Catatan Popular

Ahad, 22 Disember 2019

PENJELASAN: tentang bisikan hati, cita-citanya, segala yang terguris padanya dan maksud-maksudnya


tentang bisikan hati, cita-citanya, segala yang terguris padanya dan maksud-maksudnya, yang disiksakan seorang hamba dengan yang tersebut itu dan apa yang dimaafkan, tiada disaksikan dengan yang demikian

Ketahuilah kiranya, bahwa ini adalah hal yang tersembunyi, yang memerlukan kepada penguraian. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang bertentangan, telah membentangkannya, yang meragukan jalan untuk mengumpulkannya. Kecuali pada ulama-ulama yang ahli tentang agama. Telah diriwayatkan daripada Nabi saw, bahwa beliau bersabda: “Dimaafkan daripada umatku, apa yang dibisikkan oleh hatinya, bila tidak dikatakannya atau dikerjakannya”.

Abu Hurairah berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat penjaga: “Apabila hambaKu bercita-cita perbuatan keji, maka janganlah kamu tuliskan ! kalau dikerjakannya, maka tulislah satu kekejian ! apabila ia bercita-cita perbuatan yang baik yang tidak dikerja kan nya, maka tulislah satu kebaikan ! dan kalau dikerjakannya, maka tulislah 10 kebaikan”. Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam “Shahih”nya.

Dan itu adalah dalil tentang dimaafkan pekerjaab dan cita-cita hati akan perbuatan keji. Dan pada kata-kata yang lain dari Nabi saw tersebut, yang artinya: “Orang yang bercita-cita perbuatan baik, lalu tidak dikerjakannya, maka dituliskan suatu kebaikan baginya. Dan orang yang bercita-cita suatu perbuatan baik, lalu dikerjakannya, maka dituliskan baginya 700 gandanya. Dan orang yang bercita-cita perbuatan keji, lalu tidak dikerjakannya, maka tidak dituliskan. Dan kalau dikerjakannya, maka dituliskan”. Dan pada kata-kata yang lain dari Nabi saw tersebut, yang artinya: “Apabila seseorang berkata akan mengerjakan suatu pekerjaan keji, maka aku akan mengampunkannya selama tidak dikerjakannya”. Semua yang tersebut tadi menunjukkan kepada pemaafan.

Adapun yang menunjukkan kepada penyiksaan, ialah firman Allah swt:
“Sekiranya kamu terangkan apa yang dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga. Allah mengampuni orang yang dikehendakiNya dan menyiksa orang yang dikehendakiNya”. S 2 Al Baqarah ayat 284.

Dan firman Allah Ta’ala:
 “Dan janganlah engkau turut apa yang tidak engkau ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan menerima pertanyaan”. S 17 Al Israa’ ayat 36.
Firman itu menunjukkan, bahwa perbuatan hati adalah seperti perbuatan pendengaran dan penglihatan. Tidak dimaafkan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah menyembunyikan kesaksian ! siapa yang menyembunyikan kesaksiannya itu, sesungguhnya hatinya berdosa”. S 2 Al Baqarah ayat 283.
Dan firman Allah Ta’ala:
“Allah tidak mengadakan tuntutan kewajiban karena sumpahmu yang tidak disengaja. Tetapi Ia mengadakan tuntutan kewajiban terhadap apa yang dikerjakan hatimu”. S 2 Al Baqarah ayat 225.

Sebenarnya pada kami tentang persoalan ini, tidak dapat dipahami, sebelum diliputi dengan uraian pekerjaan hati, dari permulaan lahirnya sampai kepada lahirnya perbuatan pada anggota badan.

Maka sekarang kami terangkan, bahwa:
Yang pertama datang pada hati, ialah gurisan, sebagaimana –umpamanya- terguris pada hati seseorang, rupa seorang wanita. Dan wanita itu dibelakangnya di jalan. Jikalau ia berpaling kepadanya, niscaya dilihatnya.

Yang kedua, berkobar-kobar keinginan melihat. Dan itu, adalah gerakan nafsu syahwat yang menjadi sifat manusia. Dan ini terjadi dari gurisan yang pertama itu. Dan kami namakan: kecenderungan tabiat. Dan yang pertama tadi, dinamakan: kata hati (haditsun-nafsi).

Yang ketiga, keputusan hati, bahwa seyogyalah itu dikerjakan. Artinya: seyogyalah bahwa ia akan memandang wanita itu. Karena tabiat (karakter manusia) apabila cenderung kepada sesuatu, niscaya kemauan dan niat itu tidak bergerak, sebelum segala penghalang tersingkirkan. Kadang-kadang ia dicegah oleh malu atau takut menoleh. Dan tidak adanya penghalang-penghalang itu, kadang-kadang dengan perhatian. Yaitu, pada umumnya itu suatu ketetapan dari pihak akal. Dan ini dinamakan: tekad (keyakinan). Dan tekad itu mengikuti gurisan dan kecenderungan hati.

Dan yang keempat, keputusan azam (cita-cita) untuk menoleh kepada wanita tersebut dan keyakinan niat hati pada yang demikian. Dan inilah yang kami namakan: cita-cita, niat dan maksud mengerjakannya. Cita-cita itu kadang-kadang mempunyai dasar yang lemah. Tetapi apabila hati mendengar kepada gurisan yang pertama, sehingga panjang penarikannya kepada jiwa, niscaya cita-cita itu menjadi kuat. Dan menjadi kemauan yang diyakini. Apabila kemauan telah diyakini, kadang-kadang timbul penyesalan sesudah keyakinan itu. Lalu ditinggalkan mengerjakannya. Dan kadang-kadang lupa disebabkan oleh sesuatu penghalang. Lalu tidak dikerjakan dan tidak menoleh kepadanya. Dan kadang-kadang dicegah oleh sesuatu pencegah, lalu sulit mengerjakannya.

Maka disini ada 4 hal bagi hati, sebelum dikerjakan dengan anggota badan.

Yaitu: gurisan, ya’ni: kata hati.
Kemudian: kecenderungan, kemudian: tekad, kemudian: cita-cita.

Maka kami jelaskan, bahwa gurisan itu, tidak dikenakan tuntutan. Karena ia tidak termasuk dalam ikhtiar (pilihan atau usaha).

Begitu pula: kecendrungan dan berkobarnya nafsu syahwat. Keduanya tidak juga termasuk dalam ikhtiar.

Dan itulah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi saw:
“Dimaafkan daripada umatku, apa yang dibisikkan oleh hatinya”.

Maka kata-hati itu, merupakan gurisan-gurisan yang membisik dalam hati (jiwa). Dan tidak diikuti oleh cita-cita mengerjakannya.

Adapun cita-cita dan azam, maka tidak dinamakan: kata hati. Akan tetapi kata-hati, adalah sebagaimana diriwayatkan dari Usman bin Madl’un, dimana ia mengatakan kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah ! hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku ceraikan Khaulah !”.

Lalu Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! sesungguhnya, diantara sunnahku, ialah: kawin (nikah)”. Usman bin Madh’un berkata lagi: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku potong alat nafsu syahwatku”. Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! memutuskan alat nafsu syahwat umatku, ialah membiasakan berpuasa”. Usman bin Madh’un berkata pula: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku menjadi padri”.

Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! kepadrian umatku, ialah jihad dan hajji”. Usman bin Madh’un berkata lagi: “Hatiku mengatakan kepadaku, supaya aku meninggalkan makan daging”. Nabi saw menjawab: “Hati-hati ! sesungguhnya aku menyukai daging. Jikalau aku memperolehnya, niscaya aku makan. Dan jikalau aku minta pada Allah, niscaya diberikanNya kepadaku”. Semua gurisan ini yang tidak disertai oleh azam mengerjakannya, adalah: kata hati (haditsun-nafsi). Dan karena itulah Usman bin Madh’un bermusyawarah dengan Rasulullah saw. Karena tidak ada padanya azam dan cita-cita dengan perbuatan itu.

Adapun yang ketiga, yaitu: tekad dan keputusan hati, bahwa seyogyanya ia mengerjakannya, maka ini adalah keragu-raguan (taraddud), diantara terpaksa atau dengan pilihan (ikhtiar) mengerjakannya. Dan keadaan berbeda-beda padanya. Yang ikhtiar (dengan pilihan dan kemauan sendiri) dilakukan tuntutan. Dan yang idltirari (yang terpaksa dikerjakan), tidak dilakukan tuntutan.

Adapun yang keempat, yaitu: cita-cita mengerjakannya, maka dilakukan tuntutan. Kecuali, kalau tidak dikerjakannya, maka itu diperhatikan. Kalau ditinggalkannya karena takut kepada Allah Ta’ala dan menyesal diatas cita-citanya itu, niscaya dituliskan untuknya suatu kebaikan. Karena cita-citanya itu keji. Dan pencegahan diri dan mujahadahnya (kesungguhannya) akan hawa nafsunya itu, suatu kebaikan. Dan cita-cita yang sesuai dengan tabiat itu, termasuk diantara yang menunjukkan kepada sempurnanya kelalaian kepada Allah Ta’ala. Dan mencegah diri dengan mujahadah (bersungguh-sungguh). itu menyalahi tabiat (keinginan hawa nafsu), yang memerlukan kepada kekuatan besar. Maka sesungguhnya menyalahi tabiat itu, adalah amalan karena Allah Ta’ala.

Dan amalan karena Allah Ta’ala itu, lebih berat daripada kesungguhannya menyetujui setan dengan menyetujui tabiat (keinginan hawa nafsu) itu. Lalu dituliskan suatu kebaikan baginya. Karena ia menguatkan kesungguhannya mencegah diri dan cita-citanya yang tersebut, daripada cita-citanya mengerjakan perbuatan itu.

Kalau ia tercegah dari perbuatan itu disebabkan oleh sesuatu pencegah atau ditinggalkannya disebabkan sesuatu halangan, bukan karena takut kepada Allah Ta’ala, niscaya dituliskan suatu kekejian kepadanya. Karena cita-citanya itu merupakan suatu perbuatan ikhtiari dari hati. Alasan atas uraian ini, ialah apa yang diriwayatkan dalam kitab “Shahih”, yang terurai pada kata-kata hadits. Rasulullah saw bersabda: “Para malaikat itu berkata: “Wahai Tuhanku ! orang itu hambaMu, yang bermaksud berbuat kekejian, sedang ia lebih melihatnya”. Maka Allah berfirman: “Intiplah dia ! kalau dikerjakannya, maka tulislah kejahatan itu seperti yang dikerjakannya! kalau ditnggalkannya, maka tulislah suatu kebaikan baginya ! sesungguhnya ia meninggalkan kekejian itu, dari karenaKu”. Sekiranya dikatakan: “Jikalau tidak dikerjakan kekejian itu”, dimaksudkan, ialah ditinggalkannya, karena Allah.

Adapun, apabila seseorang berazam kepada perbuatan keji, lalu berhalangan disebabkan oleh sesuatu sebab atau karena lupa, maka bagaimanakah kekejian itu ditulisan baginya suatu kebaikan ? Naib saw bersabda: “Manusia itu dibangkitkan menurut niatnya”. Kita mengetahui, bahwa siapa yang berazam pada malamnya, bahwa pada paginya ia akan membunuh orang Islam atau akan berzina dengan seorang wanita, lalu mati ia pada malam itu, niscaya ia mati diatas kemaksiatan. Dan ia dibangkitkan nanti menurut niatnya. Ia telah bercita-cita dengan perbuatan keji dan tidak dikerjakannya.

Keterangan yang kuat tentang itu, ialah hadits yang diriwayatkan daripada Nabi saw, yang bersabda: “Apabila bertemu dua orang muslim dengan pedang di tangannya masing-masing, maka si pembunuh dan yang terbunuh itu dalam neraka. Lalu ditanyakan: “Wahai Rasulullah ! ini si pembunuh ! maka bagaimana halnya yang terbunuh ? Nabi saw menjawab: “Karena itu bermaksud membunuh temannya”. Ini adalah suatu ketegasan (nash) tentang jadinya isi neraka dengan semata-mata kehendak. Sedang dia terbunuh dengan teraniaya. Maka bagaimana menjadi sangkaan, bahwa Allah Ta’ala tiada mengadakan tuntutan (Siksaan) dengan niat dan cita-cita ? bahkan semua cita-cita itu masuk dalam pilihan (ikhtiar) seseorang hamba. Ia dituntut (disiksa) dengan yang demikian. Kecuali ditutupnya dengan kebaikan. Dan meruntuhkan azam dengan penyesalan itu kebaikan. Maka karena itulah, dituliskan baginya suatu kebaikan.

Adapun luputnya yang dimaksud lantaran halangan, maka tidaklah dinamakan kebaikan. Gurisan-gurisan hati, kata hati dan berkobarnya keinginan, tidaklah semua ini masuk dalam ikhtiar. Mengadakan tuntutan (siksaan) dengan yang tersebut, adalah memberatkan sesuatu yang tiada disanggupi.
Dan karena itulah, tatkala turun firman Allah Ta’ala:
“Sekiranya kamu terangkan apa yang dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah akan memperhitungkan kamu juga”. Al-Baqarah ayat 284,
lalu: datanglah banyak dari para sahabat kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Kami diberati dengan yang tiada kami sanggupi. Bahwa seseorang dari kami berkata dalam hatinya, dengan yang tiada disukainya tetap dalam hatinya. Kemudian ia diperkirakan, yang demikian”. Nabi saw menjawab: “Mungkin kamu mengatakan seperti dikatakan oleh orang Yahudi: “Kami mendengar dan kami ingkari”. Katakanlah: “Kami mendengar dan kami taati”. Lalu para sahabat itu berkata: “Kami mendengar dan kami taati”.
Maka Allah Ta’ala menurunkan kelapangan sesudah setahun dengan firmanNya:
“Allah tiada memikulkan kewajiban kepada seorang, melainkan sekedar kekuatannya”. S 2 Al Baqarah ayat 286.

Maka jelaslah, bahwa semua pekerjaan hati yang tidak masuk dalam kelapangan, adalah yang tidak diadakan tuntutan (siksaan). Maka ini adalah penyingkapan tutup daripada keraguan itu. Tiap-tiap orang yang menyangka, bahwa semua yang berlaku dalam hati dinamakan: kata-hati dan tidak diperbedakannya diantara 3 bahagian itu, maka pastilah ia salah. Bagaimana tidak diadakan tuntutan (siksaan) dengan pekerjaan hati, seperti: sombong, membanggakan diri, ria, nifaq, dengki dan sejumlah perbuatan hati yang keji-keji lainnya ? bahkan pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya diminta tanggung jawab. Artinya: yang tidak masuk dalam ikhtiar (dalam pilihan dan kemauan sendiri). Kalau jatuh pandangan tanpa ikhtiar, kepada wanita yang bukan mahramnya, maka tidak diadakan tuntutan (siksaan). Kalau diikutinya dengan pandangan kedua, maka diadakan tuntutan (siksaan). Karena sudah dengan pilihan dan kemauannya.

Maka begitupula semua gurisan hati berlalu seperti ini. Bahkan hati itu lebih utama diadakan tuntutan (siksaan), karena dia adalah pokok. Nabi saw bersabda: “Taqwa itu disini… lalu Nabi saw menunjukkan kepada hati”. Allah Ta’ala berfirman:
Tiada akan sampai daging dan darahnya itu kepada Allah, hanya yang sampai kepadaNya, ialah taqwa daripadamu”. S 22 Al Hajj ayat 37.
Nabi saw bersabda:
“Dosa itu membekas pada hati”.

Nabi saw bersabda:
“Kebajikan itu ialah yang menentramkan hati, walaupun mereka meminta fatwa pada engkau dan mereka meminta fatwa pada engkau”.

 Sehingga kami dapat mengatakan, bahwa apabila hati yang memberi fatwa, menetapkan dengan kepositipan sesuatu dan ia bersalah dalam hal itu, maka ia memperoleh pahala.

Bahkan, siapa yang menyangka bahwa ia suci (mempunyai wudhu’), maka bolehlah ia mengerjakan shalat. Kalau ia sudah mengerjakan shalat, kemudian teringat, bahwa ia tiada berwudhu’, niscaya baginya pahala dengan perbuatannya itu. Kalau ia teringat, kemudian ia tinggalkan (tiada dikerjakannya shalat), niscaya ia disiksa. Siapa yang mendapati seorang wanita pada tempat tidurnya, lalu menyangka bahwa wanita itu isterinya, niscaya ia tidak maksiat dengan menyetubuhinya, walaupun ternyata kemudian, wanita itu orang lain. Kalau disangkanya wanita itu orang lain, lalu disetubuhinya, niscaya ia maksiat, walaupun ternyata kemudian, wanita itu isterinya. Semua itu dipandang kepada hati, tidak kepada anggota badan.

Tiada ulasan: