka dengan menghadirkan segala kekejian itu ke
dalam hati, dapatlah anda memperoleh faedah, menggerakkan tentara takut dan malu
dari tempat persembunyiannya. Lalu dengan yang demikian, anda hinakan diri anda
dan hati anda akan menjadi tenteram di bawah perasaan malu itu.
5.4 Dan
tegak berdirilah anda di hadapan
Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana berdirinya hamba yang berdosa, yang berbuat
jahat dan yang melarikan diri selama ini, yang telah menyesal. Maka ia kembali
kepada tuannya dengan kepala menekur, karena malu dan takut.
5.5 Adapun menghadap qiblat, yaitu memalingkan wajah dhahir anda dari pihak-pihak yang lain, ke pihak Baitullah. Adakah anda berpendapat,
bahwa memalingkan hati dari segala hal yang lain, kepada perintah Allah ‘Azza
wa Jalla, tidak diminta dari anda?. Amat jauh dari yang demikian! Maka tidaklah
diminta selain itu!. Sesungguhnya segala
yang dhahir ini, adalah segala penggerak bagi bathin, pengendalian dan
penenangan bagi segala anggota badan, dengan penetapan arah yang satu itu. Sehingga segala yang dhahir itu, tidak
mendurhakai hati. karena apabila ia mendurhakai dan menganiayai di dalam segala
geraknya dan berpalingnya kepada segala pihak itu, niscaya dia menarik akan
hati dan berbalik daripada wajah Allah ‘Azza wa Jalla.
Dari itu, hendaklah wajah hati engkau bersama dengan wajah
tubuh engkau!. Ketahuilah kiranya bahwa sebagaimana muka tidak menghadap ke
arah Baitullah, kecuali dengan berpaling dari lainnya, maka begitu pula hati
tiada akan berpaling kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali dengan mengosongkan
hati itu daripada lainNYA. Telah bersabda Nabi saw: “Apabila berdirilah hamba
kepada shalatnya, maka hawa nafsunya, wajahnya dan hatinya berpaling kepada
Allah ‘Azza wa Jalla, adalah seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya”. Adapun
i’tidal dengan berdiri betul, adalah berdiri lurus dengan diri dhahir dan
hatinya dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Maka hendaklah kepala anda, yaitu
anggota tubuh anda yang tertinggi, menekur, menunduk dan melihat ke bawah! Dan
hendaklah kerendahan kepala dari ketinggiannya, memberi pengertian kepada
keharusan bagi hati untuk merendahkan, menghinakan dan melepaskan dari sifat
keangkuhan dan kesombongan! Dan hendaklah ada pada ingatan anda disini,
tergurisnya di hati berdiri dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, pada huru-hura
pandangan ketika datang untuk pertanyaan amal! Ketahuilah, dalam keadaan ini,
sesungguhnya anda adalah berdiri dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla! IA melihat
kepada anda. Dari itu berdirilah di hadapan ALLAH, sebagaimana anda berdiri dihadapan
setengah raja-raja zaman sekarang, kalau anda merasa lemah daripada mengenal
dzat ALLAH yang Maha Tinggi.
Tetapi umpamakanlah selama anda berdiri di dalam shalat
itu, bahwa anda diperhatikan dan diintip oleh mata yang bersinar berapi-api,
dari seorang laki-laki yang shalih, dari keluarga anda atau dari orang yang
anda ingini, untuk mengenal anda sebagai orang shalih. Maka pada ketika itu,
tenanglah sendi-sendi anda, khusyu’lah anggota-anggota tubuh anda dan
tenteramlah segala bahagian badan anda. Karena takut dikatakan anda oleh orang
yang lemah lagi miskin itu, bahwa anda kurang kusyu’. Apabila anda telah merasa
diri anda, dengan pemegangan diri, dari perhatian hamba yang miskin itu, maka
celalah diri anda dan katakanlah kepada diri itu: “Bahwa engkau, hai diri,
mendakwakan mengenal dan mencintai Allah.
Apakah engkau tidak malu dari keberanian engkau kepadanya,
serta engkau memuliakan salah seorang daripada hamba ALLAH ? Atau engkau takut
kepada manusia dan engkau tidak takut kepada ALLAH ? Padahal, Dialah yang
berhak ditakuti! Karena itu, tatkala bertanya Abu Hurairah: “Bagaimanakah malu
kepada Allah?”. maka menjawab Nabi saw: “Engkau malu kepada ALLAH, adalah
sebagaimana engkau malu kepada laki-laki yang baik dari kaum engkau”. Dan
diriwayatkan pada riwayat yang lain: “Dari keluarga engkau”. Adapun niat, maka
berhasratlah untuk memenuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla, pada mengikuti
perintah ALLAH dengan shalat dan menyempurnakannya, mencegah dari segala yang
meruntuhkan dan yang merusakkan shalat itu. Serta mengikhlaskan semuanya itu
bagi wajah Allah Ta’ala, karena mengharap pahala daripadanya, takut daripada
siksaan ALLAH, mencari kehampiran diri pada ALLAH dan mengharapkan nikmat
dengan keizinan ALLAH.
Awaslah pada
bermunajah itu dengan adabmu yang buruk dan maksiatmu, yang banyak. Dan
agungkanlah di dalam jiwamu banyak sedikitnya bermunajah dengan DIA ! Dan
lihatlah dengan siapa anda bermunajah dan bagaimana anda bermunajah! Dan dengan
apa anda bermunajah?. Pada ketika ini sewajarnyalah berkeringat pipimu daripada
perasaan malu, kembang kempislah perutmu daripada perasaan kehebatan dan
menguninglah wajahmu daripada perasaan ketakutan.
5.6 Adapun takbir, apabila lisan
anda mengucapkannya, maka seyogyalah tidak didustakannya oleh hati anda. Kalau
di dalam hati anda, ada sesuatu, yang lebih agung daripada Allah Ta’ala, maka
Allah menyaksikan, bahwa anda itu pembohong, meskipun perkataan anda itu benar.
Seperti yang disaksikan pada orang-orang yang munafik tentang perkataan mereka,
bahwa Nabi saw itu rasul Allah. Kalau hawa nafsu anda lebih keras pada anda
daripada perintah Allah ‘Azza wa Jalla, sehingga anda lebih mematuhi panggilan
hawa nafsu itu daripada panggilan Allah, maka sesungguhnya anda telah mengambil
hawa nafsu itu menjadi Tuhan anda dan telah mengagungkannya. Maka adalah ucapan
anda Allaahu akbar (Allah Maha Besar) itu, adalah ucapan dengan lisan
semata-mata. Dan hati menyalahi daripada menolong lisan itu. Alangkah besarnya
bahaya yang demikian itu, jikalau tidaklah bertaubat, bermohon ampun dan
membaikkan sangka dengan kemurahan dan kema’afan Allah Ta’ala.
5.7 Adapun do’a iftitah, maka kata-kata
pertamanya ialah ucapan anda: “wajjahtu wajhiya lilladzii fathaaras-samaawaati
wal-ardhi”. (aku hadapkan wajahku/diriku kepada Tuhan yang menjadikan langit
dan bumi). Tidaklah dimaksudkan dengan wajah itu, wajah dhahir. Karena anda
apabila menghadapkan wajah itu ke arah qiblat dan Allah Ta’ala Maha Suci,
daripada di dapati oleh pihak-pihak, sehingga anda menghadapkan dengan wajah
tubuh anda kepadanya. Sesungguhnya wajah hatilah, yang anda hadapkan kepada
pencipta langit dan bumi. Maka lihatlah kepada hati itu, adakah ia menghadap
kepada cita-citanya dan kemauannya, di rumah dan di pasar, yang mengikuti hawa
nafsu atau menghadap kepada pencipta langit?”. Awaslah daripada adanya
permulaan munajah anda itu, dengan bohong dan dibuat-buat. Dan tidaklah
berpaling wajah itu kepada Allah Ta’ala selain dengan berpalingnya daripada
selain Allah. Dari itu, bersungguh-sungguhlah pada waktu sekarang, memalingkannya
kepada Allah. jikalau anda lemah terus menerus daripada yang demikian, maka
hendaklah ada pada waktu sekarang ini, ucapan anda itu benar!.
Apabila anda mengucapkan: “Hanifam-muslima” (memilih agama
yang benar, lagi muslim/berserah diri), maka seyogyalah bahwa, terlintas pada
hati anda, bahwa muslim, ialah yang selamat orang muslimin lain daripada lidah
dan tangannya. Kalau tidak adalah anda seperti yang demikian, maka adalah anda
pembohong. Maka berusahalah sungguh-sungguh, untuk berhasrat yang demikian pada
masa yang akan datang dan menyesali diri terhadap hal-ikhwal yang telah lalu.
Apabila anda mengucapkan: “Wa maa ana minal musyrikiin” (dan tidaklah aku
termasuk orang musyrik), maka guriskanlah pada hati anda “syirik khafi”,
(mempersekutukan Tuhan secara tersembunyi, tidak kelihatan). Bahwa firman Allah
Ta’ala: “Maka siapa yang mengharap akan menemui Tuhannya, hendaklah dia
mengerjakan pekerjaan yang baik-baik dan jangan dia mempersekutukan dalam
menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun”. S 18 Al kahfi ayat 110.
Turun mengenai orang yang bermaksud dengan ibadahnya akan wajah Allah dan
pujian manusia. Hendaklah anda berhati-hati menjaga diri dari syirik ini! Dan
meresaplah kiranya perasaan malu di dalam hati anda, kalau anda menyifatkan diri
sendiri, bahwa anda tidaklah termasuk orang musyrik, tanpa terlepas daripada
syirik itu. Nama syirik itu, terjadi pada sedikit dan banyak daripadanya.
Apabila anda mengucapkan: “Hidupku dan matiku untuk
Allah”, maka ketahuilah bahwa ini adalah keadaan seorang hamba yang memandang
dirinya tidak ada, hanya adanya untuk
tuannya. Bahwa sesungguh nya, kalau terbitlah kata-kata tadi dari orang, yang
relanya dan marahnya, tegaknya dan duduknya, sukanya kepada hidup dan takutnya
kepada mati, untuk urusan keduniaan, maka tiadalah sesuai kata-kata itu dengan
keadaaan. Apabila anda mengucapkan: “Aku berlindung dengan Allah daripada setan
yang terkutuk”, maka ketahuilah bahwa setan itu musuhmu dan mencari kesempatan
untuk memalingkan hatimu daripada Allah ‘Azza wa jalla. Karena dengkinya
kepadamu bermunajah dengan Allah Ta’ala dan sujudmu kepada ALLAH. Sedang dia
telah terkutuk, disebabkan satu sujud yang ditinggalkannya dan tidak
disetujuinya. Bahwa engkau berlindung dengan Allah Ta’ala daripada setan,
adalah dengan meninggalkan apa yang disukai setan dan menggantikannya dengan
apa yang disukai Allah ‘Azza wa Jalla. Tidaklah dengan semata-mata perkataan
engkau itu saja. Karena orang yang dimaksudkan oleh binatang buas atau oleh
musuh, mau diterkam atau dibunuhnya, lalu mengucapkan: “Aku berlindung
daripadamu dengan benteng yang kokoh kuat itu”, sedang ia tetap pada tempatnya,
maka yang demikian itu, tiadalah bermanfa’at baginya. Tetapi tidaklah
melindunginya, kecuali dengan menggantikan tempat itu. Seperti itu pulalah
orang yang menuruti hawa nafsu, yang menjadi kesukaan setan dan kebencian
Tuhan, maka tiada mencukupi dengan semata-mata perkataan. Tetapi hendaklah
disertakan perkataan itu dengan hasrat melindungkan diri dengan benteng Allah
‘Azza wa Jalla daripada kejahatan setan itu. Dan bentengNYA, ialah: “Laa ilaaha
illallaah” (Tiada yang disembah dengan sebenarnya, selain Allah). karena
berfirman Allah Ta’ala, menurut apa yang diterangkan oleh Nabi kita saw: “Laa
ilaaha illallah adalah bentengKU. Maka siapa yang masuk ke dalam bentengKU,
niscaya ia aman daripada azabKU”. Yang berbenteng dengan benteng Allah, ialah
orang yang tiada menyembah selain Allah swt.
Adapun orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi
Tuhannya, maka dia adalah di dalam tanah lapang setan, tidak di dalam benteng
Allah ‘Azza wa Jalla. Ketahuilah bahwa diantara tipu daya setan itu ialah
diganggunya anda di dalam shalat, dengan mengingati akhirat dan memahami
perbuatan kebajikan, supaya mencegah anda daripada memahami apa yang anda baca.
Maka ketahuilah bahwa tiap-tiap yang mengganggu anda
daripada memahami
arti bacaan anda, itu adalah gangguan setan. Karena bukanlah gerak
lidah yang dimaksud, tetapi yang dimaksud ialah arti dari gerak lidah itu.
Karena itu anda harus paham atau mengerti arti bacaan pada sholat. Jangan hanya
hafal bahasa arabnya saja, tapi anda tidak tau apa yang anda ucapkan !!! Karena
itulah anda menjadi alpa dan pikiran anda menerawang kemana-mana !!! Maka
menjadilah sholat anda tidak syah !!!
Adapun bacaan, maka manusia mengenai bacaan ini 3 golongan:
1 Segolongan ialah orang yang
menggerakkan lidahnya dan hatinya alpa.
2. Segolongan orang yang menggerakkan
lidahnya dan hatinya mengikuti lidahnya, maka ia mengerti dan mendengar bacaan
dari lidahnya, seakan-akan ia mendengar dari orang lain. Yaitu: derajat orang
golongan kanan. Dan
3. Segolongan lagi, ialah orang,
pertama-tama: mendahului hatinya kepada maksud, kemudian lidahnya berkhidmat
kepada hati, lalu lidah itu menjadi juru bahasa daripada hati. Maka dibedakan,
antara lidah menjadi juru bahasa dari hati atau guru dari hati.
Adapun orang muqarrabun (orang-orang yang menghampirkan
diri kepada Allah Ta’ala), lidah mereka itu adalah juru bahasa yang menuruti
hati dan tidaklah hati yang menuruti lidah. Perincian terjemah dari segala
maksud yang dibaca itu, ialah apabila anda membaca: “Bismillaahir rahmaanir
rahiim”, (dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka
berniatlah memperoleh barakah (berkat) untuk memulai bacaan kalam Allah Ta’ala.
Dan pahamilah bahwa maksudnya, ialah: segala sesuatu itu seluruhnya pada Allah
Ta’ala. Dan yang dimaksudkan dengan “nama” disini, ialah “yang dinamakan” (yang
diberi nama kepadanya). Apabila segala sesuatu adalah pada Allah Ta’ala, maka
tegaslah, bahwa pujian itu adalah bagi Allah. artinya: syukur (terima kasih)
itu bagi Allah, karena segala nikmat itu daripada Allah.
Siapa yang melihat, nikmat itu dari selain Allah atau
bermaksud bersyukur kepada selain Allah, tidak dari segi bahwa yang lain dari
Allah itu adalah menjalankan perintah Allah Ta’ala, maka pada menamakan dan
memujikan yang lain dari Allah itu, mengandung kekurangan, menurut kadar
berpalingnya kepada selain Allah. Apabila anda membaca “arrahmaanir-rahiim”.
(Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka hadirkanlah ke dalam hati anda
segala macam kasih sayang ALLAH. Supaya jelaslah bagi anda rahmat ALLAH, lalu
tergeraklah harapan anda, kemudian meluaplah dari hati anda keagungan dan
ketakutan dengan ucapan anda: “maaliki yaumiddin” (Yang menguasai hari
pembalasan). Adapun keagungan, maka karena tak adalah pemerintahan, melainkan
kepunyaan ALLAH. Dan adapun takut, maka karena kehuru-haraan hari pembalasan
dan perhitungan amal, di mana DIAlah yang mempunyainya. Kemudian perbaharuilah
keihklasan dengan ucapan anda: “Iyyaaka na’budu” (Hanyalah Engkau yang kami
sembah!) dan perbaharuilah rasa kelemahann diri, rasa berhajat kepada ALLAH dan
tidak mempunyai daya dan upaya, dengan ucapan anda: “Wa iyyaaka nasta’iin” (Dan
kepada Engkau kami memohon pertolongan!) dan yakinlah, bahwa tiadalah
memperoleh kemudahan berbuat ta’at, melainkan dengan pertolongan ALLAH. Dialah
yang mempunyai nikmat, karena memberikan taufiq kepada kita untuk berbuat ta’at
kepada ALLAH. Dan dijadikan ALLAH kita, dapat berkhidmat memperhambakan diri
kepada ALLAH dan menjadikan kita dapat bermunajah dengan DIA.
Kalau tidak dianugerahi ALLAH kita daripada memperoleh
taufiq, niscaya adalah kita termasuk orang-orang yang terusir bersama setan
yang terkutuk. Kemudian apabila anda telah selesai daripada membaca: “A’uudzu
billaah”, daripada membaca: “Bismillaahir-rahmaanir-rahiim”, daripada membaca
“Alhamdulillaah”, dan daripada melahirkan hajat umumnya kepada pertolongan
ALLAH, maka tentukanlah permohonanmu! Dan tidak meminta selain daripada hajatmu
yang terpenting, yaitu ucapkanlah: “Ihdinash-shiraathal-mustaqiim” (Pimpinlah
kami ke jalan yang lurus), yang membawa kami ke sisi Engkau dan menghantarkan
kami kepada kerelaan Engkau!. Dan tambahkanlah penguraian, perincian, peneguhan
dan pengakuan bersama mereka yang telah dianugerahi ALLAH kenikmatan petunjuk,
yaitu nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang
shalih. Tidak mereka yang telah dimarahi, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Kemudian bermohonlah makbul, dengan mengucapkan “Aamin” (Perkenankanlah ya
Allah!).
Apabila sudah membaca al-fatihah seperti yang tersebut
diatas, maka menyerupailah anda dengan orang-orang yang dikatakan oleh Allah
Ta’ala tentang mereka itu, menurut apa yang diceriterakan Nabi saw: “Aku bagi
shalat itu dua bahagian, antaraKU dan hambaKU. Sebahagian bagiKU dan sebahagian
lagi bagi hambaKU. Dan hambaKU memperoleh apa yang dimintanya”. Berkatalah
hamba: “Alhamdulillahi rabbil-‘aalamiin” (Segala pujian untuk Allah, Pemimpin
semesta alam), maka berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: “Telah dipuji AKU oleh
hambaKU dan disanjunginya AKU”. Yaitu: maksud dari bacaannya: “Sami’allaahu
liman hamidah”. (Didengar oleh Allah siapa yang memuji ALLAH). Kalau sekiranya
tak ada bagi anda keuntungan dari shalat itu, selain dari diingati oleh Allah
Ta’ala akan anda di dalam kebesaran dan keagungan ALLAH, maka itupun merupakan
suatu hadiah yang berharga. Maka betapa lagi dengan apa yang anda harapkan,
yang merupakan pahala dan kurnia daripada ALLAH?. Begitu pula, sewajarnyalah
anda pahami tiap-tiap yang anda baca dari surat-surat Al-Qur’an, sebagaimana
akan datang penjelasannya pada Kita Membaca Al-Qur’an. Maka janganlah anda alpa
dari perintah ALLAH, dan larangan ALLAH, janji nikmat ALLAH dan janji ‘azab
ALLAH, segala pengajaran ALLAH, berita dari nabi-nabi ALLAH, ingatan kepada
nikmat-nikmat ALLAH dan kebaikan ALLAH. Masing-masing itu mempunyai hak. Maka
harap, adalah hak dari janji nikmat. Dan takut, adalah hak dari janji ‘azab.
Dan cita-cita, adalah hak dari suruhan dan larangan. Dan menerima pengajaran
adalah hak dari pengajaran. Syukur adalah hak dari ingatan kepada nikmat. Dan
memperoleh pengertian adalah hak berita dari nabi-nabi. Diriwayatkan, bahwa
Zararah bin Aufa, tatkala sampai pembacaannya kepada firman Allah Ta’ala:
“Ketika terompet dibunyikan”. S 74 Al Muddatstsir ayat 8, lalu jatuh tersungkur
dan meninggal dunia. Adalah Ibrahim An-Nakha’i, apabila mendengar firman Allah
Ta’ala: “Ketika langit belah”. S 84 Al Insyiqaaq ayat 1, gemetarlah tubunya
sehingga lemahlah sendi-sendinya. Berkatalah Abdullah bin Waqid: “Saya melihat
Ibnu Umar mengerjakan shalat, dalam keadaan tidak sadar. Kiranya benarlah,
bahwa hatinya terbakar dengan janji nikmat dan janji ‘azab Tuhannya. Karena dia
adalah hamba yang berdosa lagi hina, dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, lagi Maha
Perkasa”. Dan adalah segala pengertian tadi, menurut tingkat pemahaman
masing-masing. Dan pemahaman itu adalah menurut kesempurnaan ilmu dan
kebersihan hati dan tingkat-tingkat tersebut, tidak terhingga banyaknya. Shalat
itu adalah kunci hati. didalam shalat terbukalah segala kunci rahasia
kalimah-kalimah yang dibaca. Dan inilah hak bacaan, juga hak dzikir dan tasbih.
Kemudian, dijaga kehebatan pada bacaan, maka bacalah dengan bacaan
yang bagus dan tidak terburu. Karena dengan demikian, lebih
memudahkan bagi perhatian. Dan diperbedakan pada pembacaan itu, diantara turun
naiknya suara, mengenai ayat-ayat yang mengandung rahmat dan ‘azab, janji
pahala dan janji siksa, pemujian, pengagungan dan penghormatan. Adalah
An-Nakha’i apabila melalui di dalam pembacaannya seperti firman Allah Ta’ala:
“Allah tiada mengambil (mempunyai) anak dan tiada pula Tuhan yang lain
disamping ALLAH”. S 23 Al Mukminuun ayat 91, maka beliau merendahlah suaranya,
seperti orang yang malu menyebutkan sesuatu yang tidak layak. Diriwayatkan,
bahwa dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an: “Bacalah, tinggikanlah dan
baguskanlah pembacaan, sebagaimana engkau membaguskan pembacaan mengenai ikhwal
duniawi!”. Adapun berkekalan berdiri di dalam shalat, adalah pemberitahuan
kepada ketegakan hati serta Allah Ta’ala di atas sifat dari kehadirannya.
Bersabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala menghadap pada orang yang
bershalat, selama orang itu tiada berpaling kepada yang lain”. Sebagaimana
harus menjaga kepala dan mata daripada berpaling kepada segala pihak, maka
seperti itu pulalah wajib menjaga rahasia (bathin) daripada berpaling kepada
bukan shalat. Apabila berpaling kepada yang lain, maka peringatilah hati itu,
bahwa Allah Ta’ala melihatnya. Dan merupakan penghinaan yang keji kepada Allah
ketika kealpaan orang yang bermunajah itu. Supaya kembalilah hati itu kepada
ALLAH. Dan haruslah mengusahakan khusyu’ bagi hati, dengan terlepasnya hati
daripada berpaling kepada yang lain, pada bathin dan pada dhahir, sebagai hasil
dari khusyu’. Dan manakala telah khusyu’ bathin, niscaya khusyu’lah dhahir.
Bersabda Nabi saw, ketika ia melihat seorang laki-laki yang mengerjakan shalat
dan mempermain-mainkan janggutnya: “Adapun orang ini jikalau khusyu’lah
hatinya, maka pastilah khusyu’ anggota badannya”. Karena rakyat itu adalah
menurut pimpinan dari pemimpinnya. Dari itu tersebut pada do’a Nabi saw: “Ya
Allah, ya Tuhanku! Perbaikilah pemimpin dan rakyat yang dipimpin!”, yaitu hati
dan anggota badan”. Adalah Abu Bakar Shiddiq ra di dalam shalatnya, seolah-olah
dia itu tonggak.
Dan Ibnu Zubair ra, seolah-olah dia itu tiang. Setengah
mereka adalah menetap di dalam ruku’nya, sehingga jikalau jatuhlah burung pipit
ke atasnya, maka dia adalah seakan-akan barang keras. Semuanya itu, adalah
kehendak tabi’at manusia, dihadapan yang diagungkan daripada anak-anak dunia.
Maka bagaimana pula, tidak diperlakukan yang demikian, dihadapan Raja-Diraja
pada orang yang mengenal akan Raja-Diraja itu?. Tiap-tiap orang yang tenang
dengan khusyu’ dihadapan selain Allah dan tidak tenang anggota badannya dengan
bermain-main dihadapan Allah, maka adalah karena singkat pengetahuannya tentang
kebesaran Allah dan tentang penglihatan Allah kepada rahasia dan isi hatinya.
Berkata ‘Akramah tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Yang melihat engkau
ketika engkau berdiri (mengerjakan shalat). Dan melihat gerak badan engkau
diantara orang-orang yang sujud”. S 26 Asy Syu’araaa’ ayat 218-219, yaitu:
berdiri ruku’, sujud dan duduk dari orang yang mengerjakan shalat itu.
5.8 Adapun ruku’ dan sujud, maka sewajarnyalah membaru ingatan kepada kebesaran Allah Ta’ala ketika
mengerjakan keduanya. Dan anda mengangkatkan kedua tangan, dengan bermohon
kema’afan Allah Ta’ala dari siksaan ALLAH, dengan membaharukan niat dan
mengikuti sunnah Nabi saw kemudian anda mengulangi lagi, menghinakan dan
merendahkan diri kepada ALLAH dengan ruku’ anda. Dan berusaha benar-benar
melembutkan hati anda, membaharukan khusyu’ anda. Anda merasakan akan demikian,
kemuliaan Tuhan anda, kerendahan anda dan keagungan Tuhan anda. Anda bermohon
pertolongan supaya tetaplah yang demikian itu dalam hati anda dengan lisan
anda. Maka bertasbihlah akan Tuhan dan mengakuilah keagungan ALLAH. Bahwa DIA
Maha Agung dari segala yang agung! Anda mengulang-ulangi yang demikian dalam
hati anda, supaya bertambah kuat dengan mengulang-ulangi itu.
5.9 Kemudian anda bangkit dari ruku’ dengan mengharap, kiranya IA merahmati anda. Dan kuatkan harapan itu pada
jiwa anda, dengan bacaan: “Samiallaahu liman hamidah” (Didengar oleh Allah akan
siapa yang memujikan ALLAH). Artinya: dikabulkan ALLAH do’a orang yang
mensyukuri ALLAH. Kemudian anda iringi yang demikian itu, dengan kesyukuran
yang menghendaki penambahan itu, lalu anda bacakan: “Rabbanaa lakalhamd”, (Hai
Tuhan kami, bagi Engkau segala jenis pujian). Anda perbanyakkan pujian itu,
dengan bacaan: “Mil-ussamaawaati wa mil-ul-ardli” (Memenuhi segala langit dan
bumi). Kemudian, anda turun kepada sujud, yaitu tingkat tertinggi dari
ketetapan hati. Maka anda tetapkan anggota badan anda yang termulia, yaitu,
muka kepada benda yang terhina, yaitu tanah. Kalau dapat janganlah anda buat
dinding diantara keduanya, maka sujudlah diatas bumi! Perbuatlah yang demikian,
karena lebih menarik kepada kekhusyu’an hati dan lebih menunjukkan kepada
kehinaan. Apabila anda meletakkan diri anda pada tempat kehinaan, maka
ketahuilah bahwa anda telah meletakkannya pada tempatnya dan telah anda
kembalikan cabang kepada pokoknya. Karena anda, dari tanah dijadikan dan
kepadanya anda kembali. Maka ketika itu, perbaharuilah di dalam hatimu
keagungan Allah dan ucapkanlah: “Subhaana rabbial-a’laa”, (Maha suci Tuhanku
yang Maha Tinggi). Dan kuatkanlah dengan diulang-ulangi! Karena sekali adalah
lemah membekasnya. Apabila hati anda telah menghalus dan telah nyata yang
demikian itu, maka benarkanlah harapan anda kepada rahmat Allah! karena rahmat
ALLAH bersegera kepada yang lemah dan yang hina, tidak kepada yang takabur dan
menggagah. Kemudian, angkatkanlah kepala anda dengan bertakbir dan bermohon hajat
anda, dengan membaca: “Rabbighfir warham wa tajaawaz ‘ammaa ta’lam”, (Hai
Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lepaskanlah (aku) daripada sesuatu
(dosa) yang Engkau ketahui!. Ataupun anda bacakan sesuatu do’a yang anda
kehendaki. Kemudian, teguhkanlah merendahkan diri itu, dengan mengulang-ulangi
membacakannya!. Kemudian, kembalilah kepada sujud kedua seperti tadi!. Adapun
tasyahhud, maka apabila anda duduk tasyahhud itu, maka duduklah dengan adab.
Dan tegaskanlah bahwa seluruh apa yang dilaksanakan dari amal perbuatan shalat
dan tingkah laku yang suci, adalah karena Allah dan kepunyaan Allah. itulah,
yang dimaksudkan dengan: segala kehormatan (tahiyyah) untuk Allah. dan
hadirkanlah di dalam hati anda, Nabi saw dan pribadinya yang mulia, dengan mengucapkan:
“Salaamun ‘alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh”, (Selamat
sejahtera kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah serta berkat ALLAH). Dan
hendaknya benarkanlah cita-cita anda, pada menyampaikan salam kepadanya dan
semoga dibalaskannya kepada anda dengan lebih sempurna. Kemudian, anda
mengharapkan selamat sejahtera kepada diri anda sendiri dan kepada sekalian
hamba Allah yang shalih. Kemudian, anda mengharapkan kiranya Allah
mengembalikan selamat sejahtera yang lebih sempurna kepada anda, sebanyak
bilangan hamba ALLAH yang shalih itu.
Kemudian anda mengakui dengan keesaan Allah dan kenabian
Muhammad saw dengan risalah yang dibawanya, dimana anda membaharukan janji
kepada Allah dengan mengulangi dua kalimah syahadah dan mengulangi kembali untuk
membentengi diri dengan kalimah itu. Kemudian, anda berdo’a pada akhir shalat
anda, dengan do’a yang berasal dari Nabi saw serta dengan merendahkan diri,
khusyu’ hati, memohon, meminta dan mengharap dengan harapan yang sebenarnya,
diperkenankan kiranya oleh Allah. Anda sertakan di dalam do’a itu, akan do’a
kepada kedua ibu-bapak anda dan kaum muslimin lainnya. Dan ditujukan ketika
memberi salam itu, kepada para malaikat dan hadirin yang ada di tempat shalat
anda. Dan niatkan menyudahi shalat dengan salam itu dan mesrakanlah didalam
hati akan rasa syukur kepada Allah Ta’ala, atas taufiq ALLAH, dapat
menyempurnakan ibadah ini!. Dan buatkanlah sangkaan di dalam hati, bahwa anda
meninggalkan shalat anda ini dan boleh jadi anda tidak akan lama hidup, dapat menyelesaikan
shalat yang seperti ini lagi! Bersabda Nabi saw kepada orang yang diberinya
wasiat: “Bershalatlah seperti shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal!”.
Kemudian, rasakanlah di dalam hati akan perasaan takut dan malu dari
keteledoran di dalam shalat! Dan takutilah shalat anda itu tidak diterima dan
anda dikutuki dengan dosa dhahir atau bathin, lalu shalat anda itu ditolak ke
muka anda. Dari itu anda berharap, kiranya diterima ALLAH sholat anda dengan
kemurahan dan kurnia Allah. Adalah Yahya bin Watstsab apabila telah mengerjakan
sholat, maka ia berhenti / masya Allah / sampai kita kenal padanya, seperti
tanda shalat. Dan adalah Ibrahim, berhenti sesudah shalat satu jam lamanya,
seolah-olah ia sakit. Maka inilah perincian shalat orang-orang yang khusyu’,
dimana mereka khusyu’ di dalam shalatnya. Dan mereka memelihara shalatnya dan
mereka tetap mengerjakan shalatnya dan bermunajah dengan Allah menurut
kesanggupannya dalam peribadatan. Hendaklah manusia mendatangkan dirinya kepada
shalat yang seperti ini! Maka menurut kesanggupan yang diperolehnya,
sewajarnyalah ia bergembira. Dan terhadap yang tidak diperolehnya,
sewajarnyalah ia merasa rugi. Dan sewajarnyalah ia berusaha mengobati yang
tidak diperolehnya itu!. Adapun shalat orang-orang yang alpa, maka adalah
membahayakan, kecuali Allah melindunginya dengan rahmat ALLAH.
Rahmat Allah adalah Maha Halus dan kemurahan ALLAH adalah
melimpah-limpah. Kita bermohon kepada Allah, kiranya IA menyarungi kita dengan
rahmat ALLAH dan menyelubungi kita dengan ampunan ALLAH. Karena tak adalah
jalan bagi kita selain daripada mengaku dengan kelemahan daripada menta’ati
ALLAH. Ketahuilah, bahwa melepaskan shalat dari segala bahaya, mengikhlaskan nya karena Allah ‘Azza wa Jalla
dan mengerjakannya dengan segala syarat bathiniyah yang telah kami sebutkan
itu, yaitu: khusyu’, pengagungan dan malu, adalah sebab untuk memperoleh nur
yang cemerlang di dalam hati, dimana nur itu adalah kunci dari ilmu mukasyafah.
Wali-wali Allah yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) dengan segala alam
malakut langit dan bumi serta segala rahasia keTuhanan, adalah terbuka hijabnya
di dalam shalat. Lebih-lebih di dalam sujud, karena hamba itu mendekati
Tuhannya dengan sujud. Dari itu, berfirman Allah Ta’ala: “Dan sujudlah dan
dekatkanlah diri (kepada Tuhan)!”. S 96 Al ‘Alaq ayat 16. Terbukanya kasyaf
bagi tiap-tiap orang yang mengerjakan shalat itu, adalah menurut tingkat
kebersihannya dari kotoran duniawi. Berbeda yang demikian itu, menurut kuat dan
lemahnya, sedikit dan banyaknya, terang dan tersembunyinya, sehingga terbukalah
bagi setengah mereka sesuatu itu dengan sebenar-benarnya.
Dan terbukalah bagi setengah yang lain sesuatu itu
sekedarnya, sebagaimana terbuka bagi setengah mereka, dunia itu dalam bentuk
bangkai dan setan itu dalam bentuk anjing, yang datang meniarap memanggil
kepadanya. Dan berbeda pula, apa yang padanya mukasyafah. Setengah mereka
terbuka baginya tentang sifat Allah dan kebesaran ALLAH. Setengah mereka
terbuka tentang af’al (perbuatan) Allah. dan setengah mereka terbuka tentang
yang halus-halus ilmu mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta
mengetahuinya hendaklah diamalkan). Untuk ketentuan segala pengertian itu pada
tiap-tiap waktu, ada sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak terhingga
banyaknya. Diantara sebab-sebab itu yang sangat sesuai, ialah cita-cita.
Karena, apabila cita-cita itu ditujukan kepada sesuatu yang tertentu, maka
adalah itu yang lebih utama dengan terbuka (inkisyaf). Tatkala segala keadaan
ini tidak dapat terlihat, selain pada kaca yang halus licin dan kaca itu
seluruhnya berkarat, maka terdindinglah daripadanya hidayah (petunjuk). Bukan
karena kikir dari pihak Pemberi nikmat hidayah, tetapi karena kotoran yang
berlapis-lapis karatnya pada tempat mengalirnya hidayah, di mana bergegas-gegas
lidah manusia membantahnya. Karena telah menjadi tabi’at manusia, membantah
yang tidak di mukanya. Jikalau adalah bagi anak dalam kandungan, akal pikiran,
niscaya dibantahnya akan kemungkinan adanya manusia pada udara luas terbuka.
Jikalau adalah bagi anak kecil, dapat membedakan sesuatu, niscaya mungkin
dibantahnya akan apa yang didakwakan oleh orang-orang yang berakal
mengetahuinya, dari alam al-malakut langit dan bumi. Begitulah manusia pada
tiap-tiap tingkat, hampirlah selalu membantah apa yang ada pada tingkat
sesudahnya. Siapa yang membantah tingkat kewalian tentulah ia membantah tingkat
kenabian. Dan makhluk itu dijadikan bertingkat-tingkat. Maka tidak wajarlah,
tiap-tiap orang membantah yang di belakang tingkatnya. Ya, manakala mereka
meminta ini diperdebatkan dan dibahas dengan cara yang mengacaukan itu dan
tidak dimintanya dari segi membersihkan hati dari selain Allah Ta’ala, niscaya
mereka tiada memperolehnya, lalu membantahnya. Dan orang yang tidak dari ahli
ilmu mukasyafah, maka tidak sedikit yang beriman dengan ghaib (yang tidak dapat
di ketahui dengan pancaindra atau yang termasuk bahagian metafisika) dan
membenarkannya, sampai dapat dipersaksikannya dengan percobaan. Pada hadits
tersebut: “Bahwa hamba apabila berdiri pada shalat, maka diangkat oleh Allah
dinding (hijab), antara ALLAH dan hamba ALLAH. Ia menghadapi hamba ALLAH dengan
wajah ALLAH. Dan berdirilah para malaikat dari sejak kedua bahunya sampai ke
udara, bershalat dengan shalatnya dan mengucapkan amin atas do’anya. Bahwa
orang yang mengerjakan shalat itu, bertaburanlah ke atasnya kebajikan dari
puncak langit sampai kepada belahan kepalanya. Dan menyerulah seorang penyeru:
“Jikalau tahulah orang yang bermunajah ini dengan siapa ia bermunajah, niscaya
ia tidak berpaling kepada yang lain. Bahwa pintu-pintu langit itu, dibuka bagi
orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan Allah ‘Azza wa Jalla membanggakan
kepada para malaikat ALLAH akan hamba ALLAH yang bershalat itu”. Maka pembukaan
pintu-pintu langit dan muwajahah Allah Ta’ala dengan wajah ALLAH akan hamba
ALLAH, adalah kinayah dari kasyaf yang kami sebutkan itu. Dalam Taurat,
tertulis: “Hai anak Adam! Jangan engkau merasa lemah berdiri di hadapanKU,
sebagai orang yang bershalat, yang menangis. AKU lah Allah yang engkau dekati
dari hati engkau dan dengan ghaib, engkau melihat akan nurKU”. Ia berkata:
“Maka kita melihat bahwa kehalusan perasaan, ketangisan dan keterbukaan yang
diperoleh oleh orang yang bershalat dalam hatinya, adalah dari kedekatan Tuhan
dari hatinya.
Dan apabila tidak ada kedekatan ini, yaitu dekat dengan
tempat, maka tidak adalah artinya, selain dari kedekatan dengan hidayah, rahmat
dan terbuka hijab. Dan dikatakan, bahwa hamba itu apabila bershalat dua
raka'at, niscaya ta’jublah 10 barisan daripada malaikat. Tiap-tiap barisan adalah
10.000 banyaknya. Dan Allah membanggakan dengan hamba ALLAH yang bershalat itu,
kepada 100.000 malaikat. Yang demikian ini, adalah karena hamba itu telah
mengumpulkan di dalam shalatnya, antara berdiri, duduk, ruku’ dan sujud. Dan
telah dipisah-pisahkan oleh Allah yang demikian, itu kepada 40.000 malaikat.
Maka para malaikat yang berdiri, mereka tidak ruku’ sampai hari qiamat. Dan
yang sujud, tidak mengangkat kepalanya,
sampai hari qiamat. Dan begitu pulalah yang ruku’ dan yang duduk. Maka apa yang
direzekikan oleh Allah kepada para malaikat itu, dari kedekatan diri dan
derajat tinggi, adalah berlaku terus-menerus demikian, dalam suatu keadaan,
tiada bertambah dan tiada berkurang. Dan karena itulah, diceriterakan oleh
Allah, bahwa para malaikat itu berkata: “Dan tak adalah dari kami selain dari
suatu kedudukan yang dimaklumi”. S 37 Ash Shaffaat ayat 164. Dan manusia itu
berbeda daripada malaikat, tentang kenaikan dari tingkat ke tingkat. Maka
senantiasalah manusia itu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, lalu memperoleh
faedah bertambahnya ke dekat itu. Dan pintu untuk tambah mendekat, adalah
tertutup bagi para malaikat as dan tidaklah bagi masing-masing malaikat,
melainkan derajatnya yang diuntukkan kepadanya dan ibadahnya yang tetap
dikerjakannya. Tidak berpindah kepada yang lain dan tidak berhenti dari ibadah
yang tertentu itu. “Para malaikat itu tiada menyombong dengan ibadahnya dan
tiada merasa letih.
Mereka bertasbih
siang dan malam dan tiada pernah berhenti”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 19-20. Kunci bertambahnya
derajat itu, ialah shalat. Berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman itu. Mereka yang khusyu’ dalam shalatnya”. S 23 Al
Mukminuun ayat 1 dan 2. Allah memujikan mereka sesudah iman, dengan shalat
tertentu, yang disertai dengan khusyu’. Kemudian disudahi ALLAH sifat-sifat
orang yang beruntung itu, dengan shalat pula, maka berfirman IA: “Dan mereka
yang menjaga shalatnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 9. Kemudian, berfirman Allah
Ta’ala, mengenai buah dari sifat-sifat itu: “Itulah orang-orang yang
mempusakai. Mereka yang mempusakai sorga firdaus.
Mereka kekal di dalamnya”. S 23 Al Mukminuun ayat 10-11.
Allah yang menyifatkan mereka, pertama dengan keberuntungan dan penghabisan
dengan mempusakai sorga firdaus dan
menurut pendapatku, bahwa banyaknya kata-kata dari lidah serta hati alpa,
berkesudahan sampai kepada batas itu. Karena itulah, berfirman Allah Ta’ala
tentang orang-orang yang berlawanan dengan mereka: “Apakah yang membawa kamu
masuk neraka? Mereka menjawab: “Kami tiada termasuk orang-orang yang
mengerjakan shalat”. S 74 Al Muddatstsir ayat 42-43. Orang-orang yang
mengerjakkan shalat itu, ialah mereka yang mewarisi sorga firdaus. Merekalah
yang menyaksikan nur Allah Ta’ala, memperoleh kesenangan dengan mendekati ALLAH
dan dekatnya dari hati mereka. Kita bermohon pada Allah, kiranya dijadikan
ALLAH kita sebahagian dari mereka dan dilindungi ALLAH kita dari siksaan yang
ditimpakan kepada orang-orang yang terhias kata-katanya dan keji perbuatannya.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah, yang menganugerahkan bermacam-macam nikmat,
yang qadim, mempunyai banyak kebaikan. Rahmat Allah kepada tiap-tiap hamba
ALLAH yang pilihan!.
FASAL 6 Tentang shalat orang-orang khusyu’. Kiranya Allah merelai
amalan mereka.
Ketahuilah, bahwa khusyu’ adalah buah iman dan
natijah/hasil keyakinan, yang diperoleh dengan kebesaran Allah ‘Azza wa jalla.
Siapa yang direzekikan demikian, adalah ia orang khusyu’ di dalam shalat dan
pada bukan shalat. Bahkan di dalam kesepiannya dan di dalam kamar kecil ketika
membuang air. Sesungguhnya, yang mengharuskan khusyu’ itu, ialah mengetahui
melihatnya Allah kepada hamba, mengetahui kebesaran ALLAH dan mengetahui
keteledoran hamba. Maka dari segala pengetahuan ini, terjadilah khusyu’ dan
tidaklah pengetahuan itu tertentu dengan shalat saja. Dari itu diriwayatkan
dari setengah mereka, bahwa ia tiada mengangkatkan kepalanya arah ke langit
selama 40 tahun, karena malu kepada Allah Ta’ala dan khusyu’ kepada ALLAH.
Ar-Rabi’ bin Khaitsam, karena sangat memincingkan matanya dan menekurkan
kepalanya, lalu disangka oleh sebahagian orang, bahwa ia buta. Ia bulak-balik
ke rumah Ibnu Mas’ud selama 20 tahun. Apabila dilihat oleh budak wanita Ibnu
Mas’ud, lalu budak itu mengatakan kepada Ibnu Mas’ud: “Teman tuan yang buta itu
telah datang!”. Maka Ibnu Mas’ud tertawa mendengar perkataan budak wanitanya
itu. Apabila Ar-Rabi’ mengetok pintu, lalu budak wanita itu keluar. Maka
dilihatnya Ar-Rabi’ menekur dan memincingkan matanya. Dan Ibnu Mas’ud, apabila
memandang kepadanya berkata: “Gembirakanlah orang-orang yang merendah kan
diri!”. S 22 Al Hajj ayat 34. Demi Allah! kalau dilihat engkau oleh Muhammad
saw, niscaya gembira beliau kepada engkau”. Pada riwayat yang lain: “niscaya
sayang beliau akan engkau”. Dan pada riwayat yang lain: “niscaya tertawa
beliau”. Pada suatu hari, Ar-Rabi’ pergi bersama Ibnu Mas’ud kepada tukang
besi. Maka tatkala dilihatnya tempat api yang ditiup dan api yang
menyala-nyala, lalu peninglah Ar-Rabi’ dan jatuh pingsan ke lantai. Dan Ibnu
Mas’ud duduk pada kepalanya, sampai masuk waktu shalat, dia belum sembuh. Lalu
didukung oleh Ibnu Mas’ud dibawa pulang ke rumahnya. Ia pingsan terus sampai
kepada saat dia mulai pening tadi. Sehingga luputlah lima shalat. Dan Ibnu
Mas’ud yang duduk pada kepalanya mengatakan: “Demi Allah! Inilah yang dinamakan
takut!”. Ar-Rabi’ mengatakan: “Tiadalah sekali-kali aku masuk ke dalam shalat,
yang aku pentingkan di dalamnya, selain dari apa yang aku bacakan dan apa yang
dibacakan kepadaku”. Adalah ‘Amir bin Abdullah, termasuk orang yang khusyu’ di
dalam shalat. Dan apabila ia mengerjakan shalat, kadang-kadang anak
perempuannya memukul rebana dan wanita-wanita bercakap-cakap sesuka hatinya di
rumah. Ia tidak mendengar dan tidak memahami yang demikian itu. Dan pada suatu
hari, ditanyakan kepadanya: “Adakah jiwa engkau mengatakan sesuatu kepada
engkau di dalam shalat?”. Ia menjawab: “Ya, ada, dengan tegakku dihadapan Allah
‘Azza wa Jalla dan berpaling aku kepada salah satu dari dua negei”. Ditanyakan
lagi: “Adakah engkau mendapati sesuatu daripada hal-ikhwal duniawi?”. Ia
menjawab: “Meskipun tanggal gigiku, aku lebih menyukai daripada aku dapati di
dalam shalatku, apa yang kamu dapati”. Dan adalah ‘Amir bin Abdullah mengatakan
lagi: “Jikalau terbukalah tutup, niscaya tidaklah betambah keyakinanku”. Dan
adalah Muslim bin Yassar, termasuk diantara orang yang khusyu' di dalam shalat.
Dan telah kami nukilkan dahulu, bahwa ia tiada merasa dengan jatuhnnya tiang
dalam masjid dan dia waktu itu di dalam shalat. Dan kenallah salah satu daripada
anggota badan sebahagian mereka, yang memerlukan kepada dipotong. Dan
pemotongan itu, tidak mungkin dilakukan.
Maka ada yang mengatakan, bahwa kalau dia di dalam shalat,
niscaya tiada merasakan dengan apa yang dilakukan ke atas dirinya. Maka
dipotonglah, ketika ia di dalam shalat. Betapa sebahagian mereka bahwa shalat
itu dari akhirat. Apabila kita masuk ke dalamnya, maka kita telah keluar dari
dunia. Ditanyakan kepada seorang khusyu’ yang lain: “Adakah jiwamu membicarakan
sesuatu tentang urusan duniawi di dalam shalat?. Ia menjawab: “Tidak dalam
shalat dan tidak pada yang lain dari shalat”. Ditanyakan setengah mereka:
“Adakah engkau teringat sesuatu dalam shalat?”. Maka ia menjawab: “Adakah
sesuatu yang lain, yang lebih saya cintai daripada shalat, maka saya ingat dia
di dalam shalat?”. Berkata Abud-Darda’ ra: “Diantara tanda mengertinya
seseorang, ialah dia memulai dengan keperluannya, sebelum ia masuk ke dalam
shalat. Supaya ia masuk ke dalam shalat itu dan hatinya kosong dari yang lain”.
Setengah mereka, tidak berlama-lama di dalam shalat, karena takut datang
was-was (gangguan pikiran, tiada tenteram). Diriwayatkan, bahwa ‘Ammar bin
Yasir, mengerjakan suatu shalat lalu tidak berlama-lama padanya. Maka orang
bertanya kepadanya: “Mengapakah engkau sederhanakan shalat itu, wahai
Abul-Yaqdhan?”. Maka ‘Ammar menjawab: “adakah engkau melihat, aku mengurangkan
sesuatu dari batas-batas yang dimestikan dari shalat?”. “Tidak!” menjawab yang
bertanya tadi. Maka menyambung ‘Ammar: “Aku memburu, di waktu setan lengah.
Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Bahwa hamba yang mengerjakan shalat itu, tidak
dituliskan untuknya 1/2nya shalat, tidak 1/3nya, tidak 1/4nya, tidak 1/5nya,
tidak 1/6nya dan tidak 1/10nya”. Dan seterusnya Nabi menjelaskan:
“Sesungguhnya, dituliskan bagi hamba itu daripada shalatnya, ialah apa yang
dipergunakannya akal padanya”. Dan diceriterakan bahwa Thalhah, Az-Zubair dan
segolongan dari para shahabat ra, adalah termasuk diantara orang yang
mengerjakan shalat dengan sederhana (tidak mengerjakannya dengan cara yang
memberatkan). Mereka itu mengatakan: “Kami menyegerakan shalat itu, karena
menjaga daripada gangguan setan”. Diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khaththab ra
berpidato atas mimbar: “Sesungguhnya orang itu beruban kedua jambangnya dalam
Islam dan tidak disempurna kannya shalat karena Allah Ta’ala”. Lalu orang
menanyakan: “Bagaimanakah, maka demikian?”. Menjawab Umar: “Tidak sempurna
khusyu’nya, tawadlunya dan menghadapnya kehadirat Allah Ta’ala di dalam shalat
itu”. Ditanyakan Abul Aliyah tentang firman Allah Ta’ala: “Mereka yang lalai
dari shalatnya”. S 107 Al Maa’uun ayat 5. Lalu ia menjawab: “Yaitu, orang yang
lalai dalam shalatnya. Ia tidak tahu, pada raka’at berapa ia berpindah. Adakah
atas yang genap atau atas yang ganjil?”. Dan berkata Al-Hasan: “Yaitu, orang
yang lalai dari waktu shalat, sehingga waktu itu keluar”. Berkata setengah
mereka: “Yaitu, orang kalau mengerjakan shalat pada awal waktu, ia tiada
gembira. Dan kalau dikemudiankannya dari waktu, ia tiada merasa sedih. Ia tiada
melihat kebajikan dengan menyegerakan shalat dan dosa dengan
mengemudiankannya”.
Ketahuilah! Bahwa shalat itu, kadang-kadang dikira
sebahagiannya dan ditulis sebahagiannya, tanpa sebahagian lagi, sebagaimana
ditunjukkan oleh hadits-hadits kepada yang demikian itu. Kalau ada ahli fiqih
mengatakan bahwa shalat itu mengenai syahnya, tidak terbagi-bagi. Tetapi yang
demikian, adalah mempunyai pengertian lain yang telah kami sebutkan dahulu.
Pengertian itu, telah ditunjukkan oleh beberapa hadits, karena telah tersebut
pada suatu hadits, tentang “Penempelan kekurangan fardlu dengan sunnat”. Pada
suatu hadits tersebut: “Berkata ‘Isa as: berfirman Allah Ta’ala: “Dengan
fardlu, mendapat kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU. Dengan sunnat, mendekatkan
diri hambaKU kepadaKU”. Bersabda Nabi saw: “Berfirman Allah ta’ala: Tiada
mendapat kelepasan hambaKU daripada ‘azabKU, selain dengan mengerjakan apa yang
AKU wajibkan kepadanya”. Diriwayatkan bahwa nabi saw: “Mengerjakan suatu
shalat, maka tertinggallah dari bacaannya suatu ayat”. Maka tatkala Nabi saw
berpaling. Lalu bertanya: “Apakah yang aku bacakan tadi?”. Maka berdiam dirilah
orang ramai, lalu Nabi saw bertanya kepada Ubai bin Ka’ab ra. Ubai menjawab:
“Engkau membaca surat anu dan engkau tinggalkan ayat anu. Kami tiada
mengetahui, apakah ayat itu sudah dimansukhkan atau sudah diangkatkan?”. Maka
menyahut Nabi saw: “Benar, engkau, wahai Ubai!”, “kemudian Nabi saw menghadap
kepada orang yang banyak itu, seraya bersabda: “Bagaimanakah kiranya keadaan
kaum yang mengerjakan shalatnya, menyempurnakan shafnya dan Nabi mereka berada
dihadapan mereka? Mereka tiada tahu apa yang dibacakan Nabi mereka, kepada
mereka dari kitab Tuhan. Ketahuilah bahwa Bani Israil telah berbuat demikian.
Maka diwahyukan oleh Allah ‘Azza wa jalla kepada Nabi mereka, yang artinya:
“Katakanlah kepada kaummu!: Engkau hadirkan kepadaKU badanmu, engkau berikan
kepadaKU lidahmu dan engkau jauhkan daripadaKU hatimu.
Adalah batil apa yang engkau kerjakan itu!”. Ini
menunjukkan bahwa memperhatikan apa yang dibacakan imam dan memahaminya, adalah
ganti daripada membacakan sendiri surat itu. Dan berkata setengah mereka:
“Bahwa orang yang bersujud suatu sujud kepada Allah, adalah ia menghampirkan
diri dengan sujud itu kepada ALLAH. Maka kalau dibagikan segala dosanya pada
sujudnya itu kepada penduduk kotanya, niscaya binasalah mereka itu semuanya”.
Lalu orang bertanya: “Bagaimanakah terjadi yang demikian itu?”. Menjawab
setengah mereka tadi: “Adalah orang itu sujud pada Allah, sedang hatinya
memperhatikan kepada hawa nafsu dan menyaksikan yang batil, yang telah
mempengaruhinya”. Inilah sifat orang-orang yang khusyu’! telah dibuktikan oleh
ceritera dan riwayat tadi serta yang telah kami bentangkan, bahwa pokok pada
shalat ialah khusyu’ dan kehadiran hati dan semata-mata gerak serta alpa,
adalah kurang faedahnya pada hari kembali (hari akhirat). Wallahu A’lam! Allah
Maha Tahu! Kita bermohon kepada Allah taufiq
yang baik!.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan