Catatan Popular

Jumaat, 9 Mac 2012

WALI AL-FUDHAIL BIN IYADZ : SI PENJAHAT DAN KISAH PERTAUBATANNYA


Abu ’AIi aI·FudhaiI bin ‘Iyaz at-Talaqani Iahir di Khurasan. Diriwayatkan bahwa sewaktu masih remaja, Fudhail adalah seorang penyamun. Setelah bertaubat, Fudhail pergi ke Kufah kemudian ke Makkah, di mana ia tinggal beberapa tahun Iamanya hingga wafatya pada tahun 187 H/803 M. Nama FudhaiI cukup terkenal sebagai seorang ahli Hadits, dan keberaniannya mengkhotbahi Khalifah Harun ar-Rasyid sering diperbincangkan orang.

Sewaktu masih remaja, Fudhail mendirikan kemah di tengah·tengah padang pasir, yaitu di antara Merv dan Baward. jubahnya terbuat dari bahan ‘kasar, topinya terbuat dari bulu domba, dan dilehernya senantiasa tergantung sebuah tasbih. Fudhail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri dari para pencuri dan penjahat

Siang dan malam mereka merompak, membunuh dan membawa hasil rampasan mereka kepada FudhaiI karena ia adalah kepala mereka. Fudhail mengambil sesuatu yang disukainya, sesudah itu membagi-bagikan Iebihan harta rampasan tersebut kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah alpa dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fudhail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka.
Suatu hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka. FudhaiI dan sahabat-sahabatnya teIah menanti-nantikan kedatangan kafilah tersebut.

Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar desas-desus mengenai para perompak itu. Ketika ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir, bagaimanakah ia harus menyembunyikan sekantong emas yang dimilikinya.
“Kantong emas ini akan kusembunyikan”, ia berkata di dalam hati. “Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk diandalkan”. Ia menyimpang dari jalan raya.

Kemudian ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu ada seorang yang wajah dan pakaian nya tampak sebagai seorang pertapa. Maka kantong emas itu pun lalu dititipkannya kepada orang itu, yang sebenarnya adalah Fudhail sendiri. ”Taruhlah kantongmu itu di pojok kemahku”, Fuzail berkata kepadanya. Lelaki itu melakukan seperti yang dikatakan Fudhail.Kemudian ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan Fudhail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat seperjalanannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu.

 Lelaki tadi kembali ke kemah Fudhail untuk mengambil kantong emasnya. Ia melihat Fudhail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagi-bagikan hasil rampasan mereka.
“Celaka, ternyata aku telah menitipkan kantong emasku kepada seorang maling”, lelaki itu mengeluh.

Tetapi Fudhail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya dan ia pun datang menghampiri.
“Apakah yang engkau kehendaki”, lelaki itu bertanya kepada Fudhail.
“Ambillah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu tinggalkanlah tempat ini”.
Lelaki itu segera berlari ke kemah Fudhail, mengambil kantong emas dan meninggalkan tempat itu.

Dengan keheran-heranan teman-teman Fudhail berkata: “Dari seluruh kafilah itu kita tidak mendapatkan satu dirham pun di dalam bentuk tunai, tetapi mengapa engkau mengembalikan sepuluh ribu dirham itu kepadanya?”
Fudhail menjawab: “Ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan menerima taubatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah menghargai kepercayaanku pula”.

Pada hari yang lain mereka membegal kafilah pula dan merampas harta benda mereka. Ketika kawanan Fudhail sedang makan, seorang anggota kafilah itu datang menghampiri mereka dan bertanya: ”Siapakah pemimpin kalian?”
Kawanan perampok itu menjawab: “Ia tidak ada di sini. Ia sedang shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu”.
“Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat”, lelaki itu berkata.
“Ia sedang melakukan shalat sunnat”, salah seorang di antara penjahat-penjahat itu menjelaskan.
“Dan ia tidak makan bersama-sama dengan kaIian?”, lelaki itu melanjutkan.
“Ia sedang berpuasa”, jawab salah seorang.
“Tetapi sekarang ini bukan bulan Ramadhan?”
“Ia sedang berpuasa sunnat”.
Dengan sangat heran lelaki tadi menghampiri Fudhail yang sedang khusyuk di dalam shalatnya, Setelah selesai berkatalah ia kepada Fudhail,
“Ada sebuah peribahasa yang mengatakan, hal-hal yang bertentangan tidak dapat dipersatukan. Bagaimanakah mungkin seseorang berpuasa, merampok, shalat dan membunuh orang Muslim pada waktu yang bersamaan?”.
“Apakah engkau memahami al-Qur’an?”, Fudhail bertanya kepadanya.
“Ya”, jawab lelaki itu.
“Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berkata:
 Orang-orang lain telah mengakui dosa-dosa mereka dan mencampuradukkan perbuatan-perbuatan yang baik dengan perbuatan-perbuatan yang aniaya?’ “.

Lelaki itu terdiam tidak dapat berkata apa-apa. Orang-orang mengatakan bahwa pada dasarnya Fudhail adalah seorang yang berjiwa satria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah terdapat seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diusiknya. Begitu pula harta benda orang-orang miskin tidak akan dirampas Fudhail. Untuk setiap korbannya, ia selalu meninggalkan sebagian dari harta bendanya yang dirampas. Sebenarnya semua kecenderungan Fudhail tertuju kepada perbuatan yang baik.

Pada awal petualangannya, Fudhail tergila-gila kepada seorang wanita. Fudhail selalu menghadiahkan hasil rampasannya kepada wanita kekasihnya itu. Karena mabuk asmara, Fudhail sering memanjat, dinding rumah si wanita tanpa perduli keadaan cuaca yang bagaimana pun juga. Sementara berbuat demikian, ia selalu menangis.

Suatu malam ketika ia sedang memanjat rumah kekasihnya itu, lewatIah sebuah kafilah dan di antara mereka ada yang sedang membacakan ayat-ayat al-Qur’an. Terdengarlah oleh Fudhail ayat yang berbunyi: “Belum tibakah saatnya hati orang-orang yang percaya merendah untuk mengingat Allah?”

Ayat ini bagaikan anak panah menembus jantung Fudhail, seolah sebuah tantangan yang berseru kepadanya: “Wahai, Fudhail, berapa lama lagikah engkau akan penjahat para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu!”

Fudhail terjatuh dan berseru: “Memang telah tiba saatnya, bahkan hampir terIambat!”

Fudhail merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah sebuah puing. Ternyata di situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: “Marilah kita melanjutkan perjaIanan”, tetapi salah seorang di antara mereka mencegah: “Tidak mungkin, dhsedang menanti dan akan menghadang kita”.

Mendengar pembicaraan mereka itu dhberseru: “Berita gembira Fudhail telah bertaubat!”.
Setelah berseru demikian iapun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil menangis. Hal ini sangat menggembirakan orang-orang yang membenci dirinya. Kepada setiap orang di antara sahabat-sahabatnya, Fudhail meminta agar janji setia di antara mereka dihapuskan. Akhirnya hanya tersisa seorang Yahudi di Baward; Fudhail meminta agar janji setia di antara mereka berdua dihapuskan namun si Yahudi tidak mau dibujuk.

“Sekarang kita dapat memperolok-olokkan pengikut Muhammad”, si Yahudi berbisik kepada teman-temannya sambii tergelak-gelak.

“Jika engkau menginginkan aku untuk menghapuskan janji setia yang telah kita ikrarkan itu, maka ratakanlah bukit itu’’, si Yahudi berkata kepada Fudhail sambil menunjuk ke arah sebuah bukit pasir.

Bukit itu tidak mungkin dapat dipindahkan Oleh seorang manusia, kecuali untuk waktu yang sangat lama. dhyang malang mulai mencangkul bukit itu sedikit demi sedikit, tetapi bagaimanakah tugas tersebut dapat diselesaikan?

Pada suatu pagi, ketika Fudhail sangat letih, sekonyong-konyong datanglah angin kencang yang meniup bukit pasir tersebut hingga rata. Setelah melihat betapa bukit pasir itu telah menjadi rata, si Yahudi yang sangat merasa takjub itu berkata kepada Fudhail:
”Sesungguhnya aku telah bersumpah, bahwa aku tidak akan menghapuskan janji setia kita sebelum engkau memberikan uang kepadaku. oleh karena itu masuklah ke dalam rumahku, ambil segenggam uang emas yang terletak di bawah permadani dan berikan kepadaku. Dengan demikian sumpahku akan terpenuhi dan janji setia di antara kita dapat dihapuskan”.
Fudhail masuk ke dalam rumah si orang Yahudi. Sesungguhnya si Yahudi telah menaruh gumpalan-gumpalan tanah ke bawah permadani itu.

 Tetapi ketika Fudhail meraba ke bawah permadani itu dan menarik tangannya keluar, ternyata yang diperolehnya adalah segenggam penuh dinar emas. Dinar-dinar emas ini diserahkannya kepada si orang Yahudi.
“Islamkanlah aku!”, si Yahudi berseru kepada Fudhail. Fudhail mengislamkannya dan jadilah ia seorang Muslim.

Kemudian si Yahudi berkata kepada Fudhail: “Tahukah engkau mengapa aku mau menjadi seorang Muslim? Hingga sesaat yang lalu aku masih ragu, yang manakah agama yang benar. Aku pernah membaca di dalam Taurat: ‘Jika seseorang benar-benar bertaubat, kemudian menaruh tangannya ke atas tanah, maka tanah itu akan berubah menjadi emas’. Sesungguhnya ke bawah permadani tadi telah kutaruhkan tanah untuk membuktikan taubatmu. Dan ketika tanah itu berubah menjadi emas karena tersentuh oleh tanganmu, tahulah aku bahwa engkau benar-benar telah bertaubat dan bahwa agamamu adalah agama yang benar”.

 Fudhail memohon kepada seseorang “Demi Allah, ikatlah kaki dan tanganku, kemudian bawalah aku ke hadapan sultan agar ia mengadiliku karena berbagai kejahatan yang pernah kulakukan”.

Orang itu memenuhi permohonan Fudhail. Ketika sultan melihat Fuzail, terlihatlah olehnya tanda-tanda manusia berbudi pada dirinya.
“Aku tidak dapat mengadilinya”, sultan berkata. Kemudian ia memerintahkan agar Fudhail diantarkan pulang dengan segala hormat dan ketika sampai di rumahnya Fuzail mengeluarkan sebuah tangisan yang keras.
“Dengarlah Fudhail yang sedang berteriak-teriak itu! Mungkin ia sedang disiksa”, orang-orang berkata.
“Memang benar, aku sedang disiksai”, Fudhail menjawab.
“Apamukah yang dipukuli?”, mereka bertanya.
“Batinku!”, jawab Fudhail.
Kemudian Fudhail menjumpai isterinya. “Isteriku”, katanya,
“aku akan pergi ke rumah Allah. Jika engkau suka, engkau akan kubebaskan”.
Tetapi isterinya menjawab: “Aku tidak mau berpisah dari sisimu. Ke mana pun engkau pergi aku akan menyertaimu”.
Maka berangkatlah mereka ke Mekkah. Allah Yang Maha Kuasa telah menggampangkan perjalanan mereka. Di kota Makkah mereka tinggal di dekat Ka’bah dan dapat bertemu dengan beberapa orang-orang suci. Untuk beberapa lama Fuzail bergaul rapat dengan imam Abu Hanifah.

Dan mengenai kekerasan disiplin diri Fudhail telah banyak kisah-kisah yang dituliskan orang. Di kota Mekkah ini terbukalah kesempatan bagi Fudhail untuk berkhotbah dan penduduk kota senantiasa berbondong-bondong untuk mendengarkan kata-katanya. Nama Fudhail segera menjadi buah bibir di seluruh pelosok dunia, sehingga sanak keluarganya meninggalkan Bavard menuju Mekkah untuk menemuinya. Mereka mengetuk pintu rumah Fudhail namun Fudhail tidak menjawab. Mereka tidak mau meninggalkan tempat itu, maka naiklah Fudhail ke atap rumahnya dan dari sana ia berseru kepada mereka:
“Wahai penganggur-penganggur, semoga Allah memberikan pekerjaan kepada kalian!”.
Berkali-kali Fudhail mengucapkan kata-kata pedas seperti itu sehingga semua sanak keluarganya menangis dan lupa diri. Akhirnya karena putus asa untuk dapat bercengkerama dengan Fudhail, mereka pun meninggalkan tempat itu. Fudhail masih tetap di atas atap dan tidak mau membukakan pintu rumahnya.

Tiada ulasan: