1. Al-Kindi
c) Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang
telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan
pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan
positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara
menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk
menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar
jiwa Manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi
akal aktualitas
Menurut Al-Kindi akal sebagai suatu potensi
sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda.
Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu:[1][3]
a) Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama
ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam
aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat
akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal
ini ialah sebagai berikut:
1) Ia adalah Akal Pertama.
2) Ia selamanya dalam aktualitas.
3) Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.
4) Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain
daripadanya.
b) Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang
ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima
bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
d) Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia
disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses
penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan.
Al-Kindi memang
tidak melakukan pembahasan mendalam tentang akal ini. Kendati demikian, apa
yang dilakukan ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan oleh kaum
filusof muslim selanjutnya.
2. Al-Farabi
Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa
itu kepada tiga macam. Pertama daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak
untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya
mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi.
Ketiga, daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal
teoritis.[2][4]
Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing
mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa
yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk
membantu dalam menyempurnakan jiwa.[3][5]
Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga
macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat
menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca
indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap
makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang
diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan Sang
Pencipta.[4][6]
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina merumuskan bahwa akal
merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua
macam akal yaitu akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari
manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal
aktif adalah di luar daya kekuatan manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang
mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan.
Ibnu Sina selain dari teori akal
tersebut diatas, juga terkenal dengan rumusannya sebagai berikut: akal
(pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk-bentuk. Serta semesta itu
serta merta berada sebelum benda-benda , didalam benda-benda itu sendiri dan
sesuda benda-benda itu tercipta. Sebelum benda-benda adalah di dalam pikiran
Tuhan. Umpamanya tuhan hendak menciptakan kucing, sudah tentu dalam pikiran
Tuhan sudah ada bentuk kucing yang akan diciptakan-Nya. Di dalam benda, jika
kucing telah tercipta, maka pada tiap-tiap kucing itu akan didapati sifat-sifat
kucing. Sesudah benda serba semesta itu tetap masi ada yaitu dalam pikiran kita. Jika kita telah
melihat banyak kucing, maka tampak persamaan antaranya dan dengan demikian
sampailah kita kepada bentuk kucing pada umumnya.
4. Al-Ghazali
Akal menurut
Al-Ghazali bukanlah sesuatu yang sangat tinggi kedudukannya. Menurut beliau,
adalah al-dzauq dan ma’rifat sufilah yang justru akan membawa seseorang kepada
kebenaran yang meyakinkan. Pendapat ini beliau cantumkan dalam kitabnya yang
terus menjadi perdebatan hingga sekarang, yakni tahafut al falasifah (kerancuan
filsafat).
Pemikiran Al-Ghazali
ini, konon sangat mempengaruhi dunia islam saat itu. Bahkan banyak juga para
pengamat dunia islam yang menganggap bahwa buku dan pengaruh Al-Ghazali inilah
yang membuat islam terpuruk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bahkan sampai hari ini.
Menurut Imam Al
Ghazali (1058-1111) , seorang pemikir besar Islam, dengan mengacu pada
pengertian kerja atau fungsi akal menyatakan bahwa akal itu tidak bertempat,
baik di dalam maupun di luar badan manusia, bersifat immaterial, dan tidak
terbagi bagi.
Akal berhubungan
dengan badan dalam bentuk : (1) muqbil ala al-badan (menghadap badan), mufid
lahu (memberi keuntungan), dan (3) mufidh alaih (mengalir kepadanya). Tiga
bentuk ini menitik beratkan pada fungsi, proses atau kegiatan. Akal sebagai
organ yang mengikat dan menahan secara filosofis juga dijelaskan oleh pemikir
Islam dari Malaysia, Syed Muhammd Naquib Al Attas, adalah sesuatu organ aktif
dan sadar yang mengikat dan menahan objek ilmu dengan kata-kata atau
bentuk-bentuk perlambang lain.
Ini menunjukkan pada
fakta yang sama dan bermakna sama dari apa yang ditunjuk oleh kata : qalb,
ruuh, dan nafs. Sebagaimana Al Ghazali, Al-Attas berpendapat bahwa keempat kata
itu bermakna sama. Kesemuanya menunjukkan realitas yang bertingkat-tingkat
(maraatib al wujuud).Pada masa pra-Islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis
yang ditunjukan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah.
5. Ibnu Rusyd
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa
paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia.Akal manusia itu adalah
satu dan universal. Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan
saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut "akal
kemungkinan" (reseptif).
Akal kemungkinan lah yang membuat
manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh
masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut
sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal
kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi,
yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan
tempat kembalinya akal masing-masing manusia.
pengakuan Ibn Rusyd tentang akal
yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang
bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia.
Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang
membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan
dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang
menjadikan segala jiwa).
Maksud Ibn Rusyd roh universal
itu adalah satu dan abadi (kekal)."
Tiada ulasan:
Catat Ulasan