Catatan Popular

Ahad, 20 November 2016

KITAB RAHSIA ZAKAT IHYA ULUMUDDIN: FASAL 5 Tugas-Tugas orang yang menerima zakat



PENJELASAN: tugas-tugas dari orang yang menerima zakat.

Ada  5 perkara:

Pertama: hendaklah diketahuinya, bahwa Allah ‘Azza Wa Jalla mewajibkan penyerahan zakat kepadanya, adalah supaya mencukupi cita-cita dan seluruh cita-citanya menjadi satu. Karena Allah ‘Azza Wa Jalla menerima ibadah makhlukNya, dengan adanya satu cita-cita hati mereka, yaitu Allah swt dan hari akhirat. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya: Kuciptakan jin dan manusia itu, supaya mereka berbakti (beribadah) kepadaKu”. S 51 Adz Dzaariyaat ayat 56. Tetapi, tatkala hikmah menghendaki, bahwa hamba itu dikuasai hawa nafsu dan hajat keperluannya, di mana hawa nafsu dan hajat keperluan itu mencerai-beraikan cita-citanya, maka kemurahan Tuhan menghendaki kelimpahan nikmat, yang mencukupkan segala hajat keperluan. Lalu diperbanyakkanNya harta dan dituangkanNya ke dalam tangan hamba-hambaNya. Untuk menjadi alat bagi mereka dalam menolakkan hajat keperluannya dan menjadi jalan dalam menyelesaikan ketaatannya. Diantara mereka, ada yang sebahagian besar dari hartanya, menjadi fitnah dan bencana, lalu harta itu mendorongkannya ke dalam bahaya. Dan diantara mereka, ada yang mencintai harta, yang dapat memeliharakannya daripada kesibukan duniawi, sebagaimana seorang perawat memeliharakan orang sakit yang dirawatinya. Maka terjauhlah dia daripada segala kejijikan duniawi dan mengalirlah kepadanya harta sekedar yang diperlukan, dari tangan orang-orang kaya. Supaya adalah yang demikian itu, usaha yang mudah. Dan payah pada mengumpulkan dan penjagaan harta itu, adalah atas orang-orang kaya tersebut. Dan faedahnya menonjol kepada orang-orang fakir, lalu fakir-fakir itu dapat menyerahkan seluruh jiwa raganya berbakti kepada Allah dan bersedia untuk sesudah mati. Maka tidak terhalang dari kebaktian oleh segala kejijikan duniawi dan tidak diganggu oleh kesempitan hidup, daripada bersedia bagi hari kemudian. Inilah nikmat yang setinggi-tingginya !. Maka hak orang fakir ialah, mengetahui tingkatnya nikmat kefakiran. Dan meyakini bahwa kurnia Allah kepadanya, mengenai sesuatu yang menjauhkannya daripadanya, adalah lebih banyak daripada kurniaNya mengenai sesuatu yang dianugerahiNya, sebagaimana akan datang pembuktian dan penjelasannya pada “Kitab Kefakiran” insya Allah Ta’ala. Maka hendaklah diambilnya, apa yang diambilnya daripada Allah Ta’ala, sebagai rezeki dan pertolongan baginya kepada taat. Dan hendaklah niatnya untuk memperoleh kekuatan mentaati Allah. Kalau ia tidak sanggup kepada yang demikian, maka hendaklah harta itu digunakannya kepada yang diperbolehkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla. Kalau digunakannya untuk penolong berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, niscaya adalah ia orang yang kufur (tidak mensyukuri) akan segala nikmat Allah ‘Azza Wa Jalla berhak kejauhan dan kutukan daripada Allah swt.

Kedua: hendaklah disyukurinya orang yang memberi, didoakan dan dipujikan. Syukur dan doanya itu, hendaklah tidak keluar dari kedudukan si pemberi selaku perantaraan. Tetapi dia adalah jalan sampainya nikmat Allah kepadanya. Dan jalan itu mempunyai hak, di mana dia telah dijadikan Allah sebagai jalan dan perantaraan. Dan tidaklah ia menghilangkan penglihatan nikmat daripada Allah swt. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang tidak mensyukuri manusia, niscaya ia tidak mensyukuri Allah”. Allah ‘Azza Wa Jalla memujikan hambaNya pada beberapa tempat atas amal perbuatan mereka, padahal Dia yang menjadikan dan yang menciptakan kudrat pada perbuatan-perbuatan itu, seperti firmanNya: “Ia adalah seorang hamba Allah yang amat baik ! sesungguhnya dia senantiasa kembali kepadaNya”. S 38 Shaad ayat 30. Dan pada beberapa tempat yang lain. Hendaklah penerima zakat, mengucapkan dalam doanya: “Disucikan Allah kiranya hatimu dalam hati orang-orang baik, dibersihkan Allah amalanmu dalam amalan orang-orang pilihan dan diberikan Allah rahmat kepada ruhmu dalam ruh orang-orang syahid”. Bersabda Nabi saw: “Siapa yang menyerahkan kepadamu sesuatu pemberian yang baik, maka balaskanlah pemberian itu ! jikalau kamu sanggup, maka berdoalah kepadanya, sehingga kamu mengetahui, bahwa kamu telah membalaskan pemberiannya”. Setengah daripada kesempurnaan syukur, ialah menutupkan kekurangan yang ada pada pemberian, kalau ada padanya kekurangan. Dan tidak menghina dan mencaci akan pemberian itu. Dan tidak diberi malu orang yang diminta, apabila ia tidak memberi. Dan hendaklah memandang besar perbuatan dari orang yang memberi itu, kepada dirinya dan kepada orang lain. Tugas si pemberi, ialah memandang kecil amalan yang dikerjakannya. Dan tugas si penerima, ialah mengingati nikmat yang diperolehnya dan hendaklah memandangnya besar. Masing-masing hamba Allah itu, hendaklah berdiri pada hak kewajibannya. Dan yang demikian itu, tidak ada padanya pertentangan. Karena yang mewajibkan untuk memandang kecil dan besar adalah bertentangan. Yang bermanfaat bagi si pemberi, ialah memperhatikan sebab-sebab yang membawa kecil arti pemberiannya dan memberi melarat yang sebalik dari itu. Dan bagi yang menerima adalah sebaliknya. Sehingga masing-masing, tidak berlawanan dengan melihat nikmat itu daripada Allah ‘Azza Wa Jalla. Karena orang yang tidak melihat perantaraan itu, sebagai perantaraan, adalah orang bodoh. Dan orang yang mungkir, ialah orang yang tidak sekali-kali melihat perantaraan itu.

Ketiga: hendaklah dilihatnya barang yang diambilnya itu. Kalau tidak dari yang halal, hendaklah ia menjaga diri daripadanya. “Siapa yang takut (bertaqwa) kepada Allah, maka Dia mengadakan untuk orang itu, jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3. Orang yang menjaga diri (wara’) dan yang haram, terbukalah baginya yang halal. Dari itu, janganlah diterima harta orang-orang Turki, tentara, pegawai-pegawai sultan dan orang-orang yang sebagian besar usahanya dari haram. Kecuali kalau dia dalam keadaan yang sempit benar dan barang yang diserahkan kepadanya, tidak diketahuinya, pemiliknya yang sebenarnya. Maka dalam hal ini, ia boleh mengambil sekedar perlu saja. Karena fatwa dari syari’at, dalam hal yang seperti ini, ialah boleh ia menerima sedekah, berdasarkan kepada apa yang akan diterangkan nanti dalam “Kitab Halal dan Haram”. Yaitu apabila ia telah lemah daripada memperoleh yang halal. Apabila diambilnya pemberian tersebut, maka tidaklah pengambilan itu pengambilan zakat namanya. Karena tidaklah menjadi zakat dari pembayarnya, dan harta itu haram.

Keempat: hendaklah ia menjaga dari hal-hal yang meragukan dan menyangsikan tentang jumlah yang diambilnya dari zakat. Janganlah ia mengambil, selain daripada jumlah yang diperbolehkan. Dan tidak ia mengambilnya, kecuali apabila ia meyakini benar-benar, bahwa ia termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Kalau ia menerima zakat atas nama golongan mukatab/budak yang diberi kesempatan oleh tuannya mencari harta untuk diserahkan kepada tuannya sebagai penebus dirinya dari hamba sahaya dan gharim/orang yang berhutang, maka janganlah melebihi dari sekedar hutang. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan bekerja pada zakat, maka janganlah melebihi dari ongkos yang layak. Kalau diberikan lebih banyak dari itu, hendaklah ia menolak dan tidak menerimanya. Karena bukanlah itu harta kepunyaan si pemberi, sehingga ia boleh bersedekah begitu juga. Kalau ia seorang musafir, janganlah melebihi daripada perbekalan dan ongkos kendaraan ke tempat tujuannya. Kalau ia seorang pejuang di medan perang, janganlah ia mengambil, selain daripada apa yang diperlukannya untuk berperang khususnya. Yaitu: kuda, senjata dan belanja. Dan taksiran untuk itu, adalah dengan taksiran yang sungguh-sungguh dan tak adalah baginya batas tertentu. Dan begitu pula, perbekalan bagi musafir. Dan orang wara’, meninggalkan yang meragukan kepada yang tidak meragukannya. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan kemiskinan, maka hendaklah mula-mula ia memperhatikan kepada perabot rumahnya, pakaiannya dan kitab-kitabnya. Adakah diantara barang-barang tersebut, yang tidak diperlukannya ? atau tidak diperlukan atas kecantikannya, sehingga mungkin diganti dengan barang lain yang memadai baginya dan melebihi sebahagian harganya. Semuanya itu, memerlukan kepada pemikiran yang sungguh-sungguh. Ada pada segi zhahir, di mana ia meyakini bahwa ia berhak dan segi lain yang bertentangan dengan segi zhahir tadi, di mana ia meyakini bahwa ia tidak berhak. Diantara kedua segi tersebut, terdapat beberapa hal yang ditengah-tengah, yang serupa satu dengan lainnya. Dan siapa yang bermain-main keliling barang yang terlarang, besar kemungkinan ia terjatuh ke dalamnya. Pada zhahirnya, disini dipegang, adalah kepada perkataan si penerima zakat. Dan yang berkepentingan, pada menentukan kepentingannya, mempunyai beberapa tingkatan, tentang kesempitan dan kelapangannya. Dan tingkatan-tingkatan itu tidak terhingga jumlahnya. Orang wara’, condong kepada kesempitan dan orang yang menganggap enteng tentang sesuatu, condong kepada kelapangan. Sehingga ia memandang dirinya memerlukan kepada bermacam-macam seni kelapangan, yaitu hal-hal yang terkutuk pada agama. Kemudian, apabila telah tertentu keperluannya, maka janganlah si penerima zakat itu, mengambil lebih banyak. Tetapi sekedar yang mencukupkan kebutuhannya, dari waktu diambilnya sampai kepada masa setahun. Inilah sejauh mungkin masa, yang diberi kesempatan padanya, dari segi bahwa masa setahun, apabila berulang-ulang, niscaya berulang-ulang pula sebab kemasukan uang. Dan dari segi bahwa Rasulullah saw menyimpan untuk keluarganya makanan setahun. Inilah yang lebih mendekati kepada kebenaran, batasan yang membatasi fakir dan miskin.

Kalau disingkatkan kepada keperluannya untuk sebulan atau sehari, maka ini adalah lebih mendekati kepada taqwa. Berbeda pendapat diantara beberapa madzhab dari para ulama, tentang jumlah yang diambil menurut hukum zakat dan sedekah. Diantaranya, ada yang bersangatan benar sedikitnya, kepada batas yang mengharuskan, disingkatkan kepada sekadar makanan sehari-semalam dari si penerima zakat itu. Golongan ini berpegang dengan apa yang diriwayatkan Sahl bin Al-Handhaliah, bahwa: “Nabi saw melarang meminta-minta dalam keadaan kaya”. Lalu ditanyakan kepada Nabi saw tentang kaya itu, maka beliau menjawab: “Mencukupi untuk pagi dan sore”. Berkata golongan lain, boleh si penerima zakat itu mengambil sampai kepada batas kaya. Batas kaya, ialah nishab zakat, karena Allah Ta’ala tidak mewajibkan zakat, selain atas orang-orang kaya. Seterusnya, golongan ini mengatakan, bahwa si penerima zakat boleh mengambil untuk dirinya sendiri dan untuk masing-masing dari keluarganya, sebanyak nishab zakat. Berkata golongan lain pula, bahwa batas kaya, ialah 50 dirham atau nilainya dengan emas, karena diriwayatkan Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa yang meminta-minta, sedang ia mempunyai harta yang menjadikan ia kaya, niscaya ia datang pada hari qiamat dan pada mukanya penuh dengan luka yang digaruk-garuk”. Maka ditanyakan Nabi saw: “Bagaimanakah kayanya itu ?”. Lalu Nabi saw menjawab: “50 dirham atau nilainya dari emas”. Ada yang mengatakan, bahwa perawi hadits tadi, tidak kuat. Berkata suatu golongan, 40 dirham, karena diriwayatkan oleh ‘Atha bin Yassar suatu hadits munqathi’ (hadits yang putus riwayatnya antara perawi dan Nabi saw), bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, sedang dia mempunyai satu auqiah perak (40 dirham), maka adalah dia memaksakan diri meminta yang tidak dibolehkan”. Segolongan lain lagi, terlalu benar memberi kelapangan, dimana mereka mengatakan: “Boleh bagi si penerima zakat mengambil suatu jumlah, yang dapat dibelikannya suatu benda. Lalu ia merasa cukup dengan benda itu seumur hidupnya. Atau ia menyediakan suatu barang untuk diperniagakannya.

Dan ia merasa cukup dengan barang itu seumur hidupnya, karena inilah yang bernama kaya”. Berkata Umar ra: “Apabila kamu memberi, maka kayakanlah orang diberikan itu !”. Sehingga segolongan berpendapat, bahwa seorang yang fakir, boleh mengambil jumlah yang membawa ia kepada keadaan yang layak, walau 10 ribu dirham. Kecuali apabila ia telah keluar dari batas sederhana. Tatkala Abu Thalhah sibuk dengan kebunnya, sampai tertinggal shalat, lalu ia berkata: “Aku serahkan kebun ini untuk sedekah !”. Maka Nabi saw berkata: “Serahkanlah kebun itu kepada kerabatmu. Itu adalah lebih baik bagimu !”. Lalu Abu Thalhah menyerahkannya kepada Hasan dan Abu Qatadah. Maka sebuah kebun kurma bagi dua orang, adalah banyak, sehingga tidak memerlukan kepada yang lain. Umar ra menyerahkan kepada seorang Arab kampung, seekor unta betina serta dengan anaknya. Demikianlah diceritakan tentang memberikan kelapangan pada bersedekah itu. Adapun menyedikitkan sampai kepada makanan sehari atau sebahagian dari sekati makanan, maka itu datangnya, mengenai tidak disukai meminta-minta dan bulak-balik dari pintu ke pintu rumah orang. Hal yang seperti itu ditantang benar-benar dan mempunyai kedudukan hukum yang lain. Bahkan; membolehkan, sampai dapat dibelikannya suatu benda, di mana ia merasa cukup dengan benda itu, adalah lebih mendekati kepada suatu kemungkinan dan juga lebih condong kepada keroyalan. Yang lebih mendekati kepada kesederhanaan, ialah mencukupi setahun. Dan dibalik itu, adalah membahayakan. Sedang kurang dari itu, adalah menyempitkan. Segala persoalan ini, apabila tak ada padanya penentuan sesuatu bahagian dengan tauqif (penentuan yang datang dari Nabi saw), maka tidaklah bagi orang mujtahid, selain dairpada menetapkan hukum dengan apa yang terjadi baginya. Kemudian dikatakan kepada orang yang wara’: “Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun mereka telah berfatwa kepadamu dan mereka telah berfatwa kepadamu”, sebagaimana telah disabdakan Nabi saw. Karena dosa itu adalah suatu penyakit hati. Dari itu, apabila yang menerima zakat, memperoleh sesuatu pada dirinya, dari apa yang diambilnya itu, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah padanya dan janganlah memandang enteng, karena berdalilkan dengan fatwa dari ulama-ulama zhahir. Fatwa mereka mempunyai beberapa ikatan dan melepaskan dari hal-hal yang dlarurat. Pada fatwa itu, terdapat dugaan-dugaan dan perbuatan-perbuatan yang meragukan. Dan menjaga dari hal-hal yang meragukan itu, adalah sifat dari orang-orang yang beragama, dan kebiasaan dari orang-orang yang berjalan ke jalan akhirat.

Kelima: hendaklah yang menerima zakat, bertanya kepada pemilik harta, berapa jumlah zakat yang diwajibkan ke atas pundaknya. Kalau ada yang diserahkannya, di atas harga yang seharusnya, maka janganlah diambilnya. Karena dia tidak berhak bersama kongsinya, melainkan harga yang pantas. Maka hendaklah dikurangkannya dari harga itu, sebanyak apa yang diserahkan kepada dua orang daripada golongannya yang menerima zakat. Pertanyaan yang dimajukan kepada pemilik harta tadi, adalah wajib atas kebanyakan orang, karena mereka tiada menjaga pembahagian itu, adakalanya karena kebodohan dan adakalanya karena memandang enteng. Dan baru boleh meninggalkan pertanyaan dari persoalan-persoalan yang seperti ini, apabila tidak menimbulkan keras dugaan, kemungkinan haram padanya. Dan akan datang uraian tentang tempat-tempat yang menimbulkan dugaan pertanyaan dan tingkat kemungkinan, pada “Kitab Halal dan Haram”. Insya Allah Ta’ala.

Tiada ulasan: