Catatan Popular

Ahad, 22 Disember 2019

PENJELASAN: arti hati, roh, nafsu, dan akal dan apa yang dimaksudkan dengan nama-nama itu.


Ketahuilah, bahwa nama-nama yang  ini dipakai pada bab-bab ini. Dan sedikitlah dalam kalangan ulama-ulama yang terkemuka, yang mendalam pengetahuannya tentang nama-nama ini, tentang perbedaan pengertian-pengertiannya, batas-batasnya dan apa yang dinamakan dengan nama-nama tersebut. 

Kebanyakan kesalahan itu terjadinya karena kebodohan dengan arti nama-nama ini dan persekutuannya diantara apa yang dinamakan itu yang bermacam-macam. Dan kami akan menguraikan arti nama-nama tersebut, yang menyangkut dengan maksud kami.

***** 
Perkataan pertama: perkataan hati.
Dan itu ditujukan kepada dua pengertian:

Pertama: daging yang berbentuk buah sanaubar, tertetak pada pinggir dada yang kiri. 
Yaitu: daging khusus. Dan didalamnya ada lobang. Dalam lobang itu darah hitam. Itulah sumber nyawa dan bahannya.
Dan kami tidak bermaksud sekarang menguraikan bentuknya dan caranya. Karena itu menyangkut dengan maksud dokter-dokter. Dan tiada menyangkut dengan maksud-maksud keagamaan. Hati itu ada pada hewan. Bahkan ada pada orang mati.

Dan apabila kami menyebutkan secara mutlak, perkataan hati (al-qalb) dalam kitab ini, maka tidaklah kami maksudkan yang demikian. Karena itu adalah sepotong daging, yang tidak berharga. Dan itu termasuk sebahagian dari alam yang dapat diperintah dan dilihat (‘alamul-mulki wasy-syahadah), karena hewanpun dapat mengetahuinya dengan pancaindra melihat, lebih-lebih lagi manusia.

Kedua: yaitu: yang halus (lathifah), ketuhanan (rabbaniyah), kerohanian (ruhaniyah).

Dia dengan: hati yang bertubuh (al-qalbi al-jismany) itu, mempunyai hubungan. Yang halus itu, ialah hakikat/makna manusia.
Dialah yang merasa, yang mengetahui, dan mengenal, dari manusia. Dialah yang ditujukan dengan pembicaraan, yang disiksa, yang dicaci dan yang dicari.
Ia mempunyai hubungan dengan hati yang bertubuh.
Akal kebanyakan manusia, heran untuk mengetahui cara hubungannya. Karena hubungannya itu menyerupai, hubungan sifat (‘aradl) dengan tubuh. Hubungan sifat dengan yang bersifat (maushuf). Atau hubungan pemakai alat dengan alatnya. Atau hubungan orang bertempat dengan tempatnya.

Dan menguraikan yang demikian itu, termasuk apa yang kami takuti, karena dua pengertian:

Pertama: bahwa yang demikian itu menyangkut dengan Mukasaffah (Ilmu Diminta untuk mengetahuinya saja). Dan tidaklah maksud kami dari Kitab ini, selain: Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan).

Kedua: bahwa mencari hakikat/maknanya itu meminta disiarkan rahasia roh (nyawa). Dan yang demikian itu termasuk hal yang tidak diperkatakan oleh Rasulullah saw.
Maka tidaklah bagi orang lain, bahwa memperkatakannya.  Yang dimaksudkan: bahwa apabila kami menyebutkan perkataan hati (al-qalb) dalam kitab ini, maka yang kami maksudkan, ialah: yang halus (lathifah) itu.
Dan maksud kami, ialah menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, bukan menyebutkan hakikat/maknanya pada zatnya. Dan Ilmu Mu’amalah (yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan) itu menghendaki mengenal sifat-sifat dan keadaan nya. Dan tidak menghendaki kepada menyebutkan hakikat/maknanya.

******
Perkataan kedua: nyawa (ruh)
Dan juga ditujukan pada yang menyangkut, dengan jenis maksud kami, karena dua pengertian:

Pertama: tubuh halus (tubuh lathif). Sumbernya itu lobang hati yang bertubuh.

Lalu bertebar dengan perantaraan urat-urat yang memanjang, ke segala bahagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman daripadanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah.
Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebahagian dari rumah, melainkan terus disinarinya. Dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada dinding. Dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin, adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.
Dokter-dokter, apabila menyebutkan secara mutlak perkataan: nyawa, maka yang dikehendaki oleh mereka, ialah: pengertian ini. Yaitu: wap yang halus, yang dimasakkan oleh kepanasan al-qalb (hati).

Dan tidaklah uraiannya menjadi maksud kami. Karena yang menyangkut dengan itu, adalah maksud dokter-dokter yang mengobati tubuh. Adapun maksud dokter-dokter agama, yang mengobati hati, sehingga terbawa ke sisi Tuhan Semesta alam, tidaklah sekali-kali menyangkut dengan uraian nyawa itu.

Pengertian kedua: yaitu: yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah yang kami uraikan tentang salah satu pengertian hati.

Dan itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:
“Jawablah ! nyawa (roh) itu termasuk urusan Tuhanku”. 
S 17 Al Israa’ ayat 85.

Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan ajal dan paham daripada mengetahui hakikat/maknanya.

***** 
Perkataan ketiga: nafsu. 
Dia juga bersekutu diantara beberapa pengertian.

Dan yang menyangkut dengan maksud daripadanya adalah dua pengertian:

Pertama: bahwa yang dimaksudkan dengan yang demikian itu, ialah pengertian yang menghimpunkan bagi: kekuatan marah dan nafsu syahwat pada manusia, sebagaimana akan datang uraiannya.

Pemakaian ini adalah yang biasa pada ahli tasawwuf/ahli suffi. Karena mereka maksudkan dengan nafas (nafsu) itu, ialah: pokok yang menghimpunkan sifat-sifat tercela pada manusia. Lalu mereka berkata: tak boleh tidak melawan nafsu dan menghancurkannya. 
Ke situlah isyaratnya sabda Nabi saw:
“Musuhmu yang terbesar, ialah nafsumu yang berada diantara dua lembungmu”.

Pengertian kedua: yaitu: yang halus (lathifah) yang telah kami sebutkan di atas, dimana pada hakikat/maknanya: itulah manusia. Yaitu: diri manusia dan zatnya.

Tetapi disifatkan dengan bermacam-macam sifat, menurut bermacam-macam keadaannya. Apabila dia itu tenang, dibawah perintah dan jauh dari kegoncangan disebabkan penantangan nafsu syahwat, maka dinamakan: nafsu muthmainnah (diri atau jiwa yang tenang).
Allah Ta’ala berfirman tentang contohnya: 
“Hai jiwa yang tenang tentram ! kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya”. S 89 Al Fajr ayat 27-28.

Jiwa (nafsu) dengan pengertian pertama, tidaklah tergambar kembalinya kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya dia itu menjauh dari Allah. Dan dia itu termasuk golongan setan.
Apabila tidak sempurna ketenangannya, akan tetapi jadi pendorong kepada nafsu syahwat dan penantangnya, maka dinamakan: nafsu lawwamah (jiwa yang mencela).
Karena jiwa itu mencela tuannya ketika teledor pada menyembah Tuhannya. Tuhan berfirman: 
“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela (kejahatan)”. S 75 Al Qiyaamah ayat 2.

Kalau nafsu (jiwa) itu meninggalkan tantangan, tunduk dan patuh, menurut kehendak nafsu syahwat dan panggilan setan, maka dinamakan: nafsu yang menurut kepada yang jahat (an-nafsul-ammarah bis-suu-i).

Allah Ta’ala berfirman, menceritakan tentang Yusuf as atau isteri seorang pembesar (Mesir yang membujuk Yusuf as): “Dan aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu suka menyuruh kepada yang buruk”. S 12 Yusuf ayat 53.
Kadang-kadang boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan suka menyuruh kepada yang buruk itu, ialah: nafsu dengan pengertian pertama.
Jadi, nafsu dengan pengertian pertama itu, sangat tercela. Dan dengan pengertian kedua itu, terpuji. Karena dia adalah nafsu (diri) manusia. Artinya: zat dan hakikat/maknanya, yang mengetahui Allah Ta’ala dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.

********
Perkataan keempat: akal
Itu juga bersekutu dengan pengertian yang bermacam-macam, yang telah kami sebutkan pada “Kitab Ilmu”. 
Dan yang menyangkut dengan maksud kami dari jumlah pengertiannya, ialah dua pengertian:

Pertama: sesungguhnya, kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan dengan akal itu: pengetahuan tentang hakikat/makna segala keadaan.
Maka akal itu, ibarat dari sifat-sifat ilmu, yang tempatnya hati.

Pengertian kedua: sesungguhnya, kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan dengan akal itu: ialah yang memperoleh pengetahuan itu. Dan itu adalah: hati. Ya’ni: yang halus itu.

Kita mengetahui, bahwa tiap-tiap orang yang berilmu, maka ia mempunyai wujud pada dirinya. Yaitu: pokok yang berdiri dengan sendirinya. Dan ilmu itu suatu sifat yang bertempat padanya. Dan sifat itu, bukan benda yang disifatkan.
Kadang-kadang akal itu ditujukan dan dimaksudkan: sifat orang yang berilmu.
Dan kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan: tempat pengetahuan. Yakni: yang mengetahui.
Dan itulah yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw: “Yang pertama-tama dijadikan Allah, ialah akal”.
Sesungguhnya ilmu itu sifat (‘aradl), yang tidak tergambar bahwa dia itu makhluk pertama. Tetapi, tak boleh tidak, bahwa adalah tempat itu, yang dijadikan sebelum ilmu atau bersama ilmu. Dan karena tidak mungkin ditujukan perkataan kepada ilmu.
Pada hadits, Allah Ta’ala berfirman kepada akal: “Menghadaplah !”. Lalu ia menghadap. Kemudian Allah berfirman kepada akal: “Membelakanglah !”, lalu ia membelakang……..sampai akhir hadits.

Jadi, sesungguhnya telah terbuka kepada kita, bahwa pengertian nama-nama tersebut itu ada.
Yaitu:
hati-jismani (hati yang terbentuk tubuh),
roh-jismani (berbentuk tubuh),
nafsu syahwat dan
ilmu.

Maka inilah 4 pengertian yang ditujukan kepada 4 perkataan.

Dan pengertian yang ke-5, yaitu: yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan perkataan 4 itu keseluruhannya, banyak kali datang pemakaiannya kepada yang halus itu.

Maka pengertian itu 5 dan perkataannya 4.

Tiap-tiap perkataan, ditujukan kepada dua pengertian. Dan kebanyakan ulama, telah meragukan kepada mereka, perbedaan kata-kata tersebut dan kebiasaan pemakaiannya.

Maka anda akan melihat mereka, memperkatakan tentang gurisan-gurisan hati (al-khawaathir).
Dan mereka mengatakan: ini gurisan akal, ini gurisan jiwa, ini gurisan hati dan ini gurisan nafsu (diri).
Dan orang yang memperhatikan, tiada akan tahu perbedaan pengertian nama-nama itu. Dan untuk menyingkap tutupnya dari yang demikian itu, kami telah dahulukan uraian nama-nama tersebut. Bilamana tersebut perkataan hati dalam Alquran dan Sunnah, maka yang dimaksudkan, ialah: penguraian yang dipahami dari manusia.
Dan yang mengetahui hakikat/makna segala sesuatu. Kadang-kadang secara tidak langsung (dengan jalan kinayah), disebutkan tentang hati itu, akan hati yang di dalam dada.
Karena diantara yang halus itu dan antara tubuh hati, ada hubungan khusus.
Dan yang halus itu, walaupun ada sangkutannya dengan seluruh tubuh dan dipakai untuk seluruh tubuh, akan tetapi ia bersangkutan dengan tubuh itu, dengan perantaraan hati.
Maka sangkutannya yang pertama, ialah dengan hati.
Dan seolah-olah hati itu, tempatnya yang halus tersebut, kerajaannya, alamnya dan binatang kendaraannya.
Dan karena itulah, Sahl At-Tusturi menyerupakan hati dengan ‘Arasy dan dada dengan Kursi. Ia mengatakan: hati itu ialah ‘Arasy. Dan dada ialah Kursi. Dan tidak ada yang menyangka, bahwa dia itu berpendapat, bahwa itu ‘Arasy Allah dan KursiNya. Karena demikian itu mustahil. Tetapi ia bermaksud dengan demikian, bahwa hati itu kerajaanNya dan saluran pertama untuk mengatur dan memperlakukannya.

Maka keduanya (hati dan dada) dibandingkan kepada manusia, adalah seperti ‘Arasy dan Kursi dibandingkan kepada Allah Ta’ala. Dan juga penyerupaan ini tidak lurus, kecuali dari beberapa segi. Dan juga uraian itu tidak layak dengan tujuan kita sekarang. Maka dari itu, hendaklah kita lampaui saja.

Tiada ulasan: