Catatan Popular

Jumaat, 9 Mac 2012

JENG JENG…..LAGI-LAGI KISAH MENGENAI DIRI AL FUDHAIL BIN IYADZ

  Suatu hari Fudhail memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja bibir Fuzail menyentuh pipi anak itu sebagimana yang sering dilakukan seorang ayah kepada anaknya.
“Apakah ayah cinta kepadaku?”, si anak bertanya kepada Fudhail.
“Ya”, jawab Fudhail.
”Apakah ayah cinta kepada Allah?”
“Ya”.
”Berapa banyakkah hati yang ayah miliki?”
“Satu”, jawab Fudhail.
“Dapatkah ayah mencintai dua hal dengan satu hati?”, si anak meneruskan pertanyaannya.
Fudhail segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri. Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi. Karena takut dimurkai Allah, Fudhail memukul-mukulkan
kepalanya sendiri dan memohon ampun kepada-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian dicurahkannya kepada Allah semata-mata,.


Pada suatu hari Fudhail sedang berada di Padang Arafah. Semua, jama’ah yang berada di sana menangis, meratap, memasrahkan diri dan memohonkan ampun dengan segala kerendahan hati,
“Maha Besar Allah!”, seru Fuzail. “Jika manusia sebanyak ini secara serentak menghadap kepada seseorang dan mereka semua meminta sekeping uang perak kepadanya, apakah yang dilakukannya?
Apakah orang itu akan mengecewakan manusia-manusia yang banyak ini?”
“Tidak!”, orang ramai menjawab.
“Jadi”, Fudhail melanjutkan, “sudah tentu bagi Allah Yang Maha Besar untuk mengampunkan kita semua adalah lebih mudah daripada bagi orang tadi untuk memberikan sekeping uang perak. Dia adalah Yang Maha Kaya di antara yang kaya, dan karena itu sangat besar harapan kita bahwa Dia akan mengampunkan kita semua”.

Putera Fudhail menderita penyakit susah buang air kecil. Fudhail berlutut di dekat anaknya dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa: “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu sembuhkanlah ia dari penyakit ini”.
Belum sempat Fudhail bangkit dari duduknya, si anak telah segar bugar kembali.

Di dalam doanya Fudhail sering mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku karena Engkau Maha Tahu bahwa aku telah bertaubat, dan janganlah Engkau menghukumku karena Engkau Maha Berkuasa
atas diriku”. Kemudian ia melanjutkan: “Ya Allah, Engkau telah membuatku lapar dan telah membuat anak-anakku lapar. Engkau telah membuatku telanjang dan telah membuat anak-anaku telanjang. Dan Engkau tidak memberikan pelita kepadaku apabila hari telah gelap. Semua itu telah Engkau lakukan terhadap sahabat-sahabat-Mu, Karena keluhuran spiritual, apakah Fuzail telah menerima kehormatan-Mu ini?”

Selama tiga puluh tahun tidak seorang pun pernah melihat Fdhzail tersenyum kecuali ketika puteranya meninggal dunia, Pada waktu itulah orang-orang melihat Fuzail tersenyum. Seseorang
menegurnya.
“Guru, mengapakah engkau justru tersenyum disaat-saat yang seperti ini?”
”Aku menyadari bahwa Allah menghendaki agar anakku mati. Aku tersenyum karena kehendak-Nya telah terlaksana”, jawab Fuzail.

Fudhail mempunyai dua orang anak perempuan. Menjelang akhir hayatnya Fudhail menyampaikan wasiat terakhir kepada isterinya:
“Apabila aku mati bawalah anak-anak kita ke gunung Abu Qubais. Di sana tengadahkan wajahmu dan berdoalah kepada Allah;
`Ya Allah, Fudhail menyuruhku untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada-Mu; ketika aku hidup kedua anak-anak yang tak berdaya ini telah kulindungi dengan sebaik-baiknya. Tetapi setelah Engkau mengurungku di dalam kubur, mereka kuserahkan kepada-Mu kembali”.
Setelah Fudhail dikebumikan, isterinya melakukan seperti yang dipesankan kepadanya. Ia pergi ke puncak gunung Abu Qubais membawa kedua anak perempuannya.


Kemudian ia berdoa kepada Allah sambll menangis dan meratap. Kebetulan pada saat itu, pangeran dari negeri Yaman beserta kedua puteranya melalui tempat itu. Menyaksikan mereka yang menangis dan meratap itu, sangpangeran bertanya:
“Apakah kemalangan yang telah menimpa diri kalian?”
Isteri Fudhail menerangkan keadaan mereka. Kemudian si pangeran berkata:
“Jika kedua puterimu kuambil untuk kedua puteraku ini dan untuk masing-masing di antara mereka kuberikan sepuluh ribu dinar sebagai mas kawinnya, apakah engkau merasa cukup puas?”
“Ya”, jawab si ibu.
Segeralah sang pangeran mempersiapkan tandu-tandu, permadani permadani dan brokat-brokat kemudlan membawa si ibu beserta kedua puterinya ke negeri Yaman

Tiada ulasan: