Catatan Popular

Jumaat, 9 Mac 2012

KISAH AL FUDHAIL BIN IYADZ DAN KHALIFAH HARUN AR-RASYID

  Pada suatu malam, Harun ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang di antara pengawal-pengawal kesayangannya. Harun ar-Rasyid berkata kepada Fazl:
“Malam ini bawalah aku kepada seseorang yang menunjukkan kepadaku siapakah aku ini sebenarnya. Aku telah jemu dengan segala kebesaran dan kebanggaan”.
Fazl membawa Harun ar-Rasyid ke rumah Shofyan al-Uyaina. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam Shofyan menyahut:
“Siapakah itu?”
“Pemimpin kaum Muslimin”,jawab Fazl.
Shofyan berkata: “Mengapakah sultan sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepadaku sehingga aku datang sendiri untuk menghadap?”

Mendengar ucapan tersebut Harun ar-Rasyid berkata: “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun menjilatku seperti yang lain-lainnya”.
Mendengar kata-kata sultan tersebut, Shofyan berkata:
“Jika demikian, Fuzail bin ’Iyaz adalah seorang yang engkau cari. Pergilah kepadanya”, kemudian Shofyan membacakan ayat: “Apakah orang-orang yang berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan yang Saleh?”
Harun ar-Rasyid menimpali: “Seandainya aku menginginkan nasehat-nasehat yang baik niscaya ayat itu telah mencukupi”.
Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fudhail. Dari dalam Fudhail bertanya: “Siapakah itu?”
“Pemimpin kaum Muslimin”, jawab Fazl.
“Apakah urusannya dengan aku dan apakah urusanku dengan dia?”, tanya Fudhail.
“Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sela Fazl.
“janganlah kalian menggangguku”, seru Fuzail.
“Perlukah aku mendobrak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah sultan?” tanya Fazl.
“Tidak ada sesuatu hal yang disebut kekuasaan”, jawab Fudhail.
” Jika engkau secara paksa mendobrak masuk, engkau tahu apa yang engkau lakukan”.
Harun ar-Rasyid melangkah masuk, Begitu Harun menghampirinya, Fudhail meniup lampu sehingga padam agar ia tidak dapat melihat wajah sultan. Harun ar-Rasyid mengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan Fuzail yang kemudian berkata: ‘
”Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!”
Setclah berkata demikian Fudhail berdiri dan berdoa. Harun ar-Rasyid sangat tergugah hatinya dan tak dapat menahan tangisnya.
“Katakanlah sesuatu kepadaku”, Harun bermohon kepada Fudhail.

Fudhail mengucapkan salam kepadanya dan berkata:
“Leluhurmu, pamanda Nabi Muhammad, pernah meminta kepada beliau: jadikanlah aku pemimpin bagi sebagian ummat manusia’. Nabi menjawab: ’Paman, untuk sesaat aku pernah mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri’. Dengan jawaban ini yang dimaksudkan Nabi adalah: Sesaat mematuhi Allah adalah lebih balk daripada seribu tahun dipatuhi oleh ummat manusia. Kemudian Nabi menambahkan ’Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari Berbangkit nanti’ “.
“Lanjutkanlah”, Harun ar-Rasyid meminta.
“Ketika diangkat menjadi khalifah, ’Umar bin ’Abdul Aziz memanggil Salim bin ’Abdullah, Raja’ bin Hayat, dan Muhammad bin Ka`ab. ‘Umar berkata kepada mereka: ’Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah sebuah cobaan walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia’. Salah seorang di antara ketiga sahabat ’Umar itu berkata: ’Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia sebagai ayahmu sendiri, setiap Muslim yang remaja sebagai saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak sebagai putramu sendiri, dan perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan puteranya’ “.
“Lanjutkanlah!”, Harun ar-Rasyid meminta lagi.

“Anggaplah negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di dalam neraka.
Takutilah Allah dan carilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana, karena pada hari Berbangkit nanti Allah akan meminta pertanggung jawabanmu sehubungan dengan setiap Muslim dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang wanita ’uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari Berbangkit nanti ia akan menarik pakaianmu dan akan memberi kesaksian yang memberatkan dirimu”.

Harun ar-Rasyid menangis dengan sangat getirnya sehingga tampaknya ia akan jatuh pingsan. Melihat hal ini wasir Fazl menyentak Fudhail:
“Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum Muslimin!”.
“Diamlah Haman! Engkau dan orang-orang yang seperti engkau inilah yang telah menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku yang membunuhnya. Apakah yang kulakukan ini suatu pembunuhan?”
Mendengar kata-kata Fudhail ini tangis Harun ar-Rasyid semakin menjadi-jadi “Ia menyebutmu Haman”, kata Harun ar-Rasyid sambil memandang Fazl, “karena ia mempersamakan diriku dengan Fir’aun”.

Kemudian Harun bertanya. kepada Fudhail: ”Apakah engkau mempunyai hutang yang belum dilunaskan?”.
“Ya”, jawab Fudhail, “hutang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku untuk melunasi hutang ini celakalah aku!”
“Yang kumaksudkan adalah hutang kepada manusia, Fudhail”, Harun menegaskan.
“Aku bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan kepadaku sedemikian berlimpahnya sehingga tidak ada keluh-kesah yang harus kusampaikan kepada hamba-hamba-Nya”.
Kemudian Harun ar-Rasyid menaruh sebuah kantong yang berisi seribu dinar di hadapan Fudhail sambil berkata: “Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku”.

Tetapi Fudhail mencela: “Wahai pemimpin kaum Muslimin, nasehat-nasehat yang kusampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Engkau bahkan telah memulai lagi perbuatan salah dan
mengulangi kezhaliman”.
“Perbuatan salah apakah yang telah kulakukan?”, tanya Harun ar-Rasyid.
“Aku menyerumu ke jalan keselamatan tetapi engkau menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu suatu kesalahan?
Telah kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberi kannya kepada yang tidak pantas menerimanya. Percuma saja aku berkata-kata”.
Setelah berkata demikian, Fudhail berdiri dan melemparkan uang-uang emas itu keluar.
“Benar-benar seorang manusia hebat!”, Harun ar-Rasyid berkata ketika ia meninggalkan rumah Fuzail. “Sesungguhnya Fudhail adalah seorang raja bagi ummat manusia. Ia sangat blak-blakan dan dunia ini terlampau kecil dalam pandangannya.”

Tiada ulasan: