Catatan Popular

Selasa, 16 September 2014

TOKOH SUFI KLASIK ( 3 ) : KEAJABIAN-KEAJAIBAN HABIB AL AJAMI



Pada suatu seorang wanita tua datang kepada Habib, merebahkan dirinya di depan Habib dengan sangat memelas hati.

“Aku mempunyai seorang putera yang telah lama pergi meninggalkanku. Aku tidak sanggup lebih lama lagi terpisah darinya, berdoalah kepada Allah,” mohonnya kepada Habib, “Semoga berkat doamu, Allah mengembalikan puteraku itu kepadaku.”

Apakah engkau memiliki uang ?” Tanya Habib kepada wanita tua itu.

“Aku mempunyai dua dirham.” Jawabnya.

“Berikanlah uang itu kepada orang-orang miskin.”

Kemudian Habib membaca sebuah doa lalu ia berkata kepada wanita itu, “Pulanglah, puteramu telah kembali.”

Belum lagi wanita itu sampai ke rumah, dilihatnya sang putera telah ada dan sedang menantikannya.

“Wahai! Anakku telah kembali!” wanita itu berseru. Kemudian dibawanya puteranya itu menghadap Habib.

“Apakah yang telah engkau alami?” Tanya Habib kepada putera wanita itu.

“Aku sedang berada di Kirmani, guruku menyuruhku membeli daging. Ketika daging itu telah kubeli dan aku hendak pulang ke guruku, tiba-tiba bertiuplah angin kencang, tubuhku terbawa terbang dan terdengar olehku sebuah suara yang berkata, “Wahai angin, demi doa Habib dan dua dirham yang telah disedekahkan kepada orang-orang miskin, pulangkanlah ia kerumahnya sendiri.”

Pada tanggal 8 Zulhijjah, Habib kelihatan di kota Bashrah dan pada keesokkan harinya di Padang Arafah. Pada waktu yang lain, bencana kelaparan melanda kota Bashrah. Karena itu, dengan berutang Habib membeli banyak bahan-bahan pangan dan membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin. Setiap hari Habib menggulung kantung uangnya dan menaruhnya di bawah lantai. Apabila para pedagang datang untuk menagih utang, barulah kantung itu dikeluarkannya. Sungguh ajaib, ternyata kantung itu sudah penuh dengan kepingan-kepingan dirham. Dari situ dilunasinya semua utangnya.

Rumah habib terletak di sebuah persimpangan jalan di kota bashrah. Ia mempunyai sebuah mantel bulu yang selalu dipakainya baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Sekali peristiwa, ketika Habib hendak bersuci, mantel itu dilepaskannya dan dengan seenaknya dilemparkannya ke atas tanah.

Tidak berapa lama kemudian Hasan al Bashri lewat di tempat itu. Melihat mantel Habib yang terletak di atas jalan, ia bergumam, “Dasar Habib seorang barbar, tak peduli berapa harga mentel bulu ini! Mantel yang seperti ini tidak boleh dibiarkan saja di tempat ini, bias-bisa hilang nanti”.

Hasan berdiri di tempat itu untuk menjaga Mantel itu. Tidak lama kemudian habib pun kembali.

“Wahai, imam kaum Muslimin,” Habib menegur Hasan setelah member salam kepadanya, “mengapakah engkau berdiri di sini?”

“Tahukah engkau bahwa mantel seperti ini tidak boleh ditinggalkan di tempat begini? Bisa-bisa hilang. Katakana, kepada siapakah engkau menitipkan mantel ini?”

“Kutitipkan kepada Dia, yang selanjutnya menitipkannya kepadamu”. Jawab Habib.

Pada suatu hari Hasan berkunjung ke rumah habib. Kepadanya Habib menyuguhkan dua potong roti gandum dan sedikit garam. Hasan sudah bersiap-siap hendak menyantap hidangan itu, tetapi seorang pengemis datang dan Habib menyerahkan kedua potong roti beserta garam itu kepadanya.

Hasan terheran-heran lalu berkata, “Habib, engkau memang seorang manusia budiman. Tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit pengetahuan. Engkau mengambil roti yang telah engkau suguhkan ke ujung hidung tamu lalu memberikan semuanya kepada seorang pengemis. Seharusnya engkau memberikan sebagian kepada si pengemis dan sebagian lagi kepada tamumu”.

Habib tidak memberikan jawaban.

Tidak lama kemudian seorang budak datang sambil menjunjung sebuah nampan. Di atas nampan itu ada daging domba panggang, penganan yang manis-manis, dan uang lima ratus dirham perak. Si budak menyerahkan nampan itu ke hadapan Habib. Kemudian Habib membagi-bagikan uang itu kepada orang-orang miskin dan menempatkan nampan itu di samping Hasan.

Ketika Hasan mengenyam daging panggang itu Habib berkata kepadanya, “Guru, engkau adalah seorang manusia budiman, tetapi alangkah baiknya seandainya engkau memiliki sedikit keyakinan. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.

Pada suatu hari ketika perwira-perwira Hajjaj mencari-cari Hasan, ia sedang bersembunyi di dalam pertapaan Habib.

“Apakah engkau telah melihat Hasan pada hari ini?” Tanya mereka kepada Habib.

“Ya, aku telah melihatnya”, jawab Habib.
“Di manakah Hasan pada saat ini?”
“Di dalam pertapaan ini”.

Para perwira itu memasuki pertapaan Habib dan mengadakan penggeledahan, namun mereka tidak berhasil menemukan Hasan.

“Tujuh kali tubuhku tersentuh oleh mereka”, Hasan mengisahkan, “namun mereka tidak melihat diriku”.

Ketika hendak meninggalkan pertapaan itu Hasan mencela habib, “Habib, engkau adalah seorang murid yang tidak berbakti kepada guru. Engkau telah menunjukkan tempat persembunyianku”.

“guru, karena aku berterus terang itulah engkau dapat selamat. Jika tadi aku berdusta, niscaya kita berdua sama-sama tertangkap”.

“Ayat-ayat apakah yang telah engkau bacakan sehingga mereka tidak melihat diriku?” Tanya hasan.

“Aku membaca Ayat Kursi sepuluh kali, Rasul Beriman sepuluh kali, dan Katakanlah, Allah itu esa sepuluh kali. Setelah itu aku berkata, “Ya Allah, telah kutitipkan Hasan Kepada-Mu dan oleh karena itu jagalah dia”.

Suatu ketika Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Ia lalu menyusuri tebing-tebing di pinggir suangai Tigris sambil merenung-renung. Tiba-tiba Habib muncul di tempat itu.

“Imam, mengapakah engkau berada di sini?” Habib bertanya.

“Aku ingin pergi ke suatu tempat namun perahu belum juga tiba”, jawab Hasan.

“guru, apakah yang telah terjadi terhadap dirimu? Aku telah mempelajari segala hal yang kuketahui dari dirimu. Buanglah rasa iri kepada orang-orang lain dari dalam dirimu. Tutuplah matamu dari kesenangan-kesenangan dunia. Sadarilah bahwa penderitaan adalah sebuah karunia yang sangat berharga dan sadarilah bahwa segala urusan berpulang kepada Allah semata-mata. Setelah itu turunlah dan berjalanlah di atas air”.

Selesai berkata demikian Habib menginjakkan kaki ke permukaan air dan meninggalkan tempat itu. Melihat kejadian ini, Hasan merasa pusing dan jatuh pingsan. Ketika ia siuman orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai imam kaum Muslimin, apakah yang telah terjadi pada dirimu?”

“Baru saja muridku Habib mencela diriku; setelah iti ia berjalan di atas air dan meninggalkan diriku sedang aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika di akhirat nanti sebuah suara menyerukan, “Laluilah jalan yang berada di atas api yang menyala-nyala”, sedang hatiku masih lemah seperti sekarang ini, apakah dayaku?”

Di kemudian hari Hasan bertanya kepada Habib, “Habib, bagaimanakah engkau mendapatkan kesaktian-kesaktianmu itu?”

Habib menjawab, “Dengan memutihkan hatiku sementara engkau menghitamkan kertas”.

Hasan berkata, “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi kepada orang lain”.

Tiada ulasan: