Catatan Popular

Rabu, 3 Januari 2024

KITAB ZIKIR : DOKTRIN MEREKA AHLI SUFI TENTANG MENGINGAT ALLAH (DZIKIR).

 KITAB ASAL : At-Ta‘arrufu Li Madzhabi Ahl-it-Tasawwuf)

Abu Bakar Muhammad al-Kalabadzi


Haqīqat dari dzikir ialah hendaklah kamu melupakan apa-apa selain yang diingat (Allah) di dalam kamu berdzikir (mengingat), sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah:

 

“….Dan ingatlah akan Tuhan-mu di kala kamu lupa….” (al-Kahfi 18: 24).

 

Yakni, apabila kamu melupakan sesuatu selain Allah maka sungguh kamu telah mengingat Allah.

 

Nabi s.a.w. bersabda: “Orang-orang yang menyendiri (pertapa) adalah yang paling dahulu (memasuki surga).” Kemudian seorang sahabat bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasūlullāh, siapakah pertapa itu?” Rasūlullāh menjawāb: “Pertapa ialah orang-orang yang selalu mengingat Allah (dzikir).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī dan al-Hākim dari Abū Hurairah).

Seorang pemimpin Shūfī berkata: “Dzikir itu menghilangkan lupa akan Allah, dan engkau adalah orang yang ingat akan Allah walaupun engkau dalam keadaan berdiam diri.”

 

Al-Junaid bersya‘ir:

 

“Aku selalu mengingat-Mu, tidaklah sekali-kali aku melupakan-Mu walaupun hanya sekejap mata,

 

Aku memudahkan dalam mengingat-Mu (dzikir) dengan mengingat (dzikir) yang diucapkan (lisan).”

 

Saya telah mendengar Abul-Qāsim al-Baghdādī berkata:

 

 “Aku telah bertanya kepada salah seorang pemimpin Shūfī: “Bagaimana pendapatmu terhadapa orang-orang yang merasa jemu mengingat Allah (dzikir) bahkan mereka lari menuju papan perenungan (bersemedi) yang tidak dapat mendatangkan kepuasan bāthin?”

 

Maka ia pun menjawāb dengan kata-katanya: Mereka menganggap ringan terhadap hasil/pengaruh mengingat Allah (dzikir) dan menganggap bahwa dzikir itu hanya perbuatan yang sia-sia belaka; padahal sebenarnya dzikir itu merupakan perbuatan yang paling utama yang berada dibalik tafakkur dan dapat menghilangkan keresahan dan kejenuhan dari kegiatan sehari-hari.”

 

Mereka menganggap ringan perbuatan mengingat Allah (dzikir) karena mereka menyangka bahwa dzikir itu hanya merupakan kelezatan dari perasaan jiwa saja, sedangkan orang-orang yang menggunakan pemikirannya telah melarikan diri dari perasaan kejiwaan dan kelezatannya. Bagaimanapun juga mengingat Allah (dzikir) itu akan menimbulkan perasaan adanya kebesaran Allah, kekuasaan-Nya, kehebatan-Nya, dan kebaikan-Nya, kemudian dengan mengingat Allah (dzikir) akan menambah memikirkan (tafakkur) ciptaaan Allah dan menimbulkan rasa hormat kepada-Nya. Sebagaimana sabda Rasūlullāh s.a.w. berdasarkan firman dari Allah:

 

Dari Abū Hurairah r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

 

“Barangsiapa menyibukkan diri untuk mengingat (dzikir) kepada-Ku dengan melalui permintaan (du‘ā) maka Aku (Allah) akan memberikan kepadanya kelebihan (keutamaan) sebagaimana yang telah Aku berikan kepada orang-orang yang telah meminta (membutuhkannya).” (Hadīts riwāyat at-Tirmidzī dan al-Hākim)

 

Dari hadits di atas, bahwa seseorang yang menyibukkan diri dengan mengingat Allah (dzikir) secara lisan itu dapat menyaksikan kebesaran-Ku (Allah), karena dzikir lisan itu merupakan permohonan (masalah).

 

Segolongan Shūfī lain berpendapat bahwa persaksian /penyaksian terhadap Allah (musyāhadah) itu dapat juga membawa seseorang kepada kebingungan bagi dirinyasendiri dan memutuskan dirinya dari mengingat Allah (dzikir), sebagaimana dinyatakan dalam hadīts Nabi s.a.w.:

 

“Aku tidak dapat menghitung sanjungan (pujian) kepada-Mu.”

Dan sya‘ir dari an-Nūrī:

 

Aku ingin selalu mengingat diri-Nya, karena cintaku pada-Nya,

Wahai Dia yang Mempesona yang selalu kuingat dalam hati.

Aku heran pada-Nya yang kadangkala hilang dari kalbuku,

Karena hilangnya ingatku, baik di kala dekat maupun jauh.

Al-Junaid berkata: “Barangsiapa yang menyebutkan Allah tanpa bersaksi dan menyakiti-Nya, maka kata-katanya itu bohong.” Kebenaran pernyataan ini berdasarkan firman Allah:

 

“….Mereka (orang-orang munāfiq) berkata: Kami bersaksi sesungguhnya engkau benar-benar Rasūl (utusan) Allah.” (al-Munāfiqūn 63:1).

 

“…Dan Allah menyaksikan (mengetahui) bahwa sesungguhnya orang-orang munāfiq itu benar-benar orang pembohong.” (al-Munāfiqūn 63: 1).

Allah mendustakan mereka walaupun kata-kata mereka benar, karena mereka bukan termasuk orang-orang yang benar-benar bersaksi dan yaqīn.

 

Sebagian Shūfī lain berkata: “Hati itu untuk bersaksi, dan mulut untuk menyatakan persaksiannya, sehingga barangsiapa berkata tanpa persaksian maka persaksiannya itu adalah bohong belaka.”

 

Pemimpin-pemimpin Shūfī bersya‘ir:

 

Engkau pelindungku, wahai Tuhan, tanpa aku mengingat-Mu,

Hatiku merasa takut Engkau akan menghilang dari ingatanku.

Karena ingat kepada-Mu adalah sarana yang menyingkap tabir rahasia-Mu dari pandanganku,

Apabila Dia membutakan mata-hatiku, maka Dia akan hilang dari buah pikirku.

 

Dari sya‘ir di atas dapat diartikan bahwa mengingat Allah (dzikir) adalah merupakan sifat dari orang yang ingat (dzikir), oleh karenanya apabila aku tidak ada (absen) di kala aku mengingat (dzikir) maka berarti aku tidak ada. Dan sesungguhnya seorang hamba terhalang dari penyaksian terhadap Tuhannya dan menyifat diri-Nya.

 

Sarī as-Saqathī berkata: “Aku telah menemani seorang kulit hitam (negro) di padang pasir, di kala ia sedang mengingat Allah (dzikir) maka aku pun berkata: “Oh, sungguh ini sangat aneh; di kala engkau sedang mengingat Allah (dzikir) maka pakaianmu berganti dan sifatmu pun berubah.” Maka dia pun berkata: “Wahai saudaraku, seandainya engkau bersungguh-sungguh dalam mengingat Allah (dzikir) maka pakaianmu pun akan berganti dan sifatmu pun akan berubah”, kemudian ia bersya‘ir:

 

Kami mengingat-Nya (dzikir) dan tidaklah sekali-kali kami

Melupakan-Nya maka kami pun selalu menyebut-Nya.

Tetapi angin dingin sepoi-sepoi datang mengalahkan dzikirku,

Sehingga Dia lari dari ingatanku.

 

Maka lenyaplah Dia dari sisiku bersama kekekalan yang ada padanya,

 

Karena Dia Yang Maha Haq sebagaimana dikabarkan dan dinyatakan-Nya.”

Dan kami sya‘irkan juga sya‘ir Ibnu ‘Athā’:

 

Aku tahu dzikir itu bermacam-macam, ia dipenuhi rasa cinta,

Rindu-dendam yang dapat menggugah ingatan.

Dzikir itu melemahkan nafsu, karena nafsu dicampuri dengannya,

 

Dzikir itu mempengaruhi jiwa, yang pada akhirnya menghilangkan duka cita.

Dan dzikir itu dapat menyebarkan nafsu, karena sesungguhnya dzikir,

 

Dapat menggulung nafsu, baik diketahui maupun tidak diketahui.

Dan dzikir itu mempunyai tanda-tanda, pengaruh, yaitu memisahkan hawa nafsu dan melenyapkannya,

Ia dapat meningakatkan inteligensia melalui imaginasi dan perenungan.

 

Dengan dzikir dapat mengetahui Dia melalui kerlingan mata dan keyakinan dalam hati.

 

Dapat menyaksikan Dia, maka terputuslah/lenyaplah tabir atas diri-Nya.

 

Dzikir itu bermacam-macam, yaitu:

 

Pertama: dzikir dengan hati (dzikr-ul-qalb), di mana yang diingat (madzkūr) tidak dilupakan selagi seseorang berdzikir,

 

Kedua: dzikir dengan mengingat sifat-sifat yagn diingat (dzikru aushāf-il-madzkūr),

 

Ketiga: dzikir dengan menyaksikan yang diingat (syuhūd-ul-madzkūr) dengan dzikir ini seseorang dapat berlaku dari berdzikir, karena dengan sifat-sifat yang diingat dapat menyebabkan diri seseorang tidak dapat menyifati yang diingat dengan sifat-sifat yang ada pada orang itu, begitupun akan berlalu/menolak dzikir (secara lisan).

 

Tiada ulasan: