Catatan Popular

Selasa, 14 Januari 2014

HAKIKAT AKAL MENURUT FILOSOF MUSLIM

1.    Al-Kindi

Menurut Al-Kindi akal sebagai suatu potensi sederhana yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda. Akal, menurutnya, terbagi menjadi tiga macam yaitu:[1][3]

a)    Akal yang selamanya dalam aktualitas. Akal pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini ialah sebagai berikut:
1)    Ia adalah Akal Pertama.

2)    Ia selamanya dalam aktualitas.

3)    Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir.

4)    Ia tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.

b)    Akal yang bersifat potensial, yakni akal murni yang ada dalam diri manusia yang masih merupakan potensi dan belum menerima bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.

c)    Akal yang bersifat perolehan. Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang bagaimana cara menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal yang berada di luar jiwa Manusia, yakni akal pertama yang membuat akal potensial keluar menjadi akal aktualitas 

d)   Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia disebutbakal “yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses penulisan kalau seorang sungguh-sungguh melakukan penulisan.

Al-Kindi memang tidak melakukan pembahasan mendalam tentang akal ini. Kendati demikian, apa yang dilakukan ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan oleh kaum filusof muslim selanjutnya.


2.    Al-Farabi

Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama daya gerak, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[2][4]

Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[3][5]

Selanjutnya akal teoritis dibagi lagi kepada tiga macam. Pertama, akal potensial atau akal fisik (material). Akal ini dapat menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat ditangkap dengan panca indra. Kedua, akal aktual, akal biasa (habitual). Akal ini dapat menangkap makna-makna dan konsep-konsep belaka. Ketiga, akal mustafad, akal yang diperoleh (acquired). Akal ini mampu mengadakan komunikasi dengan Sang Pencipta.[4][6]

3.    Ibnu Sina
Ibnu Sina merumuskan bahwa akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua macam akal yaitu akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah di luar daya kekuatan manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. 

Ibnu Sina selain dari teori akal tersebut diatas, juga terkenal dengan rumusannya sebagai berikut: akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk-bentuk. Serta semesta itu serta merta berada sebelum benda-benda , didalam benda-benda itu sendiri dan sesuda benda-benda itu tercipta. Sebelum benda-benda adalah di dalam pikiran Tuhan. Umpamanya tuhan hendak menciptakan kucing, sudah tentu dalam pikiran Tuhan sudah ada bentuk kucing yang akan diciptakan-Nya. Di dalam benda, jika kucing telah tercipta, maka pada tiap-tiap kucing itu akan didapati sifat-sifat kucing. Sesudah benda serba semesta itu tetap masi ada  yaitu dalam pikiran kita. Jika kita telah melihat banyak kucing, maka tampak persamaan antaranya dan dengan demikian sampailah kita kepada bentuk kucing pada umumnya.

4.    Al-Ghazali

Akal menurut Al-Ghazali bukanlah sesuatu yang sangat tinggi kedudukannya. Menurut beliau, adalah al-dzauq dan ma’rifat sufilah yang justru akan membawa seseorang kepada kebenaran yang meyakinkan. Pendapat ini beliau cantumkan dalam kitabnya yang terus menjadi perdebatan hingga sekarang, yakni tahafut al falasifah (kerancuan filsafat). 

Pemikiran Al-Ghazali ini, konon sangat mempengaruhi dunia islam saat itu. Bahkan banyak juga para pengamat dunia islam yang menganggap bahwa buku dan pengaruh Al-Ghazali inilah yang membuat islam terpuruk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan sampai hari ini.

Menurut Imam Al Ghazali (1058-1111) , seorang pemikir besar Islam, dengan mengacu pada pengertian kerja atau fungsi akal menyatakan bahwa akal itu tidak bertempat, baik di dalam maupun di luar badan manusia, bersifat immaterial, dan tidak terbagi bagi. 
Akal berhubungan dengan badan dalam bentuk : (1) muqbil ala al-badan (menghadap badan), mufid lahu (memberi keuntungan), dan (3) mufidh alaih (mengalir kepadanya). Tiga bentuk ini menitik beratkan pada fungsi, proses atau kegiatan. Akal sebagai organ yang mengikat dan menahan secara filosofis juga dijelaskan oleh pemikir Islam dari Malaysia, Syed Muhammd Naquib Al Attas, adalah sesuatu organ aktif dan sadar yang mengikat dan menahan objek ilmu dengan kata-kata atau bentuk-bentuk perlambang lain.

Ini menunjukkan pada fakta yang sama dan bermakna sama dari apa yang ditunjuk oleh kata : qalb, ruuh, dan nafs. Sebagaimana Al Ghazali, Al-Attas berpendapat bahwa keempat kata itu bermakna sama. Kesemuanya menunjukkan realitas yang bertingkat-tingkat (maraatib al wujuud).Pada masa pra-Islam, akal hanya berarti kecerdasan praktis yang ditunjukan seseorang dalam situasi yang berubah-ubah.


5.    Ibnu Rusyd
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia.Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan" (reseptif).

Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia.

pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). 

Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)."


Tiada ulasan: