Catatan Popular

Sabtu, 21 Januari 2017

HIKAM ATHAILLAH N0 4 : Istirahatkan Jiwamu



Menurut Kalam Hikmah ke 4 , Imam Ibnu Athaillah Askandary :

 “Istirahatkan jiwamu dari pengaturan. Karena apa yang telah ditunaikan oleh selainmu, tak perlu ditunaikan olehmu.”

Sebagian orang memandang hikmah keempat ini sebagai perlawanan bagi hikmah terdahulu (hikmah kedua)  yaitu “Kehendakmu untuk tajrid tatkala Allah menempatkanmu pada status asbab, adalah syahwat yang tersembunyi.” Sebab, hikmah kedua di atas jelas menyeru untuk berbuat, berusaha, fungsikan sebab-sebab dan perantara yang disediakan Allah.

Tapi pada hikmah 4 ini, Ibnu Atha’illah memberi amaran kita untuk mengistirahkan hati dan jiwa dari jerih payah usaha. Ibnu Atha’illah menasihati agar tidak perlu bersusah diri dalam berusaha, sedang Allah telah membuat ia beristirahat darinya.  

Sebetulnya, tidak ada pertentangan pada dua hikmah di atas. Bahkan antara keduanya ada keserasian dan keterpaduan. Ada perbedaan mendasar antara berusaha melalui sebab-sebab dan perantara, dan pengaturan dalam hati terkait sebab-sebab dan perantara itu.

Berusaha melalui sebab-sebab adalah aktiviti badani; seperti pergi ke pasar untuk berdagang, pergi ke universitas untuk belajar, dll. Adapun “mengatur” adalah aktiviti fikiran dan ketetapan akal. Artinya seseorang mereka-reka dalam hatinya, bahwa dengan usaha yang ia lakukan melalui segenap sebab dan perantara itu ia akan menghasilkan laba dan kesuksesan. Rekaan-rekaan dari hasil akhir ini ia tanamkan di dalam hatinya.

Perhatikanlah, di sini Ibnu Atha’illah menggunakan ungkapan “arih nafsaka” (istirahatkan hatimu). Beliau tidak menggunakan ungkapan “arih jismaka” (istirahatkan tubuhmu), atau “ab‘id jismaka” (hindarkan tubuhmu). Jadi, “bekerja” muncul dari jasmani, dan ini diperintah. Adapun “mengatur” muncul dari hati dan pikiran, dan itu yang dilarang. Maka, hikmah ini telah mengajarkan hal prinsip yang sangat kita butuhkan dalam mengarungi kehidupan ini.

Misal, kita berangkat ke pasar, lalu bekerja seperti halnya orang lain. Kita fungsikan segenap sebab, perantara, dan peluang. Lalu jika datang seseorang bertanya kepadanya: “Apa yang ada di balik semangat Anda dalam bekerja ini?” Maka ia menjawab: “adalah kewajiban yang diembankan oleh Allah padaku. Aku memenuhi kewajiban itu sebagaimana mestinya. “Lalu mengenai apa yang akan diperbuat Allah selepas tertunaikannya kewajiban itu, tentu itu kembali pada qadha’ Allah. Inilah konsep bekerja dan berkeyakinan Islami yang dituturkan Ibnu Atha’illah, yaitu bekerja melalui sebab-sebab dan perantara yang telah ada sesuai aturan syariat, setelah itu menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Karena memang kita hanya diminta berusaha, sebab sebatas itulah kapasitas dan kemampuan kita.
  
Allah tak membebani kita dgn apa yang tidak kita mampu. Maka Allah melarang kita memikirkan hasil dari apa yang kita kerjakan.

Tiada ulasan: