Catatan Popular

Jumaat, 22 Jun 2018

HIKAM ATHAILLAH SYARAH USTAZ AHMAD MUNTAHA KE 36: KETAJAMAN MATA HATI


Dalam untaian Hikam-36 ini Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari menjelaskan,

Sinar mata hati menjadikan dirimu menyaksikan kedekatan (ilmu) Allah darimu, pandangan mata hati menjadikan dirimu menyaksikan ketiadaanmu karena wujud-Nya, sedangkan hakikat mata hati menjadikan dirimu menyaksikan wujud Allah saja, tidak pada ketiadaanmu maupun kewujudanmu.”

Dalam kitab Syarh al-Hikam (36) secara tegas Ibn ‘Abbad an-Nafazi ar-Randi menjelaskan maksud ketajaman mata hati yang disinggung as-Sakandari, bahwa maksud istilah ‘sinar mata hati’ adalah cahaya akal; maksud ‘pandangan mata hati’ adalah cahaya ilmu; sedangkan maksud ‘hakikat mata hati’ adalah cahaya Allah subhanahu wata’ala.

Selebihnya ia menerangkan:

 “Karenanya, orang-orang berakal dengan cahaya akalnya menyaksikan eksistensi diri mereka sendiri serta kedekatan pengetahuan serta pengawasan Allah kepadanya; para ulama dengan cahaya ilmunya menyaksikan diri mereka tenggelam (menjadi tidak ada) dalam wujud Tuhannya; sedangkan para ahli hakikat dengan perantara cahaya Allah subhanahu wata’ala hanya menyaksikan Allah dan tidak menyaksikan wujud selain-Nya.”

 

Karena itu, para ahli hakikat dengan ketajaman mata hati sangat menyadari pamungkas untaian Hikam-36 dari Syaikh Ibn ‘Athaillah:

“Allah sudah ada (sejak dahulu tanpa permulaan) dalam kondisi tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya; dan sekarang pun Allah tetap pada kondisi-Nya semula.”

 

Seiring firman Allah subhanahu wata’ala.

“Semua orang di muka bumi hakikatnya adalah sirna; dan Zat Allah yang maha agung dan maha mulia yang akan tetap abadi.” (QS. ar-Rahman: 26-27)

 

Lalu bagaimana orang awam seperti kita pada umumnya? Dalam hal ini Ibn ‘Ajaibah (Iqadh al-Himam, ) menjelaskan, sebenarnya pada umumnya orang awam juga punya mata hati, namun tertutup karena penyakit hati yang melemahkan pandangannya. Ia ada dalam pancaran cahaya-cahaya ilahiah akan tetapi ketajaman mata hati dirinya tidak menyaksikan pengetahuan dan pengawasan Allah, tidak menyaksikan apakah ia dekat dengan ridha-Nya atau justru sangat jauh darinya.

 

Hikmah Utama

Dari sini menjadi jelas, bahwa pada hakikatnya yang ada hanya Allah semata. Wujud manusia hanya merupakan anugerah-Nya. Tidak ada yang pantas dibangga-banggakan. Ilmu, kekayaan, kekuasaan dan bahkan wujudnya sekalipun, hakikatnya akan segera sirna.  Bila demikian adanya, seberapa tumpul mata hati kita sehingga masih sering menyombongkannya?


Tiada ulasan: