Catatan Popular

Ahad, 22 Disember 2019

PENJELASAN: bahwa bisikan hati, adakah tergambar menjadi terputus secara keseluruhan ketika berdzikir atau tidak ?


Ketahuilah kiranya, bahwa para ulama yang mengintip hati, yang memperhatikan sifat-sifat dan keajaiban-keajaiban hati, berbeda pendapat tentang persoalan ini dalam 5 golongan.

Suatu golongan berkata, bahwa: bisikan (bisikan setan) itu, terputus dengan mengingati Allah (berdzikir). Karena Nabi saw bersabda: “Apabila mengingati Allah, niscaya hati itu mengendap (al-chansu)”. Al-chansu itu, ialah diam. Seakan-akan hati itu diam.

Suatu golongan berkata, bahwa: pokoknya bisikan itu tiada menghilang. Akan tetapi berjalan di dalam hati dan tiada mempunyai bekas. Sebab apabila hati itu tenggelam dalam dzikir (menyebut dan mengingati Allah), niscaya ia terhijab (terdinding) daripada berbekas dengan bisikan itu, seperti orang yang sibuk dengan cita-citanya. Kadang-kadang ia berkata-kata dan tiada dipahaminya yang diperkatakan itu, walaupun suara itu terlintas pada pendengarannya.

Suatu golongan berkata, bahwa bisikan setan itu tiada hilang dan bekasnya juga tiada hilang. Tetapi yang hilang, ialah mengerasnya pada hati. Seakan-akan hati itu dibisikkan dari jauh dan bisikan lemah.

Suatu golongan berkata, bahwa bisikan itu seketika menghilang, ketika mengingati Allah (berdzikir). Dan pada seketika yang lain, dzikir itu menghilang. Dan ganti-berganti keduanya pada waktu-waktu yang berdekatan, yang diduga karena berdekatannya, bahwa waktu-waktu itu bersamaan. Yaitu, seperti bola yang ada padanya titik-titik yang bercerai-berai. Apabila anda putarkan bola itu dengan cepat, niscaya anda melihat titik-titik itu bundaran-bundaran, disebabkan cepat bersambungnya dengan gerak. Mereka itu mengambil dalil, bahwa pengendapan itu telah tersebut pada hadits. Dan kita menyaksikan bisikan setan itu serta dzikir. Dan tiada dasar bagi yang demikian, kecuali inilah.

Suatu golongan berkata, bahwa bisikan setan dan dzikir itu, selalu berjalan bergandengan pada hati, yang tiada putus-putusnya. Dan sebagaimana manusia kadang-kadang melihat dengan kedua matanya dua bentuk dalam suatu keadaan, maka begitu pulalah hati, kadang-kadang menjadi tempat berlalunya dua benda. Nabi saw bersabda: “Masing-masing hamba Allah (manusia) mempunyai 4 biji mata. 2 biji pada kepalanya, untuk melihat urusan dunianya. Dan dua biji pada hatinya, untuk melihat urusan agamanya”. Kepada inilah, Al-Muhasibi berjalan. Dan yang benar menurut kami, ialah bahwa semua mazhab (aliran) ini betul. Tetapi, semuanya adalah singkat, daripada meliputi dengan segala macam bisikan itu. Masing-masing mereka hanya memandang kepada semacam saja dari bisikan, lalu menerangkannya.

Bisikan (waswas) itu bermacam-macam:

Pertama: bahwa adalah itu dari segi penipuan kepada kebenaran. Sesungguhnya setan itu kadang-kadang ia membuat penipuan dengan kebenaran. Ia berkata kepada manusia: “Tinggalkanlah bersenang-senang dari segala kesenangan. Sesungguhnya umur itu panjang. Dan sabar dari segala nafsu syahwat sepanjang umur, kepedihannya adalah berat”. Ketika itu, apabila hamba mengingati akan agungnya kebenaran Allah Ta’ala, besarnya pahala dan siksaNya dan ia berkata kepada dirinya, bahwa sabar dari nafsu syahwat itu berat, akan tetapi sabar dari api neraka lebih berat lagi. Dan tak boleh tidak daripada salah satu daripadanya”. Apabila hamba mengingati akan janji balasan baik (wa’ad) dan balasan buruk (wa’id) daripada Allah Ta’ala dan ia memperbarui iman dan keyakinannya, niscaya setan itu mengendap dan lari. Karena ia tidak sanggup berkata kepada hamba itu, bahwa: api neraka lebih mudah daripada sabar diatas perbuatan maksiat. Dan tidak mungkin setan itu berkata, bahwa perbuatan maksiat tidak membawa kepada api neraka. Karena imannya kepada Kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, menolaknya daripada yang demikian. Lalu hilanglah bisikan setan (waswas) tersebut. Begitupula setan itu membisikkan kepada hamba: perasaan bangga (keta’juban) atas karyanya.

Maka setan itu berkata: “Mana ada orang yang mengenal Allah, seperti yang kamu kenal ? dan menyembahNya seperti yang kamu sembah ? maka alangkah tinggi tempatmu pada sisi Allah Ta’ala. Lalu hamba itu ketika itu teringat, bahwa ma’rifahnya, hatinya dan segala anggota tubuhnya, dimana ia berbuat dan berilmu dengan anggota tubuh itu, semuanya adalah makhluk Allah Ta’ala. Maka darimanakah ia dapat menyombongkan diri ? lalu mengendaplah (mundurlah) setan itu. Karena tidak mungkin ia berkata: “Tidaklah ini daripada Allah”. Sesungguhnya ma’rifah dan iman itu, menolaknya. Maka ini adalah semacam dari waswas, yang terputus secara keseluruhan dari orang-orang ma’rifah (‘arifin), yang berpemandangan jauh dengan cahaya iman dan ma’rifah.

Macam kedua: adanya waswas itu dengan penggerakan dan berkobarnya nafsu syahwat. Dan ini terbagi kepada: yang diketahui oleh hamba Allah itu dengan yakin, bahwa itu perbuatan maksiat. Dan kepada apa yang disangkanya dengan keras sangkaan. Kalau diketahuinya dengan yakin, niscaya setan itu mengendap (mundur), daripada pengobaran yang membekas kepada penggerakan nafsu syahwat. Dan setan itu tidak mundur daripada usaha pengobaran itu. Walaupun itu merupakan sangkaan saja. Kadang-kadang tetap membekas, dimana memerlukan kepada mujahadah (bersungguh-sungguh). pada menolaknya. Jadi waswas (bisikan setan) itu ada. Akan tetapi, dia tertolak, tidak menang.

Macam ketiga: bahwa adanya waswas itu dengan gurisan hati semata-mata, mengingati hal-hal yang biasa dan berpikir pada bukan shalat –umpamanya. Apabila ia menghadap kepada dzikir, niscaya tergambar bahwa bisikan itu tertolak sebentar dan kembali, tertolak dan kembali lagi. Maka silih bergantilah diantara dzikir dan waswas. Dan tergambarlah, bahwa keduanya itu datang beriringan. Sehingga pengertian itu melengkapi diatas pemahaman arti bacaan dan diatas gurisan-gurisan yang di dalam hati. Seakan-akan keduanya pada dua tempat dari hati. Dan jauh sekali bahwa dapat tertolak pengendapan setan itu secara keseluruhan, dimana tidak terguris lagi di dalam hati. Akan tetapi yang demikian itu tidak mustahil. Karena Nabi saw pernah bersabda: “Siapa yang mengerjakan shalat 2 rakaat, dimana hatinya tiada berkata sesuatu dari urusan duniawi, niscaya diampunkan dosanya yang telah berlalu”. Jikalau yang demikian itu tidak tergambar akan terjadi, niscaya tidak disebutkan oleh Nabi saw. Hanya yang demikian itu tidak akan tergambar jadinya, selain pada hati yang telah dikuasai oleh kecintaan kepada Tuhan. Sehingga ia menjadi seperti orang kehilangan akal. Kita kadang-kadang melihat orang, yang dilengkapi hatinya dengan musuh, yang merasa kesakitan dengan tindakan musuh itu.

Kadang-kadang ia bertafakkur selama 2 rakaat dan beberapa rakaat shalat, mengenai pertengkaran dengan musuhnya, dimana tidak terguris di hatinya, selain pembicaraan musuhnya. Begitupula orang yang tenggelam dalam kecintaan. Kadang-kadang ia bertafakkur dalam percakapan kekasihnya dengan hatinya. Dan ia terbenam dalam pikirannya, dimana tidak terguris di hatinya, selain pembicaraan kekasihnya. Kalau orang lain berbicara dengan dia, niscaya tidak didengarnya. Kalau ada seseorang yang melintasi di hadapannya, niscaya seakan-akan tidak terlihatnya. Apabila ini tergambar mengenai ketakutan kepada musuh dan pada kelobaan kepada harta dan kemegahan, maka bagaimanakah tidak tergambar pada ketakutan kepada api neraka dan kelobaan kepada surga ?. Tetapi yang demikian itu, sukar karena kelemahan iman kepada Allah Ta’ala dan hari akhirat.

Apabila anda memperhatikan jumlah bahagian-bahagian tersebut dan jenis-jenis bisikan setan (waswas), niscaya anda tahu, bahwa masing-masing aliran dari aliran-aliran itu, mempunyai segi. Akan tetapi pada tempat tertentu. Kesimpulannya, bahwa untuk terlepas dari setan pada waktu sekejap mata atau seketika dari waktu, adalah tidak jauh dari kejadian (bisa saja terjadi). Tetapi untuk terlepasnya sepanjang umur (waktu yang lama) dari pengaruh setan, adalah jauh sekali daripada bisa tercapai dan suatu hal yang mustahil dapat terwujud. Jikalau dapatlah seseorang terlepas dari bisikan setan dengan segala gurisan di dalam hati dan pengobaran keinginan hawa nafsu, niscaya terlepaslah Rasulullah saw dari yang demikian.

Diriwayatkan, bahwa “Nabi saw memandang kepada bendera yang tergambar pada kainnya dalam shalat. Maka setelah beliau memberi salam dari shalat itu, lalu kain itu dilemparnya, seraya bersabda: “Kain itu menggangguku dari shalat”. Dan seterusnya, beliau bersabda: “Bawalah kain ini kepada Abi Jahm dan bawalah kepadaku anbijaniyahnya (kain lain yang tidak bergambar)”. Tersebut pada hadits lain: “Pada tangan Nabi saw ada sebentuk cincin emas. Lalu beliau lihat kepadanya, sedang beliau berada diatas mimbar. Kemudian, beliau lempar cincin itu, seraya bersabda: “Sekali memandang kepadanya dan sekali memandang kepadamu”. Adalah yang demikian itu, karena bisikan setan, dengan menggerakkan keenakan memandang kepada cincin emas dan gambar bendera pada kain tersebut. Dan adalah yang demikian, sebelum diharamkan emas. Maka karena itulah,

Nabi saw memakainya. Kemudian, beliau melemparkannya. Maka gangguan harta benda dunia dan emas peraknya, tidak akan hilang, selain dengan melemparkan dan berpisah dengan benda-benda tersebut. Selama masih memiliki sesuatu di luar keperluannya, walaupun satu dinar, maka dia tidak akan ditinggalkan oleh setan dari bisikan, dalam memikirkan dinarnya. Yaitu, bagaimana ia menjaganya, pada apa ia membelanjakannya dan bagaimana ia menyembunyikannya, sehingga tiada seorangpun yang tahu. Atau bagaimana ia menonjolkannya, sehingga ia dapat membanggakannya. Dan begitulah seterusnya dengan bisikan-bisikan yang lain.

Maka barangsiapa menancapkan kukunya dalam dunia, lalu mengharap terlepas dari setan, adalah seperti orang yang membenamkan tangannya dalam air madu dan menyangka, bahwa lalat tiada akan jatuh padanya. Itu adalah hal yang mustahil. Maka dunia adalah pintu besar untuk bisikan setan. Dan setan itu tidak mempunyai satu pintu saja, tetapi mempunyai banyak pintu. Seorang ahli hikmah (philosof) berkata, bahwa setan itu datang kepada manusia dari pihak perbuatan maksiat. Kalau manusia itu tidak mau, niscaya setan itu datang dari segi nasehat. Sehingga dilemparkannya manusia itu dalam perbuatan bid’ah (yang diada-adakan).

Kalau manusia itu enggan juga, niscaya disuruhnya menjaga diri dari dosa (taharruj) dan bersikap keras. Sehingga diharamkannya apa yang tidak haram. Kalau enggan juga, niscaya diragukan nya pada wudhu’ dan shalatnya. Sehingga dikeluarkannya dari ilmu. Kalau enggan juga, niscaya diringankannya kepadanya amalan kebajikan. Sehingga ia dilihat orang sebagai seorang yang sabar dan terpelihara dari perbuatan yang tidak baik (‘afif). Lalu cenderunglah hati mereka kepadanya. Maka timbullah sifat perasaan bangga diri. Dan binasalah ia dengan demikian. Pada waktu yang demikian, bersangatanlah keperluan, karena itu adalah akhir tingkat dalam perjuangan melawan setan. Dan tahulah kiranya, apabila dapat melewatinya, niscaya terlepaslah ia dari setan, menuju ke sorga.


Tiada ulasan: