Diceritakan dari Syeikh Ibrahim Al-Khawwas
rahimahullah, bahwasanya dia berkata;
Aku meninggalkan negeriku menuju ke Makkah untuk
berhaji, kali ini tanpa kenderaan dan bekal apa pun. Di tengah perjalanan, aku
tersesat sehingga tidak mengetahui arah mana yang harus dituju. Tiba-tiba
terlihat olehku seorang pendita Nasrani mendatangiku seraya bertanya:
“Wahai Pendita muslim! bolehkah aku menemanimu dalam
perjalanan ini?”
“Boleh, jawabku kepadanya. Memang kebetulan pula,
saya pun tak mempunyai teman yang lain.”
Aku tidak tahu dari mana pendita Nasrani, dan aku
pun tidak mahu bertanya. Hatiku berkata syukur aku telah dikurniai Tuhan
seorang teman, kalau tidak tentu aku akan terus sesat tidak tahu menuju ke
mana.
Kami pun berjalan selama tiga hari tiga malam tanpa
merasakan makan dan minum. Kami merasa terlalu lapar sekali, namun begitu
masing-masing kami terus berdiam diri antara satu dengan yang lain.
Kemudian dengan tiba-tiba pendita Nasrani itu
berkata:
“Wahai pendita muslim! apakah engkau tidak membawa
makanan dan minuman untuk kita menikmati bersama?”
Mendengar pertanyaan itu, aku agak terkejut sedikit.
Selama ini aku berkata di dalam hatiku, apakah si pendita Nasrani ini tidak
membawa bekal makan atau minum. Rupanya dia tidak punya apa-apa, maka dia
bertanya pula kepadaku. Apa yang hendak aku ketakan kepadanya?
“Ya, ada!” tiba-tiba terkeluar dari mulutk kata-kata
yang berani itu.
“Marilah kita nikmati bersama!” usul pendita Nasrani
itu wajah yang tersenyum.
Celaka aku! Aku telah berdusta kepada diriku
sendiri. Di mana ada makanan dan minuman yang akan aku keluarkan? Wajahku pucat
lesi. Tiada jalan lagi bagiku melainkan dengan memohon kernia dari Allah Subhanahuwa
Taala. Aku menengadah ke arah langit, lalu berdoa:
“Ya Tuhan hamba! Wahai pengguasa yang tiada
terbatas! Berilah hamba sesuatu untuk menutup lapar dan dahaga kami berdua ini,
dan janganlah sampai hamba dihinakan di hadapan pendita Nasrani ini! Ya Allah,
Ya Tuhanku! Dengarlah permohonan hamba ini!”
Tanpa diduga, dengan tiba-tiba turunlah dari angkasa
sebuah talam yang berisi roti, daging dan sekendi air. Kamipun memakannya
berdua sehingga kenyang, serta bersyukurlah kami kepada Tuhan Maha Pemurah yang
telah menurunkan kurniaNya secara luarbiasa itu.
Kemudian kamipun melanjutkan perjalanan kami tanpa
membicarakan apa-apapun tentang bagaimana turunnya makanan dan minuman dari
angkasa itu. Orang Nasrani itu nampaknya kelihatan tidak hairan, seolah-olah
perkara serupa itu adalah biasa saja. Namun begitu aku tetap takjub tentang hal
itu, kerana itu adalah yang pertama kali berlaku atas diriku.
Kini, sudah tiga hari tiga malam, kami berjalan lagi
tanpa makan dan minum apapun. Maka pada hari keempat, aku berkata pula kepada
pendita Nasrani itu:
“Wahai pendita Nasrani! Kini giliranmu pulalah untuk
mengeluarkan apa yang yang ada padamu untuk kita makan dan minum bersama!”
“Baiklah,” jawabnya tenang saja. Aku hairan, dan aku
ingin lihat apa pula yang dibuatnya.
Pendita Nasrani itu lalu menengadah ke arah langit
lalu berdoa. Tiba-tiba meluncur turun dua buah talam yang penuh dengan makanan
dan minuman.
“Sila makan!” pelawa pendita Nasrani itu. “Ini ada
dua hidangan satu untukmu satu untukku.”
Aku tercengang, tidak tahu apa yang hendak aku
katakan. Bila dulu aku meminta kepada Allah untuk menurunkan makanan, aku hanya
mendapat satu talam saja. Kini si pendita Nasrani ini mendapat dua talam.
“Sila makan!” pelawanya sekali lagi.
“Tidak! Demi Allah, aku tak akan memakanya sebelum
kau menjelaskan terlebih dulu tentang makanan dan minuman ini!” kataku Kepada
pendita Nasrani itu.
Pendita itu lalu menjawab dengan riang gembira,
katanya:
“Selama saya menemani tuan, benar-benar saya
tertarik kepada amalanmu itu, dan saya yakin bahwa selama ini diriku dalam
kesesatan yang nyata, dan jelas sekali saya tak mampu berbuat seperti dengan
perantaraan Kesalihan tuan dan kekeramatan tuan di sisi Allah, Semoga Allah
berkenan memberi kami makanan dan minuman. Dan rupanya doa itu dikabulkan
Tuhan, dan inilah dia makanan dan minuman yang diberikanNya, dan DiberikanNya
kita dua talam pula sebagai kurnia hidangan daripadaNya. Maka sekarang,
saksikanlah bahwa saya telah memeluk islam: “Asyhadu Illaaha Illallaah, Wa
Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah!”
Alangkah gembiranya hatiku bila mendengar penjelasan
tuan pendita itu. Aku terus merangkulnya dengan perasaan yang terharu, dan
hatiku gembira tidak pernah gembira seperti hari ini. Kemudian kami pun makan
dan minum bersama.
Selesai makan dan minum, dia lalu bertanya kepadaku:
“Ke mana tujuanmu dari sini?”
“Aku akan ke Mekah untuk naik haji,” jawabku.
“Aku akan mengikutmu ke sana juga,” jawab pendita
itu pula.
Kami pun meneruskan perjalan menuju ke Makkah untuk
berhaji bersama-sama pula. Sewaktu kami berada di Mekah, pada suatu ketika ,
aku kehilangan dirinya, lalu aku mencarinya ke sana ke mari, sehingga aku
menemukannya sedang giat bershalat di suatu tempat yang terlindung dari
pandangan orang ramai. Aku pun menunggunya di situ sehinggalah ia selesai dari
shalatnya. Aku lalu memberi salam kepadanya. Ia menjawab salamku itu dengan
baik dan penuh gembira. Kemudian ia berkata pula:
“Tuan! Rupa-rupanya aku terasa diriku ini akan
segera pergi untuk mengadap Tuhan Rabbul-alamin!”
“Bagaimana kau tahu?!” tanyaku ingin mengatahui.
“Aku tahu,” jawabnya pendek sahaja.
Dia lalu menghulurkan tangannya sambil berkata:
“Aku berdoa moga-moga persahabatan kita ini
diteruskan Allah nanti ketika kita berada di akhirat nanti!” dia lalu menggoyang-goyangkan
tanganya ke tangan tanda mesra.
“Amin!” jawabku.
Dia bangun untuk meneruskan shalatnya, tiba-tiba ia
menggeletar hebat, lalu jatuh di tempat shalatnya, dan sambil membaca dua
kalimah syahadat, dia menghembus nafasnya yang terakhir. Wajahnya kelihatan
tenang dan bercahaya.
Aku merasa sangat sedih kerana kehilangan seorang
teman yang baik sepertinya. Aku kemudian memandikanya, mengkafankannya,
menshalatinya, kemudian menguburkannya.
Dan pada malam itu, aku memimpikannya sedang
berpakaian yang sangat indah, di tempat kediaman yang amat indah pula. Aku pun
bertanya kepadanya:
“Bukankah kau ini temanku?”
“Benar!” jawabnya.
“Alhamdulillah,” ucapku untuknya.
Dia ketawa suka dan riang sekali.
“Bagaimana sambutan Allah kepadamu?” aku bertanya
kepadanya.
“Aku datang kepadaNya dengan membawa dosa yang
bertumpuk-tumpuk, namun Allah berkenan mengampuniku, kerana aku telah berbaik
sangka kepadaNya, dan semoga Allah menjadikanku sebagai temanmu nanti di
akhirat,” dia memberitahuku.
Aku pun terjaga dari mimpiku itu, dan merasa sangat
gembira sekalI
Tiada ulasan:
Catat Ulasan