Menurut Kalam Hikmah
ke 36 Al-Arifbillah Syeikh Ahmad Ibnu
Athaillah As kandary:
“Terbukanya mata
hati memperlihatkan dekatnya Allah kepadamu. Penyaksian mata hati
memperlihatkan ketiadaanmu di samping wujud Allah. Penyaksian hakiki mata hati
menunjukkan kepadamu hanya Allah yang wujud. Bukan ketiadaanmu, bukan pula
wujudmu.”
Hikmah 36 ini menjelaskan tingkatan hamba di dalam proses wusul kepada Allah melalui nur-nur anugerah dari-Nya.
Tingkat
pertama dan ini yang paling rendah dan hamba yang memiliki Kedua, Ketiga
dan ini yang paling tinggi.
Yang dimaksud dengan yang pertama adalah cahaya akal. Artinya, hamba dapat mengetahui
eksistensi Allah berkat bantuan akalnya. Dalam mengetahui Allah akal ini tak
bisa berdiri sendiri. Ia butuh bantuan ilmu. Ilmu dan akal adalah saling
berkelindan, tak bisa dipisahkan. Akal akan semakin kuat di dalam proses
mengenal Allah apabila disertai sokongan ilmu yang mendalam. Begitu juga, ilmu
ini akan semakin tajam apabila disertai akal yang mengasahnya tiap hari.
Keduanya tak bisa dipisahkan.
Kita akan
yakin bahwa Allah itu ada apabila disertai dengan nalar akal sehat yang
dibentengi ilmu yang kuat. Peranan akal dan ilmu tak hanya dibutuhkan di dalam
mengetahui eksistensi Allah, tapi juga dalam semua aspek kehidupan yang lain.
Ayat yang menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan:
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” QS. Al-Ankabuut
29:43
Ayat mewarning mengikuti sesuatu tanpa berdasarkan dalil ilmu:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.” QS. Al Isra 17:36
Ayat
yang memotivasi manusia agar menggunakan akalnya dalam segala hal:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan.”QS. Al Baqarah 2:164
Ancaman bagi
yang tak menggunakan akal di dalam mencari kebenaran:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.” QS. Al A’raaf 7:179
Ketika kita
bisa menggunakan cahaya akal di dalam mengetahui Allah, akibatnya adalah kita akan
merasa Allah semakin dekat dengan kita. Sebab ilmu dan akal kita jadi tahu
bahwa Allah itu bersifat esa. Tidak beranak dan tak pula diperanakkan.
Ketika
keyakinan ini semaki kuat, maka kita akan terus termotivasi tuk berbuat taat
dan meninggalkan maksiat, karena Allah pasti melihat. Model pertama di dalam
proses mengenal dan meyakini Allah ini dinamakan proses ilmiah. Proses yang
dilalui melaui akal dan ilmu pengetahuan.
Model hamba yang kedua adalah hamba yang sampai kepada Allah melalui عين البصيرة Apa
maksudnya? Untuk menjelaskannya kita urut dari awal dulu. Karena tingkatan
kedua di dalam mengenal Allah ini adalah lanjutan darii proses yang pertama
tadi. Tadi disebuntukan, ketika
hamba sudah mengenal dan meyakini Allah melalui jalur akal dan ilmu, otomatis
dia semakin dekat dengan-Nya. Dia selalu berusaha berada dalam kondisi taat dan
tak maksiat. Lambat laun, adalah kebiasaan ini bertahan terus akan jadi
karakter. Sehingga dia akan menemukan kepuasan, kenikmatan dan kedamaian
bersama Allah yang telah diyakininya itu. Dalam kondisi seperti ini, dia akan
syuhud/menyaksikan Allah. Sehingga menganggap dirinya fana, lebur dalam
keagungan Allah.
Dia sudah
tak membutuhkan lagi nalar-nalar akal untuk mengetahui Alllah, seperti yang
dialaminya saat berada dalam posisi شعاع البصيرة. Bagi dia akal sudah
bukan instrument penting lagi. Karena dia lebih banyak merasakan dengan hati
dan tenggelam dalam kenikmatan bersama-Nya. Dulu akal dibutuhkan tuk menepis keraguan
dan syubhat terhadap Allah. Sedangkan dalam kondisi عين البصيرةitu
tidak dibutuhkan lagi.
Perbedaan
hamba di tingkat kedua ini dibanding dengan yang pertama adalah saat ini dia
sudah menyaksikan Allah berkat istikamah dalam ketaatan. Sedangkan yang pertama
dia yakin kepada Allah berkat analisa melalui media akal dan ilmu. Atau dengan
kata lain, yang pertama melalui proses ilmiah يقين علمي. Yang kedua melalui proses amaliyah شهود عملي
Karenanya,
hamba yang berada di pangkat kedua ini tak melihat entitas apapun di dunia ini,
kecuali mengantarkannya semakin yakin pada Allah. Ketika melihat bintang,
langit, hewan, dan apapun saja, dia otomatis melihat keagungan Allah di balik
semua yang dilihat itu. Yang perlu diingat, pangkat kedua ini tak akan didapat
apabila tidak melalui proses yang pertama dulu, yakni akal dan ilmu. Karena itu
hamba model kedua ini menganagap dirinya tak ada, bukan tak ada secara fisik,
tapi dia tak memiliki daya apapun di dalam proses menjalani hidup, kecual
berkat pertolongan Allah.
Terakhir dan ini merupakan tingkatan tertinggi, yaitu حق البصيرة
Orang-orang di tingkat ini memandang Allah dengan hakikat pandang yang
sebenar-benarnya. Hamba yang ada pada tingkatan ini adalah yang paling tinggi
levelnya, sebab
dalam pandangan mereka yang ada hanya Allah. Segala hakikat dunia dan segala
isinya tampak tak nyata bagi mereka. Bahkan diri mereka sekalipun. Semua
hanyalah bayang-bayang fatamorangana. Dikatakan paling tinggi, sebab
orang-orang di tingkatan ini merasa seakan-akan berpindah tempat: dari
tingkatan kedua menuju tingkat ketiga.
Jika
orang-orang di tingakatan kedua tadi merasa dirinya hilang (fana’), maka
ditingkatan ini mereka akan dipaksa ada (baqa’). Diri mereka yang hilang harus
kembali lagi, sebab akan bertemu dan menyaksikan Allah secara langsung. Bahwa
Allah hadir begitu dekat. Mereka tak akan pernah menoleh sedikit pun pada
selain Allah. Keindahan isi bumi, langit dan segala hal selain Allah hanya
nisbi belaka. Jika suatu ketika mereka berinteraksi dengan orang-orang atau
alam di sekitarnya, maka itu adalah nur ilahi yang meng-hegemoni tubuh mereka.
Tubuh mereka tak bisa dikendalikan sendiri, seakan-akan pikiran dan tubuh sudah
tak sinkron. Nur ilahi telah mengalahkan kekuatan akalnya.
Mungkin hal
macam inilah yang dialami orang-orang seperti al-Hallaj hingga ia berkata “Tak
ada seorang pun dalam jubbahku kecuali Allah,” ما في الجُبَّة إلاّ اللّه Orang-orang seperti ini
sebenarnya yakin jika keberadaan alam ini nyata, tapi mereka merasa dirinya hilang dari kenyataan alam ini.
Inilah cara
pandang tingkat tinggi. Cara pandang yang dialami secara nyata oleh para Rasul,
Nabi, Wali, para rabbani dan shiddiqun.
Demikian
hikmah 36. Semoga bermanfaat dan membuat kita semangat merengkuh anugrah
dari-Nya. Amin ya Rabbal Alamin.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan