Imam Abdul Qasim Aljunaid r.a. bercerita:
Sekali peristiwa ketika aku pergi naik haji ke
Baitullah Al-Haram, dan juga menziarahi maqam nabi alaihis-shalatu wassalam,
sedang aku dalam perjalanan menuju ke sana, tiba-tiba terdengar oleh telingaku
suatu suara rintihan yang melas serta sangat menyayat hati, yang pada
anggapanku tentulah suara itu datangnya dari hati seorang yang remuk redam.
Aku pun mencari-cari dari mana datangnya sumber
suara itu, dan ternyata bahawa rintihan itu keluar dari mulut seorang pemuda
yang sangat kurus, lemah, namun wajahnya bercahaya terang seperti bulan. Saya
mendekatinya, ia membuka matanya dan langsung mengucapkan:
"Assalamu alaikum, Ya Abdul Qasim!"
"Waalaikumussalam!" jawabku penuh
kehairanan.
"Anak, siapa yang memberitahukan namaku
kepadamu, sedang kita belum pernah mengenal satu sama lain?" Aku bertanya
kepadanya.
"Wahai Abdul Qasim! saya telah menggenali bapak
sejak di alam Ruh. Dan Allah-lah yang memberikan nama bapak kepadaku. Demi
Allah, wahai Abdul Qasim, kalau aku sudah mati, maka mandikan dan bungkuslah
aku dengan baju yang aku pakai ini, dan naiklah ke bukit itu, lalu panggillah
orang-orang untuk menyalatiku, lalu tanamlah aku di tempat ini pula! Hanya
Allah-lah yang akan membalas segala kebaikan bapak."
Berkata Abdul Qasim Aljunaid lagi menyambung
ceritanya:
Kemudian aku lihat anak muda tadi penuh berkeringat
dahinya sehingga membasahi seluruh wajahnya, suaranya semakin menekan,
barangkali, kerana kesakitan. Dalam pada itu ia sempat berpesan lagi, katanya:
"Wahai Abdul Qasim! setelah anda selesai
menunaikan hajimu, dan sudah mau kambali ke negerimu, hendaklah anda menuju dulu
ke Baghdad, dan tanyakanlah orang-orang di sana tentang kampung Darb Za 'faran.
Setelah tiba di kampung itu, tanyakanlah pula tentang ibuku dan putraku serta
sampaikanlah salamku kepada mereka!"
"Baiklah," jawabku.
Anak muda itu kemudian merintih makin lama makin
lemah, dan tak lama sesudah itu pulanglah ia ke Rahmatullah dengan tenangnya,
sedang wajahnya tampak semakin bercahaya.
Saya pun memandikannya, kemudian menggafankannya
dengan bajunya. Sesudah itu saya naik ke atas bukit dan berseru dengan suara
keras sekali.
"Wahai orang-orang sekalian! Marilah kita
bersama-sama menyalati mayat asing ini!"
Tiba-tiba datanglah beribu-ribu orang dari segenap
penjuru, seperti ulat layaknya, sedang wajah-wajah mereka bagaikan terangnya
cahaya bulan purnama. Kami pun menuruti bersama menyalati mayat itu, kemudian
mengguburkanya. Setelah selesai pengguburan mayat itu, maka dengan serta-merta
pula, hilanglah ribuan orang-orang tadi secara mendadak dan tanpa ada bekasnya.
Saya benar-benar kehairanan atas kejadian itu, juga atas kemuliaan mayat yang
tidak saya kenal sebelumnya.
Selesai ibadat haji, saya pun segera pergi ke
Baghdad, dan terus menuju ke kampung Darb Za 'faran. Setelah menemukannya
tampak di lorong-lorong kecil kampung itu ada anak-anak sedang bermain-main.
Tiba-tiba seorang daripada mereka memandang tajam kepadaku, seraya mendekatiku,
dan berkata:
"Assalamualaikum, ya Abdul Qasim! mungkin
kedatangan tuan untuk memberitahuku tentang kematiaan ayahku, agaknya!"
Hatiku terkejut mendengar pertanyaan anak kecil itu.
Ah, alangkah tepatnya apa yang ia katakan, padahal ia masih demikian kecilnya.
Ia kemudian menuntunku ke sebuah rumah, lalu menggetuk pintunya. Seorang
perempuan tua membukakan pintu itu, dan alangkah terangnya wajah perempuan tua
itu, dan alangkah salihah ia tampaknya.
Saya menggucapkan salam kepadanya. Ia pun segera
membalasnya, lalu menaggis terisak-isak.
Moga-moga ia mati di Arafah.
Jawabku "Tidak!"
"Apakah di Mina?!"
Jawabku: "Tidak"
"Di Muzdalifah?!"
Jawabku: "Tidak!"
"Habis di mana?!" tanya ibu itu, "Di
padang pasir, di bawah pokok ghailan???"
Jawabku: "Ya,"
Mendengar berita itu, ia menjerit keras seraya
berkata: "Oh anakku! suaranya bercampur tangis yang sungguh menyayat hati
semua orang di situ.
"Oh anakku! Oh anakku! Mengapa tidak
disampaikannya ke rumahNya (Baitullah), atau dibiarkanNya saja ia dengan
kami?"
Ibu itu terus seseak dadanya, dan ketika itulah ia
menghembuskan nafasnya meninggalkan dunia yang fana ini, kembali ke
rahmatullah, moga-moga Allah mencucuri rahmat ke atas rohnya.
Berkata Aljunaid seterusnya:
Melihat neneknya meninggal dunia, anak kecil itupun
mendekati mayat sambil menangis terisak-isak. Kemudian menengadah ke arah
langit seraya berdoa:
"Ya Allah, ya Tuhanku! Mengapa Engkau tidak
ambil aku bersama-sama ayahku, dan tidak pula membiarkan aku hidup bersama-sama
nenekku! Ya Allah, lebih baiklah Engkau ambil aku untuk pergi bersama-sama
mereka berdua!"
Dengan tiba-tiba saja sesaklah dada anak kecil itu,
dan ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir, moga-moga Allah merahmati
mereka sekelian.
Saya benar-benar tercengang menyaksikan segala
peristiwa yang baru berlaku itu tadi, dan saya kira alangkah bahagianya
keluarga itu. Saya merawati jenazah itu bersama dengan tetangga mayat itu
dengan sempurna dan baik.
Setelah kami menguburkan jenazah-jenazah itu, maka
dengan hati yang penuh sedih dan pilu hiba, saya meninggalkan kubur-kubur
mereka!.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan