Salah satu uji coba Syaiful M. Maghsri
untuk menjelaskan keterkaitan Tuhan dan manusia dijelaskan dalam konsep
emanasi, tajjali atau teofani. Konsep pemancaran (emanasi) dimanfaatkan
untuk menjelaskan hubungan-hubungan erat dalam proses penciptaan alam semesta.
Jejak-jejak Tuhan dalam diri manusia dapat ditelusuri dalam konsep tingkatan
akal
Akal merupakan daya terpenting yang
dimiliki manusia, selain daya berpikir yang berpusat di dada dan daya nafsu
yang berpusat di perut. Menurut Syaiful M. Maghsri daya tertinggi adalah daya
berpikir. Posisi akal sempat menjadi perdebatan yang krusial. Perbedaan itu
tampak dalam ungkapan-ungkapan, entah syair atau tulisan khusus, yang saling
bersilangan terhadap akal.
Sebagaimana Syaiful M. Maghsri menyebut
macam-macam akal untuk menunjukkan proses bekerjanya potensi-potensi dalam diri
manusia. Pertalian intensif antara berbagai jenis akal, pada kondisi yang
berbeda-beda, telah menghasilkan perhubungan yang erat antara Tuhan dengan
manusia, antara ciptaan Tuhan sebagai alam besar (makrokosmos) dan
manusia sebagai alam kecil (mikrokosmos).
Dua alam yang berbeda itu bertemu melalui
alur kerja dari akal. Karena dalam pengertiannya yang asli, akal merujuk pada
“pengikatan” atau “perlekatan” dan karena itu bersifat“membatasi”. Pada
tingkatan alam kecil, akal membatasi pandangan dan mendapat manusia mengenai
kenyataan. Dalam pengertian ini, Syaiful M. Maghsri menuturkan akal menjadi
seperti otak rasional yang membatasi kenyataan sebagai yang dicerap oleh indra
saja. Pada tingkatan alam besar, akal merupakan manifestasi (sebagai hasil dari
emanasi, teofani atau tajjali) Tuhan. Penyataan ini benar karena alam
ciptaan Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri. Karena itu, ia (alam) yang diciptakan
tentulah berbeda dengan Tuhan Sang Pencipta. Alam besar ini telah menyusutkan
atau “membatasi” wujud Tuhan yang tak terbatas. Dalam pengertian dua posisi
ini, akal telah menjadi sarana untuk membatasi dua belah pihak.
Bentuk hubungan di atas mungkin dapat
menjelaskan fenomena ilham, intuisi, atau otak intuitif manusia. Sebab, sering
terjadi informasi-informasi datang begitu saja dalam otak manusia tanpa
disadari sumbernya. Jika kita cermati perkembangan Ilmu pengetahuan, jelas
sekali adanya informas-informasi intuitif yang muncul dalam kepala manusia.
Syaiful M. Maghsri berpendapat bahwa akal
manusia, tanpa bantuan wahyu, dapat tiba pada pengetahuan tentang Tuhan. Karena
akal manusia merupakan bagian dari akal Ilahi, maka orang yang tingkat
intelektualnya tinggi atau cerdas berkewajiban menemukan Tuhan melalui akal.
Emanasi akal menjelaskan dua sudut perhubungan Tuhan dan manusia.
Di lihat dari atas dari sudut Tuhan
sendiri, proses tajjali Tuhan yang tak terbatas itu “diikat” menjadi
sepuluh jenis akal. Akal pertama dan seterusnya berpikir tentang Tuhan dan
dirinya sendiri. Hasilnya adalah akal-akal di bawahnya yang berjumlah sepuluh.
Oleh karena berbicara tenatang alam, maka Syaiful menggunakan istilah-istilah
kosmologi yang dikenal waktu itu. Misalnya, pemancaran akal-akal dihubungkan
dengan bintang-bintang, matahari, dan planet-planet. Akal kesepuluh adalah
malaikat Jibril yang mengatur bumi.
Jejak tuhan dalam setiap tempat dapat
dijelaskan dengan konsep akal kesepeluh ini, termasuk jejaknya dalam otak
manusia. Karena itu, ilmu Bioenergi merupakan satu kesatuan karena sumbernya
adalah akal Ilahi. Ilmu sejati menurut Syaiful adalah ilmu yang mencari
pengetahuan mengenai esensi segala hal yang berkaitan dengan asal-usul
Ilahiahnya. Pernyataan Syaiful dapat diartikan (1) mencari ilmu sama artinya
dengan mencari Tuhan, (2) jejak-jejak Tuhan pasti ada dalam setiap ciptaan-Nya,
terutama pada manusia sebagai ciptaan paling sempurna.
Realitas
objektif alam tercermin dalam konsep Ibn ‘Arabi tentang al-hadharat
al-ilâhiyyât al-khams (lima kehadiran Ilahi). Karena proses pemancaran “Akal
Ilahi”, maka setiap tingkatan alam akan “mengandung” kehadiran Ilahi itu.
Dengan demikian, realitas objektif sesungguhnya tidak betul-betul objektif
karena di balik yang objektif itu ada sesuatu yang membawa “Kehadiran Ilahi”.
Tidak ada sesuatu yang dapat dipisahkan dari “kehadiran” Ilahi.
Skema paling sistematis dari “kehadiran” Ilahi itu disusun oleh Abu Thalib
Al-Makki (w. 996 M). Tingkatan ciptaan meliputi: (1) Nasut (Tabiat
Kemanusian), (2) Hahut (Tabiat Esensial Tuhan), (3) Lahut (Tabiat
Kreatif Ilahi), (4) Jabarut (Alam Pola Dasar), dan (5) Malakut (Alam
Simbol).
Konsep dasar ini dapat menjelaskan mengapa
otak, atau bagian tubuh mana saja dari manusia, dapat mengandung“kehadiran”
Ilahi itu. Manusia adalah satu dari lima tingkatan alam yang ada. Dengan itu,
adanya “God spot” dalam otak manusia bukanlah suatu hal yang mustahil.
Termasuk di sini adanya kerja terpadu otak dan adanya kesadaran intrinsik otak
yang dikenal sebagai isolasi 40 Hz dan kecerdasan Bioenergi (BQ).
Adanya “rasa ber-Tuhan” pada diri manusia itu sebatas mitos
belaka atau gagasan-gagasan spekulatif saja. Beberapa orang, sebagian besar
karena penasaran dan sebagian lagi karena motivasi ilmiah, berusaha mencari
Tuhan di dalam diri manusia, tepatnya di dalam tubuh fisik manusia. Mereka
mengangap bahwa Tuhan tidak hadir hanya sebatas“semangat” saja, atau sebatas
kehadiran potensial semata. Bila Al-Qur’an menyatakan bahwa ke-hanif-an (kecenderungan
kepada yang baik) manusia menunjukkan hadirnya Tuhan.
“Tempat” Tuhan sesungguhnya tidak lantas
berarti bahwa ia bertempat. Karena dimensi tempat adalah terbatas, sementara
Tuhan tidak terbatas dan berbatas. “Tempat” Tuhan lebih dimaksudkan sebagai
jejak-jejak Tuhan yang ada dalam tubuh manusia. Syaiful memberi perumpamaan
astronot yang meninggalkan jejak kakinya di bulan, Tuhan pun meninggalkan
jejak-Nya pada tubuh manusia. Sebagaimana kebutuhan makan telah diprogram dalam
gen manusia, jejak ketuhanan pun diprogram dalam tubuh manusia.
Jika Tuhan diidentikkan dengan kegaiban,
sel-sel tubuh dapat menjadi jejak-Nya. Karena sudah lama, mencoba menerobos
kehidupan paling kecil itu. Kegaiban seluler tampak dari ketidakpastian
kehadirannya. Mana yang disebut dunia seluler? Tanyakanlah kepada alat yang
dipakai! Jika sel dilihat dengan mata biasa, yang ada adalah sekumpulan besar
sel yang disebut jaringan atau organ tubuh. Dengan mata biasa, yang ada
hanyalah organ-organ tubuh. Organ tubuh itu adalah dunia fisik yang paling
sederhana dari manusia.
Jika lebih tajam dari mata, misalnya dengan
memakai mikroskop yang tampak adalah sel-sel yang terpisah satu dengan yang
lain. Itu pun jika dilihat dengan mikroskop hingga pembesaran 100.000 kali atau
1.000.000 kali. Dengan mikroskop elektron yang membesarkan hingga jutaan kali,
tidak ada lagi sel-sel, yang ada hanyalah komponen-komponen di dalam sel, yang
di antara komponen itu ada ruang kosong yang entah apa isinya. Bila ada alat
yang dapat memperbesar lagi, maka yang ada adalah “ketiadaan”. Tubuh manusia
penuh energi, bahkan alam semesta adalah energi itu sendiri atau disebut
Bioenergi. Karena alam juga penuh energi, maka hubungan manusia dengan alam
adalah hubungan totalitas. Manusia adalah bagian dari alam. Energi alam
mengalir bolak-balik dalam energi manusia.
Ini karena otak telah dianggap sebagai
pusat manusia. Kehidupan dan kematian sering diidentikkan dengan ada atau
tiadanya fungsi-fungsi otak. Dunia medis menyatakan kematian manusia dengan
kematian batang otak. Dengan posisi dan komposisi otak yang sedemikian rupa ia
sering dianggap sebagai bagian terpenting dari tubuh manusia.
Fungsi kedua ditunjukkan oleh semaraknya
penemuan dalam bidang keilmuan yang membuahkan teknologi, dari yang sederhana
sampai yang tercanggih. Apa yang disebut sebagai revolusi paradigma,
sesungguhnya adalah aktualisasi dari fungsi eksploratif tersebut. Fungsi rasional-eksploratif
dari otak digambarkan secara jelas dan tegas dalam makna harfiah kata berpikir.
Kata pikir (dalam bahasa Indonesia) itu diambil dari kata fikryang
diubah dari bentuk awal fark. Kata fark itu sendiri bermakna,
antara lain: (1) mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul, (2) menumbuk
sampai hancur, (3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang, dan (4)
menggosok hingga bersih. Dari keempat makna yang ditunjukkan pada usaha tak
kenal lelah dan keras untuk “menyingkap”, “membuka” atau mengeksplorasi” setiap
objek yang ada sehingga objek itu dapat dipahami dan ditangkap secara jelas.
Kehadiran Tuhan di
otak merupakan suatu hal yang menarik. Bukan saja karena adalah CPU (Central
Processing Unit)-nya manusia, melainkan juga karena isi dan fungsi otak merupakan
pembentuk sejarah hidup pemiliknya maupun sejarah kehidupan itu sendiri. Banyak
sekali kemampuan yang dinisbahkan kepada otak melebihi yang diberikan pada
jantung atau ginjal.
Ada tiga fungsi
yang diperankan oleh otak dan membuatnya berbeda dengan yang lain, Pertama
fungsi emosi, Kedua fungsi rasional-eksploratif atau fungsi kognisi, dan Ketiga
fungsi refleksi.
Fungsi yang pertama
ditunjukkan oleh beragam penemuan tentang emotional intelligence (EQ), termasuk
penemuan faktor-faktor biologis yang mempengaruhi terjadi penyakit jiwa, antara
lain penemuan psikoneuroimunologi dan pentingnya keyakinan dalam menciptakan
kondisi biologis tubuh yang baik. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa
keyakinan dapat menjadi salah satu terapi penting dalam menciptakan kondisi
tubuh yang seimbang. Keyakinan untuk sembuh adalah metode penyembuhan itu
sendiri. Keyakinan berhubungan secara timbal-balik dengan metabolisme tubuh.
Dengan kata lain, optimisme dan positive thinking memberi pengaruh
menguntungkan dalam kondisi biologis manusia. Sistem limbik dan amigdala yang
terletak di daerah tengan otak merupakan dua komponen yang berperanan penting.
Fungsi ketiga mencakup hal-hal yang
bersifat supranatural dan religius, yang menurut beberapa penelitian“bersumber”
dari dalam otak manusia. Kulit otak (korteks serebri) manusia adalah
contoh fungsi refleksi.
Fungsi ini hendaknya menegaskan
bahwa“Keberadaan Tuhan” adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu
dipermasalahkan. “Keberadaan Tuhan” sedikitnya, ditampakkan dalam kesempurnaan
jalinan dan jaringan saraf manusia. Pernyataan ini tidak berarti bahwa
“Tuhan”itu direduksi sampai bentuk seluler persarafan manusia atau tingkat
terendah dalam wujud materi sebagaimana diyakini oleh para materialis. Makna
“kehadiran Tuhan” berhubungan erat dengan adanya kesempurnaan tubuh fisik
manusia. Kesempurnaan tubuh fisik manusia, antara lain ditunjukkan oleh adanya
struktur tubuh yang efektif dan fungsional dalam menjamin fungsi-fungsi
kehidupan yang penting. Posisi tegak, sistem lokomotorik, dan panca
indra adalah tiga contoh kesempurnaan itu.
Walaupun bukan suatu hal yang baru, adanya
tanda-tanda “kehadiran” Tuhan dalam otak manusia tetap dianggap sebagai hal
yang menarik. Kelenjar pineal sebagai tempat bagi jiwa. Bagi orang Hindu,
kelenjar yang terletak di tengah-tengah otak itu, merupakan “mata
ketiga”,tempat bagi jiwa manusia. Ada juga yang menyebut liver (atau hati)
sebagai tempat jiwa, otak sebagai tempat jiwa.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan