Catatan Popular

Khamis, 26 November 2020

IBNU JARIR ATH THABARI Kisah Kantong Berisi 1000 Dinar

Nama Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Terutama bagi mereka yang berkonsentrasi untuk mendalami ilmu agama. Beliau  adalah seorang sejarawan dan pemikir muslim dari Persia, lahir di daerah Amol, Tabaristan (sebelah selatan Laut Kaspia). Nama lengkapnya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari.

 

Kitab tafsir Ath-Thabari adalah salah satu buah karya tulis beliau yang sangat popular.

 

Tafrir Ath-Thabari menjadi salah satu rujukan utama dalam ilmu tafsir Al-Qur’an. Selain ahli di bidang tafsir beliau juga ahli di bidang sejarah. Buktinya adalah sebuah kitab karangan beliau yang berjudul Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Nabi dan Raja), atau lebih dikenal sebagai Tarikh ath-Thabari. Kitab ini berisi sejarah dunia hingga tahun 915, dan terkenal karena keakuratannya dalam menuliskan sejarah Arab dan Muslim.

 

Sebelum Imam ath-Thabari dikenal banyak orang sebagai ulama yang pakar di berbagai disiplin ilmu. Imam Ibnu Jarir muda ternyata menyimpan sebuah kisah yang unik dan inspiratif yang terselip di antara lembaran kehidupannya. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari pernah menyaksikan suatu peristiwa yang sangat menyentuh nuraninya dan selalu membekas dalam ingatannya.

 

Ketika itu imam ath-thabari sedang menunaikan ibadah haji di Makkah.

 

Kemudian beliau menyaksikan ada seorang pria dari khurasan yang berteriak di jalanan,”Wahai para jama’ah haji dan penduduk Mekah,baik yang hadir maupun yang tidak, saya kehilangan kantong yang berisi 1000 dinar.

 

Barang siapa yang bisa mengembalikannya kepada saya, maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan, menjauhkan dari api neraka, memberinya rezeki dan kesenangan di hari pembalasan.”

 

Tidak disangka tiba-tiba datang seorang pria Arab yang tua dan miskin dengan baju yang lusuh mendekati pria dari khuarasan tersebut, lalu berkata,”Wahai orang Khuarasan, kota ini sangat keras, hari-hari haji terbatas, musim haji sudah ditentukan, pintu untuk membuat keuntungan telah ditutup, maka biasa saja uang anda  jatuh ke tengan orang miskin yang  membutuhkannya.Barangkali yang menemukan mau mengembalikan bila Anda mau berbagi sedikit? Orang Khurasan itu mengatakan,”Berapa banyak yang ia mau?”Orang tua itu mengatakan,”Barang kali seper sepuluhnya (100 dinar).”Namun ternyata orang Khurasan itu enggan untuk memberikannya.

 

Dalam hati Imam ath-Thabari, ia menduga bahwa orang tua miskin itulah yang menemukan uang itu. Maka Imam ath-Thabari berinisiatif untuk mengikuti orang tua itu sampai rumahnya  secara diam-diam. Firasat beliau ternyata terbukti benar. Setelah tiba di rumahnya pria tua itu menemui istrinya yang bernama Lubabah dan menceritakan pertemuannya dengan sang pemikik uang. ia mengadu pada istrinya bahwa sang pemilik uang ternyata tidak mau memberikan hadiah kepada orang yang menemukan uangnya. Padahal ia ingin segera mengembalikan uang itu karena takut kepada Allah dan takut dosanya dilipatgandakan.

 

Kemudian istrinya berkata,”Wahai suamiku, kita telah berjuang dan menderita kemiskinan selama 50 tahun terahir. Engkau memiliki 4 anak perempuan, 2 saudara perempuan, ibuku, diriku, dan engkau, semuanya sembilan. Jangan berikan uang itu ke pemiliknya; beri kami makan karena kami sedang kelaparan, pakaian kami pun telah usang. Engkau tahu, kondisi kita lebih buruk dari yang lain. Bisa jadi Allah yang maha perkasa, akan membuatmu kaya dengan itu dan kau bisa mengembalikan uang itu setelah memberi makan anak-anak. Atau, Allah akan membayar hutang-hutangmu pada hari ketika seluruh kerajaan kembali kepada Allah.”

 

Dia berkata kepada istrinya,”Apakah saya akan memakan barang haram setelah 86  tahun menahan darinya, dan membakar tubuh ini dengan api setelah saya bersabar dengan kemiskinan ini, kemudian mendapat kemurkaan Allah?! Tidak, Demi Allah, saya tidak akan melakukannya!”

Ucapan inilah yang membuat Imam at-Thabari menjadi begitu takjub kepada keimanan pria tua tersebut. Karena ucapannya mengisaratkan akan keimanannya yang kuat kepada Allah. Disaat kemiskinan begitu mencekiknya, kelaparan begitu menyiksanya namun itu semua tidak menggoyahkan sedikitpun rasa takutnya kepada Allah dan hari Pembalasan.

 

Esok harinya,orang Khurasan yang kehilangan uang kemarin berteriak di kerumunan orang untuk mengumumkan uangnya yang hilang. Kemudian Ibnu Jarir at-Thabari meliahat pria tua yang kemudian diketahui bernama Abu Ghayath kembali mendatangi orang Khurasan itu. Abu Ghayath berkata padanya,”Wahai orang Khurasan, saya telah memberitahumu kemarin bahwa tanah kami gersang. Jadi, berilah hadiah kepada orang yang menemukan uang itu agar ia tidak tergoda melanggar hukum-hukum Allah. Saya telah menyarankan kepada anda untuk membayar si penemu 100 dinar, tapi anda menolak. Jika  uangmu jatuh ke tangan orang yang takut kepada Allah Yang Maha Perkasa, kau cukup memberinya 10 dinar saja, bukan 100 dinar.”Namun ternyata orang Khurasan itu tetap enggan memberikan upah kepada si penemu.

 

Beberapa saat kemudian orang-orang pun bubar. Kemudian Abu Ghayath kembali menemui orang Khurasan itu untuk yang kesekian kalinya. Kemudian ia berkata padanya dengan nada yang  sangat memelas,”Wahai orang Khurasan, saya berkata pada anda kemarin uantuk memberi si penemu 100 dinar, namun anda menolak. Lalu saya menyarankan Anda untuk memberinya 10 dinar, Anda pun menolaknya juga. Jadi, berilah si penemu satu dinar saja, sehingga ia dapat membeli barang-berang yang ia butuhkan, serta dapat memberi makan kepada istri dan anak-anaknya yang kelaparan!”

 

Orang Khurasan itu masih tetap pada jawabanya yang semula,”Saya tidak akan melakukannya. Saya akan mengadu kepada Allah pada hari aku bertemu dengannya. Cukuplah Allah bagiku dan Dia-lah sebaik-baik dzat yang dipercaya.” Abu Ghayath pun marah,”Ambil uang Anda biar saya bisa tidur mala mini. Karena menemukan uang itu, hidupku tidak tenang!” bentaknya.

 

Setelah itu, Abu Ghayath pergi bersama orang Khurasan itu. Imam at-Thabari terus mengikuti mereka, hingga sampailah mereka di rumah Abu Ghayath. Kemudian ia menggali lubang di tanah dan mengeluarkan kantong berisi uang  tersebut, lalu menyerahkan kepada si pemilik uang.

 

Orang Khurasan itu menerima uangnya dengan wajah yang sumringah. Setelah berterima kasih kepada Abu Ghayath dan mendo’akannya ia pun bermaksud pergi, tapi ketika sampai di pintu rumah ia berbalik dan berkata,”Wahai orang tua, ayahku telah meninggal--semoga Allah mengampuninya. Ia meninggalkan 3.000 dinar dan berpesan agar mengambil sepertiga dari uang ini (1.000 dinar) dan berikan kepada seseorang yang sangat membutuhkannya.

 

Oleh karena itu, saya ikat uang itu dalam kantong sehingga saya dapat memberikannya kepada orang yang layak menerima. Demi Allah, saya tidak melihat seorang pun sejak meninggalkan Khurasan sampai sekarang, yang lebih layak selain Anda. Oleh karena itu, ambilah 1.000 dinar ini. Semoga Dia memberimu pahala yang besar atas iman yang kau jaga serta kesabaran dalam kemiskinan.” Kemudian orang Khurasan itu menyerahkan kantong berisi uang itu kepada Abu Ghayath dan setelah itu ia pun pergi.Abu Ghayath menerima uang itu sembari menangis sendu dan berdo’a kepada Allah,”Semoga Engkau memberkati pemilik uang dalam kuburnya dan Semoga Engkau memberkati putranya”.

 

Peristiwa ini sungguh begitu menyentuh Imam ath-Thabari. Bagaimana seorang yang miskin namun sangat takut kepada Allah. Disaat ia bisa menggunakan uang yang ia temukan itu untuk keperluan keluarganya namun karena tidak ingin memakan barang yang bukan haknya ia tidak melakukannya. Ia ikhlas memerima apa yang Allah berikan padanya sebagai jatah rizkinya.

Namun kisahnya tidak berhenti disini.

 

Ketika imam at-Thabari hendak beranjak pergi, ternyata pria tua itu menghampirinya kemudian menariknya. Ia meminta Imam ath-thabari untuk duduk. Ia berkata,”Saya melihat Anda mengikuti saya sejak hari pertama. Anda telah mengetahui kondisi kami kemarin dan hari ini. Saya telah mendengar bahwa Nabi bersabda,’Jika kamu mendapat rahmat dari Allah, tanpa mengemis atau meminta maka terimalah dan jangan kau menolaknya’ Jadi ini adalah hadiah dari Allah untuk semua orang yang hadir.”

 

Pria tua itu kemudian memanggil anak perempuan, saudara perempuan, istr dan ibunya. Mereka semua kemudian duduk. Ia pun menyuruh Imam at-Thabari yang saat itu belum terkenal untuk duduk. Semuanya ada 10 orang. Dia membuka kantong dan berujar,”Bentangkan pakaian di atas kaki kalian!” ia pun membagikan uang dalam kantong tersebut secara bergilir dinar demi dinar. Ia selalu berkata,”Ini adalah dinar.” Ia terus membagikannya hingga kantong itu kosong. Setiap orang mendapatkan 100 dinar. Sukacita memenuhi hati imam at-Thabari karena melihat kebahagiaan yang terpancar dari keluarga tersebut , yang sangat mensyukuri setiap dinarnya.

 

Ketika Imam at-Thabari ingin pulang, orang tua itu berkata,”Wahai anak muda, semoga engkau diberkahi. Pergunakan uang ini untuk membeli sesuatu yang halal. Engkau tahu bahwa diriku biasa bangun untuk shalat subuh dengan kemeja basah ini. Setelah selesai, saya bergantian dengan anakku agar bisa shalat satu per satu. Lalu, saya akan pergi bekerja antara waktu Dhuhur dan Ashar, kemudian pulang pada sore hari membawa rizki dari Allah berupa kurma dan potongan roti kering. Ketika saya bekerja, kemeja itu dipakai putri saya untuk shalat Dhuhur dan Ashar. Begitu pun dengan shalat Maghrib dan Isya’. Kami sekeluarga tidak pernah bermimpi untuk melihat uang ini. Semoga Allah membimbing kita untuk memanfaatkan dinar ini uantuk kebaikan. Semoga Allah juga memberkahi pemilik uang dalam kuburnya dan memperbanyak pahala baginya.”

 

Imam at-Thabari pun mengucapkan selamat tinggal kepadanya, dan mengambil 100 dinar yang diberikan untuknya. Ia pun menggunakan uang tersebut untuk menulis berbagai disiplin ilmuselama dua tahun. Ia mempergunakannya untuk membeli kertas dan membayar sewa rumah. Setela 16 berlalu, ia kembali ke Mekah dan bertanya tentang orang tua yang dulu pernah memberinya uang. ia pun mendapat kabar ternyata orang tua itu sudah meninggal beberapa bulan setelah peristiwa itu. Istrinya meninggal, bersama dengan ibu dan kedua saudara perempuannya. Satu-satunya yang tersisa hanyalah anak-anak perempuannya. Saya pun bertanya tentang mereka. Ternyata mereka masing-masing telah menikah dengan raja dan pangeran. Ketika ia mengunjungi mereka, mereka pun menghormatinya dan memperlakukannya dengan baik.

 

Kisah ini akan terus menjadi pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran. Bahwa Allah tidak akan mentelantarkan hambanya yang bertakwa dan takut pada-Nya. Bahkan Allah menjanjikan bagi mereka jalan keluar dari setiap kesulitan dan limpahan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (3 )Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Qs.At-Thalaq: 2-3)

Tiada ulasan: