Catatan Popular

Ahad, 20 November 2016

KITAB RAHSIA ZAKAT IHYA ULUMUDDIN KITAB: FASAL 3 Adab bathiniah yang halus-halus tentang zakat.



PENJELASAN: ADAB BATHINIAH

Ketahuilah, bahwa atas orang yang berkehendak jalan akhirat, dengan zakatnya, mempunyai beberapa tugas:

Tugas pertama: memahami kewajiban dan pengertian zakat serta cara ujian padanya. Dan mengapakah zakat itu dijadikan sebahagian dari sendi-sendi Islam, padahal dia adalah penyerahan keuangan dan tidak daripada ibadah badaniah ?. Mengenai ini, terdapat 3 pengertian:

      1.       Mengucapkan dua kalimah syahadah, adalah suatu kemestian bagi tauhid dan pengakuan dengan keesaan yang disembah. 

Syarat bagi kesempurnaan ucapan itu, ialah tidak ada bagi orang yang bertauhid, yang dicintainya selain dari Yang Maha Esa, Yang Tunggal. Karena kecintaan, tidak menerima perkongsian. Dan tauhid dengan lisan itu, kurang faedahnya. Maka diujilah tingkat kecintaan itu, dengan berpisah dari yang dikasihi. Dan harta, adalah amat dikasihi oleh segala manusia. Karena ia alat kesenangan duniawi. Dan dengan harta, manusia itu menyukai dunia dan lari dari mati, padahal, pada mati berjumpa dengan Yang Amat Dikasihi. Maka diujikanlah mereka, tentang kebenaran dakwaannya pada Yang Dicintai. Dan diminta mereka turun dari harta yang menjadi kesayangan dan kesenangannya. Dari itulah, berfirman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan sorga untuk mereka”. S 9 At Taubah ayat 111. Yang demikian itu adalah dengan jihad, yakni: kesedihan berkorban karena rindu hendak berjumpa dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kesediaan dengan harta, adalah lebih mudah. Manakala pengertian ini telah dipahami, mengenai penyerahan harta, maka terbagilah manusia kepada 3 bahagian:

Bahagian pertama: mereka membenarkan tauhid, menyempurnakan janjinya dan turun dari semua hartanya, tidak disimpankannya, meskipun sedinar atau sedirham. Lalu mereka enggan menghadapi kewajiban zakat atas mereka. Sehingga ditanyakanlah kepada sebahagian mereka: “Berapakah yang wajib untuk zakat pada 200 dirham ?”. Lalu ia menjawab: “Adapun atas orang awam, yang bodoh dengan hukum syari’at, ialah 5 dirham. Adapun kami, maka wajiblah menyerahkan semuanya”. Karena inilah, maka Abu Bakar ra menyedekahkan semua hartanya dan Umar ra dengan setengah hartanya. Lalu bertanya Nabi saw: “Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”. Menjawab Umar ra: “Sebanyak itu lagi !”. Dan bertanya Nabi saw kepada Abu Bakar ra: “Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu ?”. Menjawab Abu Bakar ra: “Allah dan RasulNya”. Maka menyambung Nabi saw: “Diantara kamu berdua ialah, apa yang diantara kata-kata kamu berdua !”. Abu Bakar Siddik, menyempurnakan dengan kesempurnaan kebenarannya, lalu tidak dipegangnya, selain dari Yang Amat Dicintainya, yaitu: Allah dan RasulNya.
       
 Bahagian kedua: derajat mereka, kurang dari derajat yang di atas tadi. Mereka memegang hartanya, menggunakan segala waktu menunaikan hajat dan musim-musim berbuat yang baik. Tujuan mereka dengan menyimpan harta itu, ialah untuk berbelanja sekedar hajat, tidak untuk bersenang-senang. Dan menyerahkan yang lebih dari hajat itu, kepada jalan kebajikan, manakala telah terang cara-caranya. Mereka tidak merasa cukup sekedar zakat saja. Segolongan dari tabi’in, berpendapat bahwa pada harta itu terdapat beberapa hak, selain dari zakat, seperti an-Nakha’i, Asy-Sya’bi, ‘Atha’ dan Mujahid. Menjawab Asy-Sya’bi, setelah ditanyakan kepadanya: “Adakah pada harta itu, hak selain dari zakat ?”, dengan mengatakan: “Ada ! apakah engkau tidak mendengar firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan diberikannya harta yang dikasihinya itu kepada kerabatnya, anak-anak piatu, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta dan untuk melepaskan perbudakan”. S 2 Al Baqarah ayat 177. Mereka membuat dalil dengan firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Dan menafkahkan (membelanjakan di jalan kebaikan), sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. S 2 Al Baqarah ayat 3 dan dengan firman Allah Ta’ala: “Nafkahkanlah sebahagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 254. Mereka mendakwakan, bahwa itu tidaklah mansukh dengan ayat-ayat zakat. Tetapi termasuk ke dalam bahagian hak seorang muslim terhadap seorang muslim. Artinya: wajiblah atas orang yang mampu, bilamana menjumpai orang yang memerlukan kepada uang, menyampaikan hajatnya, lebih-lebih dari harta zakat. Dan yang syah dalam ilmu fiqih dari bab ini, ialah manakala hajat seseorang itu, bila tidak dipenuhi dapat menghilangkan nyawanya, maka memenuhi hajat tersebut adalah fardlu kifayah. Karena tidak boleh disia-siakan nyawa seorang muslim. Tetapi mungkin dikatakan, bahwa tidaklah wajib atas orang yang mampu, selain daripada menyerahkan sesuatu yang menyampaikan hajat itu, secara hutang. Dan tidak dimestikan memberikan, sesudah ia menyelesaikan zakatnya sendiri. Dan mungkin pula dikatakan, harus ia menyerahkan sekarang juga dan tak boleh secara diperhutangkan. Artinya: tidak boleh diberatkan orang fakir itu menerima hutang. Dan inilah yang diperselisihkan !. Berhutang, adalah turun ke tingkat yang terakhir dari tingkat orang awam. Yaitu: tingkat: Bahagian ketiga: dimana orang awam itu, berkisar kepada menunaikan yang wajib saja. Mereka tidak menambahkan dan mengurangkan daripadanya. Inilah tingkat yang paling kurang keutamaannya ! segala orang awam berkisar pada yang wajib saja, karena kebakhilan dan kecondongan hati mereka kepada harta, serta lemah kecintaan mereka kepada akhirat. Berfirman Allah Ta’ala: “Jika itu dimintaNya kepada kamu dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37. Artinya: berulang kali Ia meminta kepadamu. Berapa banyak, diantara hambaNya yang dibeli oleh Allah akan harta dan nyawanya, dengan sorga dan diantara hamba yang tidak didesak oleh Allah karena kebakhilannya. Inilah salah satu pengertian perintah Allah swt kepada hambaNya, dengan memberikan harta !.

2.                 Mensucikan diri daripada sifat kebakhilan, karena itu adalah sebahagian dari sifat-sifat yang membinasakan. Bersabda Nabi saw: “3 sifat membinasakan: memperturut kebakhilan, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri”. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran jiwanya, merekalah orang-orang yang beruntung”. S 59 Al Hasyr ayat 9. Dan akan datang nanti pada “Rubu Yang Membinasakan”, penjelasan caranya sifat kekikiran itu membinasakan dan bagaimana menjauhkan diri daripadanya. Sesungguhnya sifat kebakhilan itu, dapat dihilangkan dengan membiasakan memberikan harta. Mencintai sesuatu itu, tidak akan putus, kecuali dengan memaksakan diri berpisah daripadanya, sehingga menjadi itu nanti suatu kebiasaan. Maka dengan pengertian ini, zakat adalah pencuci, artinya: mensucikan pembayar zakat dari kekejian kikir yang membinasakan. Kesucian itu menurut kadar pemberiannya dan kegembiraannya dengan mengeluarkan harta serta kesenangannya menyerahkan harta itu karena Allah Ta’ala.

3.                 Mensyukuri nikmat. Karena Allah Ta’ala mempunyai nikmat pada hambaNya, pada diri dan harta hamba itu. Maka segala ibadah badaniah, adalah kesyukuran bagi nikmat badan. Dan ibadah maliah (ibadah kehartaan), adalah kesyukuran bagi nikmat harta. Alangkah kejinya orang yang melihat kepada seorang fakir, yang berpenghidupan sempit dan memerlukan kepada pertolongannya. Lalu ia tidak bersedia menunaikan kesyukurannya kepada Allah Ta’ala, di mana ia tidak memerlukan kepada meminta-minta dan orang lain memerlukan kepadanya, dengan menyerahkan 1/40 atau 1/10 dari hartanya !.

Tugas kedua: mengenai waktu pembayaran zakat. Diantara adab orang yang beragama, ialah menyegerakan zakat dari waktu wajibnya, untuk melahirkan kegemaran mengikuti perintah Allah, dengan menyampaikan kesenangan ke dalam hati orang-orang fakir dan menyegerakan dari penghalang-penghalang masa, yang menghalanginya dari perbuatan kebajikan. Dan karena mengetahui, bahwa dengan melambatkan itu, timbul bahaya-bahaya serta kemaksiatan yang mendatangi seorang hamba, kalau diperlambatkan daripada waktu wajibnya. Manakala telah lahir dari bathin panggilan kepada kebajikan, maka seyogyalah dirampas kesempatan itu. Karena yang demikian itu, adalah kawan malaikat. Dan hati orang mu’min, ialah antara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih. Alangkah cepatnya hati itu bertukar ! dan setan menjanjikan kemiskinan, menyuruh dengan yang keji dan mungkar. Dia mempunyai teman, dibalik teman malaikat. Dari itu, hendaklah diambil kesempatan yang baik. Dan hendaklah ditentukan suatu bulan tertentu untuk menunaikan zakat, jika ditunaikan seluruhnya. Hendaklah diusahakan, supaya adalah bulan itu, waktu yang sebaik-baiknya, agar yang demikian menjadi sebab, bagi bertambah mendekatkannya kepada Tuhan dan berlipat-ganda pahala zakatnya. Seperti bulan Muharram umpamanya, karena dia adalah awal tahun dan termasuk diantara bulan-bulan haram atau bulan Ramadlan. Adalah Nabi saw makhluk Allah yang terbaik dan pada bulan Ramadlan, ia seperti angin yang dikirim, tidak memegang sesuatu benda pada tangannya. Bulan Ramadlan itu, mempunyai kelebihan dengan Lailatul-qadar dan Alquran diturunkan pada bulan Ramadlan. Mujahid mengatakan: “Janganlah kamu katakan “Ramadlan”, karena dia adalah suatu nama dari nama-nama Allah Ta’ala, tetapi katakanlah “bulan Ramadlan”. Bulan Dzulhijjah juga termasuk sebahagian dari bulan yang banyak kelebihannya. Karena dia bulan haram, padanya haji akbar dan hari-hari tertentu, yaitu: 10 yang pertama dan hari-hari yang terbilang, yaitu: hari-hari tasyriq. Hari-hari bulan Ramadlan yang terutama, ialah 10 yang akhir dan hari-hari bulan Dzulhijjah yang terutama, ialah 10 yang awal.

Tugas ketiga: dirahasiakan, karena dengan demikian, menjauhkan dari ria dan terdengar ke mana-mana. Bersabda Nabi saw: “Sedekah yang terbaik, ialah kesungguhan dari orang yang sedikit hartanya, menyerahkan sebahagian daripadanya kepada orang fakir dengan dirahasiakan”. Berkata setengah ulama: “3 perkara daripada gudang kebajikan. Sebahagian daripadanya, ialah menyembunyikan sedekah”. Dan diriwayatkan pula suatu hadits musnad, yaitu sabda Nabi saw: “Sesungguhnya hamba itu hendaklah berbuat amalan dalam rahasia, maka dituliskan Allah baginya secara rahasia. Jikalau dilahirkannya, maka dipindahkan oleh Allah dari rahasia dan dituliskan dalam keadaan terang. Jika diceritakannya amalan itu kepada orang, maka dipindahkan oleh Allah dari keadaan rahasia dan terang dan dituliskan ria”. Pada suatu hadits masyhur, tersebut: “7 orang dinaungi mereka oleh Allah, pada hari tak ada naungan, selain daripada naungan Allah. Seorang dari mereka, ialah orang yang bersedekah dengan suatu sedekah, maka tidak diketahui oleh tangan kirinya, apa yang diberikan oleh tangan kanannya”. Pada suatu hadits tersebut: “Sedekah secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan”. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan kalau kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu adalah lebih baik bagi kamu”. S 2 Al Baqarah ayat 271. Faedah menyembunyikan, ialah terlepas dari bahaya ria dan kedengaran keluar. Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh Allah sedekah dari orang yang memperdengarkan sedekahnya kepada orang lain, memperlihatkannya kepada orang lain dan membangkitkannya”. Orang yang menceritakan sedekahnya itu, ialah mencari nama supaya terdengar keluar. Dan orang yang memberikan sedekah di hadapan orang banyak, ialah ingin ria. Sedang menyembunyikan dan berdiam diri sesudah bersedekah, adalah orang yang ikhlas dengan sedekahnya. Segolongan dari ulama telah bersangatan benar menerangkan keutamaan menyembunyikan sedekah itu, sehingga dengan bersungguh-sungguh mereka mengatakan, bahwa yang menerima itu tidak mengenal yang memberi. Sebahagian mereka meletakkan sedekahnya dalam tangan orang buta dan sebahagian mereka meletakkannya pada jalan yang dilalui orang fakir dan pada tempat duduk orang fakir, di mana orang fakir itu dapat melihatnya dan tidak melihat yang memberikannya. Dan sebahagian mereka meletakkannya dalam kain orang fakir, ketika ia masih tidur. Dan sebahagian lagi menyampaikannya ke tangan orang fakir, dengan perantaraan orang lain, di mana orang fakir itu tidak mengenal si pemberi. Dan dimintanya pada perantara, supaya menyembunyikan namanya dan tidak menyiarkannya ke mana-mana. Semua itu, adalah supaya sampai kepada memadamkan kemarahan Tuhan Yang Maha Suci dan memeliharakan diri dari ria dan terdengar keluar. Bilamana tidak mungkin, selain dengan diketahui oleh seseorang, maka menyerahkannya kepada wakil, supaya wakil itu menyerahkan kepada orang miskin dan orang miskin itu tidak mengenal si pemberi, adalah cara yang sebaik-baiknya. Karena dengan dikenal oleh si miskin itu, mengandung ria bersama dengan disebut-sebut.

 Dan dengan dikenal oleh si perantara, tidak adalah, selain dari ria saja. Manakala ada kemasyuhran yang dimaksudkan bagi si pemberi, maka batallah amalnya. Karena zakat adalah menghilangkan kekikiran dan melemahkan kecintaan kepada harta. Dan mencintai kemegahan, adalah lebih hebat pengaruhnya kepada diri daripada mencintai harta. Kedua-duanya itu membinasakan di akhirat. Tetapi, sifat kikir, bertukar di dalam kubur, sebagai perumpamaan, menjadi seekor kala yang menyengat. Dan sifat ria bertukar di dalam kubur menjadi seekor ular besar. Dari itu, disuruh melemahkan kedua-duanya atau membunuh kedua-duanya, untuk menolak atau meringankan kesakitan dari kedua-duanya. Manakala dimaksudkan ria dan didengar orang, maka seolah-olah dijadikan sebahagian dari kaki kala, untuk menguatkan ular. Berapa yang lemah dari kala maka itu menambahkan pada kekuatan ular. Kalau keadaan itu dibiarkan, sebagaimana yang ada, niscaya adalah urusan itu, lebih mudah baginya. Kekuatan sifat-sifat tersebut di atas, di mana kekuatannya bertambah, ialah dengan berbuat, menurut yang dikehendaki oleh sifat-sifat itu. Dan kelemahannya, ialah dengan menantang, menyalahi dan berbuat kebaikan daripada yang dikehendakinya. Maka apakah faedahnya, menolak pangilan kekikiran dan menyambut panggilan keriaan ? lalu lemah yang lebih lemah dan kuat yang lebih kuat ? dan akan datang penjelasan segala rahasia dari pengertian-pengertian ini, pada “Rubu Yang Membinasakan”.

Tugas keempat: bahwa dilahirkannya, bila diketahuinya, bahwa pada melahirkan itu, membawa manusia suka mengikutinya dan berusaha merahasiakannya dari panggilan ria: dengan jalan yang akan kami sebutkan, tentang pengobatan ria, pada Kitab Ria nanti. Berfirman Allah Ta’ala: “Kalau kamu memberikan sedekah dengan terang, itu baik”. S 2 Al Baqarah ayat 271. Dan yang demikian itu dikehendaki oleh keadaan untuk dilahirkan, adakalanya, untuk diikuti orang dan adakalanya karena peminta itu meminta di hadapan orang banyak. Maka tidak seyogyalah ditinggalkan bersedekah, karena takut dari ria pada melahirkannya. Tetapi seyogyalah bersedekah dan menjaga rahasianya daripada ria, sedapat mungkin. Inilah, karena pada melahirkan itu ditakuti hal ketiga, selain daripada disebut-sebut dan ria, yaitu: merusakkan kehormatan si fakir. Karena mungkin si fakir itu, merasa tersinggung, dengan memperlihatkannya dalam bentuk orang yang memerlukan kepada sesuatu. Maka orang yang meminta secara terus-terang, adalah ia telah merusakkan kehormatannya sendiri. Maka tidaklah ditakuti lagi pengertian tadi, pada melahirkannya. Dan itu, adalah seperti melahirkan sifat fasiq atas orang yang menutupinya rapat-rapat, maka itu dicegah. Mengorek-ngorek dan membiasakan menyebutkannya, adalah dilarang. Adapun orang yang melahirkannya, maka menjatuhkan hukuman atas orang itu, ialah memperkembangkan berita itu. Tetapi fasiq itu sendiri, yang menjadi sebab untuk dijatuhkan hukuman itu. Dan pengertian yang seperti ini, sabda Nabi saw: “Barangsiapa mencampakkan pakaian malunya, maka tak adalah upatan baginya lagi”. Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan dengan sembunyi dan terang-terangan”. S 13 Ar Ra’d ayat 22. Disunatkan juga dengan terang-terangan, karena dengan terang-terangan itu, memberikan faedah menggemarkan orang mengikutinya. Maka hendaklah hamba itu memperhatikan dengan teliti, tentang timbangan faedah ini, dengan larangan yang ada padanya. Dan hal itu berbeda, menurut keadaan suasana dan orang. Kadang-kadang, secara terang-terangan, pada sebahagian keadaan untuk sebahagian orang, adalah lebih baik. Dan siapa yang mengenal segala yang berfaedah dan yang merusakkan, tanpa memandangnya dengan pandangan hawa nafsu, niscaya teranglah baginya yang lebih utama dan yang lebih layak dalam segala hal.

Tugas kelima: jangan dibatalkan sedekah itu, dengan menyebut-nyebut dan menyakitkan hati orang yang menerimanya. Berfirman Allah Ta’ala: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza)”. S 2 Al Baqarah ayat 264. Berbeda pendapat diantara para ulama, tentang hakikat menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza). Ada yang mengatakan, al-manni, yaitu: menyebut-nyebut sedekah yang diberikan. Dan al-adza, yaitu: melahirkannya kepada orang lain. Berkata Sufyan: “Barangsiapa membangkit-bangkitkan sedekahnya, niscaya sedekah itu batal”. Lalu orang bertanya kepadanya: “Bagaimana membangkit-bangkitkan itu ?”. Sufyan menjawab: “Bahwa ia menyebut-nyebutkan dan menceritakannya”. Setengah ulama mengatakan, bahwa al-manni, ialah meminta pada orang yang diberikan sedekah itu, supaya memberikan tenaga, demi kepentingan orang yang memberi sedekah. Dan al-adza, ialah menghinakan orang yang diberikan sedekah itu, dengan sebab kemiskinannya. Ada yang mengatakan, bahwa al-manni, ialah yang memberi itu menyombongkan diri karena pemberiannya. Dan al-adza, ialah menggertak dan mengeluarkan kata-kata keji kepada orang miskin, dengan sebab meminta. Bersabda Nabi saw: “Tidak diterima oleh Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”. Padaku, al-manni itu, mempunyai pokok pangkal dan tempat tumbuhnya. Yaitu sebahagian dari ikhwal hati dan sifatnya. Kemudian, bercabang kepadanya segala keadaan yang zhahir, pada lisan dan anggota badan. Pokok pangkalnya, ialah si pemberi itu memandang dirinya telah berbuat baik dan menganugerahkan nikmat kepada si penerima. Sedang sebenarnya, hendaklah dia memandang, bahwa si fakir itu telah berbuat baik kepadanya, dengan bersedia menerima hak Allah yang ada padanya, yang menjadi kesucian dan kelepasannya daripada api neraka. Kalau tidaklah si fakir itu bersedia menerimanya, niscaya tetaplah ia berhutang dengan hak itu. Maka menjadi kewajibannya, menahan diri kepada membangkit-bangkitkan sedekah yang diberikan kepada orang fakir, lantaran si fakir itu telah membuat tapak tangannya, sebagai ganti dari Allah Ta’ala untuk menerima hakNya ‘Azza Wa Jalla. Bersabda Nabi saw: “Bahwa sedekah itu jatuh dengan tangan (kekuasaan) Allah ‘Azza Wa Jalla, sebelum jatuh pada tangan yang meminta”. Maka hendaklah diyakininya, bahwa ia menyerahkan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla hakNya dan orang fakir itu mengambil daripada Allah Ta’ala rezekinya, setelah jadinya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau ia berhutang pada seseorang, lalu orang itu menyerahkan kepada budaknya atau pelayannya yang menjadi tanggung jawabnya, tentang kehidupan budak atau pelayan itu, untuk menagih hutang tadi, maka keyakinan dari yang membayar hutang, bahwa penerima hutang itu di bawah pengaruhnya adalah sangat dungu dan bodoh. Karena yang berjasa kepadanya, ialah orang yang menanggung belanja hidupnya. Adapun dia, hanyalah melunaskan apa yang menjadi kewajibannya, disebabkan sudah membeli apa-apa yang disukainya. Jadi, ia bekerja untuk dirinya sendiri, maka mengapakah ia menyebut-nyebut orang lain ? manakala telah dipahami, pengertian yang tiga, yang telah kami sebutkan tentang pemahaman kewajiban zakat atau satu dari yang tiga itu, niscaya ia tidak melihat dirinya telah berbuat baik, selain kepada dirinya sendiri.
Adakalanya, dengan menyerahkan hartanya, demi melahirkan kecintaannya, kepada Allah Ta’ala atau mensucikan dirinya dari kekejian kikir atau mensyukuri nikmat harta, karena mengharap bertambahnya harta itu. Bagaimanapun adanya, tetapi tak adalah hubungan mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) antara dia dan orang fakir itu, sehingga ia memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir. Manakala terdapat kebodohan itu, dengan memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir, lalu bercabanglah daripadanya pada zhahirnya, apa yang telah disebutkan pada pengertian al-manni, yaitu: membicarakan, menzhahirkan dan meminta balasan dari si penerima itu, dengan ucapan terima kasih, dengan doa, pelayanan, penghormatan, pengagungan, penegakan hak-haknya, mendahulukan di majlis-majlis dan mengikutinya dalam segala hal. Maka ini semuanya, adalah buah daripada al-manni. Dan arti al-manni pada bathin, ialah apa yang telah kami sebutkan itu. Adapun al-adza, zhahirnya ialah menghina dan memberi malu, mengeluarkan kata-kata kasar, bermasam muka dan merusakkan kehormatan si fakir dengan melahirkan pemberian itu serta dengan berbagai macam cara merendahkan orang yang menerima itu. Bathinnya, yaitu sumbernya, ada dua hal:
      1.       Tidak suka melepaskan harta dari tangan dan sangat beratlah yang demikian atas dirinya. Maka yang demikian itu –sudah pasti –menyempitkan makhluk.
      2.       Dia melihat dirinya lebih baik dari orang fakir. Dan orang fakir itu, disebabkan keperluannya, adalah lebih hina daripadanya. Kedua sumber tadi, terjadinya dari karena kebodohan.

Mengenai tidak suka melepaskan harta, itu adalah suatu kedunguan. Karena orang yang tidak suka menyerahkan sedirham, dalam balasan yang menyamai seribu dirham, itu adalah sangat dungu. Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa menyerahkan harta, adalah karena mencari kerelaan Allah ‘Azza Wa Jalla dan pahala pada negeri akhirat Dan itu, adalah lebih mulia daripada apa yang diserahkannya. Atau diserahkannya untuk mensucikan dirinya dari kehinaan kikir atau bersyukur karena mengharap tambahan. Bagaimanapun diumpamakan, tetapi tidak suka menyerahkan harta itu, tak beralasan sama sekali. Mengenai yang kedua, yaitu: memandang dirinya lebih mulia dari si fakir, itu juga tanda kebodohan. Karena kalau diketahuinya kelebihan miskin dari kaya dan diketahuinya bahaya yang dihadapi oleh orang-orang kaya, niscaya tidak akan dihinakannya orang fakir. Bahkan ia mengambil berkat daripada orang fakir dan bercita-cita memperoleh derajat kefakiran itu. Orang-orang kaya yang salih, akan memasuki sorga sesudah orang-orang fakir dengan 500 tahun. Dari itu, bersabda Nabi saw: “Demi Tuhan yang mempunyai Ka’bah ! mereka itu merugi !”. Bertanya Abu Dzar: “Siapakah mereka itu ?”. Nabi saw menjawab: “Mereka yang banyak harta !”. Kemudian, bagaimanakah ia menghinakan orang fakir, padahal orang fakir itu, telah dijadikan Allah Ta’ala tempat ia berniaga. Karena ia mengusahakan harta dengan rajin, memperbanyakkan harta dan bersungguh-sungguh menjaganya sekedar perlu. Dan ia telah dimestikan, bahwa menyerahkan kepada orang fakir sekedar keperluannya. Dan dilarang melebihi daripada itu, yang mendatangkan melarat kepadanya, kalau diserahkan. Maka orang kaya, adalah dilayani untuk berusaha, menghasilkan rezeki orang fakir. Dan dibedakan dari orang fakir, dengan menghadapi kezhaliman, mengalami penderitaan dan menjaga diri dari segala yang tidak perlu, sampai ia mati. Lalu hartanya, dimakan oleh musuh-musuhnya. Jadi, manakala telah tersingkir sifat tidak suka dan berganti dengan suka dan senang dengan taufiq Allah Ta’ala kepadanya, pada pelaksanaan kewajiban dan digenggamkannya harta kepada orang fakir, sehingga terlepas daripada buruknya nasib dengan diterimanya pemberian itu daripadanya, maka hilanglah al-adza, penghinaan, masam muka. Dan bertukarlah dengan kegembiraan. Pujian dan penerimaan kenikmatan itu. Itulah tempat terjadinya al-manni dan al-adza ! Kalau anda mengatakan, bahwa melihat dirinya dalam tingkat orang yang berbuat baik, adalah suatu hal yang sulit. Adakah tanda, yang dapat ia menguji hatinya dengan tanda itu, sehingga ia mengenal bahwa dia tidak melihat dirinya berbuat baik ? Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai tanda yang halus dan jelas. Yaitu: kalau diumpamakan si fakir itu telah berbuat suatu penganiayaan atas dirinya atau si fakir itu menolong musuhnya umpamanya, maka adakah bertambah perlawanan bathinnya dan menjauh hatinya dari si fakir itu, dengan perlawanan bathinnya sebelum bersedekah itu ? Kalau bertambah, maka tidaklah terlepas sedekahnya dari campuran al-manni, karena dengan sebabnya, telah terjadi apa yang sebetulnya, tidak diharapkan terjadi sebelumnya. Kalau anda mengatakan: “Ini adalah soal yang sulit dan tidak terlepaslah hati seseorang daripadanya. Maka apakah obatnya ?”.

Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai obat bathin dan obat zhahir. Obat bathin, ialah mengenal segala hakikat yang telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib itu. Sesungguhnya orang fakirlah yang berbuat baik kepadanya, pada mensucikannya dengan menerima sedekah. Adapun obat zhahir, maka ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh orang yang bersifat dengan al-manni itu. Maka sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang timbul dari budi pekerti yang baik, niscaya akan mencelup hati itu berbudi pekerti yang baik, sebagaimana akan datang segala kunci rahasianya, pada bahagian yang penghabisan dari Kitab ini. Dari itu, sebahagian mereka meletakkan sedekah dihadapan orang fakir dan tegak berdiri dihadapannya, meminta kiranya fakir itu bersedia menerima sedekahnya. Sehingga ia berada dalam bentuk orang yang meminta, disamping ia merasa tidak senang kalau sedekahnya ditolak. Sebahagian mereka membuka tangannya, supaya fakir itu mengambil dari tangannya dan tangan si fakir menjadi di atas. ‘Aisyah dan Ummu Salmah ra apabila mengirimkan sesuatu pemberian kepada orang fakir, mengatakan kepada utusan yang membawa kiriman itu: “Hafalkanlah doa yang dibacakan fakir itu !”. Kemudian, keduanya membalas seperti doa yang dibacakan si fakir seraya mengatakan: “Dengan demikian, ikhlaslah sedekah kami bagi kami”. Mereka sebetulnya, tidak mengharapkan doa, karena itu menyerupai pembalasan. Dari itu, mereka membalas doa yang dibacakan si fakir, dengan doa yang seperti itu pula. Begitulah diperbuat oleh Umar bin Al-Khaththab dan anaknya Abdullah ra. Dan begitu pulalah orang-orang yang menitikberatkan perhatiannya pada hati, mengobati hatinya. Dan tak adalah obatnya dari segi zhahir, selain dari segala amal perbuatan ini, yang menunjukkan kepada kehinaan, kerendahan diri dan menerima nikmat Allah Ta’ala.

Dan dari segi bathin, ialah segala pengetahuan (ma’rifah) yang telah kami sebutkan itu. Ini, dari segi amal perbuatan. Dan yang itu dahulu, dari segi ilmu pengetahuan. Dan tidaklah hati itu diobati, selain dengan obat ilmu dan amal. Syarat ini dari zakat, adalah sejalan dengan jalannya khusyu’ dari shalat. Hal itu, dibuktikan dengan sabda Nabi saw: “Tidaklah bagi manusia dari shalatnya, selain daripada apa yang dipahaminya”. Dan ini, adalah seperti sabda Nabi saw: “Tidak diterima Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan”, dan seperti firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan “al-manni” (menyebut-nyebutkan) dan “al-adza” (menyakitkan)”. S 2 Al Baqarah ayat 264. Adapun fatwa ulama fiqih, dengan jadinya zakat itu menjadi zakat dan terlepasnya tanggung jawab dengan penyerahan yang seperti itu, tanpa syarat yang kami sebutkan, adalah berdasarkan hadits lain, yang sudah kami tunjukkan pengertiannya dalam “Kitab Shalat” dahulu.

Tugas keenam: hendaklah dipandangnya pemberian itu kecil saja. Karena, kalau dipandangnya besar, maka timbullah kebanggaan di dalam hatinya. Dan sifat kebanggaan itu, termasuk sifat yang membinasakan. Dan itu membatalkan segala amal perbuatan. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan di hari perang Hunain, ketika kamu membanggakan diri karena banyak jumlahnya, tetapi jumlah yang banyak itu, tidak menolong kepada kamu sedikitpun”. S 9 At Taubah ayat 25. Dan ada yang mengatakan bahwa taat, kalau dipandang kecil, maka besarlah dia pada sisi Allah Ta’ala. Dan ma’siat kalau dipandang besar, maka kecillah dia pada sisi Allah ‘Azza Wa Jalla. Ada yang mengatakan, bahwa perbuatan baik, tidak akan sempurna, selain dengan 3 perkara: memandangnya kecil, menyegerakannya dan menutupkannya. Dan tidaklah memandangnya besar itu, dinamakan al-manni dan al-adza. Karena kalau diserahkannya hartanya kepada pembangunan masjid atau langgar, niscaya mungkinlah di situ memandangnya besar dan tidak mungkin al-manni dan al-adza. Tetapi membanggakan diri dan memandang amalan itu besar, berlaku dalam segala ibadah. Dan obatnya, ialah ilmu dan amal. Adapun ilmu, yaitu ia mengetahui bahwa 1/10 atau 1/40, adalah sedikit dari yang banyak. Dan dia telah merasa puas bagi dirinya, dengan pemberian ditingkat yang paling rendah itu, sebagaimana telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib dahulu. Dari itu, wajarlah ia merasa malu dari pemberian yang demikian. Bagaimanakah kiranya, ia memandang besar ? kalau naiklah ia ke derajat yang lebih tinggi, lalu memberikan semua hartanya ataupun sebahagian besar daripadanya, maka hendaklah ia memperhatikan, bahwa dari manakah harta itu datang dan kemanakah hendak digunakannya ? Harta itu, adalah kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Allah boleh menyebut-nyebutkannya, karena telah menganugerahkannya kepada seseorang dan memberikan taufiq kepada orang itu untuk menyerahkannya. Maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberiannya pada hak Allah Ta’ala, akan sesuatu yang sebetulnya kepunyaan Allah Ta’ala ? Kalau keadaannya menghendaki, bahwa ia memandang ke akhirat dan memberikannya untuk memperoleh pahala, maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberian yang ditunggukannya pahala yang berlipat ganda ?. Adapun amal, maka ia memberikan harta itu, sebagai pemberian karena malu dari kekikiran, dengan menahan sisa hartanya daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka adalah sifatnya, merasa enggan dan malu, seperti sifat orang yang diminta mengembalikan barang simpanan yang ada padanya. Maka ditahannya setengah dan dikembalikannya setengah, sedang harta seluruhnya adalah kepunyaan Allah ‘Azza Wa Jalla. Menyerahkan seluruhnya adalah lebih disukai Allah swt. Sesungguhnya Dia tidak menyuruhkan hambaNya dengan demikian, karena menyusahkan bagi hamba itu, lantaran kekikirannya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta’ala: “Maka didesakkan Allah akan kamu, niscaya kamu akan kikir”. S 47 Muhammad ayat 37.

Tugas ketujuh: bahwa dipilihnya daripada hartanya yang paling baik, yang paling disayanginya, yang paling mulia dan yang paling cantik. Karena Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima melainkan yang baik. Apabila yang dikeluarkan untuk sedekah itu, dari harta yang diragukan halalnya (harta syubhat), maka kadang-kadang harta itu bukan miliknya secara mutlak. Sehingga tidaklah harta itu menjadi sebagaimana yang diharapkan. Tersebut pada hadits yang diriwayatkan Aban dari Anas bin Malik: “Amat baiklah kiranya bagi seorang hamba, yang mengeluarkan untuk sedekah dari harta yang diusahakannya, tidak dari kemaksiatan”. Apabila yang dikeluarkan itu, tidak daripada harta yang baik, maka itu adalah setengah daripada kurang adab (kurang sopan). Karena mungkin ditahannya yang baik untuk dirinya sendiri atau untuk hambanya atau untuk keluarganya. Jadi ia lebih memilih dan mementingkan orang lain, daripada Allah Ta’ala. Kalau diperbuatnya demikian terhadap tamunya, disuguhkannya makanan yang paling buruk kepada tamu itu di rumahnya, maka sesungguhnya ia menyesakkan dadanya dengan yang demikian. Demikianlah kiranya, kalau ada pandangannya kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Dan kalau pandangannya kepada dirinya sendiri dan pahalanya di akhirat, maka tidaklah namanya berakal, orang yang mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Dan tidaklah harta itu menjadi kepunyaannya, selain daripada apa yang telah disedekahkannya. Maka itulah yang kekal. Atau apa yang telah dimakannya, maka itulah yang binasa. Dan apa yang dimakannya, adalah menunaikan hajat hidup yang sekarang. Maka tidaklah termasuk berakal, orang yang memperhatikan semata-mata kepada masa dekat dan meninggalkan penyimpanan untuk masa depan. Berfirman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman ! nafkahkanlah (keluarkanlah) sebahagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluarkan dari bumi dan janganlah kamu pilihkan yang buruk-buruk diantaranya yang akan kamu nafkahkan; sedangkan kamu sendiri tak mau mengambilnya (kalau diberikan kepada kamu), melainkan dengan memicingkan mata”. S 2 Al Baqarah ayat 267. Artinya: kamu tidak mengambilnya, kecuali dengan merasa benci dan malu. Itulah artinya memicingkan mata.

Maka tidaklah kamu memilihkan Tuhanmu dengan demikian. Pada hadits tersebut: “Didahulukan oleh sedirham, akan 100 ribu dirham”. Yaitu dengan dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya, yang paling halal dan yang paling baik. Maka keluarlah yang demikian itu dengan kerelaan dan kegembiraan memberikannya. Kadang-kadang dikeluarkannya 100 ribu dirham daripada hartanya yang tidak disukainya. Maka yang demikian itu, menunjukkan bahwa dia tidak mengutamakan Allah ‘Azza Wa Jalla, dengan sesuatu yang dikasihinya. Dengan sebab yang demikianlah, maka dicacikan oleh Allah suatu golongan yang menjadikan untuk Allah, apa yang tidak disukai mereka. Berfirman Allah Ta’ala: “Dan mereka hubungkan dengan Allah, apa-apa yang tidak mereka sukai (untuk diri mereka) dan lidah mereka menceritakan kepalsuan, bahwa mereka akan mendapat kebaikan. Tidak”. Sebahagian ahli bacaan Alquran (ahli qiraat) berhenti (waqaf) pada kata-kata “Tidak” itu, untuk membohongi mereka, kemudian memulai lagi dan menyambung: “Sesungguhnya untuk mereka adalah neraka”. S 16 An Nahl ayat 62. Artinya: Sesungguhnya bagi mereka neraka, karena mereka jadikan bagi Allah, apa yang tidak mereka sukai.

Tugas kedelapan: hendaklah dicari untuk menerima sedekahnya, orang yang menjadi suci sedekahnya dengan orang itu. Dan tidak dicukupkan saja, asal orang itu termasuk dalam golongan yang 8. Karena dalam keseluruhan golongan yang 8 itu, terdapat sifat-sifat tertentu.

Maka hendaklah diperhatikannya sifat-sifat yang tertentu itu, yaitu 6 perkara.

1.                 Hendaklah dicarikan orang-orang yang taqwa, yang berpaling dari dunia, menjuruskan hidupnya untuk perniagaan akhirat. Bersabda Nabi saw: “Janganlah engkau makan, selain dari makanan orang yang bertaqwa dan janganlah dimakan makanan engkau, selain oleh orang yang bertaqwa”. Inilah kiranya, karena orang yang bertaqwa itu, dapat meminta pertolongan kepada taqwa. Maka adalah anda bersama-sama dengan dia dalam mengerjakan taat, disebabkan anda memberikan pertolongan kepadanya. Bersabda Nabi saw: “Berikanlah makananmu kepada orang-orang yang taqwa dan tujukanlah perbuatan baikmu kepada orang-orang mu’min !”. Dan pada riwayat yang lain, tersebut: “Tambahkanlah makananmu kepada orang yang engkau kasihi pada jalan Allah Ta’ala”. Adalah sebahagian ulama, mengutamakan makanannya kepada orang-orang shufi yang fakir, tidak kepada orang lain. Lalu orang bertanya kepadanya: “Kalau tuan ratakan pemberian tuan itu kepada semua orang fakir, tentulah lebih baik”’. Ulama itu menjawab: “Tidak ! cita-cita dari fakir yang shufi itu, adalah semata-mata kepada Allah Ta’ala. Kalau datanglah kepapaan kepada mereka, niscaya hancurlah cita-cita seseorang mereka. Dari itu, aku lebih menyukai mengembalikan cita-cita seseorang kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, daripada memberikan kepada 1000 orang, yang cita-citanya duniawi”. Ucapan yang di atas ini, disampaikan orang kepada Junaid, maka diterimanya dengan baik, seraya mengatakan: “Yang mengucapkan kata-kata ini adalah salah seorang daripada aulia Allah Ta’ala”. Seterusnya Junaid mengatakan: “Belum pernah aku mendengar sejak dahulu, perkataan yang lebih baik daripada ini !”. Kemudian, diceritakan, bahwa ulama yang mengucapkan kata-kata  di atas tadi, rusak keadaan perniagaannya. Ia bercita-cita meninggalkan tokonya, lalu Junaid mengirimkan bantuan harta kepadanya dan berpesan: “Jadikanlah harta ini modalmu ! janganlah engkau tinggalkan toko itu, karena berniaga tidaklah mendatangkan melarat bagi orang, yang seperti engkau”. Ulama itu adalah penjual sayur-sayuran, tidak mau mengambil pembayaran dari orang-orang fakir yang membeli padanya.

2.                 Hendaklah orang yang dikhususkan diberikan itu dari ahli ilmu khususnya. Karena yang demikian, adalah menolong orang itu kepada ilmu. Dan ilmu adalah ibadah yang paling mulia, manakala benar niat padanya. Adalah Ibnul-Mubarak mengkhususkan pemberiannya kepada ahli ilmu, lalu orang bertanya kepadanya: “Mengapakah tidak tuan ratakan pemberian itu ?”. Ia menjawab: “Aku tidak mengenal sesudah derajat kenabian, yang lebih utama daripada derajat alim-ulama. Apabila hati salah seorang ulama terganggu dengan sesuatu keperluan, maka tidaklah tercurah hatinya itu kepada ilmu dan tidak lagi menerima orang untuk belajar. Dari itu, berusaha mencurahkan hati mereka kepada ilmu, adalah lebih utama”.

3.                 Hendaklah orang yang diberikan itu, orang yang benar taqwanya dan ilmunya dengan ketauhidan. Ketauhidannya itu, ialah apabila ia menerima pemberian lalu memujikan Allah, mensyukuriNya dan memandang bahwa nikmat itu daripadaNya. Dan ia tidak memandang kepada perantaraan (si pemberi). Inilah kesyukuran hamba yang sebaik-baiknya kepada Allah swt. Yaitu: memandang bahwa nikmat itu semuanya adalah daripadaNya. Dalam wasiat Lukman kepada puteranya, tersebut: “Janganlah engkau adakan diantara engkau dan Allah, pemberi nikmat yang lain dan engkau hitung nikmat dari orang lain itu kepada engkau sebagai hutang. Dan barangsiapa mensyukuri selain kepada Allah swt, maka dia seolah-olah tidak mengenal yang memberikan nikmat itu. Dan tidak meyakini bahwa orang perantaraan itu, adalah terpaksa diperuntukkan untuk memberi dengan penunjukkan Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena Allah Ta’ala telah menguasakan kepadanya faktor-faktor untuk berbuat dan memudahkan sebab-sebab untuk berbuat. Lalu orang itu memberikan dan dia itu terpaksa. Kalau ia menolak, tidak mau memberikannya, maka ia tidak sanggup, setelah dicurahkan Allah ke dalam hatinya, bahwa kemuslihatan agamanya dan dunianya adalah pada perbuatan itu. Manakala penggerak sudah kuat, niscaya mengharuskan yang demikian, akan keteguhan kemauan dan kebangkitan kesanggupan. Dan tidak hamba itu, sanggup menentang penggerak yang kuat, yang tak ada keraguan lagi padanya. Allah ‘Azza Wa Jalla jua yang menjadikan penggerak-penggerak itu dan membangkitkannya, menghilangkan kelemahan dan kesangsian daripadanya. Menentukan kesanggupan untuk bangun, menurut yang dikehendaki penggerak-penggerak itu. Siapa yang meyakini akan ini, niscaya tidak ada baginya pandangan selain kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab itu.

Keyakinan seperti hamba ini adalah lebih bermanfaat bagi si pemberi, daripada pujian dan ucapan syukur dari orang lain. Maka yang demikian itu, adalah gerakan lidah, pada kebanyakan hal, yang sedikit faedahnya. Dan memberi pertolongan kepada seumpama hamba yang bertauhid ini, tidaklah sia-sia. Adapun orang yang memuji dengan pemberian dan mendoakan dengan kebajikan, maka akan mencaci bila tidak diberikan lagi dan akan mendoakan dengan kejahatan, ketika disakitkan hatinya. Dan hal-ikhwalnya, adalah berlebih-kurang. Diriwayatkan, bahwa Nabi saw: “Mengirimkan pemberian kepada sebahagian orang fakir dan mengatakan kepada utusan yang membawa pemberian itu: “Hafalkanlah apa yang diucapkan fakir itu !”. Tatkala fakir menerimanya, lalu mengucapkan: “Segala pujian bagi Allah yang tidak lupa akan siapa yang mengingatiNya dan tidak menyia-nyiakan akan siapa yang mensyukuriNya”. Kemdian fakir itu menyambung lagi: “Ya Allah, ya Tuhanku ! sesungguhnya Engkau tidak melupakan si Anu (maksudnya, dirinya sendiri), maka jadikanlah si Anu tidak melupakan Engkau". Ia maksudkan dengan si Anu dirinya sendiri. Utusan itu menceritakan kepada Nabi saw apa yang didengarnya, maka amat gembiralah Nabi saw lalu bersabda: “Aku tahu, memang ia mengucapkan yang demikian”. Lihatlah betapa perhatiannya, hanya tertuju kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa !. Bersabda Nabi saw kepada seorang laki-laki: “Bertaubatlah !”. Maka menjawab laki-laki itu: “Aku bertaubat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak aku bertaubat kepada Muhammad !”. Menjawab Nabi saw: “Diperkenalkan kebenaran kepada ahlinya !”. Tatkala turun ayat suci, yang menerangkan terlepasnya ‘Aisyah daripada berita palsu, maka berkata Abu Bakar ra kepada ‘Aisyah: “Bangunlah dan peluklah kepala Rasulullah saw !”. Maka menjawab ‘Aisyah: “Demi Allah, aku tidak mau dan aku tidak memujikan, selain Allah !”. Lalu menjawab Nabi saw: “Biarkanlah dia, wahai Abu Bakar !”. Pada riwayat lain, tersebut, bahwa ‘Aisyah berkata kepada Abu Bakar ra: “Dengan memujikan Allah, tidak dengan memujikan engkau dan sahabat engkau !”. Maka Rasulullah saw tidak membantah yang demikian, sedang wahyu itu sampai kepada ‘Aisyah dengan perantaraan lisan Rasulullah saw. Memandang segala sesuatu, selain daripada Allah swt, adalah sifat orang-orang kafir. Berfirman Allah Ta’ala: “Ketika disebut Allah saja sendirian, amatlah kesal hati orang-orang yang tiada mempercayai hari kemudian itu. Tetapi ketika disebut (berhala-berhala) lain dari Tuhan, lihatlah mereka amat gembira”. S 39 Az Zumar ayat 45. Dan siapa yang tiada bersih bathinnya, daripada melihat perantara-perantara, kecuali dari segi sebagai perantara saja, maka seakan-akan ia tiada terlepas bathinnya daripada syirik yang tersembunyi. Hendaklah kiranya ia bertaqwa kepada Allah Ta’ala, pada membersihkan tauhidnya dari segala kotoran dan campuran syirik.

4.                 Hendaklah orang yang diberikan itu, menutup dan menyembunyikan hajat keperluannya. Tidak membanyakkan cerita dan pengaduan. Atau ada dia orang yang berpribadi, sebahagian dari orang yang telah hilang nikmat dari tangannya dan masih tetap adat kebiasaannya yang baik, di mana ia meneruskan kehidupannya dalam pakaian keelokan. Berfirman Allah Ta’ala: “Orang yang tidak tahu, mengira bahwa mereka masih kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta); kamu kenal mereka dengan tanda-tandanya, mereka tidak mau meminta pada orang berulang-ulang”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka tiada berulang-ulang meminta, karena mereka adalah orang-orang kaya dengan keyakinan dan orang-orang mulia dengan kesabaran. Dan ini, seyogyalah dicari dengan memeriksa dari ahli-ahli agama pada tiap-tiap tempat. Dan menyelidiki tentang bathin keadaan dari ahli-ahli kebajikan dan keelokan. Maka pahala menyerahkan pemberian yang baik kepada mereka, adalah berlipat ganda daripada menyerahkan kepada orang-orang yang berterang-terangan meminta.

5.                 Hendaklah ada orang yang diberikan itu, berkeluarga banyak atau terkurung disebabkan karena sakit ataupun sebab-sebab yang lain. Maka terdapatlah pada orang yang tersebut tadi, maksud daripada firman Allah ‘Azza Wa Jalla: “(Berikanlah sedekah itu) untuk orang-orang fakir, yang terkepung di jalan Allah”. S 2 Al Baqarah ayat 273. Artinya: mereka tertahan pada jalan akihrat, disebabkan penyakit atau kesempitan hidup atau perbaikan hati. Mereka tidak sanggup berjalan keliling negeri, karena mereka terpotong sayap dan terikat kaki dan tangannya. Dengan sebab-sebab inilah Umar ra memberikan kepada keluarga Nabi saw yang keputusan belanja, 10 ekor kambing dan lebih dari itu. Dan adalah Nabi saw sendiri “memberikan sesuatu pemberian, menurut banyak keluarga”. Ditanyakan Umar ra tentang bencana yang sungguh-sungguh, maka menjawab Umar: “banyak keluarga dan sedikit harta”.

6.                 Hendaklah ada yang menerima itu, sebahagian dari keluarga dan famili pihak ibu, maka jadilah itu sedekah dan silaturrahmi. Dan pada silaturrahmi itu, terdapat pahala yang tidak terhingga. Berkata Ali ra: “Adalah lebih aku sukai menyambungkan silaturrahmi seseorang daripada saudaraku dengan satu dirham, daripada bersedekah dengan 20 dirham. Dan menyambung silaturrahmi dengan 20 dirham, adalah lebih aku sukai daripada bersedekah sebanyak 100 dirham. Dan menyambung silaturrahmi dengan 100 dirham, lebih aku sukai daripada aku merdekakan seorang budak”. Teman-teman dan juga saudara-saudara pada jalan kebajikan, didahulukan, dari segala orang yang berilmu pengetahuan, sebagaimana didahulukan kaum keluarga dari orang-orang asing (yang bukan keluarga). Maka hendaklah dijaga yang halus-halus ini !. Inilah sifat-sifat yang diminta dan masing-masing sifat itu mempunyai tingkat. Maka seyogyalah dicari tingkat yang tertinggi. Kalau diperoleh orang yang mengumpulkan sejumlah dari sifat-sifat ini, maka adalah itu suatu simpanan besar dan rampasan agung. Manakala berusaha sungguh-sungguh yang demikian dan benar (tidak salah), maka ia memperoleh dua pahala. Dan jika salah, maka ia memperoleh satu pahala. Salah satu dari kedua pahalanya, pada sekarang juga, yaitu mensucikan dirinya dari sifat kikir dan menguatkan cinta kepada Allah dalam hatinya dan kesungguhannya mentaati Allah. Dan sifat-sifat inilah yang menguatkan dalam hatinya, lalu merindukannya berjumpa dengan Allah ‘Azza Wa Jalla. Pahala kedua, ialah yang kembali kepadanya, daripada faedah doa dan cita-cita yang baik dari yang menerima zakat. Hati orang-orang baik itu, mempunyai bekas sekarang dan di akhirat nanti. Kalau benarlah ia, maka berhasillah dua pahala. Dan kalau salah, maka berhasil pahala pertama, tidak pahala kedua. Maka dengan ini, berlipat gandalah pahala orang yang memperoleh kebenaran pada ber-ijtihad di sini dan pada tempat-tempat yang lain. Allah Yang Maha Tahu ! Wallaahu a’lam !.

Tiada ulasan: