Catatan Popular

Ahad, 20 November 2016

KITAB RAHSIA ZAKAT IHYA ULUMUDDIN : FASAL 4 Tentang orang yang menerima zakat, sebab-sebab ia berhak menerimanya dan tugas-tugas penerimaan.



PENJELASAN: sebab-sebab berhak menerima zakat.

Ketahuilah, bahwa tiada berhak menerima zakat, selain orang merdeka, muslim, tidak keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, bersifat dengan salah satu dari sifat 8 yang tersebut dalam Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla (Alquran). Dan tidaklah zakat itu diserahkan kepada orang fakir, hamba sahaya, Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Adapun anak kecil dan orang gila, maka boleh diserahkan zakat kepadanya, apabila diterima oleh walinya. Marilah sekarang, kami sebutkan sifat-sifat dari golongan 8 itu:

Golongan Pertama: Orang fakir.   
           
Orang fakir: ialah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak sanggup berusaha. Kalau ia mempunyai makanan yang mencukupi sehari dan pakaian untuk dipakainya sekarang, maka tidaklah ia orang fakir, tetapi orang miskin. Kalau ia mempunyai makanan untuk mencukupi setengah hari, maka dia itu orang fakir. Kalau ia mempunyai kemeja panjang dan tidak mempunyai sapu tangan, alas kaki dan celana, sedang harga kemeja panjang itu tidak mencukupi untuk semua yang tadi, menurut yang layak bagi orang fakir, maka dia itu orang fakir namanya. Karena dia sekarang tidak mempunyai apa yang diperlukannya dan apa yang tidak disanggupinya. Maka tidak seyogyalah disyaratkan pada fakir itu, bahwa ia tidak mempunyai pakaian selain dari penutup aurat, karena syarat yang demikian itu, adalah berlebih-lebihan. Biasanya tidak diperoleh orang yang seperti itu. Dan tidaklah keluar dari nama fakir, karena ia biasa meminta-minta. Maka tidaklah meminta-minta itu, dinamakan usaha. Kecuali ia sanggup berusaha, maka dengan ini, ia dikeluarkan dari nama fakir. Kalau sanggup ia berusaha dengan sesuatu perkakas, maka dia itu fakir, dan boleh dibelikan untuknya perkakas itu. Kalau sanggup ia berusaha yang tidak layak dengan kepribadiannya dan dengan keadaan orang yang seperti dia, maka itu fakir namanya. Kalau ia sedang belajar dan terhalang dari belajar dengan berusaha, maka dia itu fakir dan tidak dikira kesanggupannya bekerja. Kalau ia seorang yang beribadah, yang dihalangi oleh berusaha itu, daripada segala tugas ibadah dan wirid-wirid waktunya, maka hendaklah ia berusaha. Karena berusaha adalah lebih utama daripada beribadah. Bersabda Nabi saw: “Mencari yang halal, adalah fardlu sesudah mengerjakan yang fardlu”. Dimaksudkan dengan “mencari halal” itu, ialah bekerja mencari perbelanjaan. Berkata Umar ra: “Berusaha pada harta yang diragukan halalnya (harta syubhat), adalah lebih baik daripada meminta-minta”. Kalau ia berkecukupan dengan perongkosan dari orang tuanya atau dari orang yang wajib menanggung perbelanjaannya, maka ini adalah lebih mudah daripada berusaha. Maka tidaklah ia dinamakan fakir.

Golongan Kedua: Orang miskin.

Orang miskin, ialah orang yang tidak mencukupi uang masuknya untuk uang keluarnya. Kadang-kadang orang yang mempunyai 1000 dirham, dinamakan miskin dan kadang-kadang orang yang tidak mempunyai selain dari sebuah kapak dan sehelai tali, dinamakan kaya. Sebuah gubuk kecil yang ditempatinya dan sehelai kain yang menutupkan tubuhnya sekedar perlu, tidaklah menghilangkan nama miskinnya. Demikian juga, perabot rumah, yakni yang diperlukan dan yang layak baginya. Begitu pula kitab-kitab fiqih, tidaklah melepaskan dia daripada nama miskin. Apabila tidak dimilikinya, selain dari kitab-kitab, maka tidaklah wajib atasnya zakat fithrah. Karena kitab itu, disamakan hukumnya dengan kain dan perabot rumah, karena diperlukan kepadanya. Tetapi, seyogyalah diperhatikan sungguh-sungguh tentang keperluan kepada kitab ini. Kitab adalah diperlukan karena 3 macam maksud, yaitu: untuk mengajar, untuk mengambil faedah daripada isinya dan untuk memperoleh kesenangan dengan membacanya (untuk penghibur). Adapun keperluan untuk memperoleh kesenangan dengan membaca buku-buku itu, maka tidak masuk kiraan. Seperti menyimpan buku-buku syair, sejarah dari berita-berita lama dsb, yang tidak bermanfaat di akhirat dan tidak berlaku di dunia ini, selain untuk perintang waktu dan penghibur. Buku yang semacam ini, dijual untuk membayar kafarat dan zakat fithrah. Dan dilarang menamakan miskin orang yang mempunyainya. Adapun keperluan mengajar, kalau mengajar itu untuk usaha mencari perbelanjaan, seperti juru nasehat, pengajar dan pemberi pelajaran dengan memperoleh balasan jerih-payah, maka buku-buku itu adalah perkakasnya. Tidak boleh dijual untuk pembayar fithrah, seperti alat perkakas tukang jahit dan tukang-tukang yang lain. Kalau dipakainya buku-buku itu, untuk mengajar buat menegakkan fardlu kifayah, maka buku-buku tersebut tidak dijual dan tidak mencabutkan dia dari nama miskin, karena itu adalah keperluan yang penting. Adapun keperluan untuk memperoleh faedah daripadanya isinya dan untuk belajar daripadanya, seperti menyimpan buku-buku kesehatan untuk mengobati diri sendiri atau kitab nasehat, untuk dibaca sendiri dan untuk memperoleh pengajaran dengan isinya, maka kalau dalam negeri itu adalah dokter dan juru nasehat, niscaya buku-buku itu tidak begitu penting baginya.

Kalau tidak ada, maka benarlah dia memerlukan kepada buku itu. Kadang-kadang, dia tidak memerlukan membaca buku tersebut, kecuali sesudah beberapa lama kemudian. Maka seyogyalah dipastikan masa memerlukan kepadanya. Yang lebih dekat kepada kebenaran, hendaklah dikatakan, bahwa manakala tidak diperlukan kepadanya dalam setahun, maka adalah buku itu tidak penting baginya. Sesungguhnya, siapa yang berlebih dari makanan harinya sesuatu, niscaya wajiblah ia mengeluarkan fithrah. Apabila makanan kita taksirkan mencukupi untuk sehari, maka keperluan perabot rumah tangga dan pakaian di badan, selayaknyalah ditaksir untuk setahun. Dari itu, tidak dijual pakaian musim panas pada musim dingin. Dan buku-buku adalah serupa dengan pakaian dan perabot rumah tangga. Kadang-kadang ia mempunyai dari semacam buku dua buah, maka tidaklah memerlukan kepada salah satu daripada keduanya. Kalau ia mengatakan: “Yang satu lebih benar dan yang satu lagi lebih baik. Aku memerlukan kepada kedua-duanya !”. Maka kami menjawab: “Cukupkanlah dengan yang lebih benar, jualkanlah yang lebih baik dan tinggalkanlah penghiburan dan kemewahan !”. Kalau ada dua macam buku dari satu ilmu pengetahuan, yang satu secara luas dan yang satu lagi secara singkat, maka kalau maksudnya untuk memperoleh faedah, maka hendaklah dicukupkannya dengan yang secara luas. Dan kalau maksudnya untuk memberi pelajaran, maka berhajatlah ia kepada kedua-duanya, karena masing-masing ada faedahnya, yang tidak terdapat pada yang lain. Contoh-contoh untuk gambaran-gambaran yang serupa ini, tidaklah terhingga banyaknya dan tidak dibentangkan dalam ilmu fiqih. Dan kami bentangkan di sini, adalah karena merata bahayanya dan menjaga dengan kebagusan pandangan ini kepada yang lain. Sesungguhnya menyelidiki secara mendalam, gambaran-gambaran itu, adalah tidak mungkin. Karena seperti pandangan ini mengenai perabot rumah adalah melampaui tentang ukurannya, bilangannya dan macamnya. Dan mengenai pakaian di badan dan di rumah, tentang luasnya dan sempitnya. Dan tidaklah hal-hal ini mempunyai batas tertentu. Tetapi ulama fiqih berusaha benar-benar tentang itu dengan buah pikirannya dan ia mendekatkan kepada pembatasan-pembatasan itu, dengan pendapat yang dikemukakannya. Dan dihadapinya bahaya syubhat dalam hal tersebut. Orang wara’, mengambil dengan berhati-hati dan meninggalkan apa yang meragukannya kepada yang tidak meragukannya. Tingkat-tingkat menengah yang menyulitkan, diantara segi-segi yang nyata-nyata bertentangan, adalah amat banyak. Dan tidaklah terlepas daripadanya, selain dengan berhati-hati. Wallaahu a’lam: Allah Yang Maha Tahu !.

Golongan Ketiga: yang bekerja pada zakat (‘amil).  

Mereka adalah para pekerja yang mengumpulkan zakat, selain dari khalifah (kepala pemerintahan) dan qadli (hakim). Dan termasuk dalam golongan ‘amil zakat, orang yang mengamat-amati zakat, penulis urusan zakat, orang yang mengurus, supaya zakat itu dilaksanakan dengan sempurna, penjaga zakat dan pengangkut zakat. Masing-masing mereka, tidak dilebihkan upahnya dari upah yang layak. Kalau berlebih sesuatu harga dari yang diserahkan kepada ‘amil itu, dari upahnya yang layak, maka yang berlebih itu dikembalikan untuk diserahkan kepada golongan penerima zakat yang lain. Dan kalau berkurang, maka dicukupkan dari harta kepentingan umum.

Golongan Keempat: orang muallaf (orang yang ditarik hatinya kepada Islam).

Yaitu orang-orang yang terkemuka yang telah memeluk agama Islam, di mana mereka berpengaruh dalam kaumnya. Dan dengan menyerahkan zakat kepada mereka, membawa mereka tetap di dalam agama Islam dan menarik hati orang-orang yang setaraf dan pengikut-pengikutnya.

Golongan Kelima: orang mukatab

orang mukatab (budak yang diberi kesempatan oleh tuannya mencari harta, untuk diserahkan kepada tuannya, sebagai penebus dirinya dari hamba sahaya).   Maka diserahkan bahagian dari mukatab ini kepada tuannya. Dan kalau diserahkan kepada si mukatab sendiri, boleh juga. Dan si tuan itu tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada mukatabnya sendiri, karena terhitung budaknya.

Golongan Keenam: gharim (orang yang berhutang).

Yaitu: yang berhutang pada mentaati Allah atau pada pekerjaan yang dibolehkan (pekerjaan mubah), sedang ia seorang fakir. Kalau berhutang pada jalan maksiat, maka tidak diberikan zakat, kecuali setelah ia bertaubat. Dan kalau ia seorang kaya, maka tidak dilunaskan hutangnya dengan zakat, kecuali apabila ia berhutang untuk kepentingan umum atau untuk memadamkan suatu kekacauan (fitnah).

Golongan Ketujuh: ghuzah (kaum pejuang fisabilillah).

Yaitu mereka yang tidak terdaftar namanya dalam buku orang-orang yang dibelanjai negara. Maka diserahkan kepada mereka sebahagian dari zakat, walaupun mereka itu kaya, untuk memberikan pertolongan kepada mereka dalam peperangan.

Golongan Kedelapan: ibnussabil.

Yaitu orang yang bermusafir dari negerinya, pada bukan maksiat atau ia singgah pada negeri itu. Maka diberikan zakat kepadanya, kalau ia seorang fakir. Dan kalau ada hartanya di negeri lain, niscaya diberikan sekedar, yang menyampaikannya ke negeri itu. Kalau anda bertanya: “Dengan apakah dikenal sifat-sifat itu ?”. Maka kami menjawab, bahwa kefakiran dan kemiskinan, adalah dengan keterangan dari penerima zakat itu sendiri, tanpa dimintakan bukti dan tanpa disumpahkan. Tetapi bolehlah berpegang kepada perkataannya, apabila tidak diketahui kedustaannya. Berperang dan bermusafir itu, adalah pekerjaan yang akan datang. Dari itu, diberikan zakat kepadanya, dengan pengakuannya: “Aku ini orang yang berperang”. Kalau tidak ditepatinya, menurut pengkuannya itu, maka yang telah diterimanya, diminta kembali. Adapun golongan-golongan yang lain, maka hendaklah dibuktikan ! Itulah syarat-syarat berhak menerima zakat ! dan tentang jumlah yang diserahkan kepada masing-masing, akan diterangkan nanti.

Tiada ulasan: