(JALAN PARA SALIK)
Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya Al-Khalidi menyatakan,
tasawuf adalah “saudara kembar” fikih. Fikih pada
hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara
tasawuf merupakan perwujudan kongkret dari konsep ihsan. Dua konsep ini
tercetus bersama-sama dengan konsep iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu
kalam).
Konsep iman itu tampak dalam dialog antara Jibril
AS dan Nabi SAW, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah yang
sangat terkenal, (Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman: 31, nomor hadits 50):
Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi tasawuf sebagai “saudara
kembar” fikih, dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau
Buya Hamka dalam
bukunya Tasawuf, Perkembangan
dan Pemurniannya. Hamka mengatakan, kemurnian dan cita-cita
Islam yang tinggi adalah gabungan tasawuf dan fikih, gabungan hati dan otak.
Dengan fikih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan tasawuf kita memberi
pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala
kehendak agama.
Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang islam,
iman, dan ihsan, tampaklah bahwa ketiga ilmu (dalam) Islam yaitu fikih,
usuludin, dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu
(islam, iman, ihsan). Islam diartikan mengucapkan syahadat, mengerjakan
salat lima waktu, puasa bulan Ramadan, mengeluarkan zakat, dan naik haji. Agar
kita dapat mengerjakan perintah agama dengan tidak membuta, kita pelajarilah
fikih.
“Iman adalah beriman kepada Allâh SWT, malaikat, rasul-rasul,
kitab-kitab, dan kepada hari qiamat serta takdir, buruk maupun baik. Kita
pelajarilah usuludin atau ilmu kalam. Ihsan adalah kunci semuanya, yaitu bahwa
kita mengabdi kepada Allâh SWT, seakan-akan Allâh SWT berada di hadapan kita.
Meski mata kita tidak dapat melihatNya, namun Allâh SWT tetap melihat kita.
Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam tasawuf. Itulah tali berpilah
tiga: iman, islam, ihsan, yang dicapai dengan tiga ilmu:fikih, usuludin, dan
tasawuf” (Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 94-95).
Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi tasawuf terhadap
ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak
berpisahkan dari keseluruhan bangunan syari’ah. Tasawuf bahkan merupakan ruh,
hakikat, dan inti dari syariah. Syariah sendiri –merujuk al-Qur’an dan
al-Hadits– dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari diri
Nabi SAW, yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan. Dalam bahasa yang lebih
umum, syariah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah SWT dan rasul-Nya.
Namun begitu, syariah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muhammad
sebagai nabi dan rasul Allah SWT.
Adalah mustahil memahami syariah (sebagai produk) secara sempurna
tanpa memahami hakekatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat
ini adalah tasawuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu fiqih
dan Hadits, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tasawuf melibatkan
hati atau kalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal
(jasmani). (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 406-407, al-Shidîq wa al-Tahqîq,
halaman: 177).
Fikih dan tasawuf ibarat dua sisi mata uang. Jika
salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya
harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imam
Abu Abdillah al-Dzahabi (w. 748 H), penulis kitab Siyar A’lam
al-Nubala’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid
menegaskan: “Jika seorang ulama tidak bertasawuf, maka ia kosong, sebagaimana
jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (bersyariat), maka ia tergelincir dari
jalan yang lurus”.
Imam Malik ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki yang
sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Amîn al-Qurdhi, juga
mengungkapkan hal senada: “Barangsiapa yang bersyariat tetapi tidak berhakikat
(bertasawuf) maka ia telah fasik; dan barangsiapa yang berhakikat (bertasawuf)
tetapi tidak bersyariat maka ia telah zindik”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408).
Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa
tasawuf adalah sebuah madzhab sebagaimana ilmu fikih yang mengenal (minimal)
empat mazhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi
ketika membahas hukum suatu perkara. Syaikh al-Islam Ibn
Taimiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqaha (ahli fikih) dan ahli
Hadits. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataannya ketika menetapkan
hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidina Ali setelah
‘Utsman Ibn Affan RA. Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib) telah disepakati oleh para fuqaha, ahli
Hadits, dan juga oleh ahli ma’rifat dan tasawuf, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 28,
halaman: 211-212):
Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn
al-Qayyim
Syaikh Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim
al-Jawziyah adalah sepasang guru-murid yang mendukung dan mengakui
kebenaran tasawuf sebagai ilmu yang dapat membersihkan jiwa.
Ibn Taimiyah menyebut para sufi dengan sebutan ahl
‘ulum al-qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang perkataanya paling
tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu tahqiqan) serta paling
jauh dari bid’ah (ab’adu minal bid’ah). Ia menyebutnya
dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmû’ al-Fatawâ (Beirut: Dar
al-Kitab al Arabi, tahun 1973).
Dalam kitabnya Amradh al-Qulub wa Syifauha (Kairo:
al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1399), halaman: 62, ketika membicarakan surah
al-Kafirun), Ibn Taimiyah berkata: “Adapun qul ya
ayyuhal kafiruun mengundang tauhid amali
iradi, tauhid praktis yang didasarkan pada kehendak, yaitu
keikhlasan beragama semata-mata untuk Allâh dengan sengaja dan dikehendaki; dan
itulah yang dibicarakan oleh Syaikh-syaikh tasawuf pada umumnya.
“Imam-imam tasawuf menjadikan Allâh SWT sebagai
satu-satunya yang dicintai dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang
paling sempurna” (Amradh al-Qulub wa Syifauha, halaman: 68).
Adapun Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, dalam kitabnya Madârij
al-Sâlikin, juz 1, halaman: 464 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,
tahun 1973), mengatakan tentang Abu Yazid al-Busthami dengan kalimat
seperti ini: “Ini (memelihara dan menjauhkan keinginan dari selain Allâh yang
Maha Suci) adalah seperti Abu Yazid al-Busthami. Semoga Allâh SWT
merahmatinya mengenai berita tentang dirinya. Ketika ia ditanya
keinginannya, ia menjawab, “Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua
(setelah Allâh SWT)”. Inilah hakikat tasawuf.”
Dalam kitabnya yang lain Badai al-Fawaid, juz 3, halaman: 756
(Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 1996), Ibn al-Qayyim
al-Jawziyah berkata:
“Tasawuf dan
kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allâh) berada pada wilayah hati”.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan