Catatan Popular

Khamis, 31 Ogos 2017

KITAB FATUR RABBANI WACANA 15 : MENDAHULUKAN KEPENTINGAN ATAS DIRI SENDIRI


(Percikan Cahaya Ilahi)

SULTHANUL AULIYA SYEIKH ABD QADIR AL JAILANI

Pada Hari Ahad , 9 Dzulqaidah tahun 545 di pondoknya,
Syeikh Abdul Qadir Al Jalani bertutur :

Orang beriman hidup di dunia itu semata hanya mencari bekal untuk akhirat, dan orang kafir itu bersenang-senang di dalamnya. Orang beriman senantiasa berbekal, karena mereka berada pada jalan Qana’ah dan mempermudah lepasnya hasrat, sebaliknya perhatiannya lebih banyak dicurahkan untuk akhirat. Ia persiapkan untuk dirinya suatu bekal menurut kemampuannya. Segala kekayaan ada di akhirat. Setiap hati dan himahnya berada di sana, dan di sana juga ia putuskan hati dari dunia, lalu mencurahkan segala kepatuhannya untuk kepentingan akhirat, bukan untuk kepentingan dunia beserta isinya.
Andaikata ia punya makanan baik tak pelak ia berikan untuk orang fakir. Sebab ia tahu di akhirat tersedia makanan yang lebih baik dari itu.
Tujuan akhir cita orang beriman lagi berilmu dalah jalinan yang lebih dekat dengan Tuhan. Dia menjadi tujuan akhir, langkah hati dan pengembaraan rahasia. Sesungguhnya aku melihatmu ketika berdiri, duduk, ruku, sujud dan berjaga, sedang hatimu tak henti-hentinya berada di tempat dan tidak keluar dari kediaman serta tidak memelihara tradisinya. Usahakan sebenar mungkin saat mencari Tuhanmu, karena kamu telah diperkaya hingga mampu bersedekah secara banyak dibanding yang engkau teguk (makan).
Patuklah butir keberadaanmu dengan peran kebenaranmu. Carikan sarang pencarianmu atas sesuatu dengan meletakkan tangan zuhud di sana. Terbanglah dengan hatimu hingga sampai pantai samudra yang memperdekat dirimu dengan Tuhan. Ketika itu angin kencang menyongsongmu beserta perahu layar yang menghimpit lalu mengangkat dirimu dan menghambur menuju Tuhan. Nah, demikian potret dunia laksana samudra sedang imanmu seumpama perahu layar yang tengah berlabuh. Itu sebabnya Luqman Al-Hakim berkata : “Wahai anakku, dunia ini laksana samudera, Iman laksana bahtera, lajunya adalah taat dan pantainya adalah akhirat”

Wahai orang yang bersejuk atas maksiat, dalam waktu dekat akan datang padamu buta, pekak, waba’, fakir dan kesat hati semua makhluk dan engkau terima. Lalu sirnalah hartamu dengan terkepung menguap dan tercuri. Jadilah engkau orang berakal lagi bertaubat kepada Allah. Engkau jangan sekutukan Dia dengan hartamu, tawakal pada-Nya, jangan berdiam bersama harta itu. Campakkan ia dari hatimu, perkecillah rakusmu, dan pendekatan hayalmu.
Dari Abu Yazid al Busthami, ia berkata : Mukmin yang arif itu tidak mencari dunia atau akhirat dari Tuhannya, tetapi yang benar ia mencari Ridla Tuhannya.

Wahai sahaya, kembalilah bersama hatimu menuju Allah. Manusia yang bersungguh melakukan taubat kepada Allah hanyalah orang yang sudi kembali kepada-Nya. Dia berfirman :
“Dan kembalilah kamu (taubat) kepada Tuhanmu.” (Q.S. Az-Zumar  : 54).
Artinya kembalilah kamu kepada Tuhanmu. Yang dimaksud kembali di sini adalah tunduk secara total kepada Dia. Serahkan jiwamu kepada-Nya dan campakkan jiwamu di hadapan Dia menurut ketetapan, kehendak, perintah, dan cegah-Nya. Campakkan hatimu di hdapan Dia tanpa kata, tanpa tangan, tanpa kaki, tanpa mata dan tanpa apapun, bahkan harus disertai keseimbangan dan kebenaran. Apabila yang demikian terjadi padamu tentu keberadaan hatimu kembali kepada-Nya dengan penuh kesaksian dan bukan berjinak lagi bersama sesuatu makhluk. Bahkan hatimu lebih liar terhadap sesuatu yang bertarap di bawah Arasy. Juga hatimu lari dari segala keberadaan ini dan tetap hanya terputus dari segala yang terbilang baru.
Sungguh untuk manusia telah disediakan cela dan pujian; seperti musim panas dan musim dingin, atau seperti siang dan malam. Kedunya itu sama-sama tidak lepas dari pengawasan Allah. Oleh karena itu tiada orangmampu mendatangkan keduanya atau hanya salah satu darinya – kecuali dengan izin Allah. Hal itu manakala telah nyata bagimu, engkau tidak bangga dengan pujian dan tidak gusar dengan cela. Berkelanjut dengan keluarnya rasa kecintaan dalam hatimu terhadap makhluk. Tidak ada kata cinta, tidak ada rasa marah, yang ada justru belas kasih.
Mana ada ilmu bermanaaf bagimu, sedang ia tanpa pengamalan. Sungguh ilmu demikian amar direndahkan oleh Allah. Engkau belajar, mendirikan shalat, menunaikan puasa, tapi semata untuk makhluk; dengan harapan mereka menyanjungmu dan menyerahkan harta mereka untukmu. Tentu, hal ini bisa berhasil dengan mudah engkau peroleh. Tapi kala mati telah tiba, siksa penjempitan kubur dan peristiwa besar lagi mengerikan menimpamu. Saat itu penjelas yang pernah tejadi antaramu dan mereka tidak berguna, termasuk apa yang engkau peroleh berupa harta mereka juga tidak berguna. Padahal pemakannya bukan kamu, tapi siksa. Sedang perhitungan ada padamu.

Wahai pembelakang kebenaran, wahai pecinta haram, di dunia engkau termasuk para pekerja keras, tapi kelak engkau di neraka. Ibadah itu suatu jalan perombak, oangnya disebut wali. Dan abdal yang ikhls itu selalu mendekat Allah, Ulama, yang bertindak dengan ilmunya itu menjadi khalifah (pengganti) Allah di bumi-Nya, Rasul-Nya dan menjadi pewaris para Nabi dan Rasul. Bukan seperti kamu, wahai orang-orang gila, wahai penjilat, wahai pemandai lahiri tepi dungu batini.

Wahai hamba apa yang ada padamu, Islam bukan menyerahkanmu? Islam adalah kerangka yang dibangun melalui syahadat, jadi tidak sempurna persaksian bahwa : “Tiada Tuhan kecuali Allah” tetapi engkau dusta, apalagi di hatimu terhias beraneka ragam tuhan yang engkau takuti. Seperti : para pemimpin dan penguasa yang bertingkah mengaku tuhan.
Ketegaranmu atas usahamu, perniagaanmu, daya dan kekuatanmu, pendengar dan penglihatanmu kau pertuhankan. Pendapatmu yang menyatakan dlar (sengsara) dan naf (manfaat) pemberi dan cegah yang datang dari makhluk kau pertuhankan. Mayoritas manusia bergantung pada hal ini sepenuh hati, hanya pada bagian lahiri mereka bergantung kadpa Al-Haq. Telah menjadi tradisi mereka berdzikir kepada Allah dengan mulut tanpa ditekan oleh hati. Bila nyata mereka nampak seperti itu mereka gusar dan berkata : “bagaimana ucapan kami sedemikian disebut patuh (muslim).” Nanti akan nampak aib dan terlahir kecintaan.
Perkuatlah ucapanmu ketika berucap “Laa ilaaha” sebagai penafi (peniada) segala keberadaan ini, dan “Illallah” sebagai ketetapan melingkup untuk Dia semata, jadi bukan selain Dia. Dalam situasi apa pun di mana hatimu berpendirian kuat terhadap sesuatu – selain Allah – maka ini terrmasuk kedustaan atas penetapan ucapanmu, dan jadilah Tuhanmu yang engkau perkuat dengan keyakinan kendati tanpa disertai ekspresi tingkah lahiri. Manakala engkau berucap “Laa ilaaha illallah” maka ucapan di permukaan kata bersumber dari lubuk hati, baru disertai lisan sebagai penandas. Serta gantungkan secara kuat kepada-Nya – bukan selain Dia. Persibuk lahirmu dengan perbagai hukum dan batinimu dengan Allah. Tinggalkan kebaikan dan jelek atas lahirimu, juga persibuklah batinimu bersama Dia – pencipta kebaikan dan buruk. Siapa mengenal Dia tentu ia berendah kepada-Nya dan menjaga segala lisan di hadapan-Nya. Sehingga berlipatlah himah yang ia miliki, sedih dan tangisnya bertambah, rasa malu dan sesal atas tindakan-tindakan terdahulu – berupa kesia-siannya – bertambah, juga takutnya bertambah kuat dan bertambah pula ma’rifat dan ilmunya. Karena itu firmankan :
“Sesungguhnya Tuhanmu kuasa melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. 11:107).
Juga firman-Nya :
“Dia tidak ditanya terhadap sesuatu yang diperbuat, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Q.S. Al-Anbiya’ : 23)
Berulang kali di hadapan mata sampai yang terdahulu tetap berupa kesia-siaan kejahilan dan duka citanya, maka mencari dari kemaluan (malu) dan takut dari pencabutan orang dan menatap ke arah mendatang.
Apakah diterima atau bahkan ditolak, apakah terebut apa didberikan, atau malah hampa baginya; apakah di hari kiamat ia termasuk teman orang-orang beriman atau kafir. Karena itu sebelumnya Nabi saw. bersabda :
Aku adalah orang yang lebih mengerti Allah daripada kamu dan aku pula yang lebih takut kepada-Nya daripada kamu.” (Riwayat Imam Bukhari)
Di antara sebagian orang yang arif dalam kepelikan dan keganjilan; siapa datang apdanya kecuali orang yang mampu membaca diri tentang sesuatu yang melintasinya, itu pun disertai ilmu. Rahasia yang dimiliki jelas terbaca di Lauh Makhfudz, kemudian terbit dalam hati. Kendati tetap diperintah untuk merahasiakan hal itu, dan tidak diperkenankan menampakkan melalui nafsu kendati dengan alasan misi Islam semata. Bahkan menurutnya antara emas dan debu tidak berbeda, termasuk puji dan cela, pemberian dan penolakan, surga dan neraka, nikmat dan sakit, kaya dan fakir, keberadaan makhluk dan sirnanya. Bila demikian telah sempurna maka keberadaan Allah selalu tumbuh menjadi landasan aktivitasnya. Dari Allah kemudian datang penguasa dan kekuasaan terhadap makhluk. Setiap orang yang melihat tentu mengambil manfaat kepadanya – semata karena keperkasaan Allah dan Nur-Nya yang terpakaian padanya.

Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di akhirat, dan selamatkanlah kami dari siksa neraka.

Tiada ulasan: