Catatan Popular

Jumaat, 22 Jun 2018

HIKAM ATHAILLAH SYARAH SYEIKH AL BUTHI KE 36 : TERBUKANYA MATA HATI


Menurut Kalam Hikmah ke 36 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu Athaillah As kandary:

 “Terbukanya mata hati memperlihatkan dekatnya Allah kepadamu. Penyaksian mata hati memperlihatkan ketiadaanmu di samping wujud Allah. Penyaksian hakiki mata hati menunjukkan kepadamu hanya Allah yang wujud. Bukan ketiadaanmu, bukan pula wujudmu.”

Hikmah 36 ini menjelaskan tingkatan hamba di dalam proses wusul kepada Allah melalui nur-nur anugerah dari-Nya.

Tingkat pertama dan ini yang paling rendah dan hamba yang memiliki Kedua, Ketiga dan ini yang paling tinggi.

Yang dimaksud dengan yang pertama adalah cahaya akal. Artinya, hamba dapat mengetahui eksistensi Allah berkat bantuan akalnya. Dalam mengetahui Allah akal ini tak bisa berdiri sendiri. Ia butuh bantuan ilmu. Ilmu dan akal adalah saling berkelindan, tak bisa dipisahkan. Akal akan semakin kuat di dalam proses mengenal Allah apabila disertai sokongan ilmu yang mendalam. Begitu juga, ilmu ini akan semakin tajam apabila disertai akal yang mengasahnya tiap hari. Keduanya tak bisa dipisahkan.

Kita akan yakin bahwa Allah itu ada apabila disertai dengan nalar akal sehat yang dibentengi ilmu yang kuat. Peranan akal dan ilmu tak hanya dibutuhkan di dalam mengetahui eksistensi Allah, tapi juga dalam semua aspek kehidupan yang lain. Ayat yang menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan:
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” QS. Al-Ankabuut 29:43

Ayat mewarning mengikuti sesuatu tanpa berdasarkan dalil ilmu:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”  QS. Al Isra 17:36

 Ayat yang memotivasi manusia agar menggunakan akalnya dalam segala hal:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”QS. Al Baqarah 2:164

Ancaman bagi yang tak menggunakan akal di dalam mencari kebenaran:  
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” QS. Al A’raaf 7:179

Ketika kita bisa menggunakan cahaya akal di dalam mengetahui Allah, akibatnya adalah kita akan merasa Allah semakin dekat dengan kita. Sebab ilmu dan akal kita jadi tahu bahwa Allah itu bersifat esa. Tidak beranak dan tak pula diperanakkan.

Ketika keyakinan ini semaki kuat, maka kita akan terus termotivasi tuk berbuat taat dan meninggalkan maksiat, karena Allah pasti melihat. Model pertama di dalam proses mengenal dan meyakini Allah ini dinamakan proses ilmiah. Proses yang dilalui melaui akal dan ilmu pengetahuan.

Model hamba yang kedua adalah hamba yang sampai kepada Allah melalui عين البصيرة Apa maksudnya? Untuk menjelaskannya kita urut dari awal dulu. Karena tingkatan kedua di dalam mengenal Allah ini adalah lanjutan darii proses yang pertama tadi. Tadi disebuntukan, ketika hamba sudah mengenal dan meyakini Allah melalui jalur akal dan ilmu, otomatis dia semakin dekat dengan-Nya. Dia selalu berusaha berada dalam kondisi taat dan tak maksiat. Lambat laun, adalah kebiasaan ini bertahan terus akan jadi karakter. Sehingga dia akan menemukan kepuasan, kenikmatan dan kedamaian bersama Allah yang telah diyakininya itu. Dalam kondisi seperti ini, dia akan syuhud/menyaksikan Allah. Sehingga menganggap dirinya fana, lebur dalam keagungan Allah.

Dia sudah tak membutuhkan lagi nalar-nalar akal untuk mengetahui Alllah, seperti yang dialaminya saat berada dalam posisi شعاع البصيرة. Bagi dia akal sudah bukan instrument penting lagi. Karena dia lebih banyak merasakan dengan hati dan tenggelam dalam kenikmatan bersama-Nya. Dulu akal dibutuhkan tuk menepis keraguan dan syubhat terhadap Allah. Sedangkan dalam kondisi عين البصيرةitu tidak dibutuhkan lagi.

Perbedaan hamba di tingkat kedua ini dibanding dengan yang pertama adalah saat ini dia sudah menyaksikan Allah berkat istikamah dalam ketaatan. Sedangkan yang pertama dia yakin kepada Allah berkat analisa melalui media akal dan ilmu. Atau dengan kata lain, yang pertama melalui proses ilmiah يقين علمي. Yang kedua melalui proses amaliyah شهود عملي

Karenanya, hamba yang berada di pangkat kedua ini tak melihat entitas apapun di dunia ini, kecuali mengantarkannya semakin yakin pada Allah. Ketika melihat bintang, langit, hewan, dan apapun saja, dia otomatis melihat keagungan Allah di balik semua yang dilihat itu. Yang perlu diingat, pangkat kedua ini tak akan didapat apabila tidak melalui proses yang pertama dulu, yakni akal dan ilmu. Karena itu hamba model kedua ini menganagap dirinya tak ada, bukan tak ada secara fisik, tapi dia tak memiliki daya apapun di dalam proses menjalani hidup, kecual berkat pertolongan Allah.

Terakhir dan ini merupakan tingkatan tertinggi, yaitu حق البصيرة Orang-orang di tingkat ini memandang Allah dengan hakikat pandang yang sebenar-benarnya. Hamba yang ada pada tingkatan ini adalah yang paling tinggi levelnya, sebab dalam pandangan mereka yang ada hanya Allah. Segala hakikat dunia dan segala isinya tampak tak nyata bagi mereka. Bahkan diri mereka sekalipun. Semua hanyalah bayang-bayang fatamorangana. Dikatakan paling tinggi, sebab orang-orang di tingkatan ini merasa seakan-akan berpindah tempat: dari tingkatan kedua menuju tingkat ketiga.

Jika orang-orang di tingakatan kedua tadi merasa dirinya hilang (fana’), maka ditingkatan ini mereka akan dipaksa ada (baqa’). Diri mereka yang hilang harus kembali lagi, sebab akan bertemu dan menyaksikan Allah secara langsung. Bahwa Allah hadir begitu dekat. Mereka tak akan pernah menoleh sedikit pun pada selain Allah. Keindahan isi bumi, langit dan segala hal selain Allah hanya nisbi belaka. Jika suatu ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang atau alam di sekitarnya, maka itu adalah nur ilahi yang meng-hegemoni tubuh mereka. Tubuh mereka tak bisa dikendalikan sendiri, seakan-akan pikiran dan tubuh sudah tak sinkron. Nur ilahi telah mengalahkan kekuatan akalnya.

Mungkin hal macam inilah yang dialami orang-orang seperti al-Hallaj hingga ia berkata “Tak ada seorang pun dalam jubbahku kecuali Allah,” ما في الجُبَّة إلاّ اللّه Orang-orang seperti ini sebenarnya yakin jika keberadaan alam ini nyata, tapi mereka merasa dirinya hilang dari kenyataan alam ini.

Inilah cara pandang tingkat tinggi. Cara pandang yang dialami secara nyata oleh para Rasul, Nabi, Wali, para rabbani dan shiddiqun.
Demikian hikmah 36. Semoga bermanfaat dan membuat kita semangat merengkuh anugrah dari-Nya. Amin ya Rabbal Alamin.

Tiada ulasan: