Catatan Popular

Ahad, 7 Jun 2020

Aisyah al Hiri an Naisaburi Putri Wali Besar yang Menjadi Wali

‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H.
Ia telah mewariskan pengetahuan kerohanian yang luar biasa, hingga sampai di generasi kita sekarang ini.
‘Aisyah merupakan anak perempuan dari Imam Abu ‘Utsman Sa’id bin Isma’il al-Hiri an-Naisaburi (w. 298 H), seorang ulama dan wali besar dari Naisabur.
Imam al-Dzahabi menggambarkan kedudukannya dengan kalimat:  
“Abu Utsman al-Hiri adalah seorang syekh (ulama), imam, ahli hadits, pemberi nasihat, dan keteladanan.
(Ia) adalah syaikhul Abu ‘Utsman, Sa’id bin Isma’il bin Sa’id bin Manshur an-Naisaburi al-Shufi”
Imam al-Hakim mengatakan, para ulama tidak ada yang meragukan kemustajaban doa Abu ‘Utsman al-Hiri.
Kezuhudan, kepakaran dan penghambaannya kepada Allah diakui oleh hampir semua ulama di zamannya.
Dari sekian banyak anak-anaknya, menurut Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah adalah yang paling zuhud, wara’, dan paling tinggi keadaan kerohaniannya.
Seperti ayahnya, doanya terkenal mustajab.
Imam Abdurrahman al-Sulami menulis:  
“Aisyah merupakan anak Abu ‘Utsman yang paling zuhud dan paling wara’”, Ia mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya, mempelajari berbagai ilmu agama dari mulai Al-Qur’an, hadits dan lain sebagainya.
Didikan ayahnya berpengaruh besar pada kehidupannya, sehingga ia melalui jalan yang sama dengan ayahnya.
Ketekunannya dalam belajar; keistiqamahannya dalam membersihkan hati, menjadikannya seorang ulama dan wali perempuan yang mumpuni.
Imam Abdurrahman al-Sulami mengatakan bahwa, ‘Aisyah merupakan anak Abu ‘Utsman al-Hiri yang paling menonjol. Tingkat kerohaniannya jauh melebihi saudara-saudaranya, baik yang laki-laki maupun perempuan (wa ahsanihim hâlan).
*****
Sebagai seorang ibu, ia pun tidak lupa mendidik anak-anaknya.
Salah satu anaknya yang paling terkenal adalah Ummu Ahmad.
Betapa kuatnya pengaruh dan kharismanya, para ulama lebih sering menisbatkan nasab Ummu Ahmad kepada ibunya.
Imam Abdurrahman al-Sulami menyebutnya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah.
Kelak, Ummu Ahmad menjadi wali perempuan yang masyhur juga.  
Dalam catatan Imam Abdurrahman al-Sulami, Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri selalu menasihati anaknya, Ummu Ahmad.
******
Beberapanya adalah “Aku mendengar anak perempuannya, Ummu Ahmad binti ‘Aisyah, berkata: Ibuku berkata kepadaku:
“Wahai puteriku, jangan kau (gantungkan) kesenanganmu terhadap (sesuatu) yang fana, dan jangan pula kau mencemaskan (sesuatu yang bisa) hilang. (Gantungkanlah) kesenanganmu kepada Allah, dan cemaslah dari (kemungkinan) kau gagal mendapatkan ampunan Allah.”
“Aku mendengarnya berkata: Ibuku berkata kepadaku: “Tetapilah adab, baik secara dhahir maupun batin. Sebab, apa saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang secara dhahir, (ia tidak akan dihukum) kecuali dihukum secara dzahir.
Dan apa saja kejelekan adab (yang dilakukan) seseorang secara batin, (ia tidak akan dihukum) kecuali dihukum secara batin”.  
Artinya, menjaga adab secara dzahir dan batin tidak bisa dipisahkan. Jangan sampai perilaku jahat dzahir manusia (berlaku kasar, menghardik, dsb.,) membuat batinnya turut terperangkap. Begitu pun sebaliknya, jangan sampai perilaku buruk batin manusia (ujub, takabbur, hasud, dsb.,) membuat dzahirnya ikut terperangkap juga.  
Maka, dalam ayat Al-Qur’an dikatakan (QS. Al-Falaq: 4), “wa min syarri hâsidin idzâ hasad” ([aku berlindung kepada Tuhan] dari kejahatan pendengki ketika ia dengki).
Dengki adalah penyakit hati, dan siapapun orangnya memiliki potensi dengki, yang membedakan adalah, ‘apakah dengki itu diaktifkan dalam gerak fizik (dzahir) atau sekedar perasaan hati yang mana kita berusaha keras untuk memulihkannya.’
Jika kita membiarkannya mewujud dalam perilaku fizik, itu artinya dzhahir kita telah terperangkap oleh kejelekan batin kita.  
Menjaga adab, baik secara dzahir maupun batin, sangat penting untuk dilakukan.
Apalagi Allah telah mennanam perangkat positif dan negatif di jiwa kita.

Semua manusia berpotensi menjadi baik karena Allah menempatkan kasih sayang, ketulusan, rasa malu, kesadaran dan watak positif lainnya.
Begitupun sebaliknya, semua manusa berpotensi menjadi jahat karena beragamnya watak negatif di hati manusia.
Karena itu, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri menasihati anaknya untuk selalu menjaga adabnya, baik adab dhahir maupun batin.  
‘Aisyah juga menasihatkan agar manusia bisa memahami kemaha-adaan Allah dan merasakan kehadiran-Nya.
Misalnya ia mengkritik orang yang merasa sepi dengan kesendirian (kesepian).
Baginya, Allah Maha Selalu Ada, maka tidak ada kesepian dalam hidupnya, karena Allah selalu bersamanya.
Ia mengatakan:  “Barangsiapa yang merasa kesepian dalam kesendiriannya, itu (disebabkan oleh) kurangnya kemesraannya dengan Tuhannya.”
Di waktu lain, ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri mengeluarkan ungkapan yang indah tentang menghargai sesama.
Karena penghargaan terhadap sesama merupakan bentuk kebenaran dari pengagungan terhadap sang Pencipta.
Ia mengatakan
“Barangsiapa yang memandang rendah seorang hamba, (itu pasti) karena kurangnya pengetahuan tentang Sang Tuan (Allah). Sebab, barangsiapa yang mencintai Sang Pencipta, maka ia akan mengagungkan ciptaan-Nya.”
Nasihat ini perlu kita renungkan secara mendalam. Selama ini, tanpa disadari, kita sering memandang rendah orang lain, bahkan sering menyamakan mereka dengan binatang, dan melekatkan predikat tersebut kepada mereka.
Padahal, kita tidak punya hak sama sekali untuk melakukan itu kepada sesama makhluk Allah.
Sebab, seperti yang dikatakan ‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri,
“barangsiapa yang mencintai Sang Pencipta, maka ia akan mengagungkan memuliakan ciptaan-Nya.”
Itu artinya, jika kita memandang rendah seseorang, itu sama saja kita sedang memandang rendah Penciptanya, na’udzu billahi min dzalik.  
‘Aisyah binti Abu ‘Utsman al-Hiri wafat di tahun 346 H.
Ia telah mewariskan pengetahuan kerohanian yang luar biasa, hingga sampai di generasi kita sekarang ini. 

Pertanyaannya, inginkah kita mencoba mengamalkannya

Tiada ulasan: