Catatan Popular

Ahad, 22 Disember 2019

PENJELASAN: kekhususan hati insan


Ketahuilah, bahwa sejumlah apa yang telah kami sebutkan itu, telah dianugerahkan oleh Allah kepada semua hewan, selain dari anak Adam. Karena, hewanpun mempunyai nafsu syahwat, kemarahan, pancaindra yang zahir dan yang batin. Sehingga seekor kambing yang melihat serigala dengan matanya, maka ia tahu dengan hatinya akan permusuhannya dengan serigala itu. Lalu larilah ia daripadanya. Maka yang demikian itu, adalah pengetahuan batin (al-idrakul-bathin). Maka marilah kami sebutkan yang khusus hati manusia dengan itu.

Dan karenanya, besarlah kehormatan manusia dan berhak untuk dekat dengan Allah Ta’ala. Yaitu: kembali kepada ilmu dan kemauan (Iradah). Ilmu, ialah: mengetahui segala urusan dunia dan akhirat serta segala hakikat/makna yang berhubungan dengan akal (haqaiq-‘aqliyah). Ini semuanya adalah urusan diluar yang dirasakan dengan pancaindra. Dan hewan tidak bersekutu dengan manusia padanya. Bahkan segala pengetahuan yang meliputi keseluruhan, yang dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan pemikiran/mudah)  , adalah hal-hal yang khusus bagi akal. Karena manusia menetapkan, bahwa tidak tergambar pada pikiran, orang seorang berada pada dua tempat pada satu keadaan. Dan ketetapan ini berlaku kepada semua orang. Sebagai dimaklumi, bahwa tidak dapat diketahui dengan pancaindra, selain oleh sebahagian orang.
Maka menetapkannya kepada semua orang, adalah melebihi dari apa yang dapat diketahui oleh pancaindra. Apabila ini telah dipahami pada ilmu zahir dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan pemikiran/mudah)  , maka lebih terang lagi pada ilmu nadhari (yang merupakan teori-teori, memerlukan kepada dalil). Tentang kemauan, sesungguhnya apabila dapat diketahui dengan akal, akan akibatnya sesuatu dan jalan memperbaikinya, niscaya tergeraklah daripadanya keinginan untuk memperbaiki, mencari sebab-sebabnya dan berkemauan untuk yang demikian.

Dan yang demikian itu, selain dari kemauan nafsu syahwat dan kemauan hewan. Bahkan adalah berlawanan dengan nafsu syahwat. Karena nafsu syahwat (keinginan) itu lari dari berbetik dan berbekam, sedang akal menghendaki, meminta dan menyerahkan harta untuk yang demikian. Nafsu syahwat itu condong kepada makanan-makanan enak pada waktu sakit.

Dan orang yang berakal memperoleh pada dirinya menolaknya. Dan yang demikian itu bukanlah penolakan nafsu syahwat. Jikalau dijadikan oleh Allah, akal yang mengetahui akibat segala hal dan tidak dijadikanNya pembangkit ini, yang menggerakkan semua anggota, menurut ketetapan akal, niscaya dengan sebenarnya ketetapan (hukum) akal itu lenyap (hilang). Jadi, hati insan itu terkhusus dengan ilmu dan kemauan, yang terlepas hewan yang lain daripadanya. Bahkan juga anak kecil, terlepas daripadanya pada permulaan lahirnya. Dan baru datang yang demikian itu, sesudah dewasa (baligh). Adapun nafsu syahwat, kemarahan dan pancaindra zahiriah dan batiniah, maka sesungguhnya itu terdapat pada anak kecil.

Kemudian pada memperoleh ilmu pengetahuan ini, anak kecil itu mempunyai dua tingkat:

Tingkat pertama: bahwa hatinya anak kecil itu melengkapi kepada ilmu dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan pemikiran/mudah)   pertama yang lain. Seperti: ilmu tentang mustahilnya segala hal yang mustahil dan jawaznya segala yang jawaz (dari awal waktu sampai tersisa kadar waktu) yang zahiriah.

Maka adalah ilmu nadhariah (peraturan agama) itu tidak berhasil pada tingkat ini, kecuali bahwa ia telah menjadi kemungkinan, yang dekat kemungkinannya dan dekat keberhasilannya. Adalah keadaan anak kecil itu, dengan dihubungkan kepada ilmu pengetahuan, seperti halnya seorang penulis, yang tidak mengenal dari hal penulisan, selain tinta, pena dan huruf-huruf tunggal yang tidak bersusun. Ia sudah mendekati kepada penulisan. Dan belum lagi sampai ke sana.

Tingkat kedua: bahwa berhasil bagi anak kecil itu ilmu pengetahuan yang diusahakan dengan pengalaman dan pemikiran. Maka ilmu pengetahuan itu adalah seperti simpanan padanya. Kalau ia mau, niscaya ia kembali kepadanya. Dan halnya itu sama dengan halnya orang yang pandai menulis. Karena dikatakan kepadanya: penulis, walaupun ia tidak langsung menulis, disebabkan kemampuannya kepada penulisan itu. Inilah tujuan penghabisan derajat insaniyah. Akan tetapi pada derajat ini terdapat tingkat-tingkat yang tak terhingga jumlahnya, yang berlebih-kurang manusia padanya, disebabkan banyak dan sedikitnya pengetahuan memperolehnya. Karena sebahagian hati berhasil ilmu pengetahuan itu, dengan ilham ketuhanan, diatas jalan mendatangkannya (mubadaah) dan membukakannya (diminta untuk mengetahuinya saja).

Dan sebahagian mereka, memperolehnya dengan jalan belajar dan usaha. Kadang-kadang segera berhasil dan kadang-kadang lambat berhasil. Pada maqam (kedudukan) ini, berbeda-bedalah tingkat para ulama, hukama (para ahli hikmat atau filosuf), nabi-nabi dan wali-wali. Maka tingkat meningginya tidak terhingga padanya. Karena ilmu Allah swt tidak berkesudahan. Dan tingkat yang tertinggi, ialah tingkat nabi, yang terbuka baginya tiap-tiap hakikat/makna atau yang terbanyak dari hakikat/makna itu, tanpa usaha dan pemberatan diri.
Akan tetapi dengan pembukaan ketuhanan dalam waktu yang sangat segera. Dengan kebahagiaan ini, seorang hamba Allah mendekati Allah, dengan arti, hakikat/makna dan sifat. Tidak dengan tempat dan jarak jauhnya. Tempat pendakian tingkat-tingkat ini, ialah tempat-tempat orang yang berjalan kepada Allah Ta’ala. Dan tak ada hingganya tempat-tempat itu. Sesungguhnya masing-masing orang yang berjalan itu, tahu akan tempatnya yang menyampaikannya dalam perjalanannya. Maka ia mengetahui tempat itu dan mengetahui tempat-tempat di belakangnya. Adapun yang dihadapannya, maka tidaklah sampai hakikat/makna pengetahuannya. Akan tetapi kadang-kadang ia membenarkan yang dihadapan itu, karena beriman kepada yang ghaib, sebagaimana kita beriman kepada kenabian dan nabi.

Dan membenarkan adanya. Akan tetapi tiada yang mengetahui hakikat/makna kenabian, selain nabi sendiri. Sebagaimana anak dalam kandungan (janin) tiada mengetahui keadaan anak kecil. Dan anak kecil tiada mengetahui keadaan anak yang akan dewasa (al-mumayyiz) dan pengetahuan dlaruri (pengetauhan mudah tanpa memerlukan pemikiran/mudah)  yang terbuka baginya. Anak yang akan dewasa tiada mengetahui keadaan orang yang berakal dan pengetahuan nadhari (ilmu yang memerlukan pemikiran) yang diusahakannya.

Maka seperti itu pulalah orang yang berakal (‘aqli) tiada mengetahui segala macam kelebihan lemah-lembut dan rahmatnya Allah, yang dibuka oleh Allah kepada wali-wali dan nabi-nabiNya. Barang apapun rahmat yang dibuka oleh Allah kepada manusia, maka tiada yang menahannya. Rahmat itu diberikan, disebabkan kemurahan dan kemuliaan Allah swt, tiada kikir kepada seorangpun. Tetapi sesungguhnya jelas yang demikian dalam hati yang mencari pemberian rahmat Allah Ta’ala, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw: “Sesungguhnya pada hari-hari masamu, Tuhanmu mempunyai pemberian-pemberian. Mengapa kamu tidak datang mengambilnya ?”. Datang mengambil pemberian itu, ialah dengan membersihkan dan mensucikan hati dari kekejian dan kekotoran yang diperoleh daripada budi pekerti tercela, sebagaimana akan datang penjelasannya.

Kepada kemurahan inilah disyaratkan dengan sabda Nabi saw:
“Tiap-tiap malam (rahmat) Allah turun ke langit dunia.
Lalu Allah Ta’ala berfirman:
“Adakah orang yang berdoa, supaya Aku perkenankan doanya ?”.
Dan dengan sabda Nabi saw sebagai hikayah daripada Allah ‘Azza Wa Jalla: “Telah lamalah rindunya orang-orang baik untuk bertemu dengan Aku. Dan Aku lebih rindu lagi untuk menemui mereka”.

Dan dengan sabda Nabi saw: “Barangsiapa mendekati Aku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya sehasta”.

Semua itu isyarat, bahwa cahaya ilmu tidak terdinding (terhijab) dari hati, karena kikir dan larangan dari pihak Yang Memberi nikmat. Maha Suci Ia dari sifat kikir dan melarang. Akan tetapi cahaya ilmu itu terdinding karena kekejian, kekotoran dan kesibukan dari pihak hati itu sendiri. Sesungguhnya hati itu seperti bejana (tempat air). Selama masih penuh dengan air, maka tidak dimasuki udara. Maka hati yang disibukkan oleh selain Allah, niscaya tidak dimasuki oleh ma’rifah (mengenal) keagungan Allah Ta’ala.
Kepada inilah diisyaratkan dengan sabda Nabi saw: “Jikalau tidaklah setan-setan itu mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka dapat memandang ke alam malakut yang tinggi”.

Dari keseluruhan ini, teranglah bahwa kekhususan manusia itu: ilmu dan hikmah. Dan yang termulia, dari segala macam ilmu itu, ialah: ilmu mengenai Allah, sifat-sifatNya dan Af’alNya (perbuatanNya). Maka dengan itulah kesempurnaan manusia. Dan pada kesempurnaan nya itu kebahagiaan dan kepatutannya di sisi Tuhan Yang Maha Agung dan Mahasempurna. Maka tubuh manusia itu tersusun untuk jiwa dan jiwa itu tempat ilmu. Dan ilmu itu maksud manusia dan kekhususannya, yang karena ilmulah, manusia itu dijadikan.
Sebagaimana kuda bersekutu dengan keledai tentang kuatnya membawa beban dan khusus bagi kuda dengan kuatnya lari mengejar musuh dan berlarian serta bagusnya bentuk, maka adalah kuda itu dijadikan karena kekhususan tersebut. Kalau hal khusus itu kosong, niscaya turunlah kuda itu ke lembah tingkatan keledai. Begitupulalah manusia ! ia bersekutu dengan keledai dan kuda pada beberapa hal. Dan ia berbeda dari keduanya dalam beberapa hal, yang menjadi kekhususannya. Kekhususan itu setengah dari sifat-sifat malaikat yang dekat di sisi Tuhan Semesta alam. Dan manusia dalam kedudukannya, adalah diantara hewan dan malaikat. Sesungguhnya manusia itu dari segi ia makan dan berketurunan, adalah tumbuh-tumbuhan. Dan dari segi ia merasa dan bergerak dengan kemauan sendiri (ikhtiar), adalah hewan. Dan dari segi bentuk dan tegaknya, maka adalah seperti bentuk yang diukir pada dinding tembok.

Dan kekhususannya, ialah: mengetahui hakikat/makna segala sesuatu. Maka barangsiapa menggunakan semua anggota tubuh dan kekuatannya dengan cara meminta tolong untuk ilmu dan amal, maka ia telah serupa dengan malaikat. Maka berhaklah ia dihubungkan dengan para malaikat. Dan layaklah dinamakan: malaikat dan rabbani (orang yang dekat dengan Tuhan), sebagaimana diterangkan oleh Allah tentang sifat-sifat Yusuf as dengan firmanNya: “Ini bukan manusia, tetapi ini malaikat yang mulia”. S 12 Yusuf ayat 31.

Barangsiapa berbuat dengan kemauannya untuk menuruti kesenangan badaniah, ia makan seperti hewan makan, maka ia telah turun ke lembah yang sejajar dengan hewan. Ia menjadi bebal seperti: sapi atau rakus seperti: babi, atau menjilat seperti: anjing atau kucing, atau pendengki seperti: unta, atau takabur seperti: harimau atau penipu seperti: pelanduk atau mengumpulkan sifat-sifat tadi semuanya, seperti: setan durhaka.

Tiap-tiap anggota tubuh dan pancaindra manusia, dapat dan mungkin diminta tolong untuk menempuh jalan yang akan menyampaikan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana akan datang penjelasan sebahagian daripadanya pada “Kitab Syukur”. Barangsiapa menggunakan anggota tubuh dan pancaindranya pada jalan sampai kepada Allah, maka ia memperoleh kemenangan. Dan barangsiapa berpaling daripadanya, maka merugi dan kecewa. Keseluruhan kebahagiaan pada yang demikian, ialah bahwa menjadikan bertemu dengan Allah Ta’ala itu tujuannya. Negeri akhirat itu tempat ketetapannya. Dunia itu tempat tinggalnya. Tubuhnya itu kendaraannya.

Dan anggota badannya itu pelayan-pelayannya. Maka tetaplah ia, yakni: yang mengetahui dari manusia itu, dalam hati yang berada di tengah-tengah kerajaannya, seperti: raja. Berlakulah kekuatan khayalan (imajinasi) yang tersimpan pada depan otak, sebagai pengurus posnya. Karena semua berita yang diketahui dengan pancaindra, terkumpul padanya.

Berlakulah kekuatan penjaga yang tempatnya diujung otak, sebagai penjaga gudangnya. Berlakulah lidah sebagai juru bahasanya. Berlakulah anggota badan yang bergerak, sebagai juru tulis-juru tulisnya. Dan berlakulah pancaindra yang 5 sebagai mata-matanya. Maka ia mewakilkan kepada masing-masing pancaindra itu, menyampaikan berita-berita yang terjadi dari semua penjuru. Ia mewakilkan kepada mata, mengenai dunia warna. Kepada pendengaran, mengenai dunia suara. Kepada penciuman, mengenai dunia bau-bauan. Dan begitulah pula yang lain-lain. Semuanya mempunyai berita yang dipetiknya dari dunia-dunia itu. Dan disampaikannya kepada kekuatan khayalan, yang seolah-olah ia seperti: pengurus pos. Dan pengurus pos itu menyerahkannya kepada: penjaga gudang. Dialah yang menjaga. Oleh pengurus gudang itu, disampaikannya kepada raja. Lalu raja itu mengambil apa yang diperlukannya pada mengatur kerajaannya dan menyempurnakan perjalanannya yang menjadi tujuannya. Dan mencegah musuhnya yang membahayakan dan menolak perompak-perompak di jalanan.

Apabila manusia itu telah berbuat demikian, niscaya ia memperoleh taufiq, berbahagia dan bersyukur kepada nikmat Allah.

Apabila ia kosong dari keseluruhannya ini atau dipergunakannya, akan tetapi untuk memelihara musuhnya, yaitu: nafsu syahwat, kemarahan dan hal-hal lain yang segera keuntungannya atau pada pembangunan jalannya, tidak pembangunan tempat tinggalnya, karena dunia itu jalan yang dilaluinya, sedang tanah air dan tempat ketetapannya, ialah akhirat, niscaya orang tersebut memperoleh kehinaan, celaka, mengingkari nikmat Allah, menyia-nyiakan tentara Allah ta’ala, menolong musuh-musuh Allah dan menghina barisan Allah. Maka berhaklah ia dikutuk dan dijauhkan dari rahmat Allah di dunia dan di akhirat. Kita berlindung dengan Allah dari yang demikian.
Dengan contoh yang kami kemukakan tadi, diisyaratkan oleh Ka’bul Ahbar, dimana ia berkata: “Aku datang kepada ‘Aisyah lalu aku berkata: “Manusia, dua matanya itu pemberi petunjuk. Kedua telinganya itu corong. Lidahnya itu juru bahasa. Kedua tangannya itu sayap. Kedua kakinya itu pos. Dan hatinya itu raja. Apabila raja itu baik, niscaya baiklah tentara-tentaranya”.
Lalu ‘Aisyah menyahut: “Begitulah aku mendengar Rasulullah saw bersabda”.

Ali ra berkata tentang memberi contoh hati: “Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai tempat-tempat air (bejana) di bumiNya. Yaitu: hati. Maka hati yang paling dikasihi oleh Allah Ta’ala, ialah: yang paling halus, yang paling bersih dan yang paling keras. Kemudian Ali ra menafsirkannya dengan mengatakan: “Paling kerasnya hati itu mengenai agama, paling bersihnya mengenai keyakinan. Dan paling halusnya kepada saudara-saudara. Itulah yang diisyaratkan dengan firman Allah Ta’ala: “…….bersikap teguh dan kuat terhadap orang-orang yang tidak beriman, bersifat kasih-sayang antara sesama mereka”. S 48 Al Fath ayat 29.

Firman Allah Ta’ala: “Perumpamaan cahaya Tuhan itu sebagai sebuah lobang, yang di dalamnya pelita”. S 24 An Nur ayat 35.

Ubai bin Ka’ab ra berkata: “Artinya seperti cahaya orang mu’min dan hatinya”.

Dan firman Allah Ta’ala: “Atau (keadaan mereka) sebagai kegelapan di laut yang dalam”. S 24 An Nur ayat 40.

Itu adalah seperti hati orang munafiq. Zaid bin Aslam berkata tentang firman Allah Ta’ala: “Dalam batu tulis yang terpelihara baik”. S 85 Al Buruuj ayat 22.

Yaitu: hati orang mu’min. Sahl berkata: “Hati dan dada itu adalah seperti: ‘Arasy dan Kursi. Itulah contoh-contoh hati itu !

Tiada ulasan: