Catatan Popular

Ahad, 12 Julai 2020

KITAB RISALAH AL QUSYAIRI BAB 2 TERMINOLOGI TASAWWUF (QURB DAN BU’D)

Al-Faqih ila-Llah Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi

(IMAM AL QUSYAIRI)

18. QURB DAN BU’D

Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb (kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d (penjauhan) adalah pengotoran diri dengan menentang dan menghampakan diri terhadap taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah jauh dari taufiq, kemudian jauh dari pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.

Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s aw. Mengabarkan dari Allah swt.
“Para hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai pendengaran dan penglihatan baginya. Maka dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia mendengar.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).

Kedekatan hamba pada Tuhannya, mula-mula dengan iman dan pembenarannya. Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di dunia ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak di akhirat, hamaba dimuiakan untuk menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara masing-masing kedekatan itu, melalui kelembutan dan anugerah.

Kedekatan hamba kepada Allah swt. tidak akan terwujud kecuali kajuhan hamba dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati, bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.

Kedekatan Allah swt. termanifestasi melalui sifat Ilmu dan Qudrat yag bersifat universal dan umum. Sedangkan melalui Maha Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya hanya khusus bagi orang-orang beriman. Kemudian dengan pemberian anugerah “Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu bagi para Wali-Nya. Allah swt. berfirman : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya.” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “Dan Dia bersama kamu, di mana pun kamu berada.” (Qs. Al-Hadid : 4) “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, kecuali Dia-lah yang keempatnya.” (Qs. Al-Mujaadilah : 7). Siapapun yang secara hakiki dekat dengan Allah swt. minimal ia harus muraqabah kepada-Nya. Karena dengan Muraqabah, sang hamba akan senantiasa mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri pada hukum Allah swt. dan kesetiaan, disusul kemawasan tehadap rasa malu. Mereka mendengarkan nada-nada syair :
Seakan si Raqib menjaga getaran hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku

Tiada yang cemerlang kata yang meluncur
Dari mulutku selain Diri-Mu
Melainkan Engkau katakan, benar, engkau mendengar
Dengan pendengaran-Ku
Tiada getar hati dalam rahasia
Getran selain Diri-Mu
Melainkan engkau telah naik dengan pertolongan-Ku
Sahabatku telah membosankan ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam penyaksianku
Di mana pun jua

Salah seorang syeikh menguji para santrinya. Masing-masing santrinya diberi seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah burung ini, namun jangan diketeahui oleh siapa pun !.” Mereka pun pergi ke suatu tempat, dimana tak seorang pun melihatnya, lalu disembelihlah burung itu di tempat yang sepi. Namun ada salah seorang yang datang menghadap kepada syeikh tersebut, dengan membawa burungnya semula, tanpa disembelih. Syeikh itu menanyakan kepada si murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau memerintahkan diriku untuk menyembelih burung itu, dengan syarat tidak diketahui siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat, kecuali Allah swt. melihatnya.” Syeikh itu berkata, “Dengan ini, kehormatan kuberikan kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di antara kalian hanya bertumpu pada makhluk. Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan memandang kedekatan berarti hijab bagi kedekatan itu sendiri.”

Siapa yang memandang dirinya sebagai tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya terkena makar. Karena itu para Sufi berkata “Semoga Allah swt. menjagamu dari kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas musyahadah Anda karena dekat-Nya, apabila Anda menemui-Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah kebahagiaan spiritual yang disebabkan kedekatan-Nya merupakan perlambang keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri berada di belakang setiap puncak kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan dan keleburan ruhani.
Mereka bersyair :
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering menyenandungkan bait-bait ini :
Kinasihmu adalah perpisahan
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang

Abu Husain an.Nury sebagaian murid Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan belaiu sampaikan, bahwa Abul Husain an-Nury berkirim salam, dan mengatakan kepadanya : “Dekatnya dekat dalam perspektif kamia dalah setelah jauh (al-bu’d). Jika yang dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka, Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran Allah tidak berssentuhan dengan makhluk, begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu yang didahului. 

SIfat keagungan Shamadiyah-Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat sebagaimana kedekatan materi, dalah mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan dalam Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat dalam perspektif keutamaan melalui sifat kelembutan

Tiada ulasan: