Catatan Popular

Selasa, 7 Jun 2016

MAHKOTA SUFI IDRIES SHAH : MULLAH NASHRUDDIN (CERITA SATU MENUJU AWAL PENCERAHAN)



OLEH IDRIES SHAH (Sang Juru Bicara Tashawwuf di Barat)

       
 Kala Anda sampai di samudera,
Anda tidak akan berbicara tentang arus sungai.
(Hakim Sanai), The Walled Garden of Truth 
 
Mullah (guru) Nashruddin adalah sosok klasik yang dirancang oleh para darwis; sebagian untuk tujuan pemberhentian (jeda) karena situasi-situasi sesaat dimana didalamnya keadaan-keadaan tertentu dari jiwa dibuat jelas. Kisah-kisah Nashruddin, dikenal secara menyeluruh di Timur Tengah, merupakan (dalam manuskrip The Subtleties of the Incomparable Nasrudin) satu dari sejumlah pencapaian ganjil (ajaib) di dalam sejarah metafisika. Namun, secara dangkal kisah-kisah Nashruddin lebih sering dikenal sebagai kisah humor atau bahan lelucon. Kisah-kisah itu diceritakan kembali tanpa henti di warung-warung teh dan di rombongan-rombongan pertunjukan, di rumah-rumah dan di siaran-siaran radio Asia. Tetapi dalam cerita Nashruddin itu inheren untuk dipahami adanya kedalaman makna. Terdapat lelucon, moral dan kelebihan lainnya yang membawa kesadaran sedikit lebih jauh menuju proses penyadaran dari kekuatan spiritual yang potensial.

Karena Sufisme merupakan sesuatu yang dijalani dan juga dipahami, cerita Nashruddin tidak bisa menghasilkan pencerahan utuh kepada dirinya sendiri. Di sisi lain, ia menjembatani celah antara kehidupan duniawi dan suatu perubahan bentuk kesadaran dalam cara yang tidak bisa dicapai oleh bentuk kesusastraan lainnya.

Manuskrip "Kepelikan" (the Subtleties) belum pernah dihadirkan secara utuh bagi pembaca Barat. Kemungkinan karena cerita-cerita tersebut tidak bisa diterjemahkan secara tepat oleh non-Sufi, atau dipelajari di luar konteksnya, dan mempertahankan dampak esensialnya. Di Timur, kumpulan cerita tersebut rata-rata digunakan untuk maksud kajian semata oleh para Sufi pemula. Lelucon-lelucon dari kumpulan tersebut secara individual telah menyebar ke hampir setiap kepustakaan dunia. Dan sejumlah lelucon tertentu dari perhatian skolastik telah dilekatkan pada cerita-cerita tersebut. Dalam penilaian ini sebagian sebagai sebuah contoh gelombang kebudayaan, atau untuk mendukung argumen-argumen yang menguntungkan identitas-dasar humor di mana saja. Tetapi jika karena daya tarik humor perenialnya cerita-cerita itu telah membuktikan kekuatannya, maka hal ini secara menyeluruh merupakan hal kedua bagi tujuan kumpulan cerita tersebut, yang dimaksudkan untuk menyediakan suatu dasar bagi tersedianya sikap Sufi terhadap kehidupan, dan memungkinkan pada pencapaian penyadaran Sufisme dan pengalaman mistis.

Legenda Nashruddin (the Legend of Nasrudin), yang dibubuhkan pada manuskrip the Subtleties dan paling tidak berasal dari abad ketiga belas, sebagian dimaksudkan untuk memperkenalkan Nashruddin. Penyebaran humor Nashruddin tidak bisa dihalangi, ia bisa masuk melalui pola-pola pemikiran yang dihasilkan manusia melalui kebiasaan dan rancangan. Dalam sebagian sistem pemikiran yang utuh, Nashruddin ada pada begitu banyak makna yang dalam sehingga (keberadaan) dirinya tidak bisa dimusnahkan. Sebagai tolak ukur kebenaran, hal ini mungkin bisa dilihat pada fakta bahwa organisasi-organisasi yang beragam dan asing seperti the British Society for the Promotion of Christian Knowledge (S.P.C.K) (Perkumpulan Inggris yang bergerak dalam Penyiaran Pengetahuan Kristiani) dan juga pada pemerintah Soviet, keduanya telah memanfaatkan Nashruddin. The S.P.C.K. telah menerbitkan beberapa cerita (Nashruddin) dengan judul cerita-cerita tentang Khoja [Khwaja] (Tales of the Khoja); sementara orang-orang Rusia (mungkin dengan prinsip "Jika Anda tidak bisa mengalahkan mereka, maka bergabunglah dengan mereka") telah membuat film tentang Nashruddin dengan judul The Adventures of Nasrudin. Bahkan orang-orang Yunani, yang menerima beberapa hal dari orang Turki, menganggap Nashruddin sebagai bagian dari warisan kebudayaannya. Pemerintah sekular Turki, melalui departemen penerangannya, telah menerbitkan sebuah kumpulan lelucon metafisis yang dinisbatkan kepada tokoh yang dianggap sebagai guru Muslim ini yang merupakan tipe-ideal mistik Sufi, meskipun Tarekat-tarekat Sufi ditindas melalui Undang-undang di Republik Turki.

Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya Nashruddin itu, kapan dan di mana ia hidup. Tujuan keseluruhan tulisan ini adalah menampilkan satu sosok yang tidak bisa diberi karakter yang sesungguhnya, dan yang berada di luar waktu. Adalah pesan, dan bukan orangnya, yang penting bagi para Sufi. Hal ini tidak menghalangi masyarakat untuk memberikan suatu sejarah yang fiktif, dan bahkan sebuah makam. Para sarjana -- berlawanan dengan orang yang terlalu formal dimana dalam cerita-ceritanya seringkali memunculkan Nashruddin sebagai pemenang -- bahkan telah mencoba menjadikan manuskrip the Subtleties kedalam serpihan-serpihan terpisah dengan harapan menemukan bahan biografis yang memadai. 

Salah satu "penemuan" mereka pastilah akan mengingatkan bahwa ia adalah Nashruddin sendiri. Nashruddin mengatakan bahwa ia memandang dirinya sendiri secara terbalik di dunia ini, demikian papar seorang sarjana. Dan pandangan ini ia menarik kesimpulan bahwa tahun yang diduga merupakan saat kematian Nashruddin, atau "nisannya" seharusnya tidak dibaca 386, tetapi 683. Profesor lainnya merasa bahwa angka-angka Arab yang digunakan, jika benar-benar terbalik, tampaknya lebih menyerupai angka 274 H. Dengan seksama ia mencatat bahwa seorang darwis yang dimintainya bantuan dalam persoalan ini, "... sekadar mengatakan, mengapa tidak memasukkan seekor laba-laba ke dalam tinta dan melihat tanda apa yang dibuatnya di saat laba-laba itu merayap ke luar. Hal ini akan memberikan waktu yang benar atau menunjukkan sesuatu."

Sesungguhnya angka 386 bermakna 300 + 80 + 6. Jika disesuaikan dengan abjad-abjad Arab, hal ini akan berbunyi Sy, W, F, yang membentuk kata SyaWaF: "Menyebabkan seseorang melihat, untuk memperlihatkan sesuatu". Laba-laba darwis tersebut akan "memperlihatkan" sesuatu, sebagaimana yang ia katakan sendiri.
Jika kita melihat beberapa cerita klasik Nashruddin dengan cara seutuh mungkin, kita segera menemukan bahwa keseluruhan pendekatan skolastik merupakan cara terakhir yang diperbolehkan oleh Sufi:

Nashruddin, ketika menyeberangi perairan yang ganas bersama seorang sarjana yang berpola pikir kaku dan formalistik, mengatakan sesuatu kepadanya yang secara kaidah bahasa tidak sesuai. "Apakah Anda tidak pernah belajar kaidah-kaidah?" tanya si sarjana tersebut.
"Tidak," jawab Nashruddin.
"Maka separo kehidupan Anda sia-sia," ucapnya kepada Nashruddin seraya bertanya, "Apakah Anda pernah belajar berenang?"
"Tidak, mengapa?"
"Maka seluruh kehidupan Anda sia-sia -- kita tengah tenggelam."
Ini merupakan penekanan terhadap Sufisme sebagai suatu aktivitas praktis, seraya menolak bahwa pemikiran formal bisa sampai pada kebenaran, dan pola pemikiran yang diperoleh dari dunia biasa (pengalamannya) bisa diterapkan pada realitas yang sesungguhnya, yang bergerak ke dimensi lainnya.
Hal ini terlihat, bahkan lebih diperkuat oleh sebuah cerita konyol yang dilontarkan di sebuah warung teh, sebuah istilah tempat Sufi untuk pertemuan para darwis. Seorang pendeta masuk dan berkata:
"Guruku mengajariku untuk menyebarkan wejangan bahwa manusia tidak akan pernah sempurna sampai seorang yang tidak dizalimi marah pada kezaliman itu, semarah orang yang benar-benar dizalimi."
Orang-orang yang duduk sesaat merasa terkesan, kemudian Nashruddin berujar:
"Guruku mengajariku bahwa seharusnya tidak seorang pun menjadi marah tentang sesuatu sampai ia merasa pasti bahwa apa yang dipikirnya sebagai suatu kesalahan itu pada hakikatnya adalah salah -- dan bukan sekadar dugaan."
Nashruddin, dalam kapasitas sebagai guru Sufi, sering menggunakan teknik darwis bagi dirinya sendiri dengan memainkan peranan orang yang belum tercerahkan dalam sebuah cerita untuk menjelaskan suatu kebenaran. Sebuah cerita terkenal yang menyangkal kepercayaan dangkal (superfisial) terhadap hukum sebab-akibat menjadikan dirinya sebagai korban.

Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh dari atap rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka -- tetapi justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.
"Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru?" tanya salah satu muridnya.
"Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang tidak bisa dihindari, meskipun hukum sebab-akibat tampak tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis seperti: 'Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya akan patah?' Ia yang jatuh -- tetapi justru leherku yang patah!"

Karena orang kebanyakan berpikir dalam pola-pola (baku) dan tidak bisa menyesuaikan dirinya pada suatu cara pandang yang benar-benar berbeda, maka ia kehilangan sejumlah besar makna kehidupan. Ia mungkin hidup, bahkan maju, tetapi tidak bisa memahami semua yang terjadi. Cerita tentang penyelundup menjadikan hal ini semakin jelas.
Nashruddin biasa membawa keledainya yang punggungnya dimuati kantong-kantong penuh berisi sekam, menyeberangi perbatasan setiap hari. Karena mengaku sebagai penyelundup kala berjalan pulang naik keledainya setiap malam, maka para penjaga perbatasan memeriksanya berkali-kali. Mereka memeriksa orangnya, menurunkan sekamnya, kemudian memasukkannya ke dalam air dan bahkan membakarnya dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian ia menjadi semakin makmur dan mencolok. Pada saatnya ia berhenti dan pindah ke negeri lain. Di tempat baru ini ia sudah bertahun-tahun, dimana salah satu petugas bea cukai bertemu dengannya.

"Sekarang Anda bisa menceritakan kepadaku, Nashruddin!" ucapnya. "Apa sebenarnya yang Anda selundupkan dulu, sehingga kami tidak pernah bisa menangkapnya?"
"Keledai," jawab Nashruddin.
Cerita ini juga menekankan salah satu dari kandungan besar Sufisme --bahwa pengalaman yang tidak biasa dan tujuan mistik merupakan sesuatu yang lebih dekat kepada manusia dibanding yang disadari. Anggapan bahwa sesuatu yang esoteris atau transenden pastilah jauh atau rumit telah dianut oleh orang-orang bodoh. Dan orang semacam ini tidak memiliki syarat untuk memberikan penilaian terhadap persoalan. Ini menjadi " jauh" hanya dalam arah yang tidak ia sadari.
Nashruddin, seperti Sufi lainnya, tidak merusak kaidah-kaidah zamannya. Tetapi Ia menambahkan suatu dimensi baru bagi kesadarannya, dengan menolak menerima terhadap tujuan-tujuan khusus dan terbatas. Bahwa kebenaran, katakanlah demikian, merupakan sesuatu yang bisa diukur sebagaimana sesuatu yang lain. Apa yang disebut oleh masyarakat sebagai kebenaran adalah relatif pada situasi mereka. Dan ia tidak bisa menekannya sampai menyadarinya. Salah satu cerita Nashruddin, salah satu yang paling cerdik, memperlihatkan bahwa sampai seseorang bisa melihat melalui kebenaran relatif, maka tidak ada kemajuan bisa dibuat.
Suatu hari Nashruddin duduk di pengadilan. Raja mengeluh bahwa para pejabatnya tidak jujur. "Paduka," ucap Nashruddin, terdapat kebenaran dan kejujuran. Orang harus mempraktekkan kebenaran sejati, sebelum mereka bisa menggunakan kebenaran relatif. Mereka selalu mencoba-coba cara lain. Akibatnya adalah bahwa mereka berlaku lancang dengan kebenaran buatan-manusia, sebab secara naluri mereka mengetahui bahwa itu hanyalah suatu ciptaan (manusia)."

Raja menganggap hal ini terlalu rumit, "Sesuatu harus benar atau salah. Aku akan membuat orang berkata jujur dan dengan praktek ini mereka akan terbiasa jujur."
Ketika gerbang kota dibuka pada esok harinya, sebuah gantungan telah dipasang, yang dipimpin oleh seorang kapten dari pengawal istana. Sebuah pengumuman dilontarkan:
"Siapa saja yang memasuki kota, pertama-tama harus menjawab benar pertanyaan yang akan dikemukakan kepadanya oleh kapten pengawal."
Nashruddin, yang tengah menunggu di luar, maju pertama.
Kapten tersebut berkata, "Mau ke mana engkau? Jawab dengan jujur -- alternatifnya adalah hukuman mati dengan digantung."
"Aku akan," jawab Nashruddin, "digantung di atas tiang gantungan itu."
"Aku tidak mempercayaimu."
"Jika demikian, baiklah. Jika aku berdusta, gantung aku."
"Tetapi hal itu akan menjadikannya (kebohongan) sebagai kebenaran."
"Tepat," ucap Nashruddin, "kebenaranmu."
Calon Sufi juga harus memahami bahwa tolok ukur kebaikan dan keburukan didasarkan pada ukuran individu atau kelompok, bukan atas dasar fakta obyektif. Sampai ia mengalami hal ini secara internal dan juga menerimanya secara intelektual, ia tidak akan mampu mencapai pemahaman yang lebih dalam (batin). Skala pengubahan ini digambarkan oleh cerita tentang perburuan:
Seorang raja yang senang bergaul dengan Nashruddin, dan juga senang berburu, memerintahkannya untuk menyertainya dalam sebuah perburuan beruang. Nashruddin merasa sangat ketakutan.
Ketika Nashruddin kembali ke desanya, seseorang bertanya kepadanya, "Bagaimana berburunya?"
"Luar biasa!"
"Berapa ekor beruang yang Anda lihat?"
"Tidak seekor pun."
"Lantas, bagaimana bisa luar biasa?"
"Jika engkau berburu beruang, dan jika engkau adalah aku, tidak melihat satu pun beruang merupakan pengalaman luar biasa."

Pengalaman internal tidak bisa disalurkan melalui pengulangan, tetapi harus disegarkan kembali secara terus-menerus dari sumbernya. Banyak madzhab yang tetap beroperasi lama setelah dinamika aktualnya telah kering, semata-mata menjadi pusat pengulangan suatu doktrin yang semakin melemah. Nama ajaran tersebut mungkin tetap sama. Ajaran tersebut mungkin tidak memiliki nilai lagi, bahkan mungkin bertentangan dengan makna asalnya, yang hampir semuanya selalu merupakan pendangkalan terhadap makna salah satu persoalan pokok dalam ceritanya tentang "Kuah Sup Bebek".
Seorang kerabat jauh mengunjungi Mullah Nashruddin, dengan membawa seekor bebek sebagai buah tangan. Karena gembira, Nashruddin memasaknya dan menyantapnya bersama tamunya. Akan tetapi, akhir-akhir ini orang-orang pedalaman silih berganti mengunjungi rumah Nashruddin, masing-masing orang mengaku sahabat dari "orang yang membawakan bebek itu sebagai buah tangan".
Lama-kelamaan Nashruddin terkuras. Akan tetapi, pada suatu hari seorang asing lainnya berkunjung, "Aku adalah sahabat dari sahabat dari sahabat kerabat yang membawakan bebek kepada Anda."
Ia duduk, seperti semua tamu-tamunya, mengharapkan sebuah hidangan. Akhirnya Nashruddin menghidangkan kepadanya semangkuk air panas.
"Apa ini?"
"Ini adalah sup dari sup dari sup bebek yang dibawa oleh kerabatku."
Persepsi tajam yang dicapai Sufi kadang-kadang memungkinkan dirinya mengalami hal-hal yang tidak terlihat oleh orang-orang lain. Karena tidak mengetahui hal ini, para anggota dari madzhab-madzhab lainnya secara umum memperlihatkan kelemahan persepsinya dengan mengatakan atau melakukan sesuatu yang secara jelas merupakan akibat dari ketidakmatangan spiritualnya, sehingga seorang Sufi bisa membaca dirinya seperti sebuah buku. Oleh karena itu, persepsi tersebut digambarkan oleh cerita Nashruddin lainnya:
Nashruddin memasuki sebuah rumah besar untuk mengumpulkan sedekah. Sang pembantu berkata, "Tuanku sedang keluar."
"Baiklah, " ucap Nashruddin, "meskipun ia tidak bisa menyumbang, tolong sampaikan nasehatku kepadanya. Katakan, 'Lain kali jika Tuan keluar, jangan tinggalkan wajah Tuan di jendela -- seseorang mungkin bisa mencurinya'."
Orang tidak tahu ke mana harus menoleh kalau mereka mencari pencerahan. Akibatnya, tidaklah mengejutkan jika mereka menempelkan dirinya pada suatu cara penyembahan (kultus), menenggelamkan dirinya pada semua cara teori-teori, dengan meyakini bahwa mereka memiliki kapasitas kebenaran dari yang salah (yang sejati dari yang palsu).
Nashruddin mengajarkan hal ini dalam berbagai cara. Pada suatu kesempatan seorang tetangga menemukannya tengah berlutut mencari sesuatu.
"Apa yang hilang, Mullah?"
"Kunciku," jawab Nashruddin.
Setelah beberapa menit mencari, tetangga itu bertanya, "Di mana Anda menjatuhkannya?"
"Di rumah."
"Demi Allah, lantas mengapa Anda mencarinya di sini?"
"Sebab di sini lebih banyak cahaya."
Cerita ini merupakan salah satu yang paling terkenal dari semua cerita Nashruddin, yang digunakan oleh para Sufi, untuk mengulas orang-orang yang mencari sumber-sumber lahiriah bagi pencerahan. Kisah ini merupakan bagian dari pertunjukan Karl Vallentin, "badut metafisis" akhir dari Munich.
Mekanisme rasionalisasi merupakan salah satu penghalang efektif bagi pendalaman persepsi. Dampak Sufistik mungkin seringkali disia-siakan karena individu tersebut tidak akan menyerapnya secara tepat.
Seorang tetangga datang untuk meminjam tali jemuran Nashruddin.
"Maaf, aku tengah mengeringkan bubuk gandum di atasnya."
"Tetapi bagaimana engkau bisa mengeringkan bubuk gandum di atas tali jemuran?"
"Hal ini tidak sesulit yang Anda kira, jika Anda tidak ingin meminjamkannya."
Di sini Nashruddin menampilkan dirinya sendiri sebagai bagian jiwa/akal yang selalu menolak, yang tidak akan menerima bahwa terdapat cara lain untuk mendekati kebenaran selain pola-pola konvensional.

Dalam perkembangan pikiran manusia, terdapat perubahan konstan dan membatasi kegunaan setiap teknik khusus. Karakteristik praktek Sufi ini terabaikan dalam sistem-sistem yang bersifat pengulangan, yang mengondisikan pikiran dan menciptakan suatu suasana pencapaian atau kedekatan pada pencapaian, tanpa benar-benar menghasilkannya. Nashruddin menggambarkan karakteristik tersebut dalam sebuah cerita yang berusaha memperjelas hal itu.

Mullah Nashruddin hampir terjatuh ke dalam kolam air. Seorang yang lewat menyelamatkannya, di saat yang tepat. Setiap kali mereka bertemu, orang tersebut mengingatkan Nashruddin betapa ia telah mencegahnya untuk tidak basah kuyup.
Akhirnya karena tidak tahan lagi, Nashruddin membawa "dewa penolongnya" tersebut ke kolam, kemudian ia menceburkan diri sampai sebatas leher, dan berteriak, "Sekarang aku basah kuyup seperti seandainya tidak pernah bertemu dengan Anda! Maukah Anda membiarkanku sendiri?"

Lelucon atau dongeng biasa, yang hanya mengandung satu persoalan atau penekanan, tidak bisa dibandingkan dengan sistem Nashruddin -- secara ideal merupakan suatu partisipasi-pembacaan yang menghasilkan pengaruh batin, begitu juga pengaruh lahir atau superfisial. Dongeng dan lelucon biasa secara mistik dipandang steril karena tidak memiliki kekuatan menembus atau regenerasi sejati.

Meskipun kepiawaian dan tujuan yang rumit dari cerita Nashruddin jauh lebih tinggi, katakanlah dibanding tokoh Baldakiev bagi orang-orang Rusia, Joha bagi orang-orang Arab, atau Bertoldo bagi orang-orang Italia -- semuanya adalah tokoh-tokoh komik yang terkenal -- perbedaan tertentu dari kedalaman makna pada cerita-cerita bisa dimasukkan melalui cara-cara lelucon Nashruddin dan kesepadanannya pada peristiwa sporadis di mana saja.
Sebuah cerita Zen memberikan satu contoh menarik. Dalam cerita ini seorang pendeta bertanya kepada seorang guru untuk memberikan suatu gambaran realitas (yang ada) di luar realitas. Guru tersebut menggambar sebuah apel yang busuk, dan pendeta tersebut menangkap kebenaran itu melalui tanda ini. Kita tetap dalam kegelapan tentang apa yang ada di balik, atau yang membawa kepada, pencerahan tersebut.

Cerita Nashruddin tentang apel mengisi sejumlah besar rincian yang hilang tersebut. Nashruddin tengah duduk di antara murid-muridnya, ketika salah seorang muridnya bertanya kepadanya tentang hubungan antara hal-hal yang ada di dunia ini dan hal-hal yang ada di suatu dimensi yang berbeda. Nashruddin mengatakan, "Engkau harus memahami tamsil!" Murid tersebut berkata, "Perlihatkan kepada kami sesuatu yang praktis -- sebagai contoh sebuah apel dari Firdaus!"

Nashruddin memetik sebuah apel dan menyerahkannya kepada murid tersebut. "Namun apel ini jelek di salah satu bagiannya -- apel surgawi seharusnya sempurna."
"Sebuah apel surgawi seharusnya sempurna," ucap Nashruddin, "tetapi sejauh engkau bisa menilainya, sementara kita berada di dunia yang tidak sempurna ini, serta dengan kemampuanmu yang ada saat ini, apel ini mendekati apel surgawi yang bisa engkau peroleh."
Murid tersebut memahami bahwa istilah-istilah yang kita gunakan untuk hal-hal metafisis itu didasarkan atas istilah fisik. Dalam rangka menembus dimensi lain dari pemikiran (pemahaman), kita harus menyesuaikan pada cara pemahaman bagi dimensi tersebut.
Cerita Nashruddin, yang sangat mungkin merupakan asal dari tamsil apel tersebut, dirancang untuk menambahkan suatu rasa bagi pemikiran pendengarnya yang dibutuhkan untuk membangun kesadaran bagi pengalaman-pengalaman yang tidak bisa dicapai sampai suatu jembatan (kesadaran) telah dicapai.

Pembentukan kesadaran-batin secara bertahap ini merupakan karakter dari metode Sufistik Nashruddin. Kilatan pencerahan intuitif yang dihasilkan oleh cerita-cerita tersebut sebagian merupakan suatu pencerahan kecil pada dirinya sendiri, dan bukan suatu pengalaman intelektual. Ia juga merupakan batu loncatan menuju pembentukan kembali persepsi mistik dalam suatu penulisan yang menjebak, yang secara terus-menerus pemikiran dikondisikan oleh sistem-sistem pelatihan dalam kehidupan material.
Sebuah lelucon Nashruddin, yang dipisahkan dari terminologi teknisnya (kemungkinan akibat penterjemahan), masih bisa dirasakan nilai humornya. Dalam hal ini sebagian besar dampaknya mungkin hilang. Contohnya adalah lelucon tentang garam dan wool:
Nashruddin tengah membawa muatan garam ke pasar. Keledainya berjalan menyeberangi sungai, dan garamnya pun meleleh. Ketika sampai di seberang sungai, keledai tersebut berjalan lincah karena muatannya menjadi ringan. Maka Nashruddin menjadi marah. Pada hari pasaran berikutnya ia memuati kantong pelananya dengan wool. Keledainya hampir tenggelam dengan meningkatnya beban ketika binatang tersebut keluar dari air.
"Bah!" ucap Nashruddin penuh kemenangan, "itu akan mengajari untuk berpikir bahwa engkau akan memperoleh sesuatu setiap kali engkau melewati air."

Pada cerita asalnya, dua istilah teknis dipergunakan, garam dan wool. "Garam" (milh) adalah homonim untuk "menjadi baik, bijak". Keledai adalah simbol untuk manusia. Dengan menumpahkan beban kebajikan umumnya, seseorang akan merasa lebih baik, karena kehilangan beban. Akibatnya ia kehilangan makanannya, sebab Nashruddin tidak bisa menjual garam untuk membeli pakan ternaknya. Kata "wool" tentu saja merupakan kata lain untuk "Sufi". Pada perjalanan keduanya, keledai tersebut telah meningkatkan bebannya melalui wool, karena adanya maksud dari sang guru, Nashruddin. Bebannya meningkat selama perjalanan menuju pasar. Tetapi hasil akhirnya menjadi lebih baik, sebab Nashruddin menjual wool basah, tentu saja lebih berat dari sebelumnya, dengan harga yang lebih tinggi dari wool kering.

Lelucon lain, yang juga ditemukan pada Cervantes (Don Quixote, Bagian 5), tetap menjadi sebuah lelucon meskipun istilah teknis "takut" semata-mata diterjemahkan apa adanya dan tidak dijelaskan:
"Aku akan mengantungmu!" ucap seorang raja lalim dan bodoh kepada Nashruddin. "Jika engkau tidak bisa membuktikan bahwa dirimu memiliki wawasan yang mendalam seperti yang telah dinisbatkan kepadamu." Mendadak Nashruddin menyatakan bahwa dirinya bisa melihat seekor burung emas di langit dan iblis di dalam bumi. "Tetapi bagaimana engkau bisa melakukannya?" tanya sang raja. "Rasa takut," jawab Nashruddin, "itulah yang Tuan perlukan."
"Takut" dalam kosa kata Sufi, merupakan pengaktifan kesadaran yang bisa menghasilkan persepsi surga-inderawi (extra -sensory).
Ini merupakan suatu kawasan dimana akal-formal tidak dipergunakan, dan fakultas lain dari jiwa (mind) didorong untuk bekerja.

Tetapi Nashruddin, dengan cara yang sama sekali unik, berusaha mempergunakan pirantHntelektualitas yang sama untuk tujuan-tujuannya sendiri. Gema dari tujuan ini bisa ditemukan pada the Legend of Nasrudin, dimana di dalamnya diriwayatkan bahwa Hussein, pendiri sistem tersebut, mengambil utusannya yang telah dirancang, Nashruddin, dari cengkeraman "Pendosa Tua" -- sistem pemikiran yang mentah dimana hampir kita semua hidup di dalamnya.
"Hussein" dalam bahasa Arab dikaitkan dengan konsep kebajikan, "Hussein" bermakna "kuat, sulit untuk dimasuki".
Ketika Hussein mencari ke seluruh dunia seorang guru yang akan membawa pesannya ke seluruh generasi, ia hampir putus asa ketika mendengar suara ribut. Sang Pendosa-Tua memakai salah satu muridnya karena menceritakan lelucon. "Nashruddin" bentak sang Pendosa-Tua, "karena sikapmu yang keterlaluan aku mengutukmu menjadi bahan kekonyolan dunia. Oleh sebab itu, jika satu dari cerita-ceritamu yang rancu diceritakan, maka enam cerita lagi pasti akan terdengar secara beruntun sampai engkau terlihat jelas sebagai sosok yang lucu."

Diyakini bahwa pengaruh mistis dari tujuh cerita Nashruddin, yang dipelajari secara beruntun, adalah cukup untuk mempersiapkan seseorang menuju pencerahan.
Hussein, yang menguping hal itu, menyadari bahwa dari setiap situasi akan muncul pengobatannya sendiri, dan dengan demikian dari cara dimana kejahatan-kejahatan Pendosa-Tua terjadi itulah bisa dibawa pada perspektifnya yang sejati. Ia akan menjaga kebenaran melalui Nashruddin.

Ia memanggil Nashruddin dalam mimpi dan menanamkan sejumlah berkahnya kedalam dirinya. Barakah merupakan kekuatan Sufi, menembus secara batin ke dalam signifikansi-nominal dari makna. Dan sinilah semua cerita tentang Nashruddin menjadi karya seni "independen". Mereka bisa dipahami sebagai lelucon; mereka memiliki suatu makna metafisis; cerita-cerita itu demikian kompleks dan mengandung sebagian dari sifat keutuhan dan kesempurnaan yang telah dicuri dari kesadaran manusia karena aktivitas-aktivitas dari Pendosa-Tua tersebut (sistem pemikiran yang mentah).

Dilihat dari sudut pandang biasa, barakah memiliki kualitas "magis" -- meskipun ia secara esensial merupakan suatu kesatuan dan pendorong serta substansi dari realitas obyektif. Salah satu dari kualitas ini adalah siapa saja yang diberi barakah, atau setiap obyektif yang terkait dengannya, tidak menjadi soal berapa banyak ia telah diubah karena dampak dari orang ini secara spiritual tercurahkan. Oleh sebab itu, pengulangan semata-mata sebuah lelucon Nashruddin akan membawa barakah. "Maka dengan cara inilah ajaran-ajaran Nashruddin dari jalur Hussein ditanamkan selamanya di dalam suatu piranti yang secara keseluruhan tidak bisa diselewengkan tanpa bisa diperbaiki kembali. Seperti air, secara esensial semuanya adalah air, maka dalam pengalaman-pengalaman Nashruddin terdapat suatu takaran minimum yang tidak teredaksi yang bisa memberikan jawaban suatu panggilan, dan akan berkembang jika didorong." Takaran minimum tersebut adalah kebenaran (truth), dan melalui kebenaran inilah dicapai kesadaran sejati.

Nashruddin merupakan cermin bagi seseorang untuk melihat dirinya sendiri. Tidak seperti cermin kebanyakan, semakin sering dilihat, maka semakin tampak sosok Nashruddin yang asli terproyeksikan di dalamnya. Cermin ini serupa dengan Cup of Jamshid yang termasyhur, sang pahlawan Persia; yang mencerminkan seluruh dunia, dan dalam cermin inilah para Sufi "melihat".

Karena Sufisme tidak dibangun diatas perilaku artificial, dalam pengertian tersurat dengan rincian eksternal (lahiriah), tetapi di atas rincian komprehensif (pemahaman), maka cerita-cerita Nashruddin harus dialami, begitu juga direnungkan. Selain itu, merasakan kandungan setiap cerita melalui pengalaman langsung akan mendorong "kehadiran" mistik. Salah satu dari perkembangan pertama kehadiran tersebut adalah ketika seorang Sufi memperlihatkan tanda-tanda persepsi superior. Sebagai contoh, ia akan mampu memahami suatu keadaan melalui ilham, bukan melalui penalaran formal. Akibatnya, tindakan-tindakannya kadang-kadang bisa membingungkan para pengamat yang bekerja pada tataran kesadaran-biasa; meskipun demikian yang dihasilkannya akan tepat.
Sebuah cerita Nashruddin yang memperlihatkan bagaimana hasil yang tepat dicapai seorang Sufi melalui suatu mekanisme khusus ("cara yang salah" dalam pandangan orang-orang yang belum tercerahkan) bisa menjelaskan sebagian besar eksentrisitas para. Sufi:
Dua orang menghadap Nashruddin ketika ia berperan dalam kapasitasnya sebagai hakim. Salah satunya berkata, "Orang ini telah menggigit telingaku -- aku menuntut qishas!" Yang lain bertutur, "Ia menggigitnya sendiri." Nashruddin menunda kasus tersebut dan masuk kedalam ruangannya. Di sana ia menghabiskan waktu setengah jam berusaha untuk menggigit telinganya sendiri. Seluruh upayanya hanya mengakibatkannya terjerembab dan keningnya lecet. Kemudian ia kembali ke ruang sidang.

"Periksa orang yang telinganya digigit!" perintahnya. "Jika keningnya lecet, berarti ia melakukannya sendiri, dan kasus ditutup. Jika tidak, maka orang satunya yang melakukannya, dan orang yang digigit tersebut mendapat ganti-rugi tiga keping perak." Keputusan yang benar tersebut bisa dicapai melalui suatu cara yang tampaknya tidak logis.
Di sini Nashruddin sampai pada jawaban tepat, tanpa melihat logika yang jelas dari situasinya. Dalam cerita lainnya, dimana ia sendiri mengambil peranan orang bodoh (bagi Sufi ini merupakan "Jalan Kehinaan") dalam bentuk yang ekstrim, Nashruddin menggambarkan (cara) pemikiran manusia kebanyakan:
Seorang pelawak bertanya kepada Nashruddin untuk menebak apa yang ada dalam tangannya.
"Beri aku suatu tanda," kata Mullah.
"Aku akan memberikan beberapa tandanya," tutur sang pelawak, "yang berbentuk seperti telur, seukuran telur, penampilan, rasa dan baunya seperti telur. Di dalamnya ada (benda) berwarna kuning dan putih. Benda di dalamnya tersebut cair sebelum Anda memasaknya, tetapi lewat pemanasan akan mengeras. Selain itu, benda ini dihasilkan seekor unggas piaraan ..." "Aku tahu!" sela Mullah, "ia sejenis kue."

Saya pernah mencoba pertanyaan serupa di London. Kepada tiga orang penjual rokok, secara beruntun saya menanyakan tentang, "Benda berbentuk silinder dari kertas yang dipenuhi racikan tembakau, panjangnya sekitar tiga inci, dibungkus dalam karton, kemungkinan dengan diberi gambar padanya."

Tidak satu pun dari orang-orang yang sehari-harinya menjual rokok tersebut bisa mengenali apa yang saya inginkan. Dua orang dari mereka memberikan jawaban sekenanya -- yang satunya mengarahkannya kepada grosir mereka, sementara yang lain kepada sebuah toko yang khusus menjual barang-barang impor eksotik bagi para perokok."

Kata "rokok" mungkin menjadi pelatuk, yang penting untuk menggambar benda berbentuk silinder yang dibuat dari kertas dan dipenuhi tembakau. Tetapi kebiasaan untuk memerlukan pelatuk tersebut, yang bergantung pada asosiasi-asosiasi, tidak bisa digunakan dengan cara yang sama dalam kegiatan-kegiatan pemahaman. Kesalahannya adalah membawa satu bentuk pemikiran -- meskipun mengagumkan pada tempatnya yang tepat -- ke dalam konteks yang berbeda, dan berusaha menggunakannya di sana.

Rumi menceritakan sebuah kisah yang menyerupai cerita Nashruddin tentang telur tersebut, tetapi dengan menekankan faktor penting lainnya. Seorang putra raja telah dititipkan kepada para guru mistik yang melaporkan bahwa mereka tidak bisa lagi mengajarinya. Untuk mengujinya, sang raja menanyakan apa yang ada di dalam tangannya. "Benda ini bulat, keras dan berwarna kuning." "Ini pasti sebuah ayakan," jawab si anak. Sufisme menekankan perkembangan imbang persepsi-batin, perilaku manusia wajar dan penggunaannya.
Anggapan bahwa hanya karena seseorang hidup maka ia memiliki persepsi, ditolak oleh Sufisme, sebagaimana yang telah kita lihat. Seseorang mungkin secara klinis hidup, tetapi secara perseptif mati. Logika dan filsafat tidak bisa membantunya mencapai persepsi. Satu segi dari cerita berikut menggambarkan hal ini:
Mullah Nashruddin tengah berpikir keras.
"Bagaimana aku tahu apakah aku mati atau hidup?"
"Jangan bersikap bodoh," ucap istrinya, "jika engkau mati lenganmu akan dingin."
Segera setelah itu Nashruddin sudah berada di hutan memotong kayu. Saat itu tengah musim angin. Tiba-tiba ia merasa tangan dan kakinya dingin.
"Aku pasti mati," pikirnya, "maka aku harus berhenti bekerja, sebab mayat tidak bekerja."
Dan karena mayat tidak berjalan, ia berbaring di atas rerumputan.
Segera setelah itu sekawanan srigala muncul dan mulai menyerang keledainya yang ditambatkan ke sebuah pohon.
"Ya, teruskan, ambillah keuntungan dari orang mati!" ucap Nashruddin dari posisinya yang terlentang, "tetapi seandainya aku hidup, tidak akan membiarkan kalian berbuat seenaknya terhadap keledaiku."
Persiapan pikiran Sufi tidak akan memadai sampai seseorang mengetahui bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri -- dan berhenti berpikir bahwa orang lain bisa melakukannya untuk dirinya. Nashruddin membimbing manusia awam dengan menggunakan "kaca-pembesarnya":
Suatu hari Nashruddin pergi ke toko orang yang menjual segala jenis barang (peralatan).
"Anda punya kulit?"
"Punya."
"Juga paku?"
"Punya."
"Juga zat pewarna?".
"Punya."
"Lantas mengapa Anda tidak membuat sepasang sepatu untuk diri Anda sendiri?"
Cerita tersebut menekankan peran guru mistik, yang esensial dalam Sufisme, yang mempersiapkan titik awal bagi calon Salih (pencari) untuk melakukan sesuatu bagi dirinya sendiri -- sesuatu tersebut adalah "kerja-diri" di bawah bimbingan tertentu yang merupakan karakteristik utama dalam sistem Sufisme.
Pencarian Sufi tidak bisa dilakukan dalam persahabatan yang tidak lazim. Nashruddin menekankan persoalan ini dalam kisahnya tentang undangan yang salah-waktu:
Malam telah larut, dan Nashruddin tengah berbincang-bincang di warung teh dengan para sahabatnya. Ketika mereka pergi, mereka menyadari bahwa mereka lapar. "Datang dan makanlah di rumahku!" ucap Nashruddin, tanpa memikirkan akibatnya.
Ketika rombongan tersebut hampir sampai di rumahnya, ia berpikir bahwa seharusnya ia pergi lebih dulu untuk mengatakan kepada istrinya. "Kalian tunggu sejenak di sini! Aku akan memberitahu istriku," tuturnya kepada mereka.
Ketika menceritakan kepada istrinya, ia berujar, "Di rumah tidak ada apa-apa! Berani-beraninya kau mengundang semua temanmu ...!"
Nashruddin pergi ke loteng dan bersembunyi.
Para tamu yang kelaparan itu pun segera menghampiri rumahnya dan mengetuk pintu.
Istri Nashruddin menjawab, "Mullah tidak ada di rumah!"
"Tetapi kami melihatnya masuk melalui pintu depan!" teriak mereka.
Ia tidak bisa berpikir apa-apa untuk menjawabnya.
Karena diliputi kecemasan, Nashruddin yang menyaksikan percakapan tersebut dari jendela loteng, nongol dan berkata, "Aku bisa keluar lagi melalui pintu belakang, bukankah demikian?"
Beberapa cerita Nashruddin menekankan akan kesalahan dari kepercayaan umum bahwa manusia memiliki kesadaran yang stabil. Dengan adanya kekuatan pengaruh-pengaruh batin dan lahir, perilaku semua orang akan berbeda-beda sesuai dengan perasaan-hatinya dan kesehatannya. Meskipun kenyataan ini diakui dalam kehidupan sosial, tetapi hal ini tidak diakui sepenuhnya dalam filsafat dan metafisika formal. Paling jauh, seseorang diharapkan menciptakan suatu kerangka kerja dari kesungguhan atau pemusatan dalam dirinya sendiri, dan melalui cara ini diharapkan ia bisa mencapai pencerahan. Dalam Sufisme, kesadaran utuh itulah yang pada akhirnya harus diubah, dimulai dari pengakuan bahwa orang yang 'belum tercerahkan' itu sedikit lebih dari sekadar bahan mentah. Ia tidak memiliki sifat yang pasti, tidak memiliki kesadaran tunggal. Di dalam dirinya terkandung "esensi". Esensi ini belum menyatu dengan keseluruhan wujudnya atau bahkan belum menyatu dengan kepribadiannya. Pada puncaknya, tidak seorang pun mengetahui secara otomatis "siapa" sejatinya dirinya, meskipun terdapat gambaran semua yang bertentangan dengan "kesejatian" tersebut. Hal ini ditekankan dalam cerita Nashruddin berikut:
Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah toko.
Pemilik toko menuju untuk melayaninya.
"Pertama-tama," ucap Nashruddin, "apakah Anda melihatku memasuki toko Anda?"
"Tentu."
"Apakah Anda pernah melihatku sebelumnya?"
"Belum pernah sama sekali."
"Lantas bagaimana Anda tahu bahwa ini adalah 'aku'?"
Betapapun kisah ini bernilai semata-mata sebagai lelucon, tetapi bagi mereka yang memandangnya sebagai idea dari orang bodoh, dan tidak mengandung makna yang lebih dalam, maka mereka tidak akan bisa memanfaatkan kekuatan pencerahan yang terkandung dalam cerita tersebut. Anda memeras dari sebuah cerita Nashruddin hanya sedikit lebih dari yang Anda curahkan. Jika cerita itu tampak tidak lebih dari sekadar sebuah lelucon, maka orang tersebut perlu melakukan "kerja-diri" (mujahadah) lebih jauh. Orang seperti ini digambarkan dalam percakapan Nashruddin tentang rembulan:
"Apa yang mereka lakukan terhadap bulan kala ia tua?" seorang yang pandir bertanya kepada Nashruddin.
Jawabannya disesuaikan dengan pertanyaannya, "Mereka memotong-motong setiap bulan tua menjadi empat puluh bintang."

Banyak dari cerita Nashruddin menjelaskan kenyataan bahwa biasanya orang mencari pencapaian mistis dengan mengharapkan hal itu diperoleh melalui pemahaman mereka sendiri, dan oleh sebab itu secara umum menutup diri mereka sendiri dari pencapaian tersebut sebelum memulainya. Tidak seorang pun bisa berharap untuk sampai mengetahui apa sesungguhnya pencerahan itu dan meyakini bahwa ia bisa mencapainya melalui suatu jalan yang telah ditetapkan dengan baik yang bisa dibentuk sejak awal. Inilah inti persoalan yang digambarkan pada cerita tentang perempuan dan gula berikut ini:
Ketika Nashruddin menjadi hakim, seorang perempuan menemuinya dengan membawa anaknya. "Anak ini," tutur si ibu, "terlalu banyak makan gula. Aku tidak bisa membiarkannya melakukan hal itu. Oleh sebab itu, aku meminta Anda secara resmi melarang memakannya, sebab ia tidak akan mematuhiku!"
Nashruddin mengatakan kepadanya untuk kembali dalam waktu seminggu lagi.
"Sekarang," ucap Nashruddin kepada si anak. "Aku melarangmu memakan gula lebih dari jumlah ini setiap hari!"

Pada akhirnya perempuan tersebut menanyakan kepadanya, mengapa begitu lama diperlukan sebelum sebuah perintah sederhana bisa diberikan.
"Sebab aku harus membuktikan apakah aku sendiri dapat menghentikan kebiasaan makan gula sebelum memerintahkan orang lain melakukannya."
Permintaan perempuan tersebut, selaras semata-mata didasarkan pada anggapan-anggapan tertentu. Pertama, bahwa keadilan bisa dilaksanakan semata-mata dengan memberikan perintah. Kedua, bahwa sesungguhnya seseorang bisa makan sedikit gula sebagaimana yang ia inginkan kepada anaknya untuk memakannya. Ketiga, bahwa sesuatu itu bisa disampaikan kepada orang lain oleh seseorang yang tidak terlibat langsung dengan sesuatu tersebut.
Cerita ini bukan sekadar suatu cara mengubah "redaksi" pernyataan, "Kerjakan seperti yang kukatakan, bukan seperti yang kulakukan!" Jauh dari wujud ajaran etis, ini merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar.

Ajaran Sufi hanya bisa dilakukan oleh seorang Sufi, bukan oleh seorang teoritisi atau eksponen intelektual.

Karena sejalan dengan realitas-sejati, maka Sufisme tidak bisa dibuat secara dekat untuk menyerupai apa yang kita anggap sebagai realitas, tetapi ia benar-benar merupakan aturan yang didasarkan atas pengalaman nyata yang lebih mendasar. Sebagai contoh, kita cenderung melihat peristiwa-peristiwa secara sepihak. Kita juga beranggapan tanpa suatu pembenaran, bahwa suatu peristiwa terjadi seolah-olah hal itu terjadi pada suatu "ruang hampa". Dalam hakikatnya, semua peristiwa terkait dengan peristiwa-peristiwa lainnya. Hanya ketika kita telah mengalami keterkaitan dengan organisme kehidupan itulah kita bisa memahami pengalaman mistis. Jika Anda melihat tindakan yang Anda lakukan, atau yang dilakukan orang lain, Anda akan menemukan bahwa hal itu didorong oleh salah satu dari berbagai stimulan; dan Anda juga menyadari bahwa hal itu bukan suatu tindakan yang "terkecil" -- ia memiliki akibat-akibat, kebanyakan justru yang tidak Anda harapkan.

Tiada ulasan: