Catatan Popular

Ahad, 20 November 2016

KITAB RAHSIA ZAKAT IHYA ULUMUDDIN : FASAL 2 Tentang menunaikan zakat, syarat-syaratnya yang bathin dan yang Zhahir.



PENJELASAN SYARAT-SYARAT ZHAHIR

Ketahuilah, bahwa wajiblah atas orang yang menunaikan zakat, menjaga 5 perkara:

Pertama: niat, yaitu berniat dengan hati, menunaikan zakat fardlu. Dan disunnatkan menentukan harta yang dikeluarkan zakatnya. Kalau ada hartanya yang jauh, lalu dikatakannya: “Ini, dari hartaku yang jauh kalau ia selamat. Kalau tidak, maka menjadi sedekah sunat”. Maka bolehlah yang demikian, karena walaupun tidak ditegaskannya yang demikian, hasilnya begitu juga, kalau disebutkannya secara umum. Niat dari wali (yang mengeluarkan zakat dari harta orang gila dan anak-anak yang berada di bawah asuhannya), adalah berkedudukan seperti niat orang gila dan anak itu sendiri. Dan niat dari sultan (penguasa), adalah berkedudukan seperti niat si pemilik yang tidak mau mengeluarkan zakatnya. Tetapi itu, adalah dalam pandangan hukum duniawi, yakni: mengenai tidak dituntut lagi di dunia ini. Adapun di akhirat tidak, tetapi tetaplah dalam tanggungannya, sampai ia mengeluarkan kembali zakat itu. Kalau diwakilkan kepada orang lain untuk menunaikan zakatnya dan diniatkannya ketika diwakilkan itu atau diwakilkannya kepada wakil itu untuk meniatkannya, maka mencukupilah yang demikian, karena mewakilkan dengan niat itu, sudah niat namanya.

Kedua: menyegerakan sesudah sampai tahunnya. Dan pada zakat fithrah, tidak diperlambatkan daripada hari raya fithrah. Dan masuk waktu wajibnya dengan terbenam matahari dari hari yang penghabisan dari bulan Ramadlan. Dan waktu menyegerakannya, ialah dalam bulan Ramadlan itu seluruhnya. Orang yang memperlambatkan zakat hartanya, serta ada kemungkinan untuk itu, (artinya: tak ada halangan apa-apa), maka durhakalah ia kepada Tuhan dan tak terhapus kewajiban itu lagi, dengan hilang hartanya. Kemungkinan mengeluarkan zakat itu, ialah dengan memperoleh orang yang berhak menerima zakat. Kalau diperlambatkannya, karena tidak ada orang yang berhak menerimanya, lalu hilanglah hartanya, maka gugurlah zakat daripadanya. Menyegerakan zakat, dibolehkan, dengan syarat bahwa hal itu terjadi setelah cukup nishabnya dan berjalan tahunnya. Dan boleh menyegerakan zakat dua tahun. Manakala zakat itu disegerakan, lalu mati orang miskin yang menerimanya, sebelum cukup tahunnya atau ia murtad atau ia menjadi kaya dengan harta yang lain dari zakat yang disegerakan itu atau ia mati, maka harta yang diserahkan itu tidaklah menjadi zakat. Dan memintanya kembali, tidak mungkin, kecuali apabila disyaratkan meminta kembali, (waktu diserahkan dahulu). Maka dalam hal ini, hendaklah orang yang menyegerakan itu, memperhatikan akhir urusan dan keselamatan kesudahan.

Ketiga: bahwa tidak dikeluarkan benda lain sebagai gantinya, dengan menghitung nilainya. Tetapi dikeluarkan benda yang dikenakan zakat padanya. Maka tidak memadai perak dari zakat emas dan emas dari zakat perak, walaupun nilainya berlebih daripada perak. Mungkin sebahagian orang tidak memahami maksud Asy-Syafi’i ra yang mempermudahkan tentang itu dan menitikberatkan kepada tujuan untuk memenuhi kepentingan. Alangkah jauhnya dari berhasil, karena memenuhi kepentingan itu adalah suatu tujuan dan tidaklah ia menjadi seluruh tujuan. Tetapi kewajiban syari’atnya adalah 3 bahagian:

Bahagian pertama: adalah ibadah semata-mata, tak masuk padanya keuntungan dan maksud-maksud tertentu. Umpamanya melemparkan jamrah pada ibadah haji, karena tak ada keuntungan bagi jamrah, pada sampainya batu kepadanya. Maksud syari’at mengenai pelemparan batu itu, ialah menguji dengan perbuatan, supaya hamba itu melahirkan kehambaan dan perhambaannya, dengan suatu perbuatan yang tidak dipahami maksudnya. Karena apa yang dipahami maksudnya, kadang-kadang ditolong dan didorong oleh tabiat kepada perbuatan itu. Maka tidak menampak ikhlas kehambaan dan perhambaan. Karena perhambaan itu menampak dengan gerak untuk melaksanakan perintah Yang Disembah (al-ma’bud) saja, tidak untuk suatu maksud yang lain. Dan sebahagian besar amal perbuatan ibadah haji, adalah demikian. Dari itu, Nabi saw membaca pada ihramnya: “Aku terima panggilan Engkau dengan haji dengan sebenar-benarnya beribadah dan kehambaan kepadaMu”. Sebagai peringatan, bahwa itu adalah untuk melahirkan perhambaan, dengan mematuhi, karena perintah dan mengikuti perintah semata-mata, sebagaimana diperintahkan tanpa penjinakan akal pikiran kepadanya, dengan tertarik dan tergerak pikiran itu kepadanya.

Bahagian kedua: diantara kewajiban yang diwajibkan syari’at, tidaklah dimaksudkan daripadanya suatu keuntungan yang dapat dipahami dan tidak pula dimaksudkan suatu peribadatan kepada Allah, seperti melunaskan utang dari seseorang dan mengembalikan barang yang dirampasnya. Maka tidak ragulah kiranya, bahwa dalam hal tadi, tidak dipandang perbuatan dan niatnya. Dan manakala sampailah hak itu kepada yang berhak, dengan mengambil haknya atau digantikan dengan yang lain dengan persetujuan dari yang berhak, maka terlaksanalah kewajiban itu dan selesailah tuntutan syari’at. Inilah dua bahagian, yang tidak ada susunan padanya, di mana sekalian manusia dapat memahaminya.

Bahagian ketiga: yaitu yang tersusun, yang dimaksudkan padanya dua perkara bersama-sama. Yakni keuntungan bagi hamba dan percobaan bagi seorang mukallaf dengan memperhambakan diri. Maka berkumpullah padanya perhambaan kepada Tuhan yang ada pada pelemparan jamrah dan keuntungan pada pengembalian hak milik. Inilah bahagian yang dipahami pada perbuatan itu sendiri. Maka kalau datanglah syari’at menyuruhnya, niscaya wajiblah terkumpul diantara kedua maksud itu. Dan tidaklah seyogya dilupakan arti yang terhalus daripada keduanya, yaitu: memperhambakan dan memperbudakkan diri kepada Allah, disebabkan nyata benar keduanya. Dan arti yang terhalus itulah, yang terpenting. Dan zakat, adalah termasuk golongan ini, di mana tak ada yang menyadarinya, selain Imam Asy-Syafi’i ra. Maka keuntungan bagi orang fakir, adalah dimaksudkan pada memenuhi hajat keperluannya. Dan itu, jelas dan lekas dipahami. Tentang perhambaan kepada Allah dengan zakat, dengan mengikuti segala perinciannya, adalah maksud dari syari’at. Dan dengan memperhatikannya, jadilah zakat itu, teman bagi shalat dan haji, tentang adanya, sebahagian dari sendi-sendi Islam. Dan tak ragulah kiranya, bahwa seorang mukallaf itu sukar membedakan segala jenis hartanya dan mengeluarkan bahagian tiap-tiap harta, mengenai macamnya, jenis dan sifatnya. Kemudian, membagi-bagikannya kepada golongan 8 yang berhak menerima zakat, sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan mempermudah-mudahkan dalam hal itu, adalah tidak mencederakan terhadap keuntungan orang fakir. Tetapi mencederakan terhadap perhambaan kepada Allah. Dan dibuktikan, bahwa memperhambakan diri kepadaNya (ta’abbud) itu dimaksudkan dengan menentukan bermacam-macam, oleh beberapa perkara yang telah kami sebutkan dalam kitab-kitab yang menerangkan bermacam-macam pendapat dari masalah-masalah fiqih. Sebahagian yang amat jelas daripadanya, ialah bahwa syari’at mewajibkan dalam 5 ekor unta, seekor kambing. Syari’at itu, berpaling dari unta kepada kambing dan tidak berpaling kepada emas dan perak dan menilaikannya. Kalau diumpamakan, bahwa yang demikian itu, karena sedikitnya mata uang pada tangan orang-orang Arab, maka yang demikian itu menjadi batal, dengan diperbolehkan 20 dirham pada penempelan dari kekurangan, bersama dengan dua ekor kambing. Maka mengapakah, tidak disebutkan pada penempelan itu, sekedar yang kurang dari nilainya ? mengapakah ditentukan dengan 20 dirham dan dua ekor kambing, sedangkan kain dan semua barang, adalah mengandung satu maksud dengan itu ?. Apa yang disebutkan tadi dan segala ketentuan yang seumpama dengan dia, menunjukkan, bahwa zakat tidaklah dibiarkan terlepas daripada perhambaan kepada Allah, sebagaimana pada haji. Tetapi dikumpulkan diantara kedua maksud. Dan jiwa yang lemah, tak sanggup memahami segala susunan. Dan disitulah terletaknya kesalahan.

Keempat: zakat itu dipindahkan ke negeri lain. Karena mata orang-orang miskin di tiap-tiap negeri memanjang sampai kepada harta-hartanya. Dan dengan pemindahan zakat itu menyia-nyiakan segala sangkaan. Kalau dipindahkan, memadai juga menurut suatu pendapat (qaul). Tetapi keluar dari keragu-raguan perselisihan itu, adalah lebih utama. Dari itu, hendaklah dikeluarkan zakat tiap-tiap harta, pada negeri harta itu sendiri. Kemudian tidak mengapa diserahkan kepada orang-orang perantau yang ada pada negeri tempat pengeluaran zakat.


Kelima: harta zakat itu dibagi-bagikan, menurut bilangan golongan penerima zakat yang ada di negeri itu. Karena meratakan golongan adalah wajib, dibuktikan oleh ketegasan firman Allah Ta’ala: “Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, orang-orang yang dibujuk hatinya untuk melepaskan perbudakan (tawanan), orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan”. S 9 At Taubah ayat 60. Tujuan dari firman tadi, serupa dengan kata orang yang sedang sakit: “1/3 dari hartaku, untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin”. Maka pembahagian zakat itu, menghendaki penyekutuan pada pemilikan dan peribadatan, sehingga seyogyalah dijaga dari tujuan kepada yang zhahir semata-mata. Pada kebanyakan negeri tidak terdapat dua golongan dari golongan yang 8 itu, yaitu: golongan yang dibujuk hatinya (muallaf) dan pengurus zakat (‘amil). Dan pada seluruh negeri, terdapat 4 golongan, yaitu: fakir, miskin, orang yang berhutang dan orang musafir, yakni: ibnussabil. Dua golongan terdapat pada sebahagian negeri yaitu: orang-orang yang berperang pada jalan Allah dan budak-budak yang melepaskan dirinya dengan tebusan. Kalau terdapat 5 golongan umpamanya, maka zakat itu dibagi-bagikan antara mereka dalam 5 bahagian yang sama atau berlebih-kurang dan ditentukan untuk tiap-tiap golongan sebahagian. Kemudian tiap-tiap bahagian itu, dibagikan kepada 3 bahagian atau lebih, adakalanya sama banyak atau berlebih kurang. Dan tidaklah diharuskan sama banyak diantara orang-orang dari sesuatu golongan. Sehingga bolehlah dibagikan, ada yang memperoleh 10 dan 20 dan tertentulah dengan demikian, bahagian masing-masing. Adapun golongan-golongan yang ada itu, tidak dapat ditambah dan dikurangi. Dan tidak seyogyalah dikurangi pada masing-masing golongan, daripada 3 orang, kalau ada. Kemudian, kalau tidak ada yang wajib diserahkan, selain dari segantang untuk fithrah, diantara 5 golongan yang ada, maka haruslah disampaikan pembahagian itu kepada 15 belas orang. Kalau kuranglah seorang dari mereka serta mungkin dipenuhi, maka dibayar bahagian orang yang seorang itu. Kalau sulit, karena terlalu sedikit yang harus diserahkan, maka hendaklah ia berkongsi dengan golongan yang wajib menyerahkan zakat dan mencampurkan zakatnya dengan zakat golongan itu. Lalu dikumpulkan segala orang yang berhak menerima zakat, kemudian diserahkan zakat itu, sehingga mereka memperoleh bahagian masing-masing. Demikian cara yang seharusnya ditempuh !.

Tiada ulasan: