Catatan Popular

Ahad, 12 Julai 2020

KITAB RISALAH AL QUSYAIRI BAB 2 TERMINOLOGI TASAWWUF (SYAAHID)


Al-Faqih Ilallah Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi

(IMAM AL QUSYAIRI)

24. SYAAHID

Kebaynyakan yang berlaku dalam ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu semakna dengan ucapan kita : Si Fulan menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan menyaksikan ekstase (yusyaahid –al-wujd) dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan ruhani (yushaahid al-haal).

Mereka mengartikan kata Syaahid adalah sesuatu yang hadir dalam hati manusia. Sesuatu yang pada umumnya teringat, seakan-akan ia melihat dan memandangnya, walaupun obyek tidak ada di hadapannya. Setiap yang dominan dalam hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila yang dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah ekstase, berarti ia menyaksikan al-wujd.

Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-haadhir). Jadi setiap yang hadir dalam hati Anda berarti yang menjadi bukti Anda.

Asy-Syibly ditanya tentang musyahadah. Katanya, “Dari mana kita mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.” Beliau mengisyaratkan, dengan kata, “Allah swt. yang menyaksikan.” Dengan menggunakan faktor dominan dalam hatinya. Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari sesama makhluk, maka hatinya akan berkait. Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya, hatinya hadir. Rasa cinta mendorong seseorang untuk selalu ingat kepada sang kekasih dan mengutamakan kekasihnya dibanding dirinya.

Sebagian Sufi sangat jeli dalam mencari akar kata asy-Syaahid ini.

Disebutkan demikian karena bermula dari asy-Syaahid. Seakan-akan jika melihat sosok dengan sifat-sifat keindahannya – apabila sifat manusiawinya gugur dari dirinya, dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada pengaruh persahabatan di dalamnya dalam satu sisi – maka ia disebut saks “bagi”” sosok tersebut karena ke-fana’an dirinya. 

Tetapi bila ada pengaruh di dalam menyertai sosok tersebut, ia disebut sebagai saksi “atas” ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan masih menegakkan hukum naluri manusia, baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas sosok di atas. Dalam kontens inilah relevan dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam rupa yang paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang kulihat malam itu. Sama sekali tidak menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan aku melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator dalam kreasi.” (H.r. Thabrani, riwayat dari Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari Ibnu Abbas. Demikian pula riwayat dari Ummu Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).

Yang dimaksud hadits tersebut adalah penglihatan ilmu, bukan penglihatan mata.

Tiada ulasan: