Catatan Popular

Isnin, 15 Julai 2013

MENEROKA PONTENSI HATI

Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, bahwa ilmu laduni adalah ilmu yang terbit dari kekuatan ruhani atau dengan istilah “ilmu rasa”, sedang ilmu yang lain adalah dari kekuatan potensi akal dan potensi fikir atau dengan istilah “ilmu rasio”. Adalah ibarat dua lautan yang tidak bertepi. Titik pertemuan dua ilmu tersebut—di dalam hati seorang hamba,— adalah dugaan tempat terbitnya ilmu laduni. Oleh karena itu, pertemuan kedua sosok tersebut (nabi Musa dan nabi Khidhir) sebagai sosok karakter—bukan sosok personal—adalah lambang sumber ilmu laduni yang harus digali oleh para salik di dalam karakternya sendiri. Karakter tersebut dibentuk dengan ilmu, iman, amal dan akhlakul karimah. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah SWT. Kepada Musa as. saat berdialog dengan-Nya, "Yaitu seseorang yang paling berilmu tinggi adalah ketika dia telah mampu menyampaikan ilmu orang lain kepada ilmunya sendiri".

Seandainya—sebagai seorang murid—nabi Musa mau mengalah dan percaya kepada nabi Khidhir, membenarkan perbuatan gurunya, yang notabene menurut dirinya adalah salah, dengan diam tidak bertanya, sambil mencari rahasia kebenaran yang dikandungnya melalui proses pengaksesan kepada

“potensi-potensi fasilitas ilmu laduni” yang telah disiapkan oleh Allah bagi setiap manusia, maka akan dibuka di hatinya rahasia-rahasia dan hikmah urusan yang ghaib di balik kejadian-kejadian yang lahir tersebut, sehingga akan terbit suatu pemahaman yang baru terhadap hal yang selama ini belum pernah dipahami sama sekali. Adalah proses yang datangnya tidak terduga merupakan sebab-sebab pertama dari terbukanya “rahasia sumber ilmu laduni” di dalam hati seorang hamba. Tidak dengan sebaliknya, yaitu hanya memaksakan ilmunya supaya diterima oleh ilmu orang lain, ketika terjadi konflik ilmiyah di dalam pikirannya.

Keadaan tersebut, sebagaimana yang digambarkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran - Dan tidaklah urusan Kami kecuali hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata QS.al-Qomar/49-50.

Dalam waktu yang kadang-kadang relatif kurang dari satu detik itu apa saja bisa terjadi, suatu pengertian yang selama ini belum diketahui, dapat terbit dalam hati yang luasnya tidak dapat tertampung baik oleh ucapan maupun tulisan, bahkan kadang-kadang dapat menghidupkan kemampuan daya kreasi yang selama ini belum pernah dimiliki oleh seseorang. Seperti orang bermimpi, yang kadang-kadang hanya sekejap tapi jalan ceritanya mampu diceritakan sepanjang hari, bahkan tidak habis-habis meski diceritakan sehari semalam, layaknya kejadian seumur hidup terulang kembali. Yang demikian itu adalah sunnatullah, siapapun berpotensi dapat memasukinya, asal terlatih dengan bimbingan yang benar.

Seperti itulah arti kesalahan seorang murid terhadap gurunya, dia melanggar perjanjian yang sudah disepakati bersama, sehingga murid terlepas dari kesempatan emas untuk mendapatkan sumber ilmu laduni yang sudah di depan mata. Bukan ilmu dan pengalaman yang sudah ada yang disalahkan akan tetapi cara memanfa’atkannya yang harus lebih mendapatkan perhatian. Seorang murid yang sudah bai’at (melaksanakan janji untuk mengikuti) kepada gurunya, sedikitpun tidak boleh mempunyai prasangka jelek kepada gurunya, meski dihadapkan kepada perbuatan maksiat. Seorang guru mursyid, seperti seorang dokter, memang terkadang harus mampu berbuat jelek kepada muridnya. Itu seperti seorang Dokter ketika dia mengadakan pembedahan untuk mengangkat penyakit yang ada dalam jasad pasien, guru mursyid pun demikian. Ketika guru mursyid harus menguji murid-muridnya dengan perbuatan yang tidak masuk akal sehat, menyakiti perasaan dengan menjatuhkannya di depan orang banyak umpamanya, hal tersebut sejatinya semata-mata untuk mengangkat penyakit-penyakit ruhani yang ada dalam karakter muridnya. Yang demikian itu adalah bagian tarbiyah yang harus mampu dilaksanakan oleh seorang guru mursyid kepada anak-anak asuhnya. Kejadian seperti itu pernah terjadi pada diri Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. ketika menjalani tarbiyah dari nabi Khidhir as., padahal asy-Syekh, tidak mengenalnya, asy-Syekh diperintah untuk tinggal di suatu tempat selama tiga tahun, dan hanya setahun sekali nabi Khidhir as. mengunjunginya.

Nabi Khidhir berkata kepadanya: “Perbedaan pendapat (antara murid dan gurunya) akan menjadi sebab perpisahan”. *Lujjainid dani*.

Sebagai bagian bentuk pengabdian yang harus dilakukan, suatu saat seorang murid harus mampu mengosongkan akalnya dari ilmu yang sudah dimiliki untuk membenarkan perbuatan gurunya walau menurut ilmunya perbuatan gurunya itu salah. Hal itu bertujuan, ketika telah terjadi pengosongan supaya “nur ilmu” yang dipancarkan seorang guru mursyid—niat di balik ujian yang diberikan—mampu mengisi bilik akal yang sudah terkondisi tersebut.

Seperti menanam bibit, kadang-kadang di tanam pada waktu yang tepat—setelah tanah siap tanam—adalah yang lebih menentukan kwalitas tanaman itu daripada bibit itu ditanam pada waktu yang tidak tepat. Adalah urusan-urusan “dalam” (ruhani) yang harus dimengerti oleh seorang salik, seperti ilmu teori, supaya praktek yang dijalankan tidak salah jalan. Ketika terjadi pergolakan di dalam hati, sakit hati akibat terpaksa harus membenarkan orang lain yang semestinya menurut ilmu syari’at salah, arus itu menimbulkan hawa panas dalam hati yang akan mampu membakar hijab-hijab. Hal tersebut merupakan mujahadah “bil hal” (mujahadah hati) yang harus dilaksanakan oleh murid. Saat itulah, ketika kristal-kristal hijab berhasil dilelehkan oleh hawa panas yang membakar hati, lalu kristal itu larut di dalam samudera ilmu Allah yang tidak terbatas, dengan izin Allah Ta’ala, pintu matahati seorang hamba akan terbuka, sehingga yang selama ini ghaib menjadi nyata dalam pandangan hati. Itulah pengendapan ilmu, ketika seorang hamba mampu melaksanakannya, maka garis-garis urat wajah akan ikut tertata sehingga sinar wajah menjadi cemerlang dan menyejukkan. Mujahadah di jalan Allah tidak selalu dengan melaksanakan wirid dan dzikir saja. Namun juga menerima pendapat orang lain, memaafkan kesalahan, membiarkan dirinya dihina dan difitnah, adalah mujahadah yang jauh lebih berat, akan tetapi juga dapat menghasilkan kemanfaatan yang lebih utama: “Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kamitunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yangberbuat baik”. QS.al-Ankabut/69.

Kadang-kadang hanya sekedar untuk mencabut rasa sombong yang sudah mengakar dalam karakter

manusia, eksistensi orang tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu dengan musibah dan fitnah-fitnah. Hal itu bertujuan supaya hatinya bersih dari sifat pengakuan diri yang dapat menerbitkan rasa sombong dan kemudian supaya mampu bertaubat kepada Allah Ta’ala dengan taubatan nasuha. Seperti hutan ketika akan dibuka untuk lahan pertanian, setelah tanaman-tanaman ditebang kemudian dibakar, dan ketika hujan turun, baru kemudian tanah itu menjadi subur dan siap ditanami. Oleh karena manusia tidak mampu melaksanakan pensucian (tazkiyah) dengan pilihan hatinya sendiri, maka Allah Ta’ala membuka jalan dengan pilihan-Nya. Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jilani ra. berkata : Apabila kebiasaan (buruk) telah mendominasi kehidupan manusia tanpa adanya kemauan untuk mensucikannya, Allah mengujinya dengan didatangkan berbagai penyakit (baik lahir maupun batin), sebagai peleburan dosa dan pensucian, supaya dia pantas menghadap (mujalasah) dan mendekatkan diri kepada

Allah. Yang demikian itu dikehendaki maupun tidak”.*Lujjainid Dani*

Setelah hati menjadi bersih dari sifat basyariyah yang tidak terpuji, disadari maupun tidak, ilmu yang didengar, walau sedikit akan tumbuh berkembang dalam ingatan. Sebab, seperti tanah, hati yang subur itu akan mudah menerima ilmu serta mengembang-kannya dengan tanpa terbatas : “Sebab itu sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku “ (yaitu) orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. QS.az-Zumar/17-18.

Kadang-kadang datangnya sumber “ilmu laduni” tersebut dimulai dengan kejadian di alam mimpi-mimpi. Seorang murid bertemu dengan gurunya misalnya, baik yang masih hidup maupun sudah mati, dia mendapatkan perintah dengan isyarat yang masih samar. Akan tetapi setelah bangun dari tidur, menjadikan tumbuhnya semangat yang kuat untuk melaksanakan benah-benah diri dan ibadah. Setelah isyarat mimpi itu ditindaklanjuti dengan mujahadah serta perjalanan ruhaniyah yang terencana, saat berikutnya, hatinya mendapatkan “futuh” dari Tuhannya sehingga isyarat-isyarat yang terdahulu masih samar tersebut kini menjadi kenyataan.

Sebagian besar para Nabi juga diperjalankan dengan cara demikian : “Sesungguhnya kamu telah4 Perintah kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putranya, Nabi Isma’il as. juga dimulai dengan datangnya mimpi yang berturut-turut sebanyak tiga kali (Muqotil-Tafsir Qurthubi). Demikian juga “Futuh al-Makkah”. (kembalinya tanah kelahiran Nabi Muhammad saw. tersebut kepangkuan baginda Nabi). Dengan mimpi-mimpi itu dijadikan sebagi isyarat dariNya, maka membenarkan mimpi itu

", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” .QS.ash-Shooffat/105.

Sebab, sesungguhnya hati para Nabi tidak pernah tidur walau matanya sedang tidur. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya keadaan para Nabi, mata-mata kami tidur akan tetapi hati-hati kami tidak tidur. (Tafsir Qurthubi)

Tiada ulasan: