Catatan Popular

Ahad, 22 Disember 2019

PENJELASAN: perbedaan diantara dua makam dengan contoh yang dapat dirasakan.


Ketahuilah, bahwa keajaiban hati itu diluar daripada pengetahuan pancaindra. Karena hati juga diluar pengetahuan pancaindra. Apa yang tiada diketahui dengan pancaindra itu, lemahlah pemahaman untuk mengetahuinya, selain dengan contoh yang dapat dirasakan.

Kami akan mendekatkan yang demikian kepada pemahaman-pemahaman yang lemah itu dengan dua contoh:
Salah satu daripada keduanya: bahwa jikalau kita umpamakan suatu kolam yang tergali dalam tanah, yang mungkin dibawa air kepadanya dari atas, dengan sungai yang terbuka kepadanya. Dan mungkin bahwa digali di bawah kolam itu dan tanahnya diangkat, sehingga ia dekat dengan tempat air yang jernih. Lalu terpancarlah air dari bawah kolam itu. Dan air tersebut lebih jernih dan terus-menerus. Dan kadang-kadang melimpah-limpah dan lebih banyak. Maka hati itu seumpama kolam. Dan ilmu itu seumpama air. Dan pancaindra yang 5 itu seumpama sungai. Dan kadang-kadang mungkin dibawa ilmu-ilmu itu kepada hati, dengan perantaraan sungai-sungai pancaindra dan pengambilan ibarat dengan penyaksian-penyaksian. Sehingga hati itu penuh dengan ilmu. Dan mungkin bahwa sungai-sungai itu disumbat dengan khilwah, ‘uzlah dan memicingkan mata. Dan berpegang kepada dalamnya hati dengan penyuciannya. Dan mengangkatkan lapisan-lapisan hijab daripadanya. Sehingga terpancar-pancarlah mata air ilmu dari dalamnya.
Jikalau anda bertanya: bagaimana ilmu itu terpancar dari hati itu sendiri, sedang hati itu kosong daripada ilmu ? Ketahuilah kiranya, bahwa ini termasuk sebahagian daripada keajaiban rahasia hati. Dan tidak dibolehkan menyebutkannya dalam “Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)”. Akan tetapi kadar yang mungkin disebutkan, ialah bahwa: hakekat segala sesuatu itu diguriskan pada Luh-Mahfudh. Bahkan dalam hati para malaikat muqarrabin (malaikat yg dekat kepada Allah swt). Maka sebagaimana seorang insinyur menggambar bentuk rumah pada kertas putih. Kemudian dikeluarkannya kepada “ada” yang bersesuaian dengan copy gambaran itu. Maka seperti itu pulalah Pencipta langit dan bumi, menulis copy alam dari permulaannya sampai kepada penghabisannya pada Luh-Mahfudh. Kemudian, dikeluarkanNya kepada “ada”, sesuai dengan copy itu.

Dan alam yang telah keluar kepada “ada” dengan bentuknya itu, membawa bentuk lain kepada pancaindra dan khayalan. Sesungguhnya orang yang menoleh ke langit dan ke bumi, kemudian memicingkan matanya, niscaya akan melihat bentuk langit dan bumi dalam khayalannya. Sehingga seolah-olah ia menoleh kepadanya. Jikalau tidak ada lagi langit dan bumi dan orang itu tinggal sendirian, niscaya ia memperoleh bentuk langit dan bumi dalam dirinya. Seakan-akan ia menyaksikan dan menoleh kepadanya. Kemudian, dari khayalannya itu membawa bekas kepada hati. Lalu berhasillah di dalam hati, hakekat segala sesuatu yang masuk ke dalam pancaindra dan khayalan. Dan yang berhasil di dalam hati itu, sesuai dengan alam yang berhasil dalam khayalan.

Dan yang berhasil dalam khayalan itu, sesuai dengan alam yang ada pada dirinya, di luar dari khayalan dan hati manusia.

Dan alam yang ada itu, sesuai dengan copy yang ada pada Luh-Mahfudh.

Maka seolah-olah alam, mempunyai 4 tingkat pada “ada”.
Yaitu: ada pada Luh-Mahfudh. Dan itu mendahului dari ada jasmaniyahnya. Dan diikuti oleh adanya yang hakiki. Dan adanya yang hakiki, diikuti oleh adanya yang khayalan. Yakni: ada bentuknya dalam khayalan. Dan adanya dalam khayalan, diikuti oleh adanya dalam pikiran. Yakni: ada bentuknya dalam hati. Sebahagian yang ada ini adalah rohaniah (kerohanian) dan sebahagian lagi jasmaniah (kejasmanian). Sebahagian dari kerohanian itu, lebih kuat dari sebahagian yang lain.

Dan kehalusan ini adalah dari hikmah ketuhanan. Karena Tuhan menjadikan mata-hitam anda dengan bentuknya yang kecil, dimana tercetak bentuk alam, langit dan bumi yang demikian luas tepinya, di dalam mata-hitam itu. Kemudian berjalan dari wujudnya dalam pancaindra, oleh wujudnya kepada khayalan. Kemudian daripadanya, oleh wujudnya dalam hati. Maka sesungguhanya anda selama-lamanya tiada mengetahui, selain apa yang sampai kepada anda. Maka jikalau tidak dijadikan bagi alam seluruhnya suatu contoh pada diri anda, niscaya tidak ada bagi anda berita dari sesuatu yang menerangkan diri anda. Maka Maha Sucilah Tuhan yang mengatur segala keajaiban ini di dalam hati dan mata. Kemudian, telah buta hati dan mata daripada mengetahuinya. Sehingga jadilah hati kebanyakan makhluk itu bodoh tentang dirinya dan keajaibannya.

Sekarang, marilah kita kembali kepada tujuan yang dimaksud ! maka kami mengatakan: hati itu kadang-kadang tergambar, bahwa berhasil padanya hakekat alam dan bentuk alam. Sekali dari pancaindra dan pada kali yang lain, dari Luh-Mahfudh. Sebagaimana mata itu, tergambar berhasil padanya bentuk matahari. Sekali dari memandang kepada matahari itu dan pada lain kali dari memandang ke air yang berkebetulan dengan matahari. Dan terlihatlah bentuknya di dalam air itu. Maka manakala terangkatlah tabir diantara seseorang dan Luh-Mahfudh, niscaya ia melihat pada Luh-Mahfudh itu segala sesuatu.

Dan terpancarlah kepadanya ilmu daripada Luh-Mahfudh. Lalu ia tidak memerlukan lagi, memetik dari dalam pancaindra. Yang demikian itu adalah seperti terpancarnya air dari dalam bumi. Dan manakala ia menghadapkan dirinya kepada khayalan yang datang dari yang dirasakan dengan pancaindra, niscaya adalah yang demikian itu, tabir baginya daripada membaca Luh-Mahfudh. Sebagaimana air apabila berkumpul dalam sungai, niscaya yang demikian itu mencegah daripada terpancarnya pada bumi. Dan sebagaimana orang yang melihat kepada air yang menampakkan bentuk matahari, dia tidak melihat kepada matahari itu sendiri. Jadi, hati itu mempunyai dua pintu: pintu yang terbuka ke alam malakut. Yaitu: Luh-Mahfudh dan alam malaikat. Dan: pintu yang terbuka ke pancaindra yang 5, yang berpegang dengan alamul-mulki wasy-syahadah (penyaksian tubuh di alam dunia). Dan alamul-mulki wasy-syahadah juga memberitakan, semacam pemberitaan dari alam malakut.

Adapun terbukanya pintu hati kepada memetik daripada pancaindra, maka tidaklah tersembunyi kepada anda. Mengenai terbukanya pintu hati yang masuk ke alam-malakut dan membaca Luh-Mahfudh, maka mempelajarinya dengan ilmu yakin, ialah dengan memperhatikan tentang keajaiban mimpi. Dan hati melihat dalam tidur, apa yang akan terjadi pada masa depan. Atau telah ada pada masa yang lalu, tanpa dipetik dari segi pancaindra.

Sesungguhnya pintu itu terbuka bagi orang yang menyendiri mengingati (berzikir) akan Allah Ta’ala.

Nabi saw bersabda:
“Telah dahulu orang-orang yang menyendiri”. Lalu beliau ditanyakan: “Siapakah orang-orang yang menyendiri itu, wahai Rasulullah ?”.
Nabi saw menjawab: “Orang-orang yang bersenang-senang mengingati Allah Ta’ala (berzikir). Zikir itu menghapuskan dosa mereka. Lalu mereka datang pada hari kiamat dalam keadaan ringan”.
Kemudian, Nabi saw bersabda, menyifatkan mereka itu, sebagai pengkabaran daripada Allah Ta’ala:
“Kemudian aku hadapkan dengan mukaku kepada mereka. Adakah engkau melihat, siapakah yang Aku berhadapan dengan wajahKu ? seseorang mengetahui, barang apa yang Aku maksudkan memberikannya”.

Kemudian, Allah Ta’ala berfirman:
“Yang pertama-tama Aku berikan, ialah bahwa Aku lemparkan nur ke dalam hati mereka. Lalu mereka mengabarkan tentang Aku, sebagaimana Aku mengabarkan tentang mereka”.
Tempat masuknya kabar-kabar itu, ialah: pintu batin. Jadi perbedaan antara wali-wali dan nabi-nabi, antara ilmu para ulama dan hukama’, itulah yang tersebut tadi. Yaitu: ilmu mereka datang dari dalam hati, dari pintu yang terbuka ke alam malakut. Dan ilmu hikmah itu datangnya dari pintu pancaindra, yang terbuka ke alamul-mulki. Dan keajaiban alam hati dan pulang-perginya diantara alam syahadah (alam yang dapat disaksikan) dan alam gaib, tidak mungkin dibahas secara mendalam pada “Ilmu Mu’amalah (pengurusan/perniagaan/yang diminta mengetahuinya hendaklah diamalkan)”. Maka itulah contoh yang mengajarkan anda, perbedaan diantara tempat masuk dua alam itu.

Contoh kedua: diperkenalkan kepada anda, perbedaan diantara dua amal. Yaitu: amal para ulama dan amal wali-wali. Para ulama itu beramal dalam mengusahakan ilmu itu sendiri dan menarikkannya kepada hati. Dan wali-wali sufi itu beramal pada mencemerlangkan hati, mensucikan, membersihkan dan mengkilatkannya saja. Diceritakan, bahwa ahli Cina dan ahli Rum, bangga-membanggakan diri dihadapan sebahagian raja-raja, dengan bagusnya perusahaan mengukir dan membuat gambar. Lalu raja menetapkan pendapatnya, untuk menyerahkan kepada mereka, suatu ruang. Supaya ahli Cina mengukir pada suatu sudut daripadanya dan ahli Rum pada sudut yang lain.

Dan diantara keduanya dibentangkan tabir, yang mencegah masing-masing pihak untuk melihat kepada pihak yang lain. Lalu diperbuatlah yang demikian. Maka ahli Rum mengumpulkan cat-cat yang ganjil, yang tiada terhingga jumlahnya. Sedang orang Cina masuk ke tempat itu, tanpa membawa cat. Dan mereka lalu mencemerlangkan sudutnya dan melicinkannya. Tatkala ahli Rum itu telah selesai, lalu ahli Cina itu mendakwakan, bahwa mereka telah selesai juga. Maka raja itu heran dari perkataan ahli Cina itu, bagaimana mereka sudah selesai mengukir, tanpa ada cat. Lalu orang bertanya kepada ahli Cina itu: “Bagaimana anda sudah selesai, tanpa cat ?”. Lalu ahli Cina itu menjawab: “Apa tuan-tuan ini. Angkatlah tabir !”. Lalu mereka mengangkatkannya.
Tiba-tiba di sudut mereka, bersinar-cemerlanglah oleh keajaiban perbuatan orang-orang Rum, serta bertambahnya kecemerlangan dan kekilatan. Karena sudut mereka telah menjadi seperti cermin yang berkilat, karena banyaknya pelicinan. Lalu bertambahlah baik sudut orang Cina itu dengan bertambahnya pelicinan. Maka seperti itulah kesungguhan wali-wali mensucikan hati, mencemerlangkan, membersihkan dan menjernihkannya. Sehingga bersinar-cemerlanglah jelasnya kebenaran dengan sangat bercahaya, seperti perbuatan orang Cina tersebut diatas.

Dan kesungguhan para hukama dan ulama dengan berusaha dan mengukirkan ilmu dan menghasilkan pengukirannya dalam hati, adalah seperti perbuatan orang Rum itu. Bagaimanapun urusan itu adanya, maka hati orang mu’min tidak mati. Dan ilmunya ketika mati, tidak terhapus. Dan kejernihannya tidak akan keruh. Kepada inilah diisyaratkan oleh Al-Hasan ra dengan katanya: “Tanah tidak akan memakan tempat iman”. Akan tetapi ia adalah jalan dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Adapun apa yang dihasilkannya dari ilmu itu dan apa yang dihasilkan, dari kebersihan dan kesediaan, untuk menerima ilmu itu sendiri, maka tidak boleh tidak daripadanya. Tiada kebahagiaan bagi seseorang, selain dengan ilmu dan ma’rifah.

Dan sebahagian kebahagiaan itu lebih mulia dari sebahagian yang lain. Sebagaimana orang tidak kaya, selain dengan harta. Maka orang yang mempunyai dirham itu, orang kaya. Orang yang mempunyai gedung penuh dengan barang-barang itu orang kaya. Dan lebih-berkurangnya tingkat kebahagiaan, adalah menurut lebih-berkurangnya ma’rifah dan iman. Sebagaimana lebih-berkurangnya tingkat orang-orang kaya, adalah menurut sedikit dan banyaknya harta.
Ma’rifah itu nur. Orang-orang mu’min tidak berlari menjumpai Allah Ta’ala, selain dengan nur mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
“Cahaya mereka berlari dihadapan dan dikanan mereka”. S 57 Al Hadiid ayat 12.

Diriwayatkan pada hadits: “Bahwa sebahagian mereka diberikan nur, seperti bukit. Dan sebahagian mereka lebih kecil dari bukit. Sehingga yang penghabisan dari mereka, adalah seorang laki-laki yang diberikan nur atas ibu jari kedua tapak kakinya. Lalu nur itu sekali bercahaya dan sekali padam. Maka apabila bercahaya, niscaya ia mendahulukan kedua tapak kakinya, lalu ia berjalan. Dan apabila padam, niscaya ia berdiri. Dan lalunya mereka diatas titian shiratul-mustaqim, adalah menurut kadar nur mereka.

Diantara mereka, ada yang lalu sekejap mata. Diantara mereka, ada yang lalu seperti kilat. Diantara mereka, ada yang lalu seperti awan. Diantara mereka, ada yang lalu seperti jatuhnya bintang. Dan diantara mereka, ada yang lalu seperti kuda, apabila bersangatan larinya di lapangan luas. Dan orang yang diberikan nur di atas ibu-jari tapak-kakinya, merangkak-rangkak diatas muka, kedua tangan dan kedua kakinya. Ia menarik tangannya dan menggantungkan tangan yang lain. Semua segi badannya kena api neraka. Maka senantiasalah ia seperti yang demikian, sampai ia terlepas”.
Dengan ini, jelaslah lebih-berkurangnya tingkat manusia tentang iman. Dan kalau ditimbang iman Abubakar ra dengan iman isi alam semesta, selain para nabi dan para rasul, niscaya lebih kuatlah iman Abubakar ra. Ini juga menyerupai ucapan orang yang mengatakan: “Jikalau ditimbang sinar matahari dengan sinar lampu seluruhnya, niscaya lebih kuarlah sinar matahari”.

Maka iman masing-masing orang awam, sinarnya adalah seperti sinar lampu. Sebahagian mereka, sinarnya seperti sinar lilin. Dan iman orang-orang shiddiqin, sinarnya itu seperti sinar bulan dan bintang-bintang. Dan iman nabi-nabi itu, seperti matahari. Dan sebagaimana pada sinar matahari, kelihatan bentuk ufuk, serta luas daerah-daerahnya dan tidak kelihatan pada sinar lampu, selain suatu sudut yang sempit dari rumah, maka seperti demikianlah lebih-berkurangnya kelapangan dada dengan ilmu dan terbukanya keluasan malakut bagi hati orang-orang arifin.

Karena itulah tersebut pada hadits: “Sesungguhnya dikatakan pada hari kiamat: “Keluarkanlah dari neraka, orang-orang yang ada iman dalam hatinya seberat biji sawi, setengah berat itu, seperempat berat itu dan seberat biji syair dan biji jagung”. Semua itu pemberitahuan tentang lebih-kurangnya tingkat iman. Dan iman dalam kadar-kadar tersebut, tidak mencegah masuk neraka. Dan dalam pengertiannya, dapat dipahami, bahwa orang yang imannya melebihi berat tadi, tidak masuk neraka. Karena kalau masuk, niscaya disuruh mengeluarkannya pertama-tama. Dan orang yang dalam hatinya iman seberat biji sawi, tidak mustahak kekal dalam neraka, walaupun ia masuk ke dalamnya.

Demikian pula sabda Nabi saw: “Tiada suatupun yang lebih baik dari seribu yang seumpamanya, selain manusia mu’min”. Ini menunjukkan kepada keutamaan hati orang yang mengenal Allah Ta’ala dengan penuh keyakinan. Maka hatinya itu lebih baik dari seribu hati orang awam.
Allah Ta’ala berfirman:
“Kamu adalah lebih tinggi, kalau kamu benar-benar orang beriman”. S 3 Ali ‘Imran ayat 139.
Ayat ini menunjukkan kelebihan orang mu’min dari orang muslim. Dan yang dimaksudkan dengan orang mu’min itu, ialah orang mu’min yang mengenal Allah, bukan orang yang taqlid (ikut-ikutan).

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11.
Maka yang dimaksudkan disini dengan orang-orang yang beriman, ialah orang-orang yang benar, tanpa ilmu. Dan dibedakan mereka, dari orang-orang yang diberi ilmu. Dan yang demikian itu menunjukkan bahwa nama “mu’min” tertuju kepada “muqallid” (orang yang taqlid (turut/menurut)), walaupun pembenarannya, tanpa bashirah (melihat dengan mata hati) dan kasyaf (terbuka hijab).
Ibnu Abbas ra menafsirkan firman Allah Ta’ala:
Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi”. S 58 Al Mujaadalah ayat 11, maka Ibnu Abbas mengatakan, bahwa Allah Ta’ala mengangkat orang yang berilmu diatas orang mu’min, 700 derajat tingginya.
Dan diantara tiap-tiap dua derajat itu, seperti antara langit dan bumi.
Nabi saw bersabda:
“Kebanyakan isi sorga itu orang-orang bodoh. Dan sorga tinggi bagi orang-orang yang mempunyai akal”.

Nabi saw bersabda: “Kelebihan orang berilmu atas orang yang banyak ibadahnya, adalah seperti kelebihanku atas orang yang paling rendah dari sahabat-sahabatku”.

Pada riwayat yang lain, berbunyi: “Seperti kelebihan bulan pada malam purnama atas bintang-bintang yang lain”. Dengan bukti-bukti ini, jelaslah bagi anda, lebih-kurangnya derajat isi sorga, menurut lebih-kurangnya hati dan ma’rifah mereka.

Dan karena itulah, hari kiamat adalah hari tipu-menipu. Karena orang yang tidak memperoleh rahmat Allah adalah mengalami tipuan dan kerugian besar. Dan orang yang tidak memperoleh itu melihat diatas tingkatnya tingkat-tingkat yang tinggi. Maka adalah pandangannya kepada tingkat-tingkat itu, seperti pandangan orang kaya yang mempunyai 10 dirham, kepada orang kaya yang mempunyai tanah dari Timur ke Barat. Masing-masing dari kedua orang itu, adalah orang kaya. Tetapi alangkah besar perbedaan diantara keduanya ! alangkah besarnya kerugian orang yang merugi keuntungannya dari yang demikian itu ! akhiratlah yang mempunyai derajat tinggi dan keutamaan besar !

Tiada ulasan: