Catatan Popular

Khamis, 13 Mei 2021

KITAB ASH SHIDQ BAGIAN DUA : SABAR

SYEIKH ABU SAID AL KHARRAZ (si tukang melubangi sepatu)  

Sabar terbagi ke dalam dua bagian: sabar zhāhir dan sabar bāthin. Sabar zhāhir terklasifikasikan dalam empat kelompok. Pertama: sabar dalam melaksanakan ‘ibādah-ibādah yang diwajibkan oleh Allah s.w.t., baik di saat senang mau pun susah, kala sehat mau pun sakit, atau dengan sukarela mau pun dengan terpaksa. Kedua: sabar terhadap semua larangan Allah s.w.t dan menahan diri dari segala perbuatan yang dikehendaki hawa nafsu dan tidak diridhāi-Nya. Karena menahan diri dari larangan-Nya, baik secara sukarela atau pun terpaksa akan memperoleh keridaan Allah s.w.t. Dua kategori sabar ini diwajibkan kepada semua hamba untuk melaksanakannya. Ketiga: sabar dalam mengerjakan ‘ibādah yang sunah, dan berbuat amal kebajikan yang akan mengantarkannya kepada Allah s.w.t. Dengan demikian, seyogianya ia berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh pahala yang dijanjikan Allah s.w.t. sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam hadits qudsi:

مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِمِثْلِ مَا اقْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ وَ لَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبُّهُ.

Tidak ada hamba-Ku yang bisa mendekatkan diri kepada-Ku (hanya dengan) melaksanakan semua keharusan yang Kuwajibkan kepadanya, dan (sesungguhnya) hamba-Ku senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ‘ibādah-ibādah sunah, hingga Aku mencintainya.” (41)

Keempat: sabar dalam menerima kebenaran yang disampaikan oleh orang lain. Atau jika ada orang yang menyeru dengan nasihat-nasihat yang baik, hendaklah kamu menerimanya dengan penuh rasa sabar. Sebab kebenaran itu adalah kiriman dari Allah s.w.t. yang Maha Mulia yang diberikan kepada semua hamba-Nya. Dan kamu tidak boleh membantah perkara yang benar, sebab jika kamu membantahnya, sama artinya dengan kamu menolak kiriman Allah s.w.t. Hal ini tentunya sangat berdosa. Dan itulah pengertian sabar zhāhir yang wajib diketahui dan tidak boleh diabaikan oleh setiap hamba.”

T: “Apa hakikat sabar? Dan bagaimana fungsinya di dalam hati?”

J: “Hakikat sabar adalah menahan segala hal yang dibenci oleh hawa nafsu. Umpamanya, jika ditimpa suatu perkara yang dibenci, ia akan menerimanya dan terus bersabar, tidak rewel atau pun mengeluh, bahkan berusaha menutupinya agar tidak diketahui orang lain. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:

مَنْ بَثَّ فَقَدْ شَكَا

Barang siapa yang suka berkeluh kesah, sesungguhnya ia tidaklah bersabar.” (telah mengadu).

Dan juga firman Allah s.w.t. yang berbunyi:

وَ الْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَ الْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ

Dan orang-orang yang mampu menahan kemarahannya, serta orang-orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain.” (Āli Imrān: 134)

Dengan demikian, jika ada orang yang mampu menahan diri dari yang tidak disukainya, meski pun ia merasa amat berat menanggungnya, bukanlah ia adalah orang yang bersabar? Akan tetapi, jika ia menunjukkan kemarahan, lalu membalas kepada orang yang berbuat jahat kepadanya dan tidak memaafkannya, tentunya ia bukanlah termasuk orang yang bersabar?”

T: “Bagaimana agar bisa ajeg dalam bersabar? Dan apa puncak kesabaran?”

J: “Ada sebuah hadits yang bisa menjawabnya, yaitu:

إِنَّ الصَّبْرَ عَنِ الْمَكَارِهِ مِنَ الْيَقِيْنِ

Sesungguhnya (kemampuan) bersabar dari perkara-perkara yang dibenci adalah sebagian dari keyakinan.

Sementara itu, hadits lain menyatakan:

إِنَّ الصَّبْرَ نِصْفُ الْإِيْمَانِ وَ الْيَقِيْنُ الْإِيْمَانُ كُلُّهُ

Sesungguhnya bersabar adalah sebagian dari iman, dan keyakinan hati adalah sepenuhnya keimanan.

Maksudnya, tatkala seorang hamba mengaku beriman kepada Allah s.w.t. dan mempercayai janji dan ancaman-Nya, niscaya hatinya sangat mendambakan pahala atas perbuatan-perbuatan baik yang telah dikerjakannya, dan bersamaan dengan itu, hatinya akan dicekam rasa takut terhadap ancaman Allah. Di kala itu, keinginannya untuk mencari perlindungan dari ancaman Allah s.w.t. akan menjadi kukuh dan benar. Segala citanya akan dipengaruhi keinginan untuk memperoleh balasan pahala., sehingga menjadikannya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan segala hal yang baik dan meninggalkan segala hal yang jahat, dengan hati yang dipenuhi rasa takut (khawf) dan harap (rajā).

 Karenanya, ia berkenan untuk berlaku sabar dan bersedia menerima segala kesulitannya. Sesudah itu, ia baru bisa melaksanakan keinginannya dengan sempurna seraya terus-menerus waspada untuk tidak menodainya. Pada saat itulah, ia dikatakan sebagai orang yang bersabar.

Tiada ulasan: