Ketika pasukan muslim kembali dari peperangan di Bani
Mushtaliq, Aisyah r.a. yang ketika itu bersama para wanita yang sedang
beristirahat sebelum memasuki ke Madinah— tertinggal karena mencari sebuah
kalungnya yang terlepas ketika dia sedang membuang air.
Tidak seorang pun dari pasukan muslimin yang tahu jika
Aisyah belum kembali ke dalam tandu ontanya, sehingga mereka membawanya karena
mengira Aisyah ada di dalamnya. Maka ketika Aisyah kembali ke tempat
peristirahatan orang-orang muslimin tersebut, mereka sudah tidak ada di tempat.
Aisyah mengisahkan keadaannya, “Lalu saya melipatkan jilbab saya ke badan saya, lalu saya tiduran di tempatku. Saya tahu, jika mereka tidak menemukan saya, pasti mereka akan kembali mencari saya.
Ketika saya rebahan, tiba-tiba Shafwan ibnul Mu’aththal as-Sulami, yang juga tertinggal karena ada
keperluan sehingga tidak bermalam bersama orang-orang muslim, melewatiku.
Ketika dia melihat bayanganku, dia pun mendekatiku. Dan sebelumnya dia pernah
melihatku sebelum diwajibkan hijab atas kami.
Lalu dia pun bertanya, “Innalillaahi wainnaa lillaahi
raaji’uun, isteri Rasulullah saw.”.
Ketika itu saya menutupkan jilbab saya ke tubuh saya.
Dia bertanya lagi, “Apa yang membuatmu tertinggal, semoga Allah mengasihimu?”
Ketika itu saya menutupkan jilbab saya ke tubuh saya.
Dia bertanya lagi, “Apa yang membuatmu tertinggal, semoga Allah mengasihimu?”
Saya tidak mengatakan apapun kepadanya. Kemudian dia mendekatkan ontanya, lalu berkata, “Naiklah dan saya akan berjalan di depan”.
Maka saya pun naik ke punggung ontanya, dan dia
berjalan dengan memegang tali onta tersebut. Lalu dia berjalan cepat untuk
menyusul pasukan muslimin, namun kami tidak juga dapat menyusul mereka.
Sedangkan orang-orang muslim baru menyadari bahwa saya tidak ada di dalam tandu
ketika pagi hari, ketika mereka singgah di suatu tempat. Kemudian ketika mereka
sedang beristirahat, kami sampai ke tempat itu. Maka orang-orang penyebar
cerita Ifki ( cerita dusta ) menyebarkan tuduhan keji tentangku. Maka terjadi
keributan dalam pasukan muslimin, dan Allah lebih tahu tentang hal itu”.
Kemudian setelah sampai ke Madinah, Aisyah r.a. sakit, lalu dia pulang ke rumah ayahnya untuk dirawat oleh ibunya. Aisyah tidak mengetahui apa yang disebarkan oleh orang-orang munafik dan orang-orang yang berjiwa lemah tentangnya dan tentang Shafwan ibnul Mu’aththal.
Mereka menuduhnya melakukan kekejian, haasyaahallaahu
ta’ala.
Setelah dua puluh hari berlalu, Aisyah r.a. mengetahui tentang apa yang dituduhkan kepadanya dari Ummu Masthah bintu Abi Rahm.
Maka Aisyah pun berkata, “Demi Allah, ketika saya
tidak mampu menyelesaikan keperluanku dan saya pun langsung kembali ke rumah.
Demi Allah, saya terus menangis hingga seakan hatiku hampir pecah karenanya.
Lalu saya katakan kepada ibuku, “Ibu, semoga Allah mengampunimu. Orang-orang
ramai meributkan cerita itu, namun engkau sedikitpun tidak mengatakannya kepada
saya”.
Maka ibunya berkata, “Wahai anakku, janganlah kau
terlalu memikirkan hal ini. Demi Allah, seringkali seorang wanita cantik yang
dicintai oleh suaminya yang mempunyai banyak isteri tidak disenangi oleh
isteri-isteri yang lain”.
Aisyah r.a. berkata, “Kemudian Rasulullah saw. mendatangi saya dan ketika itu ayahku, ibuku dan seorang wanita Anshar ada di dekatku.
Sedangkan saya masih menangis dan wanita Anshar itu
juga menangis bersamaku. Lalu beliau mengucapkan hamdalah dan memuji Allah,
kemudian bersabda, “Wahai Aisyah, kau telah mendengar apa yang dikatakan
orang-orang. Maka bertakwalah kepada Allah, jika engkau memang telah melakukan
apa yang dikatakan orang-orang, maka bertaubatlah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya”.
Aisyah berkata, “Demi Allah, setelah beliau mengatakan hal itu, air mataku terasa habis, hingga saya tidak merasakan air mataku lagi. Dan saya menunggu kedua orang tuaku menjawab sabda Rasulullah saw. tersebut, namun keduanya tetap tidak menjawab. Demi Allah, sungguh saya teramat hina dan rendah untuk mengharapkan agar Allah menurunkan Al-Qur’an yang dibaca di masjid-masjid dan dibaca orang ketika shalat tentang tidak bersalahnya saya.
Akan tetapi saya sangat mengharapkan Rasulullah saw.
bermimpi yang di dalamnya Allah membantah tuduhan orang-orang terhadap saya,
karena ketidaksalahan saya yang diketahui-Nya, atau Dia memberitahu beliau akan
hal itu”.
Aisyah berkata lagi, “Ketika saya melihat ayah dan ibuku tidak berbicara, maka saya katakan kepada mereka, “Apakah kalian berdua tidak menjawab Rasulullah saw.?”
Keduanya menjawab, “Demi Allah, kami tidak tahu apa yang harus kami katakan untuk menjawabnya”.
Aisyah berkata juga, “Demi Allah, setahu saya tidak ada keluarga yang didatangi oleh beliau seperti rumah Abu Bakar di hari-hari itu. Ketika saya lihat kedua orang tuaku tidak membelaku, saya pun menangis dan saya katakan, “Demi Allah, selamanya saya tidak akan bertaubat atas apa yang engkau katakan. Demi Allah, jika saya mengakui apa yang dituduhkan orang-orang —dan Allah tahu bahwa saya tidak melakukannya— tentu saya mengatakan apa yang tidak saya lakukan. Sedangkan jika saya mengingkari tuduhan itu, kalian tetap tidak mempercayaiku. Maka saya katakan seperti yang dikatakan Ya’qub a.s., ayah Yusuf a.s.,
“Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." ( Yusuf: 18 ).
Maka demi Allah, ketika Rasulullah saw. masih berada
di tempat duduk beliau, Allah pun menurunkan wahyu kepada beliau.
Maka beliau menutupkan baju ke tubuh beliau, lalu
diletakkan bantal yang terbuat dari kulit di bawah kepada beliau. Ketika melihat
apa yang terjadi, saya tidak terkejut dan saya tidak peduli. Saya tahu bahwa
saya terbebas dari tuduhan orang-orang, dan Allah tidaklah menzalimi saya.
Kemudian Rasulullah saw. pun kembali tenang, lalu
beliau duduk. Dan dari wajah beliau mengalir keringat seperti mutiara-mutiara
di hari yang dingin. Lalu beliau mengusap keringat dari kening beliau seraya
bersabda, “Selamat wahai Aisyah”. Dan beliau membacakan ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kepada beliau ketika itu, yaitu sebagian dari surah an-Nur,
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. ( an-Nuur: 11 ).
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. ( an-Nuur: 11 ).
Demikianlah, bukti ketidakbersalahan Aisyah r.a. turun
dari Allah ‘Azza wajalla, setelah dia ikhlas dan ridha terhadap qadha Allah.
Semoga Allah ridha dan membuatnya ridha.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan