Catatan Popular

Rabu, 23 Mei 2018

KITAB SABILUS SALIKIN (2): Tasawuf dalam Konteks Keilmuan


(JALAN PARA SALIK) 

 

Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yahya Al-Khalidi menyatakan,  tasawuf adalah “saudara kembar” fikih. Fikih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara tasawuf merupakan perwujudan kongkret dari konsep ihsan. Dua konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu kalam).

Konsep iman itu tampak dalam dialog antara Jibril AS dan Nabi SAW, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah yang sangat terkenal, (Shahih al-Bukhari, juz 1, halaman: 31, nomor hadits 50):
Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi tasawuf sebagai “saudara kembar” fikih, dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam 
bukunya Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Hamka mengatakan, kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan tasawuf dan fikih, gabungan hati dan otak. Dengan fikih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan tasawuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama.

Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang islam, iman, dan ihsan,  tampaklah bahwa ketiga ilmu (dalam) Islam yaitu fikih, usuludin, dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (islam, iman, ihsan). Islam diartikan  mengucapkan syahadat, mengerjakan salat lima waktu, puasa bulan Ramadan, mengeluarkan zakat, dan naik haji. Agar kita dapat mengerjakan perintah agama dengan tidak membuta, kita pelajarilah fikih.
“Iman adalah beriman kepada Allâh SWT, malaikat, rasul-rasul,  kitab-kitab, dan  kepada hari qiamat serta takdir, buruk maupun baik. Kita pelajarilah usuludin atau ilmu kalam. Ihsan adalah kunci semuanya, yaitu bahwa kita mengabdi kepada Allâh SWT, seakan-akan Allâh SWT berada di hadapan kita. Meski mata kita tidak dapat melihatNya, namun Allâh SWT tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan ihsan itu, kita masuki alam tasawuf. Itulah tali berpilah tiga: iman, islam, ihsan, yang dicapai dengan tiga ilmu:fikih, usuludin, dan tasawuf” (Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 94-95).

Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi tasawuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan syari’ah. Tasawuf bahkan merupakan ruh, hakikat, dan inti dari syariah. Syariah sendiri –merujuk al-Qur’an dan al-Hadits– dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari diri Nabi SAW, yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan. Dalam bahasa yang lebih umum, syariah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah SWT dan rasul-Nya. Namun begitu, syariah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muhammad sebagai nabi dan rasul Allah SWT.
Adalah mustahil memahami syariah (sebagai produk)  secara sempurna tanpa memahami hakekatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini adalah tasawuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu fiqih dan Hadits, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tasawuf melibatkan hati atau kalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal (jasmani).  (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 406-407, al-Shidîq wa al-Tahqîq, halaman: 177).

Fikih dan tasawuf ibarat dua sisi mata uang. Jika salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imam Abu Abdillah al-Dzahabi (w. 748 H), penulis kitab Siyar A’lam al-Nubala’ (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid menegaskan: “Jika seorang ulama tidak bertasawuf, maka ia kosong, sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (bersyariat), maka ia tergelincir dari jalan yang lurus”.
Imam Malik ibn Anas, pemimpin madzhab Maliki yang sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Amîn al-Qurdhi, juga mengungkapkan hal senada: “Barangsiapa yang bersyariat tetapi tidak berhakikat (bertasawuf) maka ia telah fasik; dan barangsiapa yang berhakikat (bertasawuf) tetapi tidak bersyariat maka ia telah zindik”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408).
Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa tasawuf adalah sebuah madzhab sebagaimana ilmu fikih yang mengenal (minimal) empat mazhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas hukum suatu perkara. Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqaha (ahli fikih) dan ahli Hadits. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataannya ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidina Ali setelah ‘Utsman Ibn Affan RA. Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima kekhalifahan Ali bin Abi Thalib) telah disepakati oleh para fuqaha, ahli Hadits, dan juga oleh ahli ma’rifat dan tasawuf, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 28, halaman: 211-212): 
Pandangan Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim
Syaikh Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah adalah sepasang guru-murid yang mendukung dan mengakui kebenaran tasawuf sebagai ilmu yang dapat membersihkan jiwa.
Ibn Taimiyah menyebut para sufi dengan sebutan ahl ‘ulum al-qulub (pakar-pakar ilmu hati) yang perkataanya paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu tahqiqan) serta paling jauh dari bid’ah (ab’adu minal bid’ah). Ia menyebutnya dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmû’ al-Fatawâ (Beirut: Dar al-Kitab al Arabi, tahun 1973).
Dalam kitabnya Amradh al-Qulub wa Syifauha (Kairo: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1399), halaman: 62, ketika membicarakan surah al-Kafirun), Ibn Taimiyah berkata: “Adapun qul ya ayyuhal kafiruun mengundang tauhid amali iradi, tauhid praktis yang didasarkan pada kehendak, yaitu keikhlasan beragama semata-mata untuk Allâh dengan sengaja dan dikehendaki; dan itulah yang dibicarakan oleh Syaikh-syaikh tasawuf pada umumnya.
Imam-imam tasawuf menjadikan Allâh SWT sebagai satu-satunya yang dicintai dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang paling sempurna” (Amradh al-Qulub wa Syifauha, halaman: 68).
Adapun Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, dalam kitabnya Madârij al-Sâlikin, juz 1, halaman: 464 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tahun 1973), mengatakan tentang Abu Yazid al-Busthami dengan kalimat seperti ini: “Ini (memelihara dan menjauhkan keinginan dari selain Allâh yang Maha Suci) adalah  seperti  Abu Yazid al-Busthami. Semoga Allâh SWT merahmatinya mengenai berita tentang dirinya. Ketika ia ditanya keinginannya,  ia menjawab, “Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua (setelah Allâh SWT)”. Inilah hakikat tasawuf.”
Dalam kitabnya yang lain Badai al-Fawaid, juz 3, halaman: 756 (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nizar Mushthafa al-Baz, 1996), Ibn al-Qayyim al-Jawziyah berkata:

“Tasawuf dan kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allâh) berada pada wilayah hati”.

Tiada ulasan: