Catatan Popular

Ahad, 22 Disember 2019

PENJELASAN: saksi-saksi syara’(agama) atas sahnya jalan ahli tasawwuf dalam mengusahakan ma’rifah, tidak dari belajar & jalan yang biasa ditempuh.


Ketahuilah, bahwa barangsiapa tersingkap (inkisyaf) sesuatu baginya, walaupun hal yang sedikit, dengan jalan ilham dan jatuh ke dalam hati, dimana ia tidak mengetahuinya, maka ia telah menjadi orang ‘arif (orang yang berma’rifah) dengan sahnya jalan. Dan orang yang tiada mengetahui dirinya sekali-kali, maka seyogyalah ia beriman dengan yang demikian. Sesungguhnya derajat ma’rifah padanya itu mulia sekali. Untuk yang demikian, dibuktikan oleh saksi-saksi syara’ (agama), percobaan-percobaan dan cerita-cerita.

Adapun saksi-saksi syara’ (agama), yaitu firman Allah Ta’ala:
“Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami”. S Al Ankabuut ayat 69.
Maka tiap-tiap hikmah yang lahir dari hati, dengan kerajinan beribadah, tanpa belajar itu, adalah dengan jalan kasyaf (terbuka hijab)  dan ilham.
Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya dipusakakan oleh Allah kepadanya, ilmu yang belum diketahuinya. Dan dianugerahi taufiq oleh Allah kepadanya pada yang diamalkannya. Sehingga ia harus memperoleh sorga. Dan barangsiapa tiada mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya ia binasa mengenai yang diketahuinya. Dan ia tiada memperoleh taufiq pada yang diamalkannya. Sehingga ia harus memperoleh neraka”.

Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang taqwa (memenuhi kewajiban) kepada Allah, Dia mengadakan untuk orang itu jalan keluar (dari kesulitan dan sangka waham). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya”. S 65 Ath Thalaaq ayat 2-3.

Allah mengajarkannya ilmu, tanpa belajar dan menganugerahinya kecerdikan, tanpa percobaan. Allah Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman ! jika kamu takut kepada Allah, niscaya Ia akan memberikan kepada kamu pembedaan (antara yang benar dan yang salah)”. S 8 Al Anfaal ayat 29.

Ada yang mengatakan, ialah: nur yang membedakan antara yang benar dan yang batil/salah dan yang mengeluarkannya dari hal-hal yang diragukan.
Karena itulah, Nabi saw membanyakkan dalam doanya meminta: nur. Doanya, yaitu:
“Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah aku nur, tambahilah aku nur, jadikanlah dalam hatiku nur, dalam kuburku nur, pada pendengaranku nur –sampai Nabi saw mengatakan: pada rambutku, pada kulitku, pada dagingku, darahku dan tulang-belulangku”.

Orang bertanya kepada Nabi saw tentang firman Allah Ta’ala: “Apakah orang yang dibukakan oleh Allah hatinya menerima Islam, karena itu dia mendapat cahaya dari Tuhannya ?”. S 39 Az Zumar ayat 22.

“Apakah pembukaan itu ?”.
Nabi saw menjawab: “Yaitu: perluasan. Sesungguhnya nur itu, apabila telah dicurahkan ke dalam hati, niscaya meluaslah dada dan terbuka”. Nabi saw bersabda untuk Ibnu Abbas: “Wahai Allah Tuhanku ! anugerahilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah dia penafsiran”. Ali ra berkata: “Tak ada pada kami sesuatu yang dirahasiakan oleh Nabi saw kepada kami, selain daripada didatangkan oleh Allah Ta’ala kepada hambaNya pemahaman tentang kitabNya. Dan yang demikian itu tiada dengan belajar”.

Ada orang yang mengatakan mengenai penafsiran firman Allah Ta’ala:
“Allah memberikan kebijaksanaan (hikmah) kepada siapa yang dikehendakiNya”. S 2 Al Baqarah ayat 269.
Bahwa: yang dimaksud, ialah pemahaman Kitab Allah Ta’ala.
 Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukuman (yang lebih tepat) itu”. S 21 Al Anbiyaa’ ayat 79.
 Allah Ta’ala mengkhususkan yang tersingkap itu, dengan nama: pengertian (pemahaman). Abu Darda’ berkata: “Orang mu’min ialah orang yang memandang dengan nur Allah, dibalik tutupan yang halus.

Demi Allah, bahwa itu sesungguhnya kebenaran, yang dicurahkan oleh Allah dalam hati mereka dan dilakukannya diatas lidah mereka”. Sebahagian orang-orang terdahulu (golongan salaf) berkata: “Sangkaan orang mu’min itu pemberitaan yang gaib”.

Nabi saw bersabda: Takutilah akan firasat orang mu’min. Maka sesungguhnya ia melihat dengan nur Allah Ta’ala”. 

Kepada itulah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya tentang hal-hal itu menjadi keterangan bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda”. S 15 Al Hijr ayat 75.

Firman Allah  Ta’ala:
“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan keterangan-keterangan kepada kaum yang yakin”. S 2 Al Baqarah ayat 118.

Al-Hasan meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Ilmu itu dua macam. Ilmu batin ialah dalam hati. Itulah ilmu yang bermanfaat”. Ditanyakan kepada sebahagian ulama, tentang ilmu batin:

“Apakah ilmu batin itu ?”. Lalu ia menjawab: “Yaitu: salah satu dari rahasia (sirr) Allah Ta’ala, yang dicurahkanNya dalam hati kekasih-kekasihNya, yang tidak diperlihatkanNya kepada malaikat dan kepada manusia”.

Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya sebahagian dari umatku itu orang-orang yang disampaikan berita (muhaddats), guru dan ahli-ahli ilmu kalam. Dan sesungguhnya Umar itu sebahagian dari mereka”.

Ibnu Abbas ra membaca ayat: “Dan tiadalah Kami mengutuskan dari sebelum engkau, seorang rasul, Nabi dan muhaddats. Yakni: orang-orang shiddiqin. Muhaddats itu, ialah: yang diilhami. Dan yang diilhami itu, ialah: orang yang tersingkap (memperoleh kasyaf (terbuka hijab) ) dalam batin hatinya dari pihak dalam. Tidak dari pihak yang dapat dirasakan dengan pancaindra yang diluar. Alquran menegaskan, bahwa taqwa itu kunci hidayah dan kasyaf (terbuka hijab) . Dan itu adalah ilmu, tanpa belajar.

Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apa yang diciptakan oleh Allah di langit dan di bumi, adalah menjadi bukti kebenaran bagi kaum yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 10 Yunus ayat 6.

Allah mengkhususkan bukti itu kepada mereka tadi. Allah Ta’ala berfirman:

“Quran inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan kepada kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang yang memelihara dirinya (dari kejahatan)”. S 3 Ali ‘Imran ayat 138.

Abu Yazid dan lainnya mengatakan:
“Bukanlah orang yang berilmu (orang alim) itu, orang yang menghafal dari kitab. Apabila ia lupa yang dihafalkannya, niscaya ia menjadi orang bodoh.

Sesungguhnya orang yang berilmu, ialah orang yang mengambil ilmunya dari Tuhannya, pada sembarang waktu yang dikehendakinya, tanpa hafalan dan pelajaran”. Inilah ilmu rabbany (ilmu yang langsung diterima dari Tuhan).

Dan kepada inilah diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala:
“Dan telah Kami ajarkan pengetahuan daripada kami kepadanya”. S 18 Al Kahfi ayat 65, sedang semua ilmu itu adalah daripadaNya.
Akan tetapi sebahagian dari ilmu itu adalah dengan perantaraan pengajaran makhlukNya. Maka ilmu yang demikian, tidak dinamai: Ilmu Ladunni. Tetapi ilmu ladunni, ialah yang terbuka dalam rahasia hati, tanpa sebab yang biasa dari luar. Inilah saksi-saksi naqli, (yang diambil dari Allah). Jikalau semua yang datang dari ayat, hadits dan atsar dikumpulkan, niscaya tidak terhingga adanya.

Adapun penyaksian yang demikian itu dengan pengalaman, maka yang demikian itu, juga tidak terhingga. Yang demikian itu telah tampak pada para sahabat, para tabi’in dan orang-orang sesudahnya.
Abubakar Ash-Shiddiq ra berkata kepada ‘Aisyah ketika akan meninggal dunia:
“Bahwa keduanya itu dua saudara laki-laki engkau dan dua saudara perempuan engkau”.
Dan isteri Abubakar ra ketika itu sedang mengandung. Kemudian isterinya itu melahirkan anak perempuan. Jadi Abubakar ra telah mengetahui sebelum lahir, bahwa anaknya itu perempuan.

Saidina Umar ra ketika sedang membaca khutbah, lalu mengatakan:
“Hai Sariah ! bukit-bukit !!”.
Karena tersingkap kepadanya (dalam kasyaf (terbuka hijab) ), bahwa musuh mendekati Sariah. Lalu ia memperingatkannya, karena ia mengetahui yang demikian. Kemudian sampainya suaranya itu kepada Sariah, termasuk dalam jumlah kiramat yang besar.

Dari Anas bin Malik ra, yang berkata:
“Aku masuk ke tempat Usman ra. Dan di jalan tadi aku bertemu dengan seorang wanita. Lalu aku memandang kepadanya dengan ujung mata dan aku memperhatikan kecantikannya”. Lalu Usman ra berkata, tatkala masuk itu: “Masuk ke tempatku, salah seorang kamu dan bekas zina kelihatan pada kedua matanya. Tidakkah engkau ketahui, bahwa zina dua mata itu, ialah: memandang ? taubatlah dengan segera atau aku hukum engkau !”. Lalu aku bertanya: “Adakah wahyu sesudah nabi ?”. Usman menjawab: Tidak ! tetapi, mata hati, dalil dan firasat yang benar !”.

Dari Abi Sa’id Al-Kharraz, yang berkata:
 “Aku masuk Masjidil-haram, lalu aku melihat seorang miskin dengan dua potong pakaian pada badannya. Lalu aku berkata kepada diriku: “Orang ini dan orang-orang yang seperti ini, adalah orang-orang yang bergantung hidup pada orang lain”. Lalu orang itu memanggil aku, seraya berkata: “Allah mengetahui apa yang pada diri kamu. Waspadalah !”. Maka aku bermohon ampun kepada Allah dalam hatiku. Lalu orang itu memanggil aku, seraya berkata: “Allah yang menerima taubat daripada hambaNya”. Kemudian orang itu menghilang daripada aku dan aku tidak melihatnya lagi”.

Zakaria bin Daud berkata:
“Abul-Abbas bin Masruq masuk ke tempat Abil-Fadli Al-Hasyimi. Dan dia itu sedang sakit. Dan mempunyai keluarga.

Dan tiada diketahui sumber kehidupan Abil-Fadli Al-Hasyimi itu”. Abul-Abbas menerangkan: “Tatkala aku bangun berdiri, lalu aku berkata pada diriku: “Dari manakah orang ini makan ?”. Lalu Abil-Fadli berteriak kepadaku: “Hai Abul-Abbas ! tolaklah angan-angan yang keji itu ! sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai sifat lemah-lembut yang tersembunyi”. Ahmad An-Naqib berkata: “Aku masuk ke tempat Asy-Syibli. Lalu ia berkata: “Difitnah orang, hai Ahmad!”. Maka aku bertanya: “Apa kabar ?”. Ia menjawab: “Sewaktu aku sedang duduk, lalu tergurislah di hatiku, bahwa engkau kikir”. Lalu aku menjawab: “Aku tidak kikir. Lalu kembali terguris dalam hatiku. Dan Asy-Syibli berkata: “Tetapi engkau kikir”. Maka aku menjawab: “Apa saja yang terbuka kepadaku hari ini disebabkan sesuatu, niscaya aku serahkan kepada orang miskin yang pertama aku jumpai”. Lalu ia berkata: “Belum habis lagi yang terguris itu, lalu datanglah kepadaku Shahibul-Mu’nis, seorang pelayan, dengan membawa uang 50 dinar. Lalu Shahibul-Mu’nis berkata: “Pakailah uang ini pada kepentinganmu !”.

Ahmad An-Naqib meneruskan ceritanya: “Aku bangun, lalu aku ambil uang itu dan aku keluar. Tiba-tiba bertemu dengan seorang miskin buta, dihadapan tukang cukur, yang sedang mencukur rambutnya. Lalu aku datang kepadanya dan menyerahkan dinar itu kepadanya. Lalu orang itu berkata: “Serahkanlah uang itu kepada tukang cukur !”. Lalu aku menerangkan, bahwa jumlahnya sekian”. Orang buta itu berkata: “Bukankah kami telah mengatakan kepada engkau, bahwa engkau itu kikir ?”. Ahmad An-Naqib meneruskan ceritanya: “Lalu aku serahkan uang itu kepada tukang cukur”.

Tukang cukur itu lalu berkata: “Kami telah berjanji, tatkala orang miskin ini duduk dihadapan kami, bahwa kami tidak akan mengambil ongkos”. Ahmad An-Naqib berkata seterusnya: “Lalu aku lemparkan uang itu ke dalam sungai Tigris, seraya aku berkata: “Tiada dimuliakan engkau oleh seseorang, melainkan orang itu dihinakan oleh Allah Ta’ala !”.

Hamzah bin Abdullah Al-‘Alwi berkata: “Aku masuk ke tempat Abil-Khair At-Tainani dan aku bertekad pada diriku, bahwa aku akan memberi salam kepadanya.

Dan tidak akan memakan makanan di rumahnya. Maka tatkala aku keluar dari rumahnya, tiba-tiba ia mengikuti aku, dengan membawa sebuah baki, yang didalamnya ada makanan, seraya berkata: “Hai orang muda ! makanlah ! telah keluarlah saat dari tekadmu”. Abul-Khair At-Tainani ini terkenal benar dengan kiramatnya. Ibrahim Ar-Ruqy berkata: “Aku menuju ke tempat Abul-Khair At-Tainani, untuk memberi salam kepadanya. Maka masuklah waktu shalat Magrib. Maka hampir selesai ia membaca Surat Al-Fatihah, lalu aku berkata dalam hatiku: “Telah hilang kainku yang tertinggal di luar”.

Sesudah memberi salam, lalu aku keluar ke tempat bersuci. Lalu menuju kepadaku seekor binatang buas. Maka aku kembali kepada Abul-Khair, seraya menerangkan, bahwa seekor binatang buas menuju kepadaku”. Abul-Khair lalu keluar dan berteriak, seraya berkata: “Bukankah sudah aku mengatakan kepadamu: “Jangan engkau ganggu tamu-tamuku ?”. Lalu singa itu menyingkir dan aku bersuci. Sewaktu aku telah kembali, lalu Abdul-Khair berkata kepadaku: “Kamu sibuk membetulkan yang zahiriah, lalu engkau takut kepada singa. Dan kami sibuk membetulkan yang batiniah, lalu singa tu takut kepada kami”. Apa yang diceritakan, mengenai firasat para syaikh dan perkabaran mereka tentang itikad/keyakinan dan isi hati manusia, adalah tidak dapat dihinggakan jumlahnya. Bahkan apa yang diceritakan daripada mereka, tentang melihat Nabi Khidir as dan bertanya kepadanya, adalah mendengar suara dengan tiada kelihatan yang empunya suara itu. Dari bermacam-macam bentuk kiramat adalah diluar hinggaan.

Dan cerita tentang kiramat ini, tiada bermanfaat bagi orang yang mengingkarinya, sebelum ia menyaksikan sendiri yang demikian. Dan orang yang mengingkari pokok, niscaya mengingkari penguraiannya.

Dalil tegas yang tidak sanggup seorangpun membantahnya, adalah dua perkara:

Pertama: keajaiban mimpi yang benar. Maka sesungguhnya tersingkaplah yang gaib dengan mimpi tersebut. Apabila boleh yang demikian dalam tidur, maka tidak mustahil pula waktu jaga. Tidur itu tidak berbeda dengan jaga, selain dari tenangnya pancaindra, tidak bekerja dengan hal-hal yang dipancaindrai. Berapa banyak orang yang jaga, tenggelam dalam lautan khayal, tidak mendengar dan melihat, karena sibuknya dengan diri sendiri.

Kedua: perkabaran dari Rasulullah saw tentang hal gaib dan hal-hal yang terjadi pada masa yang akan datang, sebagaimana yang terkandung dalam Alquran. Dan apabila boleh yang demikian pada Nabi saw maka boleh pula pada selain Nabi saw. Karena Nabi adalah ibarat orang yang tersingkap kasyaf (terbuka hijab) baginya hakekat-hakekat segala hal. Dan ia bekerja untuk memperbaiki makhluk. Maka tidak mustahil dalam wujud (alam) ini, ada orang yang tersingkap baginya hakekat-hakekat itu dan ia tidak bekerja untuk memperbaiki makhluk.

Orang ini tidak dinamai nabi, tetapi dinamai: wali. Maka orang yang beriman kepada nabi-nabi dan membenarkan mimpi yang benar, niscaya –tidak mustahil- ia harus mengakui, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Sebuah pintu keluar, yaitu: pancaindra dan sebuah pintu lagi ke alam malakut dari dalam hati. Yaitu: ilham, inspirasi dan wahyu. Maka apabila ia mengakui keduanya itu, niscaya ia tidak mungkin menghinggakan ilmu pengetahuan pada belajar dan secara langsung sebab-sebab yang dibiasakan. Akan tetapi haruslah mujahadah (bersungguh-sungguh) menjadi jalan kepadanya. Maka inilah apa yang memberitahukan tentang hakekat yang kami sebutkan dahulu, mengenai keajaiban pulang-perginya hati, diantara alamusy-syahadah (zhahir/tubuh dalam alam penyaksian) dan alamul-malakut ( alam yg tdk bisa dipersaksikan dengan mata).
Adapun sebab terbukanya sesuatu hal dalam tidur, dengan contoh yang memerlukan kepada ta’bir (ta’bir mimpi) dan begitupula para malaikat merupakan diri bagi nabi-nabi dan wali-wali dengan bentuk yang bermacam-macam, maka itu juga termasuk diantara rahasia keajaiban hati. Dan ini tidak layak selain dengan ilmu-diminta untuk mengetahuinya saja. Maka kami ringkas saja menurut yang telah kami sebutkan itu.

Sesungguhnya itu mencukupilah untuk menggerakkan mujahadah (bersungguh‑sungguh) dan mencari kasyaf (terbuka hijab)  daripadanya.

Setengah ulama kasyaf (terbuka hijab)  berkata: “Tampak kepadaku malaikat, lalu meminta kepadaku, supaya aku imla’kan (ditekan) kepadanya, sesuatu dari ingatanku yang tersembunyi, dari musyahadahku (penyaksian) tentang keesaan. Dan malaikat itu berkata: “Kami tidak menuliskan bagimu sesuatu amalan (pekerjaan yang kamu kerjakan). Dan kami ingin menaikkan bagimu amalan, dimana dengan amalan itu kami mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala”. Lalu aku bertanya: “Tidakkah kamu berdua menuliskan yang fardlu-fardlu ?”. Kedua malaikat itu menjawab: “Ya !”. Maka aku menyambung: “Mencukupilah yang demikian itu bagi kedua engkau”. Ini memberi isyarat, bahwa malaikat-malaikat yang menuliskan amalan manusia (malaikat kiramil-katibin), tidak mengetahui rahasia hati. Hanya mengetahui amalan zahiriah saja.

Setengah ahl ma’rifat berkata: “Aku bertanya kepada sebahagian wali mengenai persoalan musyahadatul-yaqin (yang disaksikan dengan yakin), lalu ia menoleh ke kiri, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat kiranya engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia menoleh ke kanan, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat kiranya engkau oleh Allah ?”. Kemudian ia menekur ke dadanya, seraya bertanya: “Apakah yang akan kamu katakan, diberi rahmat engkau oleh Allah Ta’ala ?”. Kemudian, ia menjawab dengan jawaban yang sangat ganjil yang pernah aku dengar. Lalu aku tanyakan tentang tolehannya itu. Maka itu menjawab: “Tak ada padaku jawaban yang tersedia mengenai pertanyaan itu. Maka aku bertanya kepada yang empunya kiri. Ia menjawab: “Aku tidak tahu”. Lalu aku bertanya kepada yang empunya kanan. Dia itu lebih tahu dari yang empunya kiri. Ia menjawab: “Aku tidak tahu”. Lalu aku melihat kepada hatiku dan aku bertanya kepadanya. Maka ia mengatakan kepadaku, apa yang aku jawabkan tadi kepadamu. Jadi, hatilah yang lebih tahu dari dua yang tersebut itu.
Dan seakan-akan ini adalah pengertian sabda Nabi saw: “Sesungguhnya pada umatku ada orang-orang muhaddats (yang diilhami). Dan Umar ra adalah salah seorang dari mereka”.

Pada atsar (ucapan Nabi saw atau sahabat), tersebut, bahwa Allah Ta’ala berfirman, yang maksudnya: “Barangmana hambaKu yang Aku melihat kepada hatinya, lalu kelihatan kepadaKu yang banyak padanya berpegang dengan zikirKu, niscaya Aku pimpin kebijaksanaannya, Aku adalah yang duduk, yang bercakap-cakap dan yang berjinak-jinakan dengan dia”.

Abu Sulaiman Ad-Darani ra berkata: “Adalah hati itu laksana kubah yang diperbuat. Dikelilingnya pintu-pintu yang terkunci. Maka pintu manapun yang dibuka baginya, niscaya ia beramal padanya: “Maka tampaklah terbukanya salah satu dari pintu hati ke pihak alamul-malakut (alam yang tidak bisa dipersaksikan dengan mata) dan al-malail-a’la (malaikat yg tertinggi). Dan pintu itu terbuka dengan mujahadah (bersungguh‑sungguh), wara’ (menjaga diri) dan meninggalkan nafsu syahwat duniawi”.
Karena itulah, Umar ra menulis surat kepada panglima-panglima tentara: “Jagalah apa yang kamu dengar dari orang-orang yang taat. Sesungguhnya menampak bagi mereka hal-hal yang benar !”.

Sebahagian ulama berkata: “Tangan (kekuasaan) Allah diatas mulut para ahli-hikmat (hukama). Mereka tiada menuturkan sesuatu, selain dengan kebenaran yang disediakan oleh Allah untuk mereka”.

Hukama yang lain berkata: “Jikalau aku mau, niscaya aku mengatakan, bahwa Allah Ta’ala memperlihatkan kepada orang-orang khusyu’ sebahagian rahasiaNya”.



Tiada ulasan: